Am I Antagonist?

By luckybbgrl

2.6M 380K 21.2K

Ara adalah gadis penikmat novel yang selalu terbawa perasaan dengan apa saja yang ia baca. Sebuah novel berju... More

prolog
satu
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
sebelas
dua belas
tiga belas
empat belas
lima belas
bukan update! (revisi)
enam belas
tujuh belas
delapan belas
sembilan belas
dua puluh
dua puluh satu
dua puluh dua
dua puluh tiga
dua puluh empat
dua puluh lima
dua puluh enam
dua puluh tujuh
dua puluh delapan
dua puluh sembilan
tiga puluh
tiga puluh satu
tiga puluh dua
tiga puluh tiga
tiga puluh empat
tiga puluh lima
tiga puluh enam
tiga puluh tujuh
Tiga Puluh Delapan
tiga puluh sembilan
empat puluh
empat puluh dua
empat puluh tiga
empat puluh empat
empat puluh lima
empat puluh enam
empat puluh tujuh
empat puluh delapan
empat puluh sembilan
lima puluh
lima puluh satu

empat puluh satu

16.6K 2K 86
By luckybbgrl

"Kiranti masuk rumah sakit tau."

"Itu bener ya? Kemarin sempet denger kirain enggak beneran."

"Beneran, kayaknya kemarin malem deh dia kecelakaan."

"Hah? Serius?"

"Iya, kemarin malem dia bilang mau keluar. Dua jam setelahnya dapet kabar dia kecelakaan."

"Lo gak ikut dia keluar, Lau?"

"Enggak, kemarin gue ada acara keluarga di rumah."

"Kalo lo, Kay?"

"Gue mau nyusul kata Kiranti gak usah. Lagian dia juga gak mau ngasih tau pergi kemana. Zenly-nya juga dimatiin semalem."

Rea yang baru saja sampai di kelas memperhatikan segerumbulan anak yang tengah menimbrung di bangku dekat meja guru. Keningnya sedikit berkerut mendengar sekilas kabar tentang Kiranti, si antagonis novel itu masuk rumah sakit.

Gadis itu duduk di bangkunya sambil mengingat-ingat, apakah ada bagian dimana Kiranti masuk rumah sakit karena kecelakaan atau yang lainnya di dalam novel.

"Perasaan gak ada deh. Apa gue lupa?" gumamnya pelan dengan kening berkerut. Pundak gadis itu naik sekilas, tidak ingin terlalu memikirkannya lebih jauh.

Berusaha mengingatpun mustahil, ia sudah lupa sebagian dari isi novel. Ia mulai melupakan setiap detail isi novel, karena alur ceritanya telah banyak berubah. Ia hanya tetap mengingat akhir dari novel tersebut yang entah di masa yang akan datang terjadi atau tidak.

Gadis itu lebih memilih mengambil handphone-nya dari saku dan berkutat dengan aplikasi-aplikasi yang ada di dalamnya.

"Kiranti masuk rumah sakit?" lama hening, membuat Rea langsung menoleh saat mendengar suara di sampingnya dibarengi dengan seseorang yang duduk di bangku sebelahnya.

"Kayaknya sih gitu," jawabnya singkat sambil menganggukkan kepala.

"Kalo anak-anak ngejenguk. Lo ikut?" kening Rea berkerut samar mendengar pertanyaan Savita. Ingin rasanya ia tidak menjenguk si antagonis yang suka menuduhnya sembarangan, tapi kenyataan bahwa ia adalah teman sekelasnya membuatnya ragu.

"Gak tau sih. Lo gimana?" Savita melepas cangklongan tasnya dari pundak sembari melihat ke arah Rea. Pundak gadis berkacamata itu naik sekilas.

"Ngikut Vano aja gue. Dia ngejenguk ya gue ikut," Rea mengangguk paham mendengar jawaban Savita. Jika seperti itu, ia juga akan mengikuti pilihan Bara. Jika kekasihnya itu menjenguk Kiranti, ia akan ikut menjenguk. Jika tidak, ya tidak.

"Yaudah, sama," Savita melirik Rea yang kembali sibuk dengan handphone-nya sekilas, mengangguk pelan kemudian ikut sibuk dengan handphone-nya juga yang baru ia ambil dari saku.

"Oh iya. Gimana kemarin ketemu bokapnya Bara?" Rea sontak melirik Savita dengan mata melotot mendengar pertanyaan gadis itu. Kepalanya menoleh ke seluruh penjuru kelas, takut-takut jika ada yang mendengar perkataan teman sebangkunya itu.

Savita menoleh ke arah Rea, gadis itu membuang nafasnya keras-keras melihat kelakuan aneh Rea.

"Enggak ada yang denger. Santai aja."

Rea melotot ke arah Savita. Gadis itu memukul pelan lengannya.

"Lo jangan kenceng-kenceng kalo ngomong."

"Mulut lo tuh yang lebih kenceng, bego!" Savita menatap datar ke arah Rea. Bisa-bisanya Rea yang suaranya lebih kencang darinya menegur agar tidak berbicara dengan kencang. Memang lawak gadis itu.

"Nanti kalo ada yang denger gimana?"

"Yaudah kali. Emang lo sama Bara saudaraan sampe harus backstreet di depan anak-anak?"

"Ya enggak juga sih."

"Terus masalahnya dimana?" tanya Savita yang gemas dengan teman sebangkunya itu.

"Gue cuma takut Bara dikira gak bisa pilih cewek yang lebih baik dari gue," Rea menjawab dengan lirih, wajahnya juga berubah jadi lebih lesu dari sebelumnya.

"Lo ngomong apaan sih?" Rea yang mendengar jawaban Savita kesal.

"Ah, lo mah selalu gitu sama gue," gadis itu langsung cemberut dan langsung menghadap ke arah depan lagi. Memilih kembali memainkan handphone-nya.

"Anak-anak sebagian udah pada tau lo sama Bara, bego. Lo kan pernah masuk instastory-nya Bara. Emangnya anak-anak sebego lo?" Savita memperhatikan Rea yang kembali menggulir beranda Instagram-nya setelah sempat berhenti sejenak ketika ia berbicara.

"Lagian apa pentingnya omongan orang lain, sih? Kalo Bara udah milih lo, berarti ya menurut Bara lo yang terbaik buat dia. Bukan yang lain," Rea berhenti menggulir layarnya mendengar perkataan Savita yang terdengar sangat menenangkan. Gadis itu menoleh ke arah Savita, menatap balik mata berlapis kacamata yang juga masih menatapnya.

"Jadi gimana kemarin?" Rea tersenyum lebar mendengar pertanyaan yang dilontarkan Savita untuk kedua kalinya.

"Bokapnya baik banget. Nerima gue, bahkan merlakuin gue kayak anaknya sendiri," Rea mulai bercerita setelah menaruh handphone-nya di meja sambil memutar tubuhnya menghadap ke arah Savita.

"Lo tau?" Savita menggelengkan kepalanya sambil menaruh handphone-nya juga setelah menekan tombol kunci.

"Kemarin gue diajak ke makam Bundanya. Abis itu diajak makan bareng. Lo harus tau, lauknya tuh banyak banget. Sampe meja makan yang buat 10 orang tuh penuh semua!" Rea menceritakannya dengan antusias, sedangkan Savita mendengarkannya dalam diam.

"Dari mulai nasi, lauk, sayur, buah, dessert, air putih, bahkan ada jus sama es buah juga, anjir. Dan setiap gue baru mau makan sesuap, bokapnya nawarin lauknya satu persatu. Gue sampe capek ngunyah karena gak enak nolaknya," Rea tertawa di akhir ceritanya, Savita yang mendengarnya ikutan terkekeh.

"Terus pulangnya gue dianter Bara kan. Dia bahkan sampe bilang kalo gue kayak anak kandung bokapnya, sedangkan dia anak pungut yang gak diperhatiin sama sekali," lagi-lagi Rea tertawa, diikuti dengan Savita yang terkekeh.

"Enak dong ya, udah akrab sama calon mertua," goda Savita setelah tawa keduanya berhenti.

"Ih, apaan sih. Tapi semoga jadi mertua beneran ya. Lumayan dapet suami ganteng, mertua juga ganteng," jawaban Rea membuat keduanya kembali tertawa.

"Lagi nyeritain apa? Kok kayak asik banget kalian?" Vanya datang dengan senyum lebar seolah-olah tahu apa yang sedang mereka bicarakan hingga ikut tersenyum.

Rea dan Savita yang mendengar suara Vanya menoleh, Rea tersenyum lebar melihat Vanya yang sudah duduk di bangku di depan Savita.

"Ini nih, Rea nyeritain calon mertuanya. Katanya ganteng," jawab Savita diiringi dengan kekehan di akhir.

"Oh ya? Sama Bara gantengan mana, Re?"

"Gantengan bokapnya," jawab Rea sedikit berbisik dengan nada genit. Membuat tawa ketiganya pecah lagi.

"Bercanda ya gais. Masih tetep gantengan anaknya kok. Saking gantengnya pengen gue kurung. Takut diambil orang," lanjut Rea setelah tawanya mereda, tapi tawanya kembali dilanjut setelah selesai berucap. Membuat Savita dan Vanya ikutan terkekeh.

Berteman dengan Rea sepertinya bisa membuat siapa saja awet muda.

••••

Disinilah akhirnya Rea berakhir. Di rumah sakit, di ruang rawat inap VVIP.

Ruangan yang luas dilengkapi dengan kamar mandi, kulkas, serta satu set sofa dan meja. Dengan seorang gadis yang tengah terbaring di ranjangnya.

Tentu saja ia tidak sendiri, disini ia bersama Bara dan juga teman sekelas yang lain. Mereka berangkat bersama dengan kendaraan secara terpisah sepulang sekolah, untuk menjenguk Kiranti.

Rea mengerutkan wajahnya, terganggu dengan Laura dan Kayla yang langsung berisik begitu masuk ke dalam ruang rawat inap Kiranti.

"Ya ampun, Kiranti. Lo gapapa, kan?"

"Bagian mananya yang luka?"

"Masih sakit?"

"Pusing gak?"

Ia sampai berucap dalam hati. Jika saja ia yang jadi orang tua Kiranti, akan langsung ia tendang keluar begitu jika datang langsung seberisik itu.

Tak ingin pusing memerhatikan tingkah kedua teman Kiranti yang over, ia lebih sibuk memperhatikan raut wajah Kiranti yang nampak kebingungan. Apakah gadis itu baik-baik saja?

"Lau! Kay!"

Laura dan Kayla sontak berhenti dan menoleh ke arahnya. Mengerutkan keningnya heran bercampur kesal.

"Kenapa?" tanya Laura dengan nada ketus.

"Agak diem bisa gak? Temen lo baru siuman, udah berisik aja," ucap Rea dengan santai, membuat keduanya mendengus kesal dan beralih melihat ke arah Kiranti.

Diam-diam berharap gadis itu membela keduanya. Tapi sayangnya, bukan membela, Kiranti malah hanya diam saja memperhatikan Rea yang kini sibuk berbisik dengan Bara.

"Mereka bego apa ya?" bisik Rea pelan. Membuat Bara menoleh dan tersenyum tipis.

"Mereka khawatir kali."

"Kalo khawatir ya gak perlu over gitu juga kali. Ini kan rumah sakit," Rea memutar bola matanya kesal.

Bara yang melihat itu makin tersenyum lebar, tangan kirinya terangkat untuk mengelus punggung kekasihnya pelan.

"Lo jadi perhatian gini sama Kiranti, hm? Udah temenan?" Rea melotot mendengar penuturan Bara.

"Dih, enggak ya. Ogah juga temenan sama dia. Orang kesini aja juga kepaksa," balasnya masih berbisik sambil membuang muka.

"Yang bener?"

"Ck, apaan sih. Minggir sana!" ucap Rea pelan sambil mendorong tubuh Bara agar menjauh darinya. Tapi sayangnya, tenaganya tidak cukup kuat untuk menggeser tubuh Bara barang satu senti. Membuat cowok itu terkekeh pelan.

Kiranti memperhatikan interaksi keduanya yang tampak mesra di matanya. Keningnya berkerut. Matanya beralih memperhatikan teman sekelasnya yang datang menjenguk satu persatu.

Mulai dari Savita yang berdiri di antara Rea dan Vano, beberapa anak laki-laki yang tengah asik di kursi tamu yang ada di kamar itu, juga beberapa anak perempuan yang sibuk memperhatikan keadaannya.

Sampai akhirnya matanya memperhatikan Agam dan Vanya yang berdampingan tapi saling diam, terlihat canggung tapi juga nyaman disaat yang bersamaan.

Tak lama, Nathan dan teman-teman laki-laki Agam yang berada di kelas berbeda juga ikut datang. Fokus Kiranti ada pada Nathan yang masuk berdampingan dengan Vera.

Keningnya makin mengerut. Bingung dengan apa yang terjadi di sekitarnya.

Jika ini benar sesuai perkiraannya. Sejak kapan, semuanya berubah?

••••

Rea keluar dari kamar rawat Ayahnya. Ia baru saja mengantar Ayahnya kembali ke kamar setelah makan dan membujuk pria yang baru tiga bulan dirawat di rumah sakit jiwa itu agar mau meminum obatnya.

Jika mengingat-ingat keadaan Ayahnya, rasanya Rea ingin sekali menangis sambil berteriak sekencang mungkin untuk melepaskan rasa sesaknya.

Ia sungguh tidak berdaya melihat Ayahnya yang hanya diam di atas kursi roda dan menatap kosong ke arah depan. Ia makin tidak tahu harus apa saat Ayahnya kembali mengamuk.

Dalam kurun waktu satu minggu, setidaknya Ayahnya akan mengamuk dua sampai tiga kali, meski begitu ia harus bersyukur karena sudah tidak sesering saat baru pertama kali dirawat.

Rasanya sesak melihat kondisi Ayahnya yang sekarang jauh berbeda dengan Ayahnya yang dulu. Ayahnya dulu selalu semangat bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya dan Ibunya. Tapi, kini Ayahnya terlihat lebih kurus, kucel karena tumbuh jambang, serta seperti tidak memiliki gairah hidup.

"DIBILANG JANGAN NANGIS. YA JANGAN NANGIS!"

Suara teriakan itu menarik perhatian Rea dan membuyarkan lamunannya. Gadis itu melihat seorang wanita dengan baju pasien tengah memukuli boneka di gendongannya sambil sesekali berteriak.

Rea menghentikan langkahnya, mengamati apa saja yang dilakukan wanita yang sepertinya tengah mengamuk itu. Sejujurnya, ia hanya ingin melihat apakah amukan wanita itu lebih parah dari Ayahnya atau benar sesuai dugaannya, Ayahnya adalah yang terparah.

Wanita itu berlari tanpa alas kaki. Rea menoleh ke arah pandangan wanita itu karena penasaran. Di sana, ia menemukan sepasang suami istri yang tengah bergandengan tangan dengan prianya membawa sebuah bingkisan. Keduanya tampak bahagia.

Melihat sepasang suami istri itu membuatnya teringat dengan Ayah dan Ibunya. Andai Ibunya masih sama seperti dulu, pasti ia juga akan melihat kedua orang tuanya semesra itu. Andai saja, Ibunya yang dulu masih ada.

Sayang sekali, kini yang ada hanya Mamanya. Bukan Ibunya.

"Bunda!"

Rea menoleh ke arah suara anak laki-laki yang terdengar panik. Lantas matanya menangkap seorang anak laki-laki seumurannya yang berlari ke arah wanita tadi.

"KAMU SELINGKUH!"

Mendengar teriakan penuh amarah dan kecewa dari wanita itu, entah kenapa membuat perasaannya ikut hancur. Apakah wanita itu terkena gangguan jiwa juga karena suaminya berselingkuh?

"Bunda, tenang, Bun," anak laki-laki yang tadi mengejar Ibunya itu berusaha menenangkannya.

"Ck. LEPASIN!"

Brukk

Rea sedikit tersentak saat anak laki-laki itu terjatuh karena tepisan tangan Ibunya. Entah Ibunya yang terlalu kuat atau anaknya yang terlalu lemah. Tapi, hal itu membuatnya seikit bersyukur. Karena Ayahnya tidak pernah menyakitinya meski dalam keadaan mengamuk sekalipun.

"Bara?" Rea mengerutkan keningnya melihat wanita itu tiba-tiba menjadi tenang.

Anak laki-laki itu mengangguk pelan. "Iya, Bun. Ini Bara."

Wanita itu berlutut di lantai. Memeluk anak laki-lakinya yang mulai meneteskan air mata.

Rea terus memperhatikan keduanya yang tengah berpelukan. Hendak melanjutkan langkahnya sebelum teriakan wanita itu kembali terdengar.

"KAMU!" wanita itu berteriak dengan kencang sambil menunjuk ke arah anaknya.

"KAMU ANAK PRIA BIADAB ITU!"

Bukk

Plakk

Plakk

Rea mengerutkan keningnya khawatir melihat anak laki-laki itu terkena pukulan-pukulan Ibunya yang terlihat cukup kuat. Apalagi, saat anak itu hanya pasrah dan berusaha melindungi dirinya dengan kedua tangannya.

Beruntung tak lama suster datang dan segera menenangkan wanita itu. Meninggalkan anak laki-laki kecil yang masih terduduk di lantai dengan pipi yang basah.

Rea melangkahkan kakinya, hendak melanjutkan langkahnya tadi yang tertunda. Tapi entah mengapa rasanya ia tidak tenang membiarkan anak laki-laki itu berdiam diri di sana.

Anak itu, terlihat menyedihkan.

Gadis itu akhirnya memutuskan untuk mendekati anak laki-laki itu. Mengulurkan tangannya dengan ekspresi wajah datar.

Anak laki-laki itu mendongak ketika melihat sebuah tangan terulur ke arahnya. Kemudian, matanya menangkap sosok gadis seumuran dengannya dengan wajah yang datar membuatnya bertanya-tanya.

Apakah gadis itu tidak ikhlas membantunya?

"Ayo berdiri!"

Ia langsung meraih tangan Rea dan berdiri dengan bantuan gadis itu. Lalu menepuk-nepuk pantatnya yang kemungkinan kotor sebelum akhirnya mengikuti langkah Rea yang menjauh.

"Mau kemana?" tanyanya penasaran.

Rea menoleh, kaget melihat anak laki-laki itu mengikutinya.

"Kenapa ngikutin gue?"

"Bukannya lo abis nolongin gue?"

"Iya, terus?"

"Terus?"

"Terus kenapa ngikutin gue?"

"Eumm... Gue kira lo nyuruh gue buat ngikutin lo. Enggak ya?"

Rea yang mendengar ucapan yang keluar dari mulut anak laki-laki itu menoleh ke seluruh arah. Matanya berhenti saat melihat salah satu tempat duduk terdekat yang mengarah ke taman.

"Yaudah, ayo!"

Keduanya berjalan dengan Rea yang berada di depan. Ia langsung duduk, diikuti anak laki-laki itu.

"Gue Rea."

Rea memperkenalkan diri tanpa repot-repot menoleh ke arah lawan bicaranya.

"Gue Bara."

Anak laki-laki yang bernama Bara itu ikut memperkenalkan dirinya. Bedanya ia sibuk memperhatikan Rea dari samping.

"Ibu lo gila gara-gara diselingkuhin, ya?"

Bara tersentak mendengar perkataan Rea yang terdengar kelewat frontal. Tapi, sesegera mungkin ia rubah raut wajahnya menjadi biasa saja saat gadis itu menoleh.

"Iya," jawabnya singkat sembari menggangguk.

"Kalau gitu sama. Bokap gue gila gara-gara nyokap gue selingkuh sama mantannya," Rea kembali berucap, diikuti dengan senyuman sinis di akhir.

Bara yang mendengar penuturan Rea tertegun. Ia tidak mengira jika akan menemukan dan berkenalan dengan anak seumurannya yang bernasib sama dengannya.

Ini sungguh hal yang tidak bisa diduga. Dan entah mengapa, rasanya hal ini membuatnya lebih bersemangat dari sebelumnya.

Dunia memang tidak adil. Tapi Tuhan, tahu yang terbaik.

To be continue...

•••••

halo gaiss!!!
akhirnya aku up lagi🤗
asal kalian tahu, aku up karena baca komentar baru yang ngebalesin hate komen di part awal
gatau kenapa jadi semangat aja ngelanjutinnya, hihi

makasih ya buat yang masih support lusi sampe saat ini
semoga kalian sukak💛

Continue Reading

You'll Also Like

470K 1.7K 7
kumpulan cerita dewasa berbagai tema
2.1M 196K 37
Aurora tersenyum tipis, menatap Aric tanpa benci sedikitpun. "Aku harus apa, Ar?" Lirihnya. Aric tertegun. "Aku harus apa untuk benci kamu, Ar?" Tany...
645K 44.4K 28
"kenapa foto kelulusanku menjadi foto terakhirku.."
328K 22.3K 23
Bagaimana jika kamu sedang tidur dengan nyaman, tiba tiba terbangun menjadi kembaran tidak identik antagonis?? Ngerinya adalah para tokoh malah tero...