Obsesi Asmara

By ainiay12

1.7M 117K 52.5K

[PRIVAT ACAK - FOLLOW SEBELUM BACA] - OBSESI, HUBUNGAN TERLARANG, PERSAINGAN BISNIS, PERSAHABATAN, TOXIC RELA... More

| PROLOG |
1. PERTEMUAN SINGKAT
2. BALAPAN
3. KETERTARIKAN
4. IDENTITAS
5. PERINGATAN KECIL
6. PULANG BARENG
7. MENGALAHKAN EGO
8. OFFICIAL?
9. SENTUHAN
10. TERUNGKAPNYA FAKTA & KEHILANGAN
11. DUBAI
12. UNDANGAN
13. BERTEMU KEMBALI
14. PEREMPUAN LICIK
15. MISI & LAKI-LAKI LAIN?
16. EKSEKUSI
17. HOTEL PRIMLAND
19. PERTEMUAN KEDUA
20. PEMBATALAN INVESTASI
21. CUCU PEMILIK SEKOLAH
22. PESTA
23. CINTA SATU MALAM
24. REKAMAN
25. LOVE OR OBSESSION?
26. SATU ATAP BERSAMA
27. APARTEMEN
28. MENGAKHIRI & AWAL YANG BARU
29. HILANG DAN KECURIGAAN
30. PENGAKUAN & PENOLAKAN
31. TANDA-TANDA MULAI BUCIN?
32. MEMENDAM ATAU MENGUNGKAPKAN?
33. MY GIRLFRIEND
34. VICTORIA GROVE CLUB
35. HANYA PELAMPIASAN?
36. PUTUS HUBUNGAN?
37. SIMPANAN OM-OM?
38. BENAR-BENAR BERAKHIR
39. PENCULIKAN
40. BALIKAN
41. PENYESALAN
42. RASA YANG TAK TERBALAS
43. TERBONGKAR

18. SISI YANG BERBEDA

38.1K 3K 1.4K
By ainiay12

Follow semua akun di bawah ini;
@wattpad.ayay
@bian.astara
@alora.aleandra
@shena.anala

Diwajibkan untuk vote dan komen sebelum membaca cerita ini!

Siap melihat sisi gelap dari seorang Bian Astara?

Vote dan komen yg banyak gengss😘

(Happy Reading)

"Halo sayang, nyenyak tidurnya?" tanya seorang laki-laki di hadapannya, dengan wajah datar.

"Ka-kamu...."

"Ya! Ini aku, kamu kira siapa? Bajingan itu?"

Gadis itu menggeleng kebingungan. "Kenapa kamu lakuin ini? Kenapa kamu bawa aku kesini?"

Menoleh ke kanan dan kiri, hanya ada tembok di sekelilingnya dan dia yakin tembok ini kedap suara. Dengan satu lampu di atasnya yang menjadi penerangan. Tidak ada hal apapun lagi.

"Kamu pinter bohong sekarang, siapa yang ngajarin? Aku gak pernah ngajarin kamu buat bohong lho," ucap laki-laki itu sambil berjalan mengelilingi gadis yang saat ini sedang diikat di kursi, dengan kedua tangan terikat ke belakang.

"Aku gak bohong. Sumpah aku gak pernah," elaknya ketakutan. Kejadian ini hampir sama seperti kasus-kasus pembunuhan yang biasa ia lihat di film-film, dan itu membuatnya sangat takut.

"Bahkan sekarang kamu masih berbohong, mau sampe kapan sayang?"

"Kamu tau kan, aku gak suka dibohongin, tapi kenapa kamu masih melanggar?" Laki-laki itu memainkan jari-jarinya di pipi gadis itu, membuatnya semakin ketakutan.

Sepertinya tidak ada pilihan lagi selain mengakuinya. Mungkin dengan jujur Bian bisa melepaskannya.

"Maaf, Bi, maafin aku... maaf...." Citra berucap dengan suaranya yang bergetar.

"Udah sadar dimana kesalahan kamu?" tanya Bian di belakangnya.

Citra mengangguk cepat. "Maafin aku... aku janji ini terakhir kalinya."

"No no no. Kamu gak perlu minta maaf sayang, karena aku udah maafin kamu."

Mendengar itu Citra bisa bernapas lega. Dia sedikit tersenyum karena akhirnya Bian memaafkannya.

"Tapi...kamu harus tetap dikasih pelajaran biar gak ngulangin lagi," lanjut Bian, seketika senyuman Citra luntur begitu saja.

Dari belakang Bian menunjukkan sesuatu kepada gadis itu, dan semakin membuatnya bergetar ketakutan saat pisau itu tampak mengkilap di hadapannya. Sangat tajam sekali.

Apa yang akan dilakukan Bian dengan pisau itu?

Apa Bian akan membunuhnya, karena Citra 0sudah membohonginya?

"Bi, tolong maafin aku... aku mohon." Citra menangis takut. Dia tidak ingin mati seperti ini.

"Keep calm baby. Aku gak akan celakain kamu."

"Mana mungkin aku tega sama gadis yang aku cintai," kata Bian kemudian mengecup pipi Citra dari samping.

Namun, tangannya yang memegang pisau semakin dekat dengan leher Citra. Bahkan sekarang untuk sekedar bernapas Citra rasa tidak bisa.

Pisau itu menempel sempurna di lehernya, sekali saja Citra bergerak maka pisau itu akan menyayat lehernya. Tapi... Bian menjauhkan pisaunya dan malah membuka ikat tali di tangan Citra.

Tanpa mengucapkan apapun, Bian lalu berjalan ke hadapan Citra setelah membuka ikatan talinya. Dia menarik kursi yang ada untuk duduk berhadapan dengan Citra.

Kini keduanya saling duduk bersitatap.

Bian menarik tangan kanan Citra, dan gadis itu tidak berani melawan.

"Tangan ini yang udah berani kirim pesan itu, kan? Tangan ini yang menyuruh kamu untuk berbohong?" tanya Bian lagi tapi hanya mendapat anggukan dari Citra.

Cowok itu kembali menunjukan pisau miliknya, dan perlahan mengarahkannya pada tangan Citra.

"Bi! Apa yang mau kamu lakuin?!" Citra mulai panik.

Tidak ada jawaban dari Bian, dia tetap menatap tangan Citra dengan ekspresi aneh.

Perlahan tapi pasti, pisau itu mulai menyayat tangan Citra hingga mengeluarkan darah segar.

"Aaaaaaa!!!! Bian sakit!!!!!!!" teriak Citra kesakitan.

"Sakit!!!! Bian!!! Lepas!!!"

"Lepas!! Kamu gila, hah?!! Ini sakit!!!!" rasanya sangat menyakitkan karena Bian melukainya secara perlahan, seolah ingin Citra menikmatinya?

Tidak ada respon apapun yang ditunjukkan cowok itu. Dia hanya menatap datar tangan Citra yang sudah berlumuran darah.

Dan tanpa di sangka Bian justru menjilat darah yang mengucur dari tangan Citra, tanpa rasa jijik sedikitpun. Tidak ada ekspresi yang ditunjukkannya saat melakukan hal gila itu.

Benar-benar terlihat seperti psikopat.

Bian menjilat darah di tangan Citra sampai bersih, seolah-olah dia sedang menikmati ice cream yang sangat manis.

"BIAN!! PLEASE STOP! AKU TAKUT!!!"

"AKU TAKUT BIAN!!!"

"Tenang baby, ini menyenangkan," kata Bian sembari mengelap sudut bibirnya yang terkena darah.

"Manis, aku suka," lanjutnya dengan senyuman aneh.

"Kamu bukan Bian! Kamu siapa!" teriak Citra merinding saat menatap Bian terlihat seperti orang yang berbeda

"Ini hukuman, sayang, hukuman karena kamu udah berani macem-macem di belakang aku." Bian menatap Citra tajam ketika gadis itu mulai memberontak.

"Lepasin! Aku gak mau sama kamu!"

"Lepas bajingan! Kamu bukan Bian!"

Plak

"Shut up jalang!" murka Bian setelah mendaratkan tamparan pada pipi Citra, membuat gadis itu langsung jatuh dan tidak sadarkan diri.

Melihat Citra yang pingsan, Bian seolah tersadar dan langsung melempar pisaunya ke sembarang arah. Dia lantas memandang Citra yang tergeletak di lantai dengan darah yang masih mengalir dari tangannya.

"Sayang bangun!" pintanya menepuk-nepuk pipi Citra. "Bangun sayang kamu kenapa!" tanyanya khawatir.

Hilang sudah tatapan mengerikan seperti tadi, digantikan tatapan khawatir dan ketakutan.

"Citra bangun!"

"Kamu kenapa kok bisa pingsan!"

Dia segera menggendong Citra ke kamar atas dengan langkah cepat. Kemudian membaringkan gadis itu.

Bian mengambil kotak obat dan membalut tangan Citra yang terluka agar darahnya tidak keluar lagi.

"Bangun, sayang," katanya sembari mengusap-usap kening Citra. Karena Citra belum juga sadar, Bian berinisiatif untuk tidur di sampingnya agar saat Citra bangun dia tidak akan kebingungan.

Mereka akhirnya tidur bersama, dengan Citra yang kini berubah posisi menjadi bersandar di dada Bian, karena perbuatan cowok itu tentunya.

•••

"Papa mau kemana?" tanya Nevan saat melihat Ayahnya berpakaian rapi.

"Apa hak kamu nanya-nanya?" sentak Antonio tidak suka.

"Ini kan hari libur, Papa mau kemana?"

"Bukan urusan kamu!" ujarnya kemudian berlalu pergi.

"Udah gapapa Nevan, mungkin Papa lagi ada urusan," kata Dewi menghampiri anaknya.

"Urusan apa? Ini hari libur Ma, kenapa Papa gak pernah di rumah?" Nevan masih penasaran.

"Mama jangan nutupin kesalahan Papa. Aku tau Papa seperti apa di luar sana tanpa Mama."

Dewi hanya bisa tersenyum. "Udah udah ya, mendingan sekarang kita makan siang dulu, Mama udah masakin makanan kesukaan kamu."

Dewi mengajak Nevan ke meja makan, untuk mengalihkan perhatian dia. Sebenarnya Dewi bukannya tidak tahu kelakuan Antonio di luar sana. Hanya saja ia lebih memilih menutup mata, demi melindungi keutuhan rumah tangganya.

Ia tidak ingin menghancurkan kebahagiaan Nevan. Biarlah Dewi menahan semua rasa sakitnya, asalkan keluarga mereka tetap utuh, walaupun Antonio tidak pernah mencintainya sejak dulu.

Di luar rumah, Antonio baru saja masuk ke mobilnya.

"Tunggu saya di hotel seperti biasa," katanya pada seseorang di telepon.

Kemudian dia pergi menjalankan mobilnya ke sebuah hotel yang selama ini menjadi tempat bertemunya dengan seseorang.

Wanita itu menyuruh Nevan untuk duduk, dan segera mengambilkan makanan untuknya.

"Ma, aku tau Mama gak baik-baik aja," kata Nevan, ketika melihat Dewi seolah-olah nampak tegar di depannya.

"Mama baik-baik aja, asalkan kamu selalu di samping Mama," balas Dewi sembari menambahkan lauk pauk ke dalam piring Nevan, kemudian dia juga duduk di depannya.

Nevan memandang Dewi penuh tanya, dari dulu sampai sekarang dia masih tidak mengerti, kenapa Antonio bersikap ketus padanya dan juga Dewi.

Sebenarnya apa salah Dewi? Dan juga apa salahnya? Mengapa Antonio tidak pernah bersikap layaknya seorang suami dan juga seorang Ayah pada umumnya?

"Masih mikirin Papa?" tebak Dewi melihat Nevan hanya mengaduk-aduk makanannya.

Nevan mengangguk tak yakin. "Kenapa Papa bersikap seperti itu, Ma? Kenapa dia seolah gak perduli sama kita?"

"Nevan... gak ada orang tua yang nggak perduli sama anaknya. Mungkin Papa lagi banyak pikiran makanya seperti itu, apalagi akhir-akhir ada masalah di kantor, itu juga mempengaruhi Papa," jelas Dewi memberi pengertian.

Nevan tidak percaya begitu saja, tapi untuk sekarang dia akan pura-pura percaya agar Dewi tidak khawatir lagi. Ia tidak akan tinggal diam seperti ini terus, Nevan yakin ada sesuatu yang terjadi sehingga menyebabkan Antonio begitu benci pada Dewi, terlebih lagi padanya.

•••

"Arrggghhhhhh!!! Gue benci lo Bian!"

"Kenapa lo gagalin rencana gue!"

"Kenapa lo lebih milih dia!!"

Teriakan-teriakan itu terdengar jelas dari kamar Alora, sampai-sampai Jovan dan Mira yang berada di bawah pun mendengarnya.

Mereka panik dan langsung berlari ke atas, ke kamar Alora.

"Kenapa? Kenapa lo nolak gue!!"

Gadis itu meringkuk di lantai dengan kacau. Kamarnya berantakan akibat dia yang mengamuk sejak tadi. Bedcover dan juga bantal tidurnya berserakan kemana-mana. Juga meja riasnya yang acak-acakan.

Kenapa lo nembak cewek gue?

Gue gak akan biarin lo nyakitin dia!

Gue sendiri yang akan ngabisin lo!

Kalimat-kalimat itu terus berputar di benak Alora, membuatnya semakin sakit hati. Bohong kalau Alora baik-baik saja. Dia begitu hancur, sangat hancur.

Alora sudah menurunkan harga dirinya untuk mengejar Bian, tapi balasannya malah seperti ini. Ia tidak suka diancam.

"Alora!" Jovan dan Mira masuk, terkejut melihat kondisi anak semata wayangnya.

"Sayang kamu kenapa?" Mira merengkuh tubuh Alora yang bergetar.

"Apa yang terjadi, Alora? Ada apa? Kenapa kamu seperti ini?" kata Jovan benar-benar panik.

Ini adalah pertama kalinya, Alora semarah ini, sangat-sangat kacau. Dan apa alasannya?

"Aku benci dia!"

"Aku benci penolakan!"

"Aku benci Citra! Aku benci dia!"

Alora terus meracau dengan emosi yang tidak terkontrol. Sungguh bukan Alora yang seperti biasanya, kuat dan ceria.

"Tenang Alora... tenang," ujar Mira.

Jovan merasa ditikam beribu pedang tajam melihat Alora saat ini. Bagaimana anaknya yang selalu kuat bisa sehancur ini?

"Siapa Citra? Kenapa kamu benci dia? Kenapa Alora?" Kali ini Jovan mengintrogasi.

Alora melepaskan diri dari pelukan Mira. Beralih menatap Jovan yang juga menatapnya penuh kekhawatiran.

"Papi...," panggilnya sendu.

"Iya sayang kenapa?" Jovan mendekat dan memegang tangan gadis itu. "Kenapa? Ada apa sama kamu?" lanjutnya.

"Aku benci dia, Pi. Aku benci dia...."

"Siapa sayang? Bilang sama Papi."

"Citra, aku benci dia, Pi," ucap Alora dengan wajahnya yang berantakan.

"Dia udah ngambil Bian dari aku. Dia jahat. Dia licik. Aku benci dia."

"Kita berdiri dulu sayang, jangan di lantai, dingin, nanti kamu sakit," ucap Jovan kemudian memapah Alora ke ranjangnya.

Alora langsung memeluk Jovan begitu erat. Tangisannya kembali pecah, mengingat Bian yang tidak segan mengancamnya hanya karena Citra.

Alora tidak terima. Seumur hidupnya Alora tidak pernah mendapat perlakuan seperti itu. Ia benci penolakan. Ia benci seseorang yang merebut apapun yang menjadi miliknya.

"Aku benci dia!" kata Alora mengulangi.

"Tenang sayang, Papi akan bantu kamu."

"Ra... coba cerita kamu kenapa? Siapa Citra?" Mira juga duduk di atas ranjang, menjadi di sebelah kiri Alora. Sedangkan Jovan di sebelah kanan, memeluk Alora.

"Dia Matre! Licik! Munafik! Alora gak suka dia," ucap Alora menyembunyikan wajahnya.

Jovan dan Mira hanya mendengarkan, tidak berani bertanya lagi, karena saat ini Alora pasti membutuhkan waktu untuk menenangkan hatinya.

Menit demi menit berlalu, mereka bertiga masih di posisi masing-masing. Alora tertidur di pelukan Jovan karena lelah menangis.

Jovan melepaskan pelukannya, dan membaringkan Alora. Menyelimuti seluruh tubuh gadis itu. Ia menyingkirkan rambut di kening Alora yang menutupi wajahnya.

Terlihat jejak air mata di pipinya, Jovan lantas mengusap dengan tangannya. Hatinya terasa sakit ketika Alora tidak berdaya.

Kedepannya Jovan berjanji, tidak akan melihat Alora yang seperti ini lagi. Hanya akan ada Alora yang pemberani dan kuat. Ia janji itu.

Sepasang suami istri itu kemudian saling menatap. Bingung sekaligus sakit ketika melihat anak kebanggaannya, rapuh seperti sekarang.

Jovan tidak akan tinggal diam. Tidak ada yang boleh menyakiti Alora. Jika ada yang berani mengusik keluarganya, maka sudah dipastikan orang itu tidak akan bisa hidup dengan tenang.

Mereka harus membayar mahal atas perbuatan mereka terhadap anak semata wayangnya.

"Kamu tau kenapa Alora bisa begini?" tanya Jovan pada istrinya.

"Sebenernya, beberapa bulan ini, Alora suka sama cowok, tapi dia gak suka sama Alora. Aku nyuruh Alora buat berjuang ngejar cowok itu, apa mungkin ini ada hubungannya?"

"Siapa?" tanya pria itu semakin murka. Bisa-bisanya Mira tidak memberitahu hal sebesar ini padanya. Jovan harus dan wajib mengetahui asal-usul laki-laki yang dekat dengan Alora nantinya.

Ia tidak mau, putrinya menjadi mainan laki-laki di luar sana. Jovan sudah sekuat tenaganya menjaga dan membesarkan Alora, ia tidak ingin Alora jatuh ke tangan laki-laki yang salah.

"Aku juga gak tau, tapi, namanya... Bian," ucap Mira ragu-ragu, dia tidak mendengar jelas ucapan Alora tadi.

"Bian?" Jovan merasa asing dengan namanya.

Pria itu mengambil hp nya dan menelpon seseorang. "Kirimkan semua kegiatan Alora selama satu Minggu terakhir. Cepat! Atau kamu saya pecat!"

Selesai menelepon, Jovan kembali memandang istrinya. "Laporkan hal apapun yang menyangkut Alora, aku gak mau kejadian ini terulang lagi."

Mira mengangguk. "Aku gak tau Alora akan seperti ini gara-gara laki-laki itu."

"Gapapa. Kamu temenin Alora dulu, aku harus mengurus sesuatu," ucap Jovan lalu mencium kening istrinya.

"Pulangnya jangan malem-malem," balas Mira.

Jovan mengangguk dan tersenyum kecil. Keluar dari kamar Alora, dan mengerahkan orang suruhannya untuk mencari identitas laki-laki yang disukai Alora.

Alora tidak mudah jatuh hati, dan Jovan yakin kalau laki-laki itu sepertinya memiliki daya tarik yang kuat, hingga berhasil membuat Alora hancur seperti sekarang.

Brengsek! Berani sekali dia mempermainkan putri tunggal keluarga Arkatama. Cari mati.

900 VOTE & 900 KOMEN. PASTI BISA DONG.

SPAM UP DI SINI👉

SPAM NEXT DI SINI👉

SPAM ALORA DI SINI👉

SPAM BIAN DI SINI👉

SIFAT BIAN YANG SESUNGGUHNYA SUDAH TERLIHAT, GILIRAN SIFAT ALORA YANG SESUNGGUHNYA 😘☺️

MENURUT KALIAN GIMANA SIFAT ALORA YG SEBENARNYA?

AI UPDATE NYA TERGANTUNG VOTE & KOMEN KALIAN 😘

JADI JANGAN MALES KOMEN YA, SEMAKIN RAME KOMEN & VOTE NYA SEMAKIN CEPAT UP NYA!

RAMAIKAN CERITA INI KE TEMAN-TEMAN KALIAN!

Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 76.5K 41
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.6M 313K 34
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
233K 22K 28
[JANGAN LUPA FOLLOW] Bulan seorang gadis yang harus menerima kenyataan pedih tentang nasib hidupnya, namun semuanya berubah ketika sebuah musibah me...
531K 19.9K 33
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...