Swimmer Rolls

By Onlyana23

1.3K 496 105

"Gue ngajuin diri jadi pasangan kencan buta lo. Lo mau jadi pacar gue?" Bintang terlampau bahagia ketika Rasi... More

Pengantar
Kencan Buta
Kasta Kelas
Cinta dan Beasiswa
Rasi dan Sepi
Kartu Kesempatan
Berhasil untuk Gagal
Jati Diri
Kesempatan Kedua
Genggaman Harapan
Tiga Aturan Pacaran
Luka Menganga
Tak Terbiasa
Taruhan Hati
Hari Itu
Benci dan Obsesi
Relung Dada
Ujung Dunia
Terapi Cinta
Nyaris Hilang
Tak Lagi Sama
Hilang itu Perlu
Tolong Lupakan
Percikan Api
Terjebak Pilihan
Serba Salah
Kisah Terkunci
Detik Pengakuan
Harapan Tak Bertuan
Lambang Perpisahan
Fatamorgana
Senyum yang Sama
Rasi dan Bintang
Terjebak di Sangkar
Stadion Akuatik
Akhir Perjuangan

Merajut Asa

104 14 18
By Onlyana23

Membicarakan masa depan selalu menakutkan, tapi itu bukan alasan untuk memelihara kemalasan.

"Mahasiswa baru segera masuk ke barisan!"

"Jangan lupa atributnya!"

"Yang tidak memakai atribut lengkap silakan buat barisan baru!"

Rasi mendesah panjang. Diceknya satu persatu atribut yang harus ia pakai di hari pertama orientasi mahasiswa baru di Uni Sports Academy. Kaos kaki berwarna hijau kuning sudah dipakai, gelang pita warna merah sebagai identitas Jurusan Renang pun melingkar di tangan, lalu Rasi bergerak mengencangkan ikatan tali di leher dari papan nama besar yang dia kalungkan. Semua terasa lengkap sampai Rasi meraba pucuk kepalanya. Mata Rasi melebar. Topi kerucut! Rasi yakin tadi dia jelas-jelas memakainya, mengapa sekarang menghilang?

Rasi pun terkesiap begitu senior berbadan tegap memanggil-manggil Rasi. "Hei, kamu yang nggak pakai topi! Cepat keluar barisan!"

Rasi mendesah lalu berjalan pasrah ketika senior cowok itu memasukkan Rasi ke barisan yang baru. Rasi yang berada di barisan paling belakang hanya bisa menunduk ketika satu per satu mahasiswa baru di depannya menghilang setelah dicatat namanya. Batinnya merapal harap semoga tak diberi hukuman macam-macam. Senior yang sedang mencatat itu tampaknya galak. Rasi benar-benar sial di hari pertama orientasi.

Kalau aja ada Bintang. Rasi mendesis sebal mengingat pesan tadi malam yang cowok itu kirimkan.

Bukan Bintang Biasa????: Besok bilang ke gue kalau ada senior yang ngasih hukuman macem-macem ke lo! Awas aja berani main-main sama pacar gue.

Andharasi Lowita: Lo beneran nggak bakal bisa masuk?

Bukan Bintang Biasa????: Gue nggak bisa masuk sayang. Gue ada urusan sama kampus lain. Maafin yaaa

"Siapa nama kamu?"

Rasi tertegun lantas mendongak. Ternyata dia sudah sampai di depan senior. "Andharasi Lowita."

Senior berambut ikal itu terperangah ketika sedang menuliskan nama Rasi di buku kecil di tangannya. "Andharasi?" Senior bernama Patra itu mengerjap. "Rasi yang atlet renang itu?"

Rasi tersenyum kikuk, membuat Patra mengulas senyum tipis yang tampak seperti sebuah seringai. Buku kecil di tangannya pun ditutup. Tatapan tegasnya terpajang untuk Rasi yang enggan mendongak.

"Kenapa nggak pakai topi?"

Rasi meneguk. Baru saja hendak menjawab, Patra langsung menyela, "Kalau ada orang yang ngomong itu tatap matanya. Kamu liat apa di bawah? Semut lagi pacaran?" tanyanya sinis.

Rasi berdeham. Sebisa mungkin Rasi menahan dongkol untuk melebarkan senyum di hadapan seniornya. Dimulai ternyata.

"Saya tadi pakai topi, tapi kayaknya jatoh pas saya masuk ke barisan, Kak."

Patra terkekeh meremehkan. "Kamu pikir alasan seperti itu bakal saya terima?"

Rasi menggeleng. "Maaf, Kak."

"Sekarang, kamu ngapain di sini?"

Rasi terperangah. "Eh? I-ikut orientasi," jawab sekenanya.

Patra tertawa hambar. "Iya, tapi kamu nggak diizinkan ikut orientasi karena nggak pakai atribut yang lengkap. Kedisiplinan jadi hal yang utama buat atlet, tapi ... ngeliat kamu nyepelein aturan kayak gini apa kamu pantes disebut atlet renang?"

Rasi mengeraskan rahang. Apa ada yang sedang menyalakan api? Mengapa Rasi merasa terbakar?

"Maaf, Kak. Saya--"

"Maaf aja nggak cukup. Kamu perlu topi."

Rasi mengembuskan napas panjang. Ditatapnya Patra yang menaikkan alisnya, tampak senang mendesak Rasi. Rasi baru hendak menjawab ketika bahunya tiba-tiba ditarik seseorang hingga tubuh Rasi bertolak ke kiri. Rasi terbelalak. Sengatan halus terasa di telinga ketika orang itu memakaikan Rasi topi kerucut dan menyelip rambut halus ke belakang telinga Rasi. Senyum dia pun merekah. Senyuman yang sudah lama tak pernah Rasi lihat lagi secara langsung.

"Surprise!" sapanya sembari melambaikan tangan. Tanpa diminta, cowok itu menjelaskan kedatangannya. "Gue nggak sepenuhnya bohong kok. Gue baru aja balik dari kampus lain. Yakali gue nggak dateng. Ini momen yang gue tunggu-tunggu. Selamat ya lo diterima di sini."

Bahu Rasi melemas. Pandangan tak percayanya terlempar pada orang itu. "Bintang?"

Bintang mengangguk semangat. Lalu menoleh pada Patra. "Lo berlebihan. Maba yang lain aja nggak ditanya ini itu, giliran dia lo tanyain kek gitu!" sungutnya sebal.

Patra memutar bola mata. "Balik ke barisan lo sana, Bin! Ganggu gue aja lo!"

Bintang mendengkus. Lalu merangkul Rasi tanpa beban. Dan seiring tubuh Rasi yang ditarik mendekat pada Bintang, mata Rasi kian membelalak. Rasi pun menunduk. Takut senior dan mahasiswa baru yang jadi memperhatikan mereka mendapati pipi Rasi yang memerah. Auh, Bintang tetap gila seperti biasanya!

"Dia punya gue. Gue yang bakal ngasih hukuman sama dia," cengir Bintang tanpa dosa yang Patra balas decihan geli.

"Hukum dia sekarang. Lo bakal ngasih hukuman apa sama dia?"

Bintang mencebikkan bibir. Sebenarnya Bintang malas, tapi Patra yang taat aturan ini takkan tinggal diam bila Rasi tak diberi hukuman. Bintang pun berdiri berhadapan dengan Rasi. "Rasi?" panggilnya.

Rasi berdeham canggung. Hampir setahun mereka tak pernah bertemu, tapi suara Bintang, entah sejak kapan, jadi suara yang mampu membuat jantung Rasi bertalu-talu.

Rasi pun mendongak demi menemukan iris jernih yang menatapnya dalam. "Iya?"

Bintang tersenyum tipis. "Saya menemukan topi kamu di gerbang depan. Walaupun sekarang topi itu sudah kamu pakai, tapi kamu tetap akan dihukum karena keteledoran kamu tidak bisa menjaga barang bawaan dengan benar."

Rasi nyaris tertawa karena Bintang berupaya tampak tegas. Di mata Rasi, Bintang selalu tampak lucu apalagi ketika berupaya serius seperti saat ini.

"Apa hukumannya?"

Suara berat yang lain datang. Rasi, Bintang, dan Patra tiba-tiba jadi pusat perhatian. Ketika Bintang menoleh, dia langsung menyalimi pria empat puluh tahunan yang Rasi yakini dia seorang pelatih di universitas ini. Patra pun mengangguk sopan yang dibalas senyum singkat pria itu.

Bintang terkekeh canggung. "Ngapain bapak ikut-ikutan ke sini, sih? Ini acara mahasiswa, Pak!"

Bintang meringis ketika bahunya dirangkul kuat pria berkepala plontos itu. "Saya juga pernah muda! Mana cepet, saya mau lihat kamu ngasih hukuman buat maba ini."

Bintang mendecih geli. "Jangan kaget ya, Pak!" peringatnya. Pelatih itu tertawa.

Bintang pun mengalihkan pandangan pada Rasi. Dan kalimat Bintang selanjutnya sukses membuat Bintang meringis sembari terkekeh geli karena kepalanya digeplak Sang Pelatih. Tawa pun pecah dari orang yang memperhatikan mereka ketika Rasi hanya bisa menahan senyuman gelinya.

Bintang sama sekali tak berubah. Tetap jadi sosok yang ceria. Tetap tak tahu malu dan apa adanya. Tetap menyayangi Rasi seperti biasanya.

"Hukuman kamu karena tidak memakai topi adalah ... tolong cintai saya sepenuh hati."

{{}}

"Pangandaran?" tawar Bintang pada seseorang di seberang lewat sambungan telepon. Rasi yang duduk di sampingnya hanya bisa menerka dengan siapa Bintang berbicara.

"Ei, nggak seru dua laki-laki main ke pantai," rengut Bintang sebelum matanya berbinar, "Bintang ajak Rasi ya?"

Rasi tertegun ketika Bintang meliriknya seolah tahu Rasi memperhatikan. Bintang pun mendengkus sebal pada seseorang di sana. "Masa papa lupa?" serunya sembari melotot.

Papa? Sesuatu terasa menyengat dada Rasi ketika kenangan tentang ayah Bintang muncul kembali. Rasi tak menyangka selepas perceraian, Bintang benar-benar mampu kembali merajut komunikasi yang buruk di antara dia dan ayahnya. Rasi pikir Bintang bercanda ketika bercerita bahwa dia sedang berusaha menelepon ayahnya di Bandung. Canggung di antara ayahnya dan Bintang lambat laun melebur hingga tersisa kehangatan yang mampu terasa cukup dari percakapan mereka.

"Itu lho, Pa!" Takut Rasi mendengarnya, Bintang bergerak memunggungi Rasi dan merapatkan ponsel ke dekat bibirnya. "Calon istri," bisiknya sebelum terkekeh geli.

Bintang menutup panggilan itu. Masih menyisakan tawa geli ketika dia kembali menoleh pada Rasi. Bintang terperangah. Rasi mendengarnya. Di taman kampus yang yang tak banyak dilalui mahasiswa ini, Rasi pasti mendengarnya.

Gadis itu menunduk selepas Bintang selesai berbicara. Berupaya menyembunyikan semburat kemerahan yang menyebar di pipinya. Rasi di sana. Dengan jelas mendengarnya.

"Gue ... nggak salah ngomong, 'kan?" ragu Bintang, takut Rasi marah dan keberatan karena ucapannya.

Rasi mendecih geli. "Nggak, kok. Terserah lo aja."

Bintang melebarkan senyumannya. Satu kaleng soda dari saku jaket pun Bintang sodorkan untuk Rasi. Rasi tersenyum sembari menerimanya.

"Pacar mana lagi yang lo dustakan sampe bikinin lo topi biar nggak kena hukuman sama senior yang lain?"

Rasi membelalak. Dengan cepat dia mendongak, menatap Bintang yang menenggak kaleng dinginnya. "Apa? Jadi lo nggak nemu topi gue?"

Bintang menggeleng ringan sembari mengusap bibir dengan punggung tangan. "Nggak."

Rasi mendesah tak percaya. "Padahal biarin aja gue dihukum. Lo bikin gue ngerasa bersalah, Bintang."

"Kak Bintang, Ras," tukas Bintang menekan kata 'kak'.

Rasi mengerjap ketika Bintang tahu-tahu mengalungkan tiga medali emas sekaligus.

Bintang membusungkan dadanya jemawa. "Buat lo," tukasnya menjawab keheranan Rasi. Bintang pun mengimbuh, "Sekarang penuhin janji lo yang katanya bakal manggil gue kakak kalau gue berhasil menangin medali emas."

Rasi terkekeh geli. Dia tatap satu persatu medali emas yang cukup memberatkan lehernya. Perjuangan seperti apa yang telah Bintang lakukan demi mendapat tiga medali ini adalah hal yang pertama kali muncul di benak Rasi. Bintang tak pernah bercerita tentang pencapaiannya semasa kuliah jadi Rasi sangat terkejut melihat Bintang berhasil menyabet tiga medali emas.

Bintang masuk ke Uni Sports Academy lewat jalur undangan. Kesempatan yang nyaris tak pernah terpikirkan oleh Bintang.

Di hari Bintang memilih mengundurkan diri dari perlombaan tingkat nasional, kabar itu membuat stadion akuatik gempar. Pasalnya, Bintang adalah salah satu peserta yang berkompeten hingga lolos babak final. Kabar yang menyebar hingga sampai di telinga salah satu pelatih renang di Uni Sports Academy yang sengaja menyempatkan diri menonton perlombaan renang nasional itu.

Pria berkepala plontos yang Bintang kenal dengan Pak Eka yang sekarang jadi pelatih renangnya, menahan Bintang yang baru saja hendak meninggalkan stadion akuatik selepas perlombaan berakhir. Eka bertanya ada masalah apa sampai Bintang mengundurkan diri dan berujung menanyakan ketertarikan Bintang pada Uni Sports Academy. Dan mendengar kondisi juga antusias Bintang, Eka langsung membuat surat undangan detik itu juga.

"Kalau gini caranya ..., gue harus manggil lo kakek!" tukas Rasi.

Bintang melotot tak terima. "Kok kakek?"

Rasi menunjuk satu persatu medali yang menggantung. "Kakak, Bapak, Kakek! Gue, 'kan cuma minta satu medali!" rutuk Rasi.

Bintang gelagapan. "Ah, yaudah."

Bintang berupaya mengambil dua medali di leher Rasi yang gadis itu tahan di lehernya. "Eh, enak aja! Barang yang udah dikasih nggak bisa dikembalikan!" Rasi memeletkan lidahnya. "Kakek Bintang!"

Bintang mendesis sebal. "Muka gue kegantengan disebut kakek, Nenek Rasi!" Bintang ikut memeletkan lidahnya, mengejek.

Rasi balas melotot. Bintang pun mengaduh ketika tabokan melayang ke sebelah bahunya. Rasi bersidekap. "Ah, jijik gue kayak gituan. Gue panggil lo Bintang aja!"

Bintang mencebik kecewa. "Iya lah, Sayang." Rasi mendengkus geli.

Bintang pun mengusap pucuk kepala Rasi. "Sekali lagi, selamet ya ... lo udah berhasil masuk ke sini."

Rasi tersenyum. "Iya, makasih ..., Kak Bintang."

Mata Bintang membola. Cengirannya tampak. Dia pun berlalu memegangi dadanya dramatis. "Ah, kayaknya jantung gue baru aja berhenti berdetak. Coba ulangi lagi," pintanya.

Rasi memutar bola mata, tapi gagal menahan senyum geli yang selalu saja terbit bila bersama dengan Bintang. "Kak Bintang," ucapnya.

"Ah!" Bintang tersentak seperti baru saja kena tembak bersama cengiran kesemsemnya yang seketika tampak. Tubuhnya pun bergoyang ke sana ke mari sebelum sebelah bahunya menyenggol bahu Rasi. "Panggil gue gitu teyus ya?" pintanya dengan suara imut.

Bila bukan Bintang yang melakukannya, tapak sepatu Rasi pasti sudah melayang ke wajah itu. Tapi dia Bintang. Bintang yang berhasil menyelamatkan Rasi dari jurang kegelapan di mana hanya ada ketakutan di sana. Dia Bintang yang berhasil membagi sinarnya untuk menerangi Rasi. Dan karena itu, Rasi hanya bisa mengangguk sembari tersenyum simpul. Membiarkan Bintang bereaksi dramatis kegirangan setelahnya.

"Makaci, Raci ganasku."

Rasi bergumam panjang. "Iya, Kakak Bintang."

Rasi pun menjatuhkan pandangan pada medali emas di lehernya. "Sekarang, giliran gue, ya?" tanyanya mengambang.

Bintang mengangguk dan menepuk lembut puncak kepala Rasi. Bintang menyadari apa yang gadis itu khawatirkan lewat sorot sendu yang terjatuh pada medali.

"Jangan jadiin itu beban. Kita nggak berhenti renang karena hal itu menyenangkan. Jadi selamat bersenang-senang."

Rasi mengangguk sembari menatap Bintang. "Gue bakal bersenang-senang sebaik mungkin."

Bintang tersenyum. "Nggak akan ada yang kecewa kalau lo gagal jadi juara, Rasi. Jangan anggap masa depan jadi beban, ya?"

Meski tampaknya sulit apalagi setelah melihat perkembangan Bintang, Rasi tetap mengangguk paham.

Bintang dan Rasi pun meneguk minuman kalengnya masing-masing. Menatap langit yang mulai menjingga. Mulai berbicara tentang apa saja yang selama ini tak sempat mereka bicarakan lewat ponsel. Terutama tentang kerinduan mereka bisa duduk berdua seperti sekarang. Hingga pada satu topik pembicaraan yang membuat kening Rasi mengerut dalam.

"Gue kemarin belajar pertolongan pertama buat bantu orang yang tenggelam. Dan nggak ada cara terbaik yang lain selain ngasih napas buatan. Ada tiga tahap. Pertama, Compression atau kompresi; tahap menekan dada untuk membantu memompa jantung, terus dilanjut Airway; membuka jalur pernapasan, dan Breathing yang artinya memberi napas buatan."

Bintang berujar sebelum menatap Rasi. Memusatkan pandang di sana dan Rasi bisa melihat lewat iris mata Bintang bahwa dia sedang mencoba menggali informasi dalam pikirannya sendiri, yang entah itu apa.

"Lo ... pernah nolongin gue yang tenggelam, 'kan, Ras?" tanya Bintang memastikan.

Rasi menganguk santai. Tidak merasa ada yang salah dengan itu. Rasi juga pernah belajar hal itu ketika dia rutin berlatih renang dengan guru lesnya. Tapi Bintang langsung membuka mulutnya sembari manggut-manggut seolah baru saja berhasil menemukan jawaban yang dia cari-cari. Rasi pun seperti diseret pada teka-teki ketika Bintang menatapnya tanpa ekspresi. Dan satu kalimat Bintang selanjutnya nyaris membuat Rasi membanting bangku yang sedang mereka duduki.

"Gimana ... rasanya?"

Rasi melotot. "APA?"

Bintang sedikit memajukan bibirnya sebelum berkata, "Itu--AW!"

Rasi menginjak kaki Bintang kuat-kuat. Napasnya jadi berembus bersusulan. "Apapun yang lagi lo pikirin sekarang, jangan berani mikirin itu!" sungut Rasi sebal saat pipinya merasa memanas. "Ngapain, sih lo malah nanya gitu kayak nggak ada pertanyaan lain aja!"

Bintang meniupi kakinya yang berdenyut tak karuan. Dia meringis, "Namanya juga penasaran, Ras," belanya. "Tapi bener lo ngasih itu ... buat gue?"

Rasi berdecak. Rasanya semakin salah bila Rasi mengelak. "IYA! Emangnya lo mau tinggal di kuburan habis itu?"

Bintang kembali menganga sembari manggut-manggut. "Ah, kalau aja gue lagi sadar," keluhnya.

"APA?" Rasi merengut. "Bintang! Jangan mikirin apapun!"

"Ya mana bisa," desah Bintang sebelum terkejut mendapati dua tangan Rasi yang melayang ke bahunya. "Eh iya-iya! Jangan mukulin gue. Pukulin lo sakit. Nanti gue nggak bisa renang karena bahu gue remuk, gimana?" cecar Bintang sembari menahan dua tangan Rasi.

"Habisnya lo ngeselin," cebik Rasi sembari bersidekap.

Bintang terkekeh geli. "Iya-iya. Maaf. Ututu, jangan ngambek dong ayangnya Mbin."

Rasi memalingkan wajah. Detik kemudian, Rasi terperangah ketika Bintang menjatuhkan kepala Rasi ke pundaknya. "Maaf-maaf. Gue nggak bakal nanya itu lagi."

Rasi mendecih geli. Membiarkan usapan lembut dari tangan Bintang menyapa bahunya.

"Tapi ...," Bintang menjeda, "gimana rasanya?"

"BINTANG!"

Bintang tertawa. Mereka pun berlari saling mengejar setelahnya. Bintang berlari karena takut dipukul dan Rasi berlari karena gatal ingin memukul. Bintang berhasil menangkap Rasi dan langsung mengunci tangan gadis itu ketika Bintang merangkulnya.

Bintang tertawa, lagi. Kali ini menulari Rasi hingga ia ikut tertawa geli. Mereka tertawa. Memecah sunyi ketika langit menjingga. Tawa yang akan menemani perjalanan mereka meniti masa depan. Tawa yang akan selalu mereka ingat ketika masa sedang tidak bersahabat. Tawa yang jadi pengingat bahwa bahagia itu nyata bagi tiap orang yang bersabar menunggu gilirannya.

Rasi pernah terpuruk dan merasa tidak akan ada lagi hari esok, tapi Bintang datang mengulurkan tangannya, menarik Rasi dari palung ketakutan. Dan ketika Bintang merasa dunia tak berpihak padanya, Rasi yang sudah mampu tegak berdiri pun ganti merangkul Bintang agar bisa kembali berdiri sama-sama. Sama-sama mencintai diri. Sama-sama meraih mimpi. Sama-sama merasakan bahagia dan kecewa kembali.

Bukan tidak mungkin, masa kelam itu bisa kembali di kemudian hari. Memikirkan masa depan memang selalu menakutkan, tapi Rasi hanya akan melakukan hal yang seharusnya dia lakukan dan mencoba untuk bersenang-senang, seperti apa kata Bintang.

Jangan anggap masa depan jadi beban, ya?

Iya, Bintang.

{{}}

Continue Reading

You'll Also Like

2.6K 545 21
Kue ulang tahun dan lilin. Biru dan Grace. Persamaan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Lahir di tanggal yang sama dan tinggal di lingkungan yang s...
992K 71.6K 37
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...
9.7K 1.6K 36
[General Fiction || 15+] Juli menjadi saksi, tentang senang yang remang. Juli menjadi saksi, atas utas batas pantas. Pada bulan ketujuh, himpunan det...
3.3K 292 31
Tentang gadis yang menghilang di laut dan kembali ke daratan, tanpa siapa pun mengenalinya kecuali seorang. "Aku ingat buih hari itu berwarna emas te...