Unconditionally

By jaemon1406

25.3K 3.5K 775

"Where words fail, music speaks." Jiwa (Rose) bisa mendengar bahasa jiwa/batin dari orang-orang di sekitarnya... More

The Intro
Friend
Diri
Tutur Batin
Si Lemah
I like me better
Lagu Untukmu
Jatuh Hati
Peter Pan Was Right
Jealous
Pemeran Utama
Laksana Surgaku
I finally found someone
Yang terbaik bagimu
Satu-satu
Lagu Untuk Riri
Andaikan kau datang
maybe we need a break
When I was your man
Aku, dirimu, dirinya
the man who can't be moved
(Tanpa judul)
Try Again
Retrospect
I choose to love you
Can't take my eyes off you
Incomplete
Unconditionally
Senyumlah

Obat Penawar Untuk Jiwa

1K 177 21
By jaemon1406

A laughter is the best medicine.

***

Sepanjang perjalanan kembali ke rumah Oma Marie Jiwa memandang keluar memperhatikan taman bunga matahari yang sudah sejak lama ingin dia datangi. Tapi tidak mungkin mengajak Oma Marie ke sana. Tanpa sadar senyum melengkung di wajah mungil Jiwa saat melihat seorang ayah sedang mengambil foto putrinya.

Ini pertama kalinya Raga melihat Jiwa tersenyum.

"Mau gue fotoin juga?" suara Raga membuyarkan lamunan Jiwa.

"Boleh Ga?" Jiwa membalas dengan antusias.

Raga mengangguk.

Sementara Raga menepikan mobil, Jiwa tersenyum lagi dan merogoh ponsel dari tasnya. Keduanya turun menuju ke taman bunga tersebut. Gadis kecil yang tadi Jiwa lihat masih ada di sana. Jiwa melambaikan tangan dan tersenyum pada gadis itu yang dibalas senyuman juga oleh gadis itu. Ayah anak kecil itu yang melihat interaksi anaknya dan Jiwa terlihat tersenyum juga.

Mau minta tolong fotoin tapi gak enak. Takut merepotkan.

Terdengar suara jiwa dari Ayah anak itu.

"Mau saya fotoin, Pak?" Jiwa menawarkan diri kepada Ayah anak itu yang dengan cepat dibalas anggukan senang dari sang Ayah.

Setelah mengambil beberapa gambar Jiwa pamit untuk meninggalkan ayah dan anak itu. Sementara Raga menunggu sambil sibuk mengambil beberapa gambar bunga yang ada di sekitar taman itu.

Krek.

Raga memalingkan wajahnya memandang Jiwa. 

"Paparazi," kata Raga sambil mengambil handphone dari tangan Jiwa. "Bagus juga. Kirim ya," lanjut Raga.

Setelahnya Raga langsung meminta Jiwa mengambil posisi untuk berfoto. Tapi tiba-tiba anak yang tadi ia lihat menghampiri Jiwa dan Raga. Anak itu memberikan sebuah balon sebagai ucapan terima kasih pada Jiwa karena sudah memotretnya dengan sang ayah.

"For you. Thank you aunty," ucap anak kecil itu sambil menyodorkan balon kecil di tangannya.

"You are most welcome, beautiful," Jiwa mengusap rambut anak itu dan menerima balon yang diberikan.

Setelah anak itu pergi, segera Jiwa mengambil posisi untuk berfoto.

"Senyum," perintah Raga dan Jiwa langsung mengikuti intruksi.

Terlihat senyum kecil di wajah Raga melihat gaya Jiwa yang sedang berpose dengan balon yang baru saja diterimanya. Gadis ini ternyata tidak semenyebalkan saat pertama kali bertemu di rumah Oma malam itu.

Jiwa dan Raga pun melanjutkan perjalanan yang sempat terhenti. Dipersimpangan Jiwa mengintrupsi Raga untuk menurunkannya di suatu tempat.

"Ga, turunin gue di ujung jalan situ aja nanti gue tinggal jalan dikit ke rumah gue dan lu bisa langsung puter balik ke rumah Oma," Jiwa menunjuk ke suatu arah sementara Raga sibuk dengan kemudinya.

"Mau ngapain? Lo ga ikut ke rumah Oma?" Raga memastikan rencana Jiwa.

"Gue balik dulu sebentar nanti ke rumah Oma lagi," sahut Jiwa.

"Mau ngapain, langsung ajalah kasian Oma nungguin?" kata Raga sambil terus melajukan mobilnya.

"Hmmm, itu loh duh pokoknya gue harus pulang dulu, Ga berenti di sini aja," Jiwa menepuk lengan Raga. Raga pun menghentikan mobilnya sambil menatap tajam pada Jiwa. Jiwa tidak bisa membaca maksud tatapan Raga karena dia tidak bisa mendengar suara jiwa dari Raga.

"Ga, today is my red day," Jiwa ragu menjawab dengan istilah itu berharap Raga mengerti.

"Red day?" benar saja Raga tampak bingung.

"Iya, itu loh tamu langganan perempuan. Gue mauu," belum sempat Jiwa melanjutkan perkataannya Raga sudah mengerti dan meminta diarahkan menuju rumah Jiwa.

Setelah sedikit berdebat kecil akhirnya diputuskan Raga mengantar dan menunggu Jiwa menyelesaikan keperluaannya di rumah kemudian berangkat bersama ke rumah Oma.

Tampak teduh. Rumah Jiwa dikelilingi banyak tumbuhan. Terlihat ada ayunan kecil di samping rumah Jiwa. Mungkin itu mainan Jiwa pikir Raga.

"Masuk Ga," ajak Jiwa sambil membuka pintu.

"Lo tinggal sendiri?" tanya Raga sambil menjelajah isi rumah.

"Iya sendiri. Eh bentar ya gue ke kamar dulu. Kalau mau minum self service aja ya Ga," suara Jiwa setengah berteriak sambil menaiki tangga.

Mata Raga menjelajah seisi rumah dan berhenti pada sudut ruang tengah di mana piano milik Jiwa berada.

"Jiwa, gue boleh pegang pianonya gak?" Raga menoleh dari bawah tangga.

"Boleh, Ga," Jiwa setengah berteriak mengiyakan permintaan Raga.

Terdengar suara Raga memainkan piano dari ruangan bawah sampai ke kamar Jiwa. Setelah selesai berganti pakaian Jiwa segera turun menghampiri Raga yang masih sibuk dengan piano milik Jiwa.

"Q - Take Me Where Your Heart Is?" terdengar suara jiwa dari belakang Raga yang membuat pria itu menoleh.

Raga menggeser duduknya memberi tanda pada Jiwa agar mengambil tempat di sampingnya. Jari Raga mulai memainkan beberapa chord yang tadi sempat terintrupsi karena kehadiran Jiwa. Di sisi sebelah kanan Jiwa juga mengisi dengan melodi mengimbangi chord yang dimainkan Raga sehingga menjadi bunyi yang harmoni.

Sesekali Raga menyanyikan lirik dari lagu tersebut diikuti oleh Jiwa.

"Musik yang lo dengerin apa aja?" tanya Raga pada Jiwa.

"Apa aja, gue denger semua jenis musik," jawab Jiwa antusias.

"Dangdut?" lirik Raga.

Jiwa mengangguk antusias. Jarinya memainkan beberapa chord dari salah satu lagu dangdut populer yang disambut senyum oleh Raga. Pembicaraan mereka tentang musik berlanjut dengan antusias. Seperti tidak menemukan ujung pembicaraan. Ada saja hal mereka bahas.

"Terus kok gak lanjutin plan kuliahnya?" kini Raga dan Jiwa sudah duduk di dalam mobil menuju rumah Oma.

Jiwa hanya tersenyum.

"Gak mau jawab?" tanya Raga lagi.

Jiwa menggeleng. Raga mengangguk.

Setelah hening satu menit akhirnya Jiwa membuka suaranya.

"Sebenernya gue sakit, Ga. Makanya gue gak lanjutin rencana kuliah dan stay di sini," mulai Jiwa. Raga memperlambat laju mobilnya yang sebenernya tidak cepat juga karena ingin mendengar cerita Jiwa.

"Sakit apa? Mau cerita ga?" sahut Raga.

"Gak tau nama penyakitnya apa dan gak ada obat yang bisa nyembuhin juga. Gue udah berobat ke puluhan rumah sakit dari dalam sampai luar negeri. Gak ada dokter yang bisa ngejelasin penyakit ini, Ga." 

Jiwa menjelaskan kondisinya tanpa menyebutkan apa sebenarnya yang ia alami pada Raga. Raga menepikan mobilnya ke bahu jalan agar bisa mendengar cerita Jiwa dengan seksama.

"Yang sakit di bagian mana? " tanya Raga dengan serius pada Jiwa.

Jiwa hanya mengangkat bahunya tanpa kata.

"Terus?" tanya Raga bingung.

Dengan sedikit ragu tapi akhirnya Jiwa memberanikan diri menceritakan kondisi sebenarnya pada Raga. Bagaimana ia bisa mendengar semua suara hati, suara jiwa apapun itu namanya dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Hal itulah yang membuat Jiwa mengasingkan dirinya ke Desa Trez. Mendengar cerita Jiwa, Raga memutar badannya dan kini posisi mereka berhadapan.

"Pasti lo keganggu banget ya Ji?" tanya Raga.

"Ji?" sahut Jiwa.

"Iya nama lu kan Jiwa, gue bingung harus penggal di mana namanya. Ji atau Wa? Kayanya Ji aja deh," ucap Raga.

"Baru lu doang Ga yang panggil gitu," balas Jiwa sambil tertawa kecil mendengar panggilan Raga.

"Oke balik lagi. Terus gimana kondisi lu sekarang?"

Tidak ada sakit yang Jiwa rasakan. Hanya terganggu dengan kebisingan yang begitu keras kepalanya. Pernah suatu ketika, Jiwa memaksa mencoba ke keramaian dan tidak lama suara-suara itu tanpa beraturan masuk terdengar keras di telinga jiwa, begitu berisik membuat kepala Jiwa sakit sampai ia pingsan.

Raga merasa tidak enak. Seharusnya ia tidak mengajak Jiwa ke pasar. Raga langsung teringat bagaimana Jiwa berubah pucat saat baru tiba di pasar tadi.

"Sorry ya, harusnya gue gak ajak lo ke pasar," ucap Raga.

"Gapapa. Gue sekalian latihan. Tau gak, Oma banyak ngebantu gue banget buat terbiasa, ya walau belum banyak kemajuan," lanjut Jiwa.

"Oma tau?" Raga heran.

"Tau. Oma adalah orang kedua yang percaya penyakit gue tanpa ragu sedikit pun waktu gue ceritain," Jiwa kembali mengenang bagaimana Oma Marie memegang erat tangan Jiwa saat itu agar Jiwa merasa nyaman dan tidak takut.

"Yang pertama?" tanya Raga.

"Mama. Terus yang ketiga lo. Raga. Kok lo langsung percaya sih Ga tanpa bilang gue bohong atau enggak?" Jiwa penasaran.

"Karena gue liat sendiri perubahan lo tadi waktu di pasar," jawab Raga.

Jiwa mengangguk. Kepalanya masih menimbang apakah perlu menjelaskan lebih lanjut kepada Raga atau tidak. Sampai akhirnya ia putuskan untuk menceritakannya.

"Raga," panggil Jiwa. Raga kini mulai menyalakan mesin mobilnya dan menuju rumah Oma.

"Ya," sahut Raga.

"Kalau gue bilang satu hal lagi, lo bakalan percaya atau enggak?" tanya Jiwa.

"Coba gue denger dulu apaan," balas Raga.

Jiwa dengan ragu mulai menjelaskan bagaimana ia juga merasa heran akan kondisinya. Ia mengatakan bahwa kemungkinan ia sudah menemukan obat penawar sakit yang ia rasakan. Obat itu adalah Raga.

Raga terkejut.

"Gue? Kok bisa?" tanya Raga.

"Gue juga ga tau. Gue udah uji Ga. Tadi di pasar waktu gue minta pegang tangan lo dan kemarin malam waktu di rumah Oma ingetkan gue minta salaman dua kali sama lo" balas Jiwa, Raga mengangguk mengingat kejadian itu.

"Jadi kalau kita bersentuhan lo gak bisa denger suara-suara aneh itu?" tanya Raga. Jiwa mengangguk.

"Makanya Ga, gue minta kita temenan karena waktu ada di deket lo gue ngerasa kehidupan normal gue yang dulu bisa gue rasain lagi. Gue kangen banget jadi normal. Gue kangen ketawa lagi tanpa harus peduliin suara-suara yang harusnya ga gue denger," suara Jiwa terdengar lelah.

Untuk ke dua kalinya Raga menghentikan mobilnya. Tapi kali ini mereka sudah ada di pekarangan rumah Oma Marie. Keduanya masih duduk di dalam mobil sambil memandang lurus ke depan tanpa berkata apa-apa.

"Jiwa, jadi lo gak bisa denger suara hati atau suara jiwa orang lain kalau lo sentuh gue?" Raga memastikan untuk kedua kalinya. Jiwa mengangguk. "Tapi lo bisa denger suara hati gue?" Raga kembali memastikan. Jiwa mengangguk.

Raga mengulurkan tangannya. Memberi isyarat agar Jiwa memegangnya dan mendengarkan apa yang jadi suara hatinya. Raga mulai berkata-kata di dalam hatinya agar membuktikan apakah jiwa bisa mendengarnya atau tidak.

Jiwa, lo serius? Lo bisa denger nih apa yang lagi gue omongin dalam hati?

Serius lo? Awas kalau bohong.

Lo bisa denger semua ini?

Kok lo keren sih punya super power. Jangan-jangan lo avengers, Ji.

"Ragaaaa, pikiran lo ya," Jiwa sedikit kaget dengan kalimat terakhir yang Raga ucapkan.

Jiwa mengucapkan setiap kata tanpa sedikit pun ada kesalahan dan itu membuat Raga terkejut.

"Lo mau kan ga bantuin gue, paling ga selama lo di sini jadi obat penawar rasa sakit gue," pinta Jiwa.

Belum sempat Raga menjawab keduanya terkejut dengan kehadiran Oma yang memergoki mereka sedang berpegangan tangan di dalam mobil sambil mengetuk kaca mobol dari samping Jiwa.

"Kalian ngapain pegangan tangan? Mau nyebrang?" tanya Oma.

"Omaaaa," sahut Raga dan Jiwa kompak dan melepaskan genggaman tangan satu sama lain.

Jiwa dan Raga yang ketahuan pegangan tangan oleh Oma Marie.

Continue Reading

You'll Also Like

1.8M 102K 25
❝Apakah aku bisa menjadi ibu yang baik?❞ ❝Pukul dan maki saya sepuas kamu. Tapi saya mohon, jangan benci saya.❞ ©bininya_renmin, 2022
2.2K 361 9
katanya move on itu perkara gampang, apalagi kalau dari orang brengsek, tapi kok Gladis susah????
3.1K 1.2K 21
Semenjak putus dari mantannya 7 bulan lalu karena diselingkuhin, Jo masih tetep nanggepin mantannya itu. Bahkan setelah dikatain goblok sama temen-te...
2.9M 186K 46
[Part lengkap] Blur : Apa yang kamu lakukan jika mengulang waktu kembali? Tabitha Veronika Miller sosok gadis yang diberi kesempatan untuk mengulang...