Met pagi!
Enjoy.
****
Diana duduk dengan tangan dan kaki terikat di lantai sambil memperhatikan pria bertubuh tegap dengan rambut cepak yang mondar-madir di ruang kerja ayahnya mencari sesuatu. Meski ketakutan setengah mati, otaknya bekerja keras memikirkan jalan keluar dari situasi ini. Luka di lehernya masih meneteskan darah yang kini mengotori bagian atas piamanya. Namun, dia tidak sempat merasakan sakit dari luka itu, kecemasannya meningkat seiring dengan emosi sang penyandera yang juga bertambah.
"Lonte! Ngomong yang jujur, di mana kunci brankas bokap lo?" Pria bertopeng itu kehilangan kesabaran dan kembali bertanya kepadanya dengan kasar.
Diana mendongak dan menatapnya tepat ke mata. "Gue udah bilang, kagak tahu, Anjing!" tantangnya. "Lo ngarep lonte mana yang ngomong jujur?"
Pria itu mengerutkan keningnya. "Berani amat lo," komentarnya. "Mulut lo perlu disobek?"
Diana bergeming. "Lo ngatain gue duluan, gue enggak boleh bales?" sahutnya, berani.
Pria itu terkekeh. "Enggak salah lo anaknya Aryo Seto, lo punya nyali," katanya. Dia mendekat dan berdiri menatap Diana yang terpaksa mendongak. "Tapi ... apa lo masih bisa sombong kalo gue bikin lo jadi lebih kotor dari sampah?"
Diana mengerjap, mencoba mencerna kalimat ancaman itu. Dia terpekik kaget saat pria itu mendadak menjambak rambutnya dan menyeretnya menuju ke kamar sang ibu lagi. Rasanya sakit bukan main, dan dia merasakan banyak rambut terenggut dari kulit kepalanya dengan cara yang paling menyakitkan. Namun, dia tak punya waktu memikirkan rasa sakit itu saat si pria keji melemparkan tubuhnya dengan mudah ke ranjang orangtuanya. Diana bisa melihat tatapan horor ibunya dan Titi yang hanya bisa mengeluarkan suara lenguhan panik karena mulut mereka disumbat.
"Bu Marini, tolong bicara jujur." Pria itu berkata kepada ibunda Diana dengan nada sopan yang dibuat-buat. "Di mana kunci brankas Pak Aryo?"
Marini menggeleng-geleng susah payah. Berusaha mengatakan kalau dia tidak tahu. Air mata mengalir deras di pipinya.
Sang penjahat berdecak. Dia menyerahkan pisaunya kepada penjahat yang lain. "Bu Marini, Ibu tidak memberi saya pilihan," katanya. Dia menaiki ranjang, mendekati Diana yang setengah mati berusaha menjauh sambil menendang. Kalau saja tidak ada topeng yang menutupi, Diana pasti bisa melihat seringai mesumnya.
"Ibu punya waktu sampai kami bertiga selesai dengan putri Ibu. Kalau sampai saat itu Ibu tidak bicara, putri Ibu bukan hanya akan jadi karburator bocor, tapi mayatnya mungkin tidak utuh lagi. Coba dipikirkan." Sambil berkata begitu, dia merenggut celana piama Diana yang memberontak setengah mati.
Marini dan Titi menjerit susah payah, tapi pria keji itu terus menelanjangi gadis yang tidak menyerah melawannya. Tepat di saat kritis, lampu mendadak mati, lalu terdengar suara gaduh, dan Diana bisa merasakan tubuhnya ditutupi dengan selimut. Dia menutup matanya, berharap pertolongan ini bukan khayalan.
Waktu berlalu, Diana masih terpejam dengan jiwa mati rasa, mengantisipasi hal terburuk. Saat lampu menyala, kamar sudah terlihat hancur lebur, tetapi ketiga pria tadi sudah tak ada. Gantinya, seorang pria dengan seragam polisi tampak sedang berjongkok, membuka ikatan serta sumpalan mulut Nyonya Marini dan Titi.
"Tolong periksa kondisi Mbak Diana, saya menunggu di luar," katanya sopan, lalu keluar.
Gemetaran, Marini dan Titi mendekati Diana.
"Didi ... ya Tuhan," ucap Marini sambil membuka ikatan di kaki dan tangan Diana, sementara Titi memeriksa kondisi tubuhnya.
"Mbak Didi ... Mbak Didi enggak pa-pa, Bu. Cuma luka di leher dan kepala. Tapi belum ... belum ...." Kalimat Titi terputus, dia tak tega meneruskan.
Diana membuka mata dan menatap ibunya yang menangis. "Bu, baju aku," keluhnya.
Marini mengangguk dan dengan hati-hati memakaikan pakaian padanya. Setelah itu dia merangkul putrinya sambil menangis, sampai kemudian Diana menjauhkannya sedikit.
"Bu ... kayaknya aku butuh hair extension. Rambutku ...," dia memegang rambutnya dan melihat darah dari luka di kulit kepalanya, menempel di tangannya. "Sialan, berdarah," gerutunya sebelum kemudian roboh dan pingsan.
******
"Mas Tyo tidak terluka?"
Suara Marini menggaung di telinganya, membuat Diana membuka mata dengan perlahan. Silau, sepertinya dia berada di rumah sakit karena bau obat yang keras langsung tercium begitu dia siuman. Ibunya sedang bertanya pada siapa?
"Saya tidak apa-apa, Bu. Bagaimana dengan Mbak Diana?" Sebuah suara yang enak didengar menyahuti pertanyaan ibunda Diana. Dia langsung mengerutkan kening. Suara siapa itu?
Terdengar helaan napas. "Diana terpukul, leher dan kepalanya luka. Orang-orang itu benar-benar menyiksa bukan hanya fisik, tapi juga mentalnya. Untung Mas Tyo datang tepat waktu, kalau tidak .... Entah apa yang mungkin terjadi pada putriku."
"Saya minta maaf tidak tiba lebih cepat. Seharusnya kalian tidak mengalami itu."
"Bukan salah Mas Tyo. Mas juga sedang berduka."
Diana mengerutkan kening. Dia menoleh dan tatapannya bertemu dengan sepasang mata tajam milik seorang petugas polisi yang masih muda, tampan, dan memiliki garis wajah sempurna layaknya model majalah pria. Sial! Kenapa dia masih bisa berpikir begitu di saat seperti ini? Tepat saat itu, sang petugas terlonjak di kursinya, menyadari kalau dia siuman.
"Mbak Diana sadar, Bu!" katanya, terlihat lega.
Marini menoleh dan langsung mendekati Diana. "Didi, kamu sudah sadar, Nak?"
Diana menatap ibunya yang seperti menua sepuluh tahun dalam semalam. Perlahan dia mengangkat tangannya dan mengusap pipi sang ibu. "Aku baik-baik aja, Bu," sahutnya. Dia mengalihkan pandangan pada petugas yang ikut berdiri dan mendekati ranjangnya. "Ini ...?"
"Ini Mas Tyo. Dia adik dari Mbak Tami, istri Pak Beni."
Diana mengerutkan keningnya. "Mbak Tami dan Pak Beni itu siapa?"
Ibunya terdiam sejenak. "Uhm ...."
"Mbak Tami dan Mas Beni adalah nara sumber dari berita yang sedang diliput Pak Aryo." Petugas bernama Tyo yang menjawab. "Mereka ...." Kalimatnya terhenti karena dia kesulitan.
"Mereka ikut tewas dalam kecelakaan yang menimpa Bapak, Di," sambung Marini.
Diana mengerjap lambat. "Oh ... saya ikut berduka, Mas," katanya, spontan.
Tyo mengangguk. "Saya juga, Mbak," balasnya.
Diana memejamkan matanya karena pening. Sekonyong-konyong kejadian di tempat persemayaman jenazah tadi siang melintas di benaknya. Bisik-bisik yang sempat dia dengar dari dua karyawan televisi tempat Aryo bekerja mengenai kematian beliau.
"Suami istri itu menyuap Pak Aryo. Malah, katanya mereka korupsi sama-sama."
"Oya?"
"Dan, mereka baru dari diskotik katanya. Di darahnya ada alkohol yang kadarnya tinggi banget."
Diana mengerutkan keningnya. Otaknya bekerja keras menyusun fakta yang baru saja didapatnya. Kalau suami istri yang dimaksud para penggosip itu adalah orang-orang yang tewas bersama ayahnya, dan ada alkohol berkadar tinggi dalam darah mereka, berarti, mereka adalah penyebab kematian ayahnya, kan?
Mendadak dia membuka mata dan menatap sosok Tyo yang masih berdiri di sebelah ibunya. Kebencian yang tidak masuk akal mendadak menguasai hatinya. Dia menatap Tyo dengan sorot mata menusuk, sebelum kemudian bicara dengan nada dingin.
"Terima kasih sudah menolong, tapi, bisa Anda pergi sekarang? Sebelum saya muntah karena muak melihat Anda?"
Tyo melongo, begitu juga Marini.
"Didi, kenapa kamu ngomong kasar begitu?" tegur Marini.
Diana mendengkus. "Kalau memang kakak dan kakak ipar orang ini tewas bareng Bapak, merekalah yang jadi penyebab kematian Bapak, Bu. Suruh dia pergi, aku enggak tahan ada di ruangan yang sama dengan anggota keluarga pembunuh bapakku!"
Bersambung.
Buat yang gak sabaran dan pengen baca lebih cepet, silakan ke Karyakarsa ya.
Makasih banyak buat kalian semua, jangan lupa, jaga kesehatan, kebersihan, dan selalu pedulikan sekeliling kalian ya.
Winny
Tajurhalang Bogor 17 Juni 2022, publish ulang 23 Oktober 2022