The Book of Love and Wander

By Atikribo

892 99 104

Pernah suatu kala, rakyat Kerajaan Elatian tak ada yang bisa bicara. Tiga dekade lamanya. Tutur Hira sang Jan... More

Halo
Those Who Lost Their Voice
Tank Who Loves
Lonely Heaven
To Fall, To Fly
In Loving Memory

Luan

125 12 16
By Atikribo

//Note: I'm not really happy with this piece but hopefully you enjoy it. happy reading!//

.

.

DIA LAHIR di balik jeruji dan tak pernah melihat mentari. Ketika ibunya tertangkap dan harus dihukum mati, wanita itu memohon dengan sepenuh arti agar hidupnya tak cepat diakhiri.

Wanita itu berbahaya, begitulah asumsi para manusia yang mendengar namanya. Nyanyian tentang perempuan itu selalu didengar dalam penginapan maupun kedai-kedai minum di berbagai kota. Kekuatannya berasal dari sang surya. Dengan sihir yang keluar dari tongkat serta rapalan mantra, perempuan itu bisa mencabut nyawa tak lebih dari satu nyawa manusia, bahkan hingga makhluk-makhluk legenda.

Tak sedikit orang yang menganggapnya berjasa; menaklukkan tirani sang raja bersama rekan-rekan satu kelompoknya. Bagi beberapa orang wanita itu telah menyelamatkan dunia namun tentu saja tak semua bisa menerima.

Dendam yang bersemayam, menjadikan dia dan kelompoknya sebagai buron satu dunia. Bagi siapa yang berhasil menangkapnya, hidup maupun mati, dijamin akan kaya raya. Katanya ratusan keping emas 'kan siap dibawa pulang.

Perburuan penyihir, tajuk sayembaranya, dan tentu saja kabar itu terdengar hingga telinga si wanita. Jika saja wanita itu sedang tidak hamil besar, dan pensiun dini dari petualangan hebatnya, mungkin saja dia akan lebih waspada.

Meski berdomisili jauh dari pemukiman dan sulit untuk ditemukan, takkan ada orang mau menutup congornya di hadapan satu kantong penuh kepingan uang. Kabar tersebar, para pemburu penyihir itu tiba di kediamannya yang masuk ke pelosokan. Mereka menyiapkan segala taktik agar pasangan itu tak bisa berkutik.

Siang hari tentu bukanlah pilihan karena sang surya kan membantu si penyihir untuk melepaskan energinya. Sementara itu, suaminya pun tak kalah kuat dengan si penyihir. Dia pemimpin pemberontakan yang menghancurkan sang tiran. Caranya mungkin tegas dan kasar, namun di balik ototnya masih terjaga otak cerdas nan waras.

Jika cinta berbuah lengah, mungkin hal inilah yang sekarang mereka tuai. Kesaktian dan kekuatan mereka berkurang; meskipun si wanita tak lupa rapalan mantra, dan suaminya tak lupa cara menebas pedang . Keseharian yang terlalu biasa selama bertahun-tahun meluapkan refleks mereka kala para pemburu menyergap dalam lelap.

Sang suami dipaksa bertekuk lutut dengan dinginnya besi belati yang terasa pada nadi. Matanya terbelalak melihat istrinya dibekap, entah dengan ramuan apa, membuatnya lemas tiada tenaga. Kedua tangannya diikat ke belakang, dikekang dengan borgol berbatu betuah yang niscaya melemahkan energi magis yang ia punya.

Mata si penyihir terasa berat; meski ia berusaha bicara, hanya gumaman tanpa makna yang bisa ia ucap. Sekejap ia lihat kekasihnya berontak, namun warna merah tak lama menyentuh tanah; tepat sebelum tubuhnya tak kuasa menahan diri 'tuk kerap terjaga.

Air mata mengalir saat matanya terbuka, tendangan kuat dari dalam perutnya membuat tenggorokannya tercekik sesaat. Wanita itu melihat suaminya mati, dan sekarang ia bukan lagi di rumah yang ia tinggali. Sekitarnya gelap gulita, hanya sedikit jingganya lampu mencetak bayang-bayang jeruji. Ketika ia bergerak, tangan dan kakinya diikat erat dengan rantai, dan terasa tubuhnya surut energi.

Dadanya sesak, jantungnya berdegup kencang, dan isi perutnya naik hingga kerongkongan. Dibalut amarah, ia menangis ketika mengeluarkannya, membuat si penjaga penjara memanggil rekan kerjanya, melaporkan buron penyihir yang sudah sadarkan diri.

Si penyihir ditarik paksa, dari penjara menghadap oknum yang menginginkan kepalanya. Cahaya menyilaukan memasuki mata ketika ia dibawa ke ruangan putih dan pantulan warna emas. Sosok di hadapannya tak tampak asing, penyihir itu pernah berhadapan dengannya beberapa tahun silam dalam misi menjatuhkan sang raja tiran. Seorang pemuka agama yang korup, berlindung di balik kekuasaan sang raja tiran.

Praktiknya berbuah pengikut dan tak sedikit yang radikal. Mereka menganggap sang raja merupakan utusan Pencipta, mengesampingkan sebanyak apapun dia menghilangkan nyawa. Praktik sihir oleh mereka sangatlah dilarang. Membahayakan dan melanggar kuasa-Nya, katanya. Belum lagi, sihirlah yang merampas nyawa sang raja, bisalah kau bayangkan perasaan pengikutnya yang setia.

"Kau membunuh raja kami," ujar sang pemuka suci, memandang rendah wanita di hadapannya, "Tangan Sang Pencipta!"

"Kau percaya bahwa Tangan Sang Pencipta akan menumpahkan tanah dengan darah?" Si penyihir mendengus, "Beruntung aku bukan bagian dari kepercayaanmu."

Yang Agung menatap penyihir sesaat, kemudian tersenyum. Ujarnya, seorang pendosa akan kembali suci setelah menari di atas bara api. Pasak penuh duri 'kan menanti; pilu, peluh dan sakit akan mengiringi. Sang mentari akan menyambut si pendosa, melahirkannya kembali nanti.

Tentu, si penyihir tak percaya. Yang sudah mati haruslah tetap mati. Menghidupkan lagi sosok yang sudah pergi terlalu berisiko tinggi. Belum lagi, mereka yang mengutarakan, semakin terdengar layaknya bualan.

"Bunuh aku, siksa aku, lecehkan aku. Lakukan apapun yang kau mau, tapi jangan kau sentuh anakku," desis si penyihir, "dan berikan aku waktu untuk membesarkan anakku. Pencipta juga mencinta 'kan? Aku bisa jadi terkutuk, tapi anakku bukanlah pendosa ketika ia lahir nanti."

Meski korup dan berhati busuk, beruntung nurani Yang Agung tak susut. Enam bulan, ujarnya tanpa ditawar, dan Pencipta akan menanti. Pikir si penyihir, ini lebih dari cukup.

Dia lahir di balik jeruji dan tak pernah melihat mentari. Segala jerit dan pekik kala si penyihir melahirkan si jabang bayi, memilukan telinga dan hati. Mereka bisa saja membiarkan dia mati, namun kala berpulang nanti dirinya takkan kembali suci.

Meski lega anak laki-lakinya lahir dengan sehat dan tanpa cacat, rasa lelah dan bersalah mensemayamkan hati. Dalam sisa waktu yang ia miliki, si penyihir habiskan dengan bernyanyi. Tembang pengiring mimpi mengisi jeruji di malam yang sepi. Bahkan sang sipir terkadang ikut bernyanyi. Setiap frasa terpatri pada kepala si bayi, mengingati bahwa hatinya akan terkunci dan magis tak hanya datang dari mentari.

Lantunan nada sederhana yang biasa ia dendangkan bagai lagu-lagu anak dari suatu perkampungan; terlalu riang di balik frasa kuno bermakna kelam nan dalam. Sang sipir tak paham, tentu saja; dan mengira sebagai tembang nina bobo belaka. Namun,siapa sangka, kala penyihir bunting itu pergi, sang sipir setiap petang masih terus bernyanyi.

Setelah si penyihir 'disucikan' di depan publik, Yang Agung ditanyai oleh umatnya tentang nasib Luan yang telah ditinggal mati. Akankah dia mengikuti ibunya yang kembali suci, atau dibiarkan tumbuh di balik jeruji? Yang Agung ingat perkataan si penyihir, dan tak ingin memporak-porandakan kepercayaan umatnya akan Pencipta Yang Mahakasih. Di balik mimbar dan sorakan para umat, Yang Agung memutuskan untuk membesarkan anak yang terkutuk oleh biarawati dengan segala prasyarat untuk meredam magis yang dipercaya terkutuk.

"Dia akan menjadi cerminan mereka yang menistakan Pencipta!"

Mengingat si penyihir menarik energi magisnya dari matahari, Yang Agung tak mau membiarkan Luan keluar dari jeruji. Meski awalnya ngeri, para biarawati lama-lama berempati. Kala masih bayi, mereka sesekali membawanya ke luar saat matahari masih tinggi. Namun, mata dan kulitnya pedih serta sakit kala menghadap matahari, membuat Luan tumbuh lemah dan ringkih.

Luan lebih banyak ditemani bulan. Bersama benderang bintang dan derik jangkrik serta desir angin, Luan kecil tak jarang menangis. Sunyi membuatnya lebih tenang, sunyi membuatnya lebih waras.

Tinggal di balik jeruji, si sipir sudah terbiasa dengan keberadaannya. Meski ia buah hati dari penyihir yang ditakutkan satu negeri, anak itu tidak ada keanehan dalam bersikap maupun berucap. Acap kali si sipir mengajaknya berbicara dan tak jarang bercanda. Entah Luan anggap ia orang tua atau teman, sipir itu memperlakukan Luan layaknya bocah biasa. Anehnya juga, nina bobo ibunya masih tetap didendangkan meski Luan bukan lagi pada usia yang tidurnya butuh bantuan. Dan, nyanyian itu membuatnya lebih tenang dan lebih waras.

Luan mungkin lebih pendiam dibanding anak-anak lain, tapi dia tak berbahaya, ujar para biarawati. Yang Agung? Tetap saja tidak percaya.

Yang Agung akan terus menekan Luan, melimitasi segala hal yang bocah itu butuhkan. Tak peduli seberapa penurut dan pendiam para biarawati katakan, Yang Agung kerap percaya bahwa anak seinsan penyihir akan timbulkan hambatan. Yang Agung ada ketakutan bahwa mereka yang berempati terkena kutukan. Siapa yang mau bercengkrama dengan anak dari penyihir mengerikan yang mencabut nyawa si raja tiran?

Pemuka agama itu berkata, barang siapa yang mendekati anak terkutuk itu akan mendapatkan hukuman dari Sang Pencipta. Percaya tak percaya, orang-orang yang berempati tak merasa perkataannya sebagai ancaman. Luan tetaplah seorang anak yang butuh perhatian dan butuh kasih sayang. Anak itu tetaplah seorang manusia.

"Hei, Nak," panggil si sipir suatu malam, "Kau mau melihat dunia?"

Luan yang kala itu berusia lima tahun, mengerjapkan mata tertarik. Ia mengangguk antusias menunggu si sipir membuka pintu jerujinya. Sejak Luan bisa berjalan dan berbicara, sipir itu membuka pintu, dua kali dalam seminggu. Ia membiarkan Luan berjalan, menelusuri ruang kecil yang telah menjadi dunia utamanya; membiarkannya mencari kenyamanan di bawah tekanan Yang Agung.

Meski Yang Agung memberikan limitasi, Luan tetaplah anak yang cerdas. Mereka yang berempati cukup sering mengajaknya bicara serta membaca dan ketakutan serta kekuatan magis tak lagi bersemayam di pikiran mereka.

Luan sudah hapal betul setiap sudut ruang kecilnya. Ia merasakan kasarnya batu pualam di kaki dan dinginnya dinding ketika hujan menuruni muka bumi. Setiap si sipir membuka jeruji, Luan tahu sulur pohon tumbuh dalam celah bebatuan di sudut terjauh ruang kecil itu serta retakan yang melebar seiring waktu.

Lubang kunci berderik, pintu berderit. Si sipir membawa tiga buah buku tebal bersampul kulit. Semangat Luan tak tampak permanen setelah ia menyadari si sipir membuka jeruji bukan pada hari biasa. Anak itu menatap sipir dengan bingung dan berkata, "Kau biasanya tidak membuka pintu hari ini."

Berjongkok di depan pintu, si sipir terdiam sejenak sebelum ia menyimpulkan senyum. "Aku...tak bisa datang ke sini untuk sementara. Jadi hari ini spesial."

Si sipir menyodorkan bukunya pada Luan, yang ia ambil dengan enggan. Biasanya Luan akan dengan semangat membuka buku, melihat lembaran baru dan mempelajarinya. Namun Luan kini hanya tertunduk dengan mulut yang terkatup.

"Apakah sementara...berarti selamanya?" tanya anak itu. "Suster yang datang juga mengatakan hal yang sama. Lalu siang tiba dan aku mendengar keributan. 'Sucikan, sucikan,' orang-orang berteriak. Suster-suster itu tidak pernah datang lagi."

Si sipir mengalihkan pertanyaannya dengan topik-topik yang ada di buku itu. Sayang, Luan tidak mengindahkannya. Tatapannya kerap terpaku pada buku saat ia memohon lirih, "Kau bisa...tidak pergi 'kan?"

Tak menjawab, bibir si sipir terkatup rapat. Menepuk kepala anak penyihir, si sipir membuka halaman buku yang menggambarkan peta dunia. Pria itu menceritakan hal yang ia ketahui tentang dunia namun ucapannya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri Luan.

"Kau tahu, sebelum ibumu pergi, ia pernah berkata padaku bahwa kau takkan mempunyai api yang padam; dan nyanyiannya akan menuntunmu," jelas si sipir sebelum ia pergi. Mengerjapkan mata, Luan tak bisa mengingat kata-katanya.

Si sipir akan pergi, sama seperti para biarawati.

Kala pria itu keluar dari jeruji, tubuh Luan terasa kopong; dingin nan ngilu terasa di dada sebelah kiri namun tak ada luka yang mengiringi. Malam tenang tak lagi membuat kepalanya waras. Siang kemudian, ia mendengar lagi orang-orang menyerukan 'sucikan' bagai rapalan mantra. Sayup rapalkan bahwa mentari kan sambut pendosa, menyucikannya, dan melahirkannya kembali.

Kepergian si sipir membuat Yang Agung semakin memperketat pengawasan Luan. Dia kira berkomunikasi dengan anak itu bisa menjeremuskan; sehingga ia memberikan segala hal dengan batu bertuah yang menyerap energi magis; melemahkan segala aspek kehidupannya.

Tembang yang tak lagi didendangkan menghasilkan suara-suara tak masuk akal dalam kepala. Tangis turuni pipi. Luan tutupi telinga dan mata sepanjang mentari masih tampak. Namun, gelap malam serta terangnya rembulan tak lagi bisa merangkul raga maupun jiwa. Suara-suara itu temani diri, sesatkan pikiran dari kewarasan.

Dia lahir di balik jeruji dan tak pernah melihat mentari. Meski Luan bertambah usia dan tinggi, sipir dan biarawati yang datang ke jeruji menatapnya dengan dengki. Pikiran dan perasaan kecut tak mengizinkan mereka untuk berempati, tak jarang Luan merasa ingin mati.

Kesendirian ini, tak membuat Luan merasa penuh lagi. Bertahun-tahun silam masih ada mereka yang merasa iba padanya. Luan tak tahu bila itu hanyalah iba, setidaknya ia mendapatkan kasih yang ia perlu. Meski hanya iba, ia tak pernah mendengar suara-suara. Mereka bukan manusia, bukan pula sosok tak kasat mata yang tidurnya tak tenang. Entah mereka apa. Namun sejak 'kawan' sipirnya tak pernah datang mengunjungi, suara-suara itu semakin nyaring.

Bisikan-bisikan yang mengatakan bahwa ia seharusnya tak ada di sini; bahwa menjalani kehidupan adalah kesalahan. Perasaan sendiri yang menggerogoti hati, melolong bahwa dirinya tak perlu dicintai. Setiap malam, tahun demi tahun lamanya, anak itu berusaha menutup telinga. Tapi apa daya, suara itu kerap masuk lewati indranya.

Suara-suara itu berhenti ketika ada orang lain membuka ruang bawah tanah; ketika pintu berdebum atau berderik; sebuah suara sekejap yang meghentikan senyap. Sipir pengganti yang datang tidak seramah sebelumnya. Ia tak pernah berbicara, hanya mendengus galak. Biarawati pengganti atau pelayan yang datang membawa makan pun melempar nampan makanannya dan lari dalam sekejap; enggan disucikan.

Ada kalanya suara-suara itu mengecil ketika Luan menyenandungkan lagu nina bobonya. Sayang, hal itu tidak bertahan lama. Kesendirian ini membuat suara itu menjadi teman satu-satunya, membuat keberadaannya menjadi hal yang biasa. Tak jarang ia balas ucapannya dengan lantang dan petugas pengantar makanan mendapatinya berbicara sendiri. Yang Agung mendengar kabar bahwa si anak penyihir jatuh depresi dan berbicara sendiri. Pikiran dangkalnya anggap Luan bukan ancaman lagi.

"Diam! Diamlah!" Luan berdesis, memegangi kepalanya yang kian nyeri. Tubuh ringkihnya mondar-mandir di balik jeruji kalam malam terlalu larut. Celah di dinding menunjukkan secercah cahaya rembulan. Malam di mana suara-suara itu terasa semakin nyaring.

"Aku tidak tahu!" serunya lagi, "Mereka hanya mengurungku, tidak pernah bilang alasannya. Demi kebaikanku. Hah? Kau 'kan tahu sejak dulu!

"Kau pikir aku tidak ingin? Aku tidak punya kekuatan untuk itu. Kau tidak lihat? Perutku selalu bunyi setiap malam, dulu sipir dan biarawati itu yang membuatku kenyang. Kenapa mereka terus membiarkanku hidup? Kau pikir aku punya jawabannya?"

"Diam!" sentak Luan sekali lagi sembari meringkuk di sudut ruangan, menyentuh sulur-sulur yang kian merambat. Meski suaranya kian lantang, ia masih bisa mendengar suara di balik ruangan. "Dia datang."

Ia hapal betul langkah kakinya: pelan dengan hentakan mantap, diiringi degan desir jubah yang menyentuh tanah serta lantai. Meski dia hanya berkunjung sebulan sekali, ini sudah kali ke lima puluh enam sejak ia bisa menghitung; dan kali ke dua puluh dua Luan pinta untul dilepaskan. Pria tua itu hanya mengecek keberadaannya, memastikan bahwa Luan tak berdaya dan tak bisa apa-apa.

Pintu berdebum, Yang Agung berdiri di depan jeruji dengan dua orang penjaga di belakangnya. Meski Luan sejauh ini tak pernah telihat percikan energi magisnya, Yang Agung selalu mengambil perlindungan lebih. Luan kini menginjak usia dua belas, hatinya keruh dengan kebencian dan rasa sepi.

Di kali ke lima puluh enam ini, Luan memberanikan diri bertanya duluan; setelah mendengar banyak suara di kepalanya, meraung-raung menyalahkan dan minta dilepaskan. "Kenapa?" tanya anak itu, "Kenapa kau tetap membiarkanku hidup?"

"Pencipta penuh kasih dan ini cara-Nya menyalurkan kasih itu padamu," jawab Yang Agung dari balik jeruji, "Kau anak seorang pendosa. Kau pikir, aku akan membiarkanmu berkeliaran seperti yang kau hendaki?"

"Suara-suara itu bilang kau pembohong. Berisik! Biarkan aku bicara!" Luan terengah, "Mereka bilang, Pencipta takkan melahirkan kembali para pendosa. Mereka bilang kau bohong. Yang disucikan takkan kembali. Ke mana ibuku, para biarawati dan sipir yang kau bawa pergi? Mereka tak kembali.

"Jika kau bilang ini cara Pencipta memberikan kasihnya, bukankah seharusnya aku merasa bahagia? Tapi, dadaku sakit dan kosong. Biarkan aku pergi. Kau takkan melihatku lagi," pintanya yang ke dua puluh tiga.

Yang Agung menggeleng, berkata bahwa ia tidak bisa mengabulkan permintaannya. Alih-alih kasihan, kilat matanya menunjukkan keangkuhan. Namun tampak juga sedikit ketakutan. Luan mengambil langkah lebar menuju jeruji, menggeram nyaring dan frustasi. Badan kecil dan ringkihnya memang tak dianggap ngeri, namun lolongan yang memecah malam membuat bulu kuduk berdiri. Dengan sigap penjaga di belakangnya menghentakkan kaki, menghunuskan pedang yang tersampir di pinggang. Luan berdesis marah, merasa lelah dengan suara tawa dalam kepala.

"Perilaku seperti tadi yang menyebabkan kau takkan berkeliaran. Kau seharusnya bersyukur masih hidup di dunia keji ini," ucap Yang Agung sebelum keluar dari ruang bawah tanah.

Orang-orang yang datang tak lagi memperlakukannya seperti manusia, bagai binatang dalam kandang. Ia mendengar seluruh sumpah serapah baik dari kepala maupun mereka di balik jeruji. Ia tak peduli lagi.

Apakah kasih yang diberikan Pencipta benar adanya? Dengan bentuk berupa derita? Kala biarawati masih datang mengunjungi, anak itu tak jarang diberikan petuah-petuah rohani. Waktu itu ia menalan segalanya bulat-bulat. Tapi, sekarang hanya pertanyaan yang bersarang.

Di balik selimut tipis, Luan menatap dinding jeruji itu. Penjaga di depannya tak berbicara namun ia tahu kalau Luan masih terjaga. Malam itu sepi, baik pikiran maupun lingkungan sekitar; tak seperti biasanya. Matanya yang terbiasa dalam gelap menangkap sesuatu yang tak pernah ia lihat. Entah apa yang membuat penglihatannya luput. Celah itu tak pernah ada sebelumnya. Apakah karena tanaman yang tumbuh membelah dan bumi yang bergetar beberawa waktu silam?

Luan merangkak ke sudut ruang, tak perduli dengan penjaga yang menatapnya waspada. Celah itu muat untuk dua buku jarinya. Memasukkan jari telunjuknya, Luan menemukan sebuah gulungan kertas dengan diameter tak lebih dari setengah senti. Begitu banyak pertanyaan di kepala; menanyakan siapa yang menyelipkan benda itu di sana.

Luan tidak tahu siapa yang menyimpan gulungan kertas itu. Hanya biarawati, sipir, dan ibunya yang sudah mati yang pernah masuk ke dalam jeruji. Kawan sipirnya hanya mengatakan bahwa Luan memiliki api yang takkan pernah padam. Lalu apa? Tulisan di atas kertas itu tidak memiliki arti.

Setidaknya itu yang ia kira.

Dengan cahaya yang tidak seberapa, anak itu membuka gulungan kertasnya. Terasa dingin dan rapuh di tangan, Luan membaca tulisan yang mulai pudar. Di saat yang sama pula, suara-suara di kepalanya memekik senang, bak seorang anak yang baru pertama kali memakan cokelat; mengatakan bahwa akhirnya Luan menemukannya. Kunci hati dan pikiran, peninggalan sang ibunda.

Luan tidak bisa menyuruh suara-suara itu untuk diam. Mereka semakin bernada dan serempak, menyenandungkan tembang tidur yang terasa seperti mantra. Meksi lirik dan syairnya berubah, tembangnya membawa kewarasan. Suara-suara dalam kepalanya menjadi satu simfoni, bernyanyi; membuka kunci hati dan pikirannya.

Dalam kepala anak itu berkelebat begitu banyak informasi, tentang ibu dan segala cerita sebelum dia mati. Memori-memori sekejap menyusun cerita, membangun energi penuh murka. Apa dia harus menanggung dosa yang bukan miliknya?

Dalam syair dikatakan bahwa bulan akan membuka jalan; membangkitkan darah sihir yang lama tertidur. Namun, api amarah mengeruhkan segalanya, memagut akal dan mengacaukan rencana sang ibu yang mestinya.

Anak itu mendelik pada sipir, energi yang mengalir dalam darah dan nadinya terasa begitu besar, dahsyat, dan mematikan. Suara-suara dalam kepalanya kian nyaring, menutup cara yang baik untuk menyalurkan energi. Seolah mengambil tubuhnya, Luan bergerak tanpa berpikir panjang, termakan amarah, terbutakan murka.

Ia merasakan aliran darah serta nadi sipir di hadapannya; dengan mudah menghentikan jantungnya. Gemerincing kunci yang terjatuh, ia ambil dan membuka jerujinya. Ini kali pertama Luan keluar penjara dengan tangannya sendiri. Matanya menangkap bulan yang semerah darah, begitu besar seolah menutupi separuh langit. Ia menyeringai lebar, dan suara di kepalanya memekik senang.

Tubuh rapuhnya membuka kembali kunci ruang bawah tanah yang mengarah ke lorong besar gereja. Segalanya terasa asing di mata namun memori sang ibu dalam kepalanya bisa menuntunnya. Mata penuh kekhawatiran dan ketakutan memandang Luan yang keluar namun sayang mata bernyawa itu hanya bertahan sementara.

Setiap langkah Luan disusul dengan mayat bergelimpangan. Cahaya yang masuk dalam netra menyakitkan pupil beserta irisnya. Tapi, camuk amarah melumpuhkan rasa nyeri setelah fakta dari imaji-imaji memori yang membawa nasibnya ke balik jeruji.

Apakah keberadaan Luan memang harus ditutupi karena ia buah hati dari penyihir mematikan? Hanya karena ia memiliki darah yang sama, menanggung nasib yang sama pula? Ini cara Pencipta memberikan kasih-Nya? Yang benar saja, Luan tidak percaya.

Langkahnya terhenti di depan ruang Yang Agung. Kala membanting pintunya terbuka, pria itu memandangnya ngeri, memohon dengan sangat agar Luan berhenti. Tubuh ringkih Luan tidak menghalangi anak itu untuk melampiaskan amarahnya. Ia bahkan menyeringai selebar telinga.

Mungkin memang ini cara Pencipta memberikannya kasih; memberikan kekuatan untuk berdiri sendiri. Luan tidak bisa lagi membedakan suaranya dengan suara-suara dalam kepalanya. Mereka semua begitu riang dan mengatakan kata-kata yang masuk akal.

"Kau akan kembali suci,"bibir Luan bergerak, entah siapa yang menghendaki, "dan kita lihat bagaimana kau terlahir kembali."

Dia lahir di balik jeruji dan tak pernah melihat mentari. Di malam dengan rembulan yang tinggi, anak dari seorang penyihir membuat satu kota menjadi mati.

//actually writing this story is a bit hard.. and I don't think it's all make sense. Banyak hal yang tidak dijelaskan dan tiba-tiba terus kayak ini bisa dipahami gak sih? (insecure..mentalnya kena.. huhu capek.. pusing) Tadinya cerpen ini mau diselipin untuk meramaikan ultah nya WIA, tapi kayak ga sesuai tema dan kureng aja gitu, mana panjang lagi wkwk. Anyway, apa yg kamu suka dari cerita ini? Feel free to share your mind! I might try to write something light next time. See you when I see you!//



Continue Reading

You'll Also Like

804 109 7
Terjemahan Novel (CN) Judul lain : 缘 妙 可言 / Fate Author : Ming Yue Ting Feng Total Bab : Selesai (7 bab) Genre : Romansa, Shoujo. ⚛ sinopsis ⚛ Cint...
Second Chance By aokirei12

Historical Fiction

186K 7.6K 17
Setting: Britania Raya 1801 Catriona Carrington sengaja tidak mau memikirkan Tristan Deverell selama sepuluh tahun terakhir. Hatinya masih terluka ka...
1.1M 27.9K 66
WARNING⚠⚠ AREA FUTA DAN SHANI DOM YANG NGGAK SUKA SKIP 21+ HANYA FIKSI JANGAN DI BAWA KE REAL LIFE MOHON KERJASAMANYA. INI ONESHOOT ATAU TWOSHOOT YA...
1.2K 91 86
(NOVEL TERJEMAHAN) (Not Mine, Sepenuhnya Milik Penulis) Title: Within The Sound of Swallows/ Yan Zi Sheng Sheng Li (燕子声声里) Author : Bai Lu Cheng Shua...