BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tama...

By wienena

9.2K 560 40

Awalnya aku membencinya. Lelaki itu bagaikan Benalu di kehidupan kami. Tanpa kusangka sebuah rahasia terkuak... More

chapter 1
chapter 2
bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
Bab 42
Bab 43
Bab 44
Bab 45
Bab 46
Bab 47
Bab 48
Bab 49
Bab 50
Bab 51
Bab 52
Bab 53
Bab 54
Bab 55
Bab 56
Bab 57
bab 58
ekstra part

Bab 19

125 7 0
By wienena

    Dari tempat kerja aku sampai pukul delapan malam. Sedikit lebih cepat, padahal kulajukan motorku pelan-pelan saja demi menikmati angin malam yang begitu sejuk dan sepoi-sepoi. Sayang rasanya kalau di biarkan begitu saja.

Kurasa rumah sedang ada tamu. Ada dua motor asing tengah terparkir di halaman. Salah satunya motor gede.

Kulangkahkan kakiku setelah mengucap salam. Nampak di kursi tamu ada empat orang. Tidak. Ada lima orang termasuk Bapak sedang mengobrol. Dan salah satu dari mereka adalah Bima.

Pria itu memakai atasan kemeja berwarna putih dengan bagian lengannya tergulung keatas. Rambutnya tampak rapi dengan belahan pinggir segaris. Tubuhnya yang proporsional itu begitu mencolok dibandingkan tamu lainnya. Tentu saja, dia dari dulu paling dominan daripada teman-temannya. Di tambah tadi saat aku masuk dia seperti sengaja berdiri sambil tersenyum ke arahku.

"Nah, akhirnya yang di tunggu datang." sapa Pak lurah yang baru kusadari kehadirannya. Saat masuk tadi terlihat punggungnya saja dari belakang.

Ibu menyongsongku, membisikkan sesuatu ke kupingku sehingga memaksaku segera masuk kamar lalu bersih-bersih sebentar, sebelum menemui mereka.

Tak sampai sepuluh menit aku keluar, memilih duduk di samping Bapak yang kini sibuk rebahan di dipan. Mata kami sempat bertemu beberapa detik sebelum Bapak kembali dengan dunianya sendiri. Aku bersyukur, malam ini Bapak tenang diantara banyak orang.

"Kerja di mana, Mbak Sari?" tanya Pak lurah, aku tahu pertanyaannya hanya sekedar basa basi.

"Di Krian, Pak."

"Hati-hati kalau pulang. Ibu tadi cerita, Mbak Sari pulangnya malam."

Aku melirik Ibu sekilas berniat protes tapi aku mengiyakan pesan Pak lurah.

"Begini, kami datang untuk menindaklanjuti jual beli tanah pekarangan belakang, "

Pak lurah mulai bicara ke tujuan awal mereka bertamu.

"Ini, Pak Haji Fauzi selaku pihak pembeli, terus di sebelahnya itu ada Pak Adit selaku notaris, dan Nak Bima dari perbankan sekaligus akan menjadi saksi dalam jual beli ini .... "

Pembicaraan selanjutnya membahas tentang seputar tanah, sebenernya orang awam sepertiku tidak terlalu faham. Walaupun notaris sudah menjelaskan sedetail mungkin, aku dan Ibu dipaksa berusaha keras agar paham dengan obrolan mereka. Untung saja ada Bima. Dia seperti mengerti kebingunganku. Pria itu kemudian menjelaskan ulang dengan bahasanya yang lebih mudah ku pahami.

Setelah hampir satu setengah jam, pembicaraan penting itu akhirnya mendapatkan kata sepakat. Walaupun ada satu dua hal yang masih belum ku pahami betul, tapi hadirnya Bima membuatku lebih tenang.

"Kamu pasti belum makan, Sar."

Bima tak langsung pulang, ia seperti sengaja berlama-lama di sini.

"Belumlah. Tadi kamu lihat sendiri, baru datang langsung nemuin kalian."

"Temani aku makan nasgor dekat lapangan, yuk."

Hah?

"Yuk, tadi aku langsung kesini habis kerja. Sekarang lapar. " Bima memakai sepatunya. Penampilannya memang persis orang baru pulang kerja. Kemeja putihnya juga tampak lusuh.

Pemuda itu sudah banyak membantu tadi, walaupun aku tahu bantuannya memang bagian dari pekerjaannya. Tapi tak ada salahnya 'kan kalau aku terima ajakannya? Cuma makan nasgor doang, tempatnya juga nggak jauh dari rumah.

"Boleh, deh. Aku ambil jaket dulu."

Senyum Bima mengembang. Wajahnya yang tegas itu terlihat berseri-seri.

Setelah pamit Ibu dan janji nggak pulang malam, akhirnya di sinilah kami. Duduk berdua menikmati pemandangan Paklek Anwar sedang menggoreng nasi. Paklek Anwar sudah lama jualan, sejak aku kecil, Ibu dulu sering mengajakku membeli Nasgor di sini.

"Untung kamu bawa jaket. Ternyata malam ini dingin, Sar."

"Iya, dan kamu yang kedinginan sekarang. Kenapa tadi nggak di bungkus saja sih, Bim?"

"Lagi pengen kamu temenin makan di sini. Kalau di bungkus pasti aku makan sendirian hehehe ..."

Mata Bima menyipit karena tertawa, gingsulnya juga terlihat, sedang aku memutar bola mata karena tak mempan dimodusin.

"Wah, anak jaman sekarang, pedekatenya langsung ngegas."

Paklik Anwar muncul membawa pesanan kami.

"Namanya juga usaha, Lik. Ya, nggak?"

Aku pura-pura tak mendengar obrolan para pria ini. Lebih memilih menyibukkan diri menyingkirkan sayur yang ada dinasi goreng ini. Lupa tadi tidak bilang ke Paklik Anwar kalau aku tidak suka sayur.

Dari dulu, Bima memang sudah famous dikalangan remaja putri seangkatanku. Aku ingat, Fibri salah satu temanku sempat menyukainya. Bima yang suka bercanda dan gampang bergaul itu mampu membuat banyak cewek-cewek jatuh cinta padanya. Aku yakin tidak hanya Fibri yang terbuai dengan pesona seorang Bima, pasti banyak Fibri-Fibri lain secara diam-diam menaruh hati padanya.

"Fikar sudah nikah, kamu sudah .... "

"Uhuk ... Uhuk .... "

Aku terbatuk mendengar nama itu di sebut.

"Maaf ... Maaf ... "

Bima dengan cepat mengangsurkan segelas air mineral yang kemudian aku terima. Segera meminumnya berharap sedakan itu berakhir tetapi usahaku itu perlu waktu.

"Aku sudah tahu." tuturku pelan. Setelah sedakanku berhenti.

Aku berusaha biasa-biasa saja mengatakan itu. Membuat Bima sempat menatapku lama sebelum kemudian ia manggut-manggut.

Kenapa aku baru ingat? Bima dan Fikar dulu teman satu tongkrongan.

"Seperti yang kuduga, kamu cewek begini, " Bima mengacungkan jempolnya.

"Begini? Cewek angkuh, maksudnya?"

"Kok angkuh?"

Aku masih sibuk dengan Nasgorku saat Bima malah menatapku dengan tatapan yang aku sendiri tak tahu maksudnya.

"Kamu jangan sok nggak tahu, deh, Bim."

Bima tak menyahut. Ia seolah tak mendengar ucapanku. Hingga nasi habis kami masih diam, tidak ada yang berniat membuka suara.

"Ini yang di bungkus." Paklik Anwar memecahkan kebisuan, lelaki itu menyerahkan satu bungkus nasi goreng padaku, saat kami berniat pulang.

"Ini Bim." aku mengoper bungkusan itu ke arah Bima yang sedang memasukkan dompetnya ke celana.

"Buat Ibumu."

"Wah, nggak bisa dong, Bim. Ya...! Kamu keluar uang banyak dong ...."

"Kenapa sih? Aku pengen beliin Ibumu, kok."

"Tapi ...."

"Sudah malam, mau pulang nggak? Atau mau lanjut debat soal bungkusan itu sampai pagi? "

Mau tak mau aku ngalah. Bima terlalu mendominasi malam ini, membuatku merasa berhutang budi padanya.

"Kapan-kapan ganti aku yang traktir."

Sebenarnya niatku hanya berusaha agar dia mau menerima uangku, biar dia tidak terlalu keluar uang banyak malam ini. Aku terbiasa mandiri, aneh rasanya di traktir orang yang tak ada hubungan apa-apa denganku.

"Boleh. Boleh banget, Sar. Bagaimana kalau hari minggu?"

Bima menjawab sambil bermain mata genit membuatku memukul pundaknya. Sementara aku sibuk memukulnya, ia malah tertawa bahkan tidak menghindar. Apa dia tidak kesakitan kutabok?

*****
Malam itu Bima mengantarku pulang tepat waktu. Pemuda itu terus saja tersenyum saat berbicara. Dulu, saat aku sedang dekat dengan Fikar, jangankan menyapaku, tersenyum saja bisa kuhitung dengan jari.

"Sebentar, Sar. Aku mau ngomong sesuatu,"

Aku menghentikan langkah, sedikit tersentak karena lenganku kini ada di genggamannya. Aku meliriknya sebagai isyarat kalau tindakannya ini terlalu berlebihan.

"Oh, maaf."

Ada rasa lega yang menyeruak saat genggaman itu terlepas.

Ini sudah pukul sebelas malam, tapi dia malah mengajakku ngobrol lagi. Kenapa tidak dari tadi, sih?

"Apa?" tanyaku sambil bersendekap.

Bima bergeming dengan wajah aneh. Terus menatapku.

"Begini. Kamu jangan kaget denger ini,

Aku menaikkan daguku sengaja, biar dia tahu aku sudah tak betah berlama-lama di sini.

"Dari dulu yang suka aku banyak,

Bima kembali menjeda ucapannya, ia menatapku seakan mencari sesuatu dari wajahku. Entah apa.

Aku tahu banget, aku saksinya begitu banyak cewek-cewek yang tergila-gila pada pemuda di hadapanku kini.

"Tapi kenapa kamu tidak? "

Hah?!

Pertanyaan macam apa itu tadi?

"Sorry ... Sorry. Kalau kamu ilfil dengernya. Maksudku begini, kamu pasti ingat dulu banyak yang ngirim surat, hadiah, pesan buatku dan semuanya rata-rata bilang kalau mereka menyukaiku. Tapi kenapa kamu enggak? Kamu malah kirim pesan ke nomorku dan bilang secara gamblang nggak akan tertarik sama aku."

Hah?

Aku pernah kirim pesan buat Bima? Kapan?

Diam adalah caraku mengingat-ingat hal yang barangkali aku lupakan.

"Mungkin kamu sudah lupa." terlihat jelas wajah pemuda itu kecewa.

"Aku nggak pernah kirim pesan ke nomormu," gumamku pelan. Agak ragu akan ingatanku sendiri.

"Seingatku, aku malah tidak pernah menyimpan nomor kamu. Kemarin itu aku bisa tahu nomormu dari grup chat. "

Bima menatapku dengan tatapan seolah bertanya 'benarkah? '

Ia mengusap rahangnya pelan sambil tersenyum getir, " Aku di curangin, nih."

"Siapa yang curang?" tanyaku cepat. Aku masih dengar walaupun dia hanya menggumam pelan tadi.

"Bukan siapa-siapa, " Senyum Bima makin lebar.

"Tapi ya, sudahlah. Itu sudah tidak penting lagi sekarang," lanjutnya dengan mata berbinar.

Aku memilih tak ambil pusing. Walaupun sebenarnya rasa keinginan tahuanku cukup besar.

"Besok pulang kerjanya, aku jemput."

Mendengar ucapannya langkahku terhenti, tapi ketika aku hendak bicara, Bima sudah melesat pergi bersama motor gedenya.

Ada apa dengan pria itu?

Continue Reading

You'll Also Like

562K 21.6K 46
⚠️ WARNING!!! : YOUNGADULT, 18+ ‼️ hars word, smut . Tak ingin terlihat gamon setelah mantan kekasihnya berselingkuh hingga akhirnya berpacaran denga...
362K 28.1K 59
Elviro, sering di sapa dengan sebutan El oleh teman-temannya, merupakan pemuda pecicilan yang sama sekali tak tahu aturan, bahkan kedua orang tuanya...
841K 80.3K 34
Lily, itu nama akrabnya. Lily Orelia Kenzie adalah seorang fashion designer muda yang sukses di negaranya. Hasil karyanya bahkan sudah menjadi langga...