Swimmer Rolls

By Onlyana23

1.3K 496 105

"Gue ngajuin diri jadi pasangan kencan buta lo. Lo mau jadi pacar gue?" Bintang terlampau bahagia ketika Rasi... More

Pengantar
Kencan Buta
Kasta Kelas
Cinta dan Beasiswa
Rasi dan Sepi
Kartu Kesempatan
Berhasil untuk Gagal
Jati Diri
Kesempatan Kedua
Genggaman Harapan
Tiga Aturan Pacaran
Luka Menganga
Tak Terbiasa
Taruhan Hati
Hari Itu
Benci dan Obsesi
Relung Dada
Ujung Dunia
Terapi Cinta
Nyaris Hilang
Tak Lagi Sama
Hilang itu Perlu
Tolong Lupakan
Percikan Api
Terjebak Pilihan
Serba Salah
Kisah Terkunci
Detik Pengakuan
Harapan Tak Bertuan
Lambang Perpisahan
Fatamorgana
Senyum yang Sama
Rasi dan Bintang
Terjebak di Sangkar
Stadion Akuatik
Merajut Asa

Akhir Perjuangan

34 12 7
By Onlyana23

Tidak pernah ada kata yang baik dari ucapan selamat tinggal. No good in goodbye.

{{}}

Rasi duduk di kursi taman di seberang terminal. Sesuai keinginan Bintang, ia tidak menonton perlombaan final di Jakarta. Walaupun tidak ada Rasi untuk Bintang di perlombaan, setidaknya Rasi ada untuk menyambut kedatangannya.

Rasi biarkan hembusan angin menerbangkan helaian rambutnya yang terurai. Matahari semakin merangkak naik sedikit membuat mata Rasi menyipit diterpa sinarnya. Bising lalu lalang bus yang keluar masuk terminal pun mengusik telinga Rasi. Namun, itu tak menyurutkan niat untuk menyambut Bintang. Menurut jadwal, seharusnya bus yang membawa tim renang tiba sebentar lagi.

Rasi menunggu hingga matahari semakin terik. Duduk di kursi di bawah pohon besar tak sepenuhnya meneduhkan Rasi. Berada di seberang terminal, mata gadis itu mampu melihat tiap penumpang yang menuruni bus. Namun, belum ada satupun anggota tim renang yang tampak di penglihatannya. Padahal ini sudah lewat satu jam dari jadwal kepulangan.

Rasa gusar kini menyelimuti hati Rasi. Dengan cepat, ia rogoh ponsel, yang tidak sempat ia mainkan sejak kepulangannya ke Bandung, lalu menyalakan data ponselnya yang ternyata ia matikan. Pantas saja ponselnya sepi. Sederet pesan pun beruntun masuk sampai satu nama kontak membuat Rasi mengernyit. Pesan dari Sena yang tidak sempat terbaca olehnya.

Kak Sena: Ras, bujuk Bintang buat mengundurkan diri. Dia dilarang renang sama dokter. Maksain diri lagi sama aja bunuh diri.

Lutut Rasi seketika melemas. Tangannya bergetar, bahkan ponsel di genggaman hampir jatuh ke tanah. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja dibacanya. Jadi ini alasan Bintang menghalau Rasi ke stadion akuatik? Bintang tak ingin kekacauan dalam dirinya terbagi. Ingin ia kunci seorang diri.

Jantung Rasi berdetak dua kali lebih cepat saat pandangannya kian mengabur. Kini sudah terlambat untuk membujuk Bintang. Perlombaan final sudah selesai tiga jam yang lalu. Apa yang sedang terjadi di Jakarta? Apa yang terjadi pada Bintang? Apa yang harus ia lakukan sekarang?

Rasi tak kuasa menahan gejolak yang semakin mendekapnya dalam biru. Kakinya terkunci saat batinnya menjerit ingin lari. Penantiannya menunggu kedatangan tim renang, kini terasa jadi beban. Segala sambutan yang terlintas dalam otak, lenyap seketika. Hanya tersisa doa yang dirapalnya, berharap Bintang baik-baik saja.

Tepat saat itu, satu bus melintas di hadapan Rasi dan berhenti di terminal. Di jarak yang dibatasi jalan raya, Rasi mampu melihat siapapun yang turun dari bus. Begitu melihat anggota klub renang yang turun, Rasi bingkas dari duduknya. Matanya otomatis terpancang fokus memperhatikan satu persatu anggota tim renang sampai penumpang terakhir, Sena, turun dari bus. Namun, tak tampak tibanya Bintang, membuat sesak semakin menyebar di dada Rasi.

Gadis itu pun terburu menyeberangi jalan dan mendatangi Sena yang tampak terkejut akan kehadiran Rasi. "Kak Sena, Bintang ke mana? Dia baik-baik aja, 'kan? Bilang ke gue dia baik-baik aja, 'kan?" ucap Rasi dengan nada yang kian meninggi. Ia tak sanggup menutupi rasa kalut yang menggerogoti hati dan pikitannya. Ia biarkan Sena melihat matanya yang memerah juga mendengar deru napas Rasi.

"Ras, tenang dulu," ucap Sena sembari memegangi bahu Rasi. Namun, Rasi tepis bersamaan sorot matanya yang kian menajam. Rasi membutuhkan segera jawaban.

"Gimana gue bisa tenang, Kak? Gue baru baca pesan dari lo, gue nggak sempet bujuk dia. Jadi Bintang ke mana sekarang? Kenapa dia nggak ikut turun dari bus? Dia nggak kenapa-napa, 'kan?" cecar Rasi. Buliran bening lolos dari matanya begitu saja. Rasi mulai menangkup wajahnya sendiri saat napasnya tersengal.

Sena hendak membuka suara ketika satu orang di balik punggung Rasi menyelanya. "Jangan nangis, Ras. Apalagi di depan cowok selain gue."

Rasi terkesiap dan cepat membalikkan badan. Ditemukannya Bintang yang sedang menjilati es krim dengan wajah tak berdosanya. Rasi menganga tak percaya. Kalau Bintang di sini berarti Rasi mencemaskan apa sedari tadi?

Bintang melambaikan tangannya. "Rasi! Gue terharu lo nyambut gue. Makasi lho, Ras," ceria Bintang yang tak kunjung mendapat jawaban. Tatapan Rasi yang terkejut malah berubah semakin tajam. Dengan kikuk, Bintang pun menyodorkan es krim di tangannya. "Raci mau es krim?" polos Bintang. Saking polosnya membuat Rasi pengen nendang Bintang ke Afrika! Tangan gadis itu terkepal yang langsung ia layangkan ke perut Bintang.

"Makan tuh es krim!" sembur Rasi sembari mengentak langkah menjauhi Bintang yang meringis memegangi bekas kebiadaban Rasi.

"Sen, gue salah apaan, sih? Gue, 'kan nggak turun di terminal gegara pengen beli es krim. Kok dia sampe marah gitu?" tanya Bintang pada Sena yang dibalas geplakan kepala. Membuat Bintang meringis kedua kalinya.

"Peka dikit bisa nggak, sih lo?" Sena mengedikkan dagu mengarah pada Rasi. "Jelasin sana, dia udah khawatir banget sama lo."

Sena pun melenggang pergi bersamaan dengan Bintang yang mulai mengejar Rasi saat jalannya tertatih karena memegangi perutnya yang sakit. Tenaga cewek itu tidak main-main. Bintang harus lebih berhati-hati lain kali.

"Ras, jangan cepet- cepet dong! Perut gue atit," rajuk Bintang memanyun-manyunkan bibirnya. Ketika melewati tempat sampah, ia buang stik es krimnya.

Mendengar suara Bintang, Rasi pun berhenti. Ia biarkan Bintang menghadangnya. Mata Rasi masih memburam karena air mata. Walaupun kesal karena tingkah absurd Bintang yang bisa-bisanya malah makan es krim, memikirkan konsekuensi Bintang yang kemungkinan besar tidak akan mendapatkan beasiswa, lagi-lagi meremukkan hati Rasi. Melihat Bintang yang tampak sehat, Rasi mengerti bahwa Bintang memilih mengundurkan diri dari perlombaan. Memaksakan diri ataupun tidak, mimpi Bintang terenggut paksa dari dirinya.

Mata almond cowok itu menyipit membentuk bulan sabit bersamaan dengan bibirnya yang melengkung. Inilah Bintang, dengan senyum palsunya. Senyum Bintang pun memudar bersama dua tangan kosong yang ia angkat sejajar bahu. Dan saat itu Rasi tahu, Bintang benar-benar gagal jadi juara.

"Ras, kayaknya butuh waktu lebih lama lagi biar lo bisa manggil gue Kak Bintang." Bintang terkekeh. Nada suaranya bergetar masih gagal menyembunyikan rasa kecewa terhadap dirinya sendiri. "Gue ngundurin diri dari lomba. Gue nggak mau bertindak bodoh lagi, Ras. Gue--"

Ucapannya terpotong saat lengan Bintang ditarik yang mendekatkannya dengan Rasi. Dan dalam satu hitungan, wajah Rasi sudah tenggelam di dada Bintang. Air mata gadis itu merebak. Rasi terisak menangis. Ia tidak mau mendengar apapun lagi. Ia tidak pernah tahu rasanya semenyakitkan ini melihat harapan orang yang ia sayangi hancur begitu saja tepat di depan wajahnya.

Bintang mengelus puncak kepala Rasi. Gadis itu tetap menangis meskipun Bintang sudah berkata ia baik-baik saja. Cukup. Bintang tak tahan mendengar isakan gadis itu. Dua tangannya pun menangkup wajah Rasi bersama ibu jari yang mengusap air matanya. "Denger gue. Gue nggak apa-apa, Ras. Maaf, gue gagal jadi juara. Gue udah ngecewain lo."

Rasi menggeleng. "Nggak apa-apa. Ini bukan salah lo. Lo udah kerja keras, gue nggak kecewa kok. Nggak ada yang kecewa." Garis bibirnya ia tarik paksa. Tak ingin membuat Bintang khawatir, namun percuma Bintang tahu betul gelagat Rasi.

"Bohong. Lo pasti kecewa berat sama gue. Maaf ya, Ras," ucap Bintang.

"Gue nggak kecewa. Gue cuma nggak percaya. Bahkan saat lo udah mengerahkan seluruh tenaga, kenapa hasil dengan tega mengkhianati lo?"

Bintang seakan membeku yang kemudian senyumnya datang mencairkan. "Nggak pernah ada usaha yang mengkhianati hasil, Ras. Nggak pernah ada."

"Ta-tapi, lo--"

Bibir Rasi dibekap tiba-tiba oleh tangan Bintang, membuat mata Rasi melotot sempurna. Hanya cengiran manis yang tergambar di wajah Bintang sebelum ucapan cowok itu mengerutkan kening Rasi.

"Mungkin, usaha gue bukan untuk berhasil lewat jalan ini tapi lewat jalan yang lain. Sekarang, ikut gue sebelum sidangnya berakhir."

Rasi menurunkan tangan Bintang dari wajahnya. "Sidang?"

{{}}

"Kasus ditutup." Palu diketuk tiga kali.

Rasi pandangi Bintang yang duduk di sisinya di ruang pengadilan agama. Orang tua Bintang resmi bercerai. Konsultasi keluarga tak lagi menemukan titik terang. Tanpa kehadiran Ferdi di sidang pengadilan pun semakin mempercepat proses perceraian.

Mata Bintang terpejam. Sosok di dalam sana sibuk bergelut dengan keadaan. Belajar mengikhlaskan tak pernah semudah membalik telapak tangan. Lalu, sensasi menggelitik menyapa jemari Bintang, yang mengerutkan keningnya penuh tanya. Mata Bintang pun terbuka dan langsung disuguhi senyuman manis yang terpajang di wajah cantik itu. Ia yakinkan penglihatan, benar saja, sela jemarinya terisi oleh jemari Rasi.

Bintang terperangah. "Kenapa?" Tidak biasanya Rasi melakukan skinship lebih dulu.

Rasi mengangkat dua alisnya. "Modus?" tanyanya membuat deretan gigi Bintang tertampil. Desah tawa pun mengalun tak percaya. Cukup aneh mendengar gadis ganas itu menggombalinya.

"Gini dong dari tadi," cetus Rasi.

Bintang berdeham guna meredam tawanya. "Apa? Kenapa?"

"Lo ketawa lagi." Senyum Bintang perlahan memudar. "Lo menyeramkan kalau diem gini. Lo nggak lagi mikir yang aneh-aneh, 'kan? Lo nggak mikir buat ngakhirin hidup lo lagi, 'kan?" cerocos Rasi dengan mata melotot.

Bintang mendecih geli. Ia menggeleng pelan. "Di mana letak syukur gue kalau ngelakuin hal itu? Gue cuma lagi mikir, buat apa ada harapan kalau bisa menghancurkan? Buat apa manusia dituntut berharap kalau harus siap buat kecewa? Gue nggak ngerti."

Rasi hela napas panjang sebelum berucap, "Karena manusia tanpa harapan, sama aja kayak mayat hidup. Mereka ada, tapi nggak ada tujuan untuk hidup. Dan tujuan itu tercipta karena ada harapan yang ingin dicapai. Kita hidup untuk menyelesaikan harapan-harapan yang kita buat."

Bintang menyela, "Dan gimana kalau harapan itu hancur?"

Terulas senyum di bibir Rasi, ia tatap Bintang tepat di mata. "Kita harus buat harapan yang baru. Bukan ikut hancur bersama harapan yang nggak mungkin jadi kenyataan."

Pantulan bayangan Bintang di bola mata Rasi seolah memberi penegasan bahwa kalimat itu memang ditujukan untuk Bintang. Pertama, renang. Kedua, orang tua. Ya, Rasi benar. Bintang tak ingin hancur kedua kalinya. Hanya harapannya saja yang pupus bukan hidupnya. Hidup harus terus berjalan karena masih ada diri yang bisa jadi pijakan. Ini hidupnya, ini pilihannya. Tak lagi Bintang serahkan harapannya pada orang lain, ia akan lebih jujur pada dirinya. Menghargai keberadaan dirinya. Lebih mencintai dirinya lagi.

"Ya, gue setuju," ungkap Bintang.

Bintang mengalihkan pandangan ke meja pengadilan. Didapatinya Nian, yang baru selesai menyalimi orang-orang yang membantu persidangan, memberi isyarat pada Bintang bahwa ia keluar duluan yang dibalas anggukan Bintang saat Rasi tersenyum kikuk.

"Mama udah selesai. Ayo, gue nggak mau mereka nunggu lama."

Rasi mengernyit. "Mereka? Pesta itu?"

"Ya, pesta kemenangan lo sekaligus pesta perpisahan gue."

{{}}

"Pindah rumah? Ke mana?" seloroh Bagas dan Keno berbarengan mendengar ucapan Bintang.

Alunan musik menggema di kafe milik keluarga Keno. Vanya dan Seril sengaja ingin mengadakan pesta kembalinya Rasi juga Bintang yang mengharumkan nama SMA Nusa Bakti. Ya, walau Bintang gagal tetap saja perjuangannya patut diacungi jempol. Juga ada Adel dan Guntur yang sengaja Bintang undang.

"Gue bakal pindah ke Jakarta. Mama gue dipindahkan kerjanya ke sana dan gue juga bakal kuliah di sana. Cuma beberapa bulan lagi kita lulus Gas, Ken. Lebay banget heboh gitu." Bagas dan Keno mencebikkan bibir tak puas.

"Lo udah tahu, Ras?" tanya Seril berkerut sedih.

Rasi mengedikkan bahu. "Gue baru tahu sebelum ke sini."

"Lo nggak apa-apa, 'kan?" Retoris, Vanya merangkul pundak sahabatnya itu. Rasi hanya bisa tersenyum. Tak membalas apapun.

"Jadi, anggap aja ini juga pesta perpisahan buat gue." Bintang tergelak padahal tidak ada yang lucu. "Tepat beres UN gue bakal langsung nyusul mama gue."

Pengumuman Bintang pun berakhir yang merupakan tanda dimulainya pesta. Bintang sibuk bercanda bersama Bagas, Keno juga Guntur, yang merasa awkward di antara mereka. Mungkin, karena Guntur satu-satunya orang yang waras.

Adel yang diundang, mengucap selamat pada Rasi dan mengobrol singkat dengan Bintang. Selepasnya, ia bergurau dengan Guntur sebelum Guntur diajak bergabung oleh Bintang. Kini, ia pandangi jenis kue dan mengernyit saat mata mendapati kudapan yang warnanya kurang enak dipandang. Kuning kehijauan.

"Lo mau makan itu?" sahut Rasi tiba-tiba berdiri di samping Adel.

Adel terhenyak lalu menggeleng. "Gue bakal jadi orang aneh kalau milih itu."

"Ya, harusnya warna yang cerah bakal lebih pas dan seirama sama warna makanan yang lain."

"Merah kayaknya bagus."

"Nggak deh, kuning lebih menarik," balas Rasi.

Adel menyipit. "Terlalu cerah, nggak pas sama yang lain."

Adel dan Rasi pun termenung lalu berucap bersamaan, "Oranye!"

Karena sama-sama terhenyak, mereka tertawa merasa konyol meributkan hal sepele dan mampu menjawab bersamaan.

Selepas tawa mereda, Adel memantapkan hati dengan menghela napas panjang yang menarik atensi Rasi menatapnya.

"Maaf, Ras." Kalimat pertama, sukses membuat Rasi terperangah. Senyum gadis berambut lurus itu pun mengembang, menunggu Adel melanjutkan. "Gue nggak maksud ngambil Kak Bintang dari lo. Gue selalu iri dan berakhir benci sama lo makanya gue ngebohongin lo," ungkap Adel.

Adel ingin memulai segalanya dari awal. Ia tidak ingin langkah yang ia ambil selanjutnya masih menyisakan jejak rasa bersalah. Melelahkan mengejar sesuatu bahkan sampai melukai orang lain. Seperti dikepung rasa berdosa, hatinya tidak pernah tenang. Menghancurkan orang lain demi obsesi hanya membuat egonya yang menang. Dan ia tak pernah nyaman akan hal itu. Guntur telah menyadarkannya, bahwa ia tak mau lagi jadi paku yang terus melukai meja dengan alasan palu memukulnya. Obsesi tinggi ibunya yang ditekankan pada Adel, tidak bisa ia jadikan alasan untuk menyakiti orang lain.

Rasi menggeleng. "Nggak apa-apa. Gue nggak pernah marah sama lo. Lo pasti punya alesan buat itu."

Adel mengulas senyum. "Makasih. Oh iya, kenapa lo nggak pernah manggil Kak Bintang dengan kata 'Kak'? Dia kakak kelas kita, Ras."

Mata Rasi mendapati Bintang yang bertingkah absurd memegang sapu yang ia jadikan mic lalu bernyanyi asal bersama Bagas dan Keno dengan suara cempreng, saat Guntur hanya mengernyit jijik di panggung kafe.

Rasi tertawa hambar. "Gue rasa dia nggak pantes dipanggil kakak." Adel ikuti arah pandangan Rasi. Lalu mendecih geli, Adel sedikit mengerti alasannya.

{{}}

Langit begitu ramai kali ini. Kerlipnya bintang merajai angkasa. Mengalahkan lampu-lampu kota. Membius Rasi dan Bintang untuk mendongak menatapnya. Kini, rasi bintang jadi saksi mata kebersamaan mereka.

"Wah, gue baru lihat langit seindah ini," komentar Rasi yang suaranya hampir tenggelam karena suara musik cukup keras dari dalam kafe.

Di sampingnya, Bintang mengangguk. Lalu memandang gadisnya yang tak juga menatap balas dirinya. Ia perhatikan lekuk wajah Rasi dari samping. Senyum yang menggantung di bibir gadis itu, membuat Bintang menahan napasnya.

"Lo nggak marah?"

Akhirnya, Bintang membuka kata setelah menggamit tangan Rasi dan mengajaknya ke bangku taman di belakang kafe. Rasi tahu jelas ke mana arah pembicaraan ini. Terbukti dengan kepala yang menunduk sebagai responnya.

"Nggak. Ngapain gue marah?"

"Bohong. Lo pasti kecewa karena gue baru ngasih tahu lo," tuding Bintang.

Gelengan kepala jadi balasan. Manik Rasi pun melarikan diri mencari bola mata yang sedari tadi menatapnya. Iris mereka bertemu, dunia terasa membeku. Andai saja waktu benar-benar bisa membatu.

"Gue nggak marah, Bintang. Lo pasti beralasan takut bikin gue khawatir, 'kan?" Bintang mengangguk kikuk. "Alasan klasik. Tapi gue juga bakal melakukan hal yang sama."

Seulas senyum hadir di bibir Bintang. Merasa hadirnya benar diterima, tangannya pun menjulur mencuri tangan Rasi lalu memasukkannya ke saku jaketnya. Rasi hanya mendecih geli memaklumi ketika Bintang tersenyum kecil. Tangan mereka saling menggenggam. Genggaman yang akan sangat Bintang rindukan.

"Lo nggak sedih gue pindah rumah? Padahal gue sedih banget nggak bisa jalan-jalan lagi sama lo," cebik Bintang dengan pipi menggembung.

"Lebay!" Rasi merutuk. "Cuma kepisah jarak aja kali," ungkapnya. "Bukannya tiap hari juga kita kepisah sama jarak?"

Bintang meneleng tak mengerti.

"Gue di kelas sebelas lo di kelas dua belas. Gue pulang ke rumah gue, lo pulang ke rumah lo. Gue bakal sekolah di Bandung dan lo ngelanjutin kuliah di Jakarta. Buat apa gue sedih kalau tiap hari kita juga ketemu sama perpisahan," ujar Rasi membuat Bintang tersenyum. Tangan bebas cowok itu pun mengusap pucuk kepala Rasi dengan gemas sampai rambut Rasi berantakan. Dengan bibir mengerucut sebal, Rasi tepis tangan jahil itu.

"Makasih, Ras. Lo sayang sama gue, 'kan?" tanya Bintang memastikan. Rasi mengangguk. "Tapi kenapa lo nggak sedih kalau gue pergi? Kita nggak akan ketemu dan mungkin juga nggak bakal kuliah di tempat yang sama."

Rasi hela napas panjang. Tersirat duka dari kalimat yang Bintang utarakan. Mengingat gagalnya kompetisi yang Bintang lakukan.

Di balik jaket, Rasi eratkan genggaman tangannya. Bintang terperangah sejenak sebelum tersenyum tipis. "Gue sayang sama lo. Tapi gue masih sayang diri gue sendiri. Hati gue nggak bakal gue serahin ke elo sepenuhnya. Karena kalau gitu, saat lo pergi, gue bakal sangat merasa kehilangan," ungkapnya sebelum sesuatu hinggap yang membuat mata Rasi menyipit curiga. "Lo nggak niat nyari cewek lain, 'kan di Jakarta?"

Bintang mendesah tak percaya. "Apa? Katanya lo cinta diri lo? Kenapa peduli sama hal begituan?"

Rasi mendesis tak suka. "Itu ya itu! Ini ya ini! Aneh dong, kalau ada rasa sayang tanpa rasa cemburu!" Rasi mengerucutkan bibirnya.

Bintang tergelak. Jarinya melayang-layang mendekati wajah Rasi. "Udah pintel ya cekalang cinta-cintaan. Diajalin ciapa, cih?" Bintang menjawil dagu Rasi.

Rasi melotot galak lalu mengusap kasar dagunya. "Bintang!" rengutnya. "Ini bentuk pertahanan hati tahu nggak! Kalau lo ujung-ujungnya ninggalin gue, buat apa gue mertahanin lo?"

Bintang mendelik tak rela dipojokkan. "Yang ada itu lo! Kalau gue jelas setia dari tahun lalu gue sayang sama lo. Lo nggak bakal mepet-mepet sama cowok lain, 'kan?" ujarnya curiga.

Rasi membuang napas tak percaya. "Bagi gue, Kaum Adam tetap menggelikan. Natap aja gue males, apalagi deket-deket."

"Kecuali gue?"

"Ya, kecuali lo."

Wajah Bintang bersinar seketika. Bahunya menyenggol manja pacarnya. "Uh, gue jadi tambah sayang sama lo, Andharasi Lowita."

Jangan lupa senyuman bloon yang kini terang-terangan Bintang biarkan Rasi melihatnya. Tak hanya Bagas dan Keno yang akan mencap Bintang kesurupan, Rasi pun langsung bergidik jijik. "Kenapa gue bisa suka sama lo ya? Padahal otaknya setengah gini."

Habis, senyuman Bintang tergantikan dengan bibir yang mencebik. "Dih, Raci jahat deh cama Mbin! Mau Mbin tarik lagi kata-kata cayangnya?" ancam Bintang, merajuk.

"Idih, tarik aja! Ntar juga lo yang nyesel." Rasi memeletkan lidahnya berasa menang. Bintang menggigit bibir bawahnya sembari melotot. Tangannya pun mencubit dagu Rasi gemas.

"Ih, Bintang!"

"Apa, Say--" Rasi melotot. Bintang tergugu sebelum mencebik sebal. "Yah, masa nggak boleh panggil sayang, sih? Kita, 'kan sama-sama sayang. Terus gue manggil lo apa? Macan? Kuntilanak? Cewek ganas?"

Bintang terus berucap tanpa mau peduli Rasi yang memasang wajah cengo. Untung, udah sayang. Kalau belum, kaki Bintang pasti udah patah sekarang.

"Atau jangan-jangan lo mau dipanggil cewek jadi-jadian?" Bintang bergidik. "Walaupun lo garang, lo tetep cewek normal, 'kan, Ras?" Rasi menghembuskan napas perlahan berusaha sabar. "Boleh ya, Ras, panggil sayang?" bujuk Bintang mengedip-ngedipkan matanya.

Rasi mendengkus, "Boleh." Gadis itu menjeda sebelum melanjutkan, "Sayang."

Bintang langsung menarik Rasi ke dalam dekapannya. Rasi melotot sempurna dan memukul-mukul bahu Bintang.

"Ah, Sayang. Gue juga sayang sama lo!" gemas Bintang.

"Ah, malu tahu!"

"Alah biasanya juga malu-maluin!"

"Lo kali!"

"Ekhem, udah go public, nih?"

Rasi dan Bintang terperanjat seraya merenggangkan jarak. Mereka terkekeh kikuk pada orang di ambang pintu kafe yang memergoki keduanya.

"Udah, Ken meluk pohon aja sono! Ganggu aja lo!" dengkus Bintang.

Keno mendesah tak percaya. "Sialan, lo! Buruan masuk! Kalian bintang acaranya malah berduaan di sini!"

Dengan berat hati, Rasi dan Bintang pun kembali ke dalam. Bergabung bersama yang lain memainkan beberapa permainan secara berkelompok. Mereka hidupkan pesta malam ini yang mungkin akan jadi waktu terakhir kali bagi Rasi dan Bintang menghabiskan waktu bersama.

Semua berpamitan. Tersisa Rasi dan Bintang yang berjalan bersama menyusuri pekatnya malam. Menepis bising kendaraan, relung hati keduanya berdebar hebat. Sama-sama tahu, berakhirnya kaki di pelataran rumah Rasi, sama saja berakhirnya pertemuan di antara mereka.

Bintang akan disibukkan dengan kepindahan rumah dan persiapan perkuliahan. Sedangkan Rasi, kembali ke rutinitas, dan harus siap kehilangan Bintang yang biasanya mengajaknya pulang bersama dan menemaninya tiap minggu ke taman kota.

Rasi berhasil menyembunyikan nada getar dari suaranya kala bicara dengan Bintang. Ia tak sekuat itu. Sesak menyelinap begitu mendengar kabar kepindahan Bintang. Tak pernah ada kata baik dari ucapan selamat tinggal. No good in goodbye. Perpisahan tetaplah menyakitkan, mengingat renggang waktu yang tercipta bukan semalam dua malam. Tapi bukan tidak mungkin, Rasi akan terbiasa setelahnya. Ya, Rasi harus terbiasa.

"Ras, kalau gue nggak ngabarin lo, bukan berarti gue nggak sayang sama lo ya," ucap Bintang sesampainya mereka di pelataran rumah Rasi.

Rasi yang berbalut jaket Bintang yang kebesaran, mengernyit tak mengerti. "Kenapa? Kenapa lo nggak bisa ngabarin gue?" cecarnya.

Bintang menghela napas panjang, membuat Rasi menahan napasnya. Takut, dengan apa yang akan Bintang utarakan.

"Mungkin gue kehabisan kuota."

Rasi cengo saat Bintang terbahak menyadari raut Rasi yang seolah akan ditinggal selama-lamanya.

"Uh, sesayang itukah lo sama gue, sampai mau dikabarin tiap hari." Bintang tertawa puas.

Rasi gemas ingin melempar Bintang ke rawa-rawa biar dimakan sama buaya. Karena tidak mungkin, tabokan spesial yang memberi sensasi panas menjalar di lengan Bintang pun jadi balasan. Bintang mengaduh kesakitan.

"Lo tuh ya! Lagi serius juga!"

Bintang meringis sembari mengusap lengannya. "Sabar kali, Ras kalau mau diseriusin." Cukup, Rasi tidak bisa bicara sama Bintang.

"Oke, gue serius sekarang," ucapnya sembari Bintang menengadahkan tangan memberi isyarat bahwa ia meminta kedua tangan Rasi.

Dengan ragu, Rasi menyimpan tangannya di sana. Detik setelahnya, tangan mereka pun berpaut jadi satu. Bintang menatap Rasi dalam.

"Sebelum gue bener-bener ngilang dari radar lo, gue mau ngaku gue kalah taruhan. Gue jatuh cinta sama lo. Dan selalu kayak gitu sampai hari ini, besok, bahkan hari-hari setelahnya. Gue nggak ngerti cara menghapusnya dan gue nggak pernah mau nyari tahu." Bintang menahan kalimatnya sebelum melanjutkan, "Inget perjanjian kita? Yang kalah harus menuruti satu permintaan yang menang. Jadi, apa permintaan lo?"

Jangan pergi. Andai Rasi bisa lebih jujur, Rasi akan mengucapkan kata itu tanpa berpikir. Tapi ia tahu, ini pilihan Bintang. Sebagai anak lelaki satu-satunya, ia pasti tak tega meninggalkan ibunya sendirian. Terlalu egois, menahan orang lain demi egonya sendiri. Lagipula, ini bukan akhir dari hubungan. Terkadang, cinta memang serakah.

"Gue mau ... lo berjuang biar masuk ke Uni Sports Academy seperti impian lo."

Tak ada kata yang mampu terucap dari bibir Bintang yang terbuka. Seakan tersumbat, Bintang telan lagi ucapannya. Hanya ini yang tersisa. "Lo mau gue telat kuliah setahun atau gimana, Ras?"

Rasi tergugu. Ia tahu permintaannya tidak masuk akal apalagi waktu Bintang untuk memilih beasiswa yang lain sudah menipis. "Eng-enggak, maksud gue--"

Belum genap kalimatnya, Bintang mendekap Rasi erat. Terhisap seluruh oksigen di sekeliling Rasi. Rasi bisa merasa hangatnya ketulusan yang Bintang edarkan lewat lengannya yang melingkar.

"Makasih, Rasi. Nggak ada rasi tanpa ada bintang. Oleh karena itu, gue pengen kita selalu jadi bintang yang akan membentuk sebuah rasi. Menjadi bintang sama aja berjuang menjadi orang yang terbaik sampai mereka bisa menyala di tengah kegelapan. Gue pengen kita sama-sama merjuangin mimpi kita." Bintang tersenyum saat Rasi mengangguk. "Sampai ketemu lagi. Gue bakal ngusahain ada kuota tiap hari kok," kekeh Bintang. "Love you, Rasi ganasku."

Hanya itu yang Bintang utarakan sebelum hadirnya terasa hilang ditelan malam. Terkenang cengiran hangat dan lambaian tangan di depan gerbang rumah Rasi. Sesaat Rasi mengeratkan jaket, ia terbelalak. Jaket Bintang lupa ia kembalikan! Tak terburu memanggil, mungkin lain waktu.

Ting! Notifikasi masuk ke ponsel Rasi. Ia pun segera mengeceknya.

Bukan Bintang Biasa????: Jaketnya buat lo, Sayang. Cek hadiah gw di kupluk jaket ya!

Kupluk? Rasi rogoh kupluk jaket Bintang dan ternyata ada amplop putih di sana. Mungkin Bintang menyimpannya saat mendekap Rasi. Rasi pun membuka amplop itu. Pandangannya baru terjatuh pada deret kata pertama, namun mampu menyeret Rasi pada air mata. Ia terkekeh tak percaya seiring kristal bening yang meluncur ke wajahnya tanpa bisa ia cegah. Bahkan cubitan keras pada pipi masih gagal meyakinkan Rasi apa ini nyata atau fatamorgana. Karena cukup yang Rasi tahu, ia lega sekaligus bahagia melepas kepergian Bintang.

Congratulation, Rayyan Bintang Janari. You're invited to Uni Sports Academy.

Continue Reading

You'll Also Like

855 401 7
Menceritakan gadis yang bernama Xu you, mahasiswi Tiongkok sekaligus pecinta badminton bertemu dengan pria asal Shanghai seorang mantan atlet renang...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5M 284K 33
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
46.4K 5.7K 19
[written in lowercase] tujuh belas bulan yang lalu, kamu dan aku masih bersama. namun, kenapa hari ini.... © juli 2017 by kansa airlangga
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.1M 64.1K 52
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...