Shadow Tamer

By TsubasaKEI

44.9K 3.2K 621

Di mana ada cahaya pasti ada kegelapan. Bagaimana kalau kegelapan itu lepas kendali? Terlalu banyak hingga me... More

Shadow Tamer
Rest My Little Shadow..
Shadow Encounter
Seeking the Truth (1)
Seeking the Truth (2)
Two Hearts Voices
By The Fire We Sing
His Shadow, My Shadow
[FINAL] A Heart's Completion

Cookies and Promises

4.4K 300 52
By TsubasaKEI

~Shadow Tamer~

By: TsubasaKEI

Don't try to make it yours!

Enjoy~

-------------------------------------------------

Chapter 3: Cookies and Promises

"Faang,"

Suara lembut bergema tanpa ujung di telinganya. Samar, tapi begitu familiar. Suara itu kembali memanggil namanya. Kali ini dengan lebih tegas.

"Fang."

'Ini hanya mimpi,' entah dari mana Fang mengetahui hal itu. Tapi otaknya seperti menjerit demikian. Dunia yang ia lihat kini hanya sebatas hitam. Tidak ada suara kecuali yang memanggil namanya tadi.

"FANG!"

Jantung Fang berhenti sesaat ketika suara horor itu menusuk telinganya. Tiba-tiba dunia berputar, menjebak Fang di tengah-tengah pusaran hitam. Ruangan hampa itu mendadak berisi angin. Mereka berputar liar, menabrakan dirinya ke tubuh Fang yang meringkuk menjadi bola kecil.

Fang berusaha membendung telinganya. Suara tadi terus memanggil namanya. Semakin lama kian mengeras, semakin ramai.

"Faang,"

"Fang!"

"Fang,"

'—hentikan!' Fang menutup matanya rapat. Tubuhnya bergetar, bukan karena dingin. Ia menggigit bibir bawahnya dan menggeleng keras. Tidak, ini tidak mungkin. Bagaimana mungkin suara itu kembali muncul di mimpinya? Suara lembut yang sejarusnya riang. Kadang terdengar tegas walaupun sebenarnya tersembunyi rasa sayang. Seperti—

"Fang.."

— suara ibunya.

KRAK

Di tengah bisingnya suara angin Fang dapat mendengar sesuatu retak tak jauh di depannya. Retakan kecil muncul dari dinding hitam itu. Semakin lama mereka menjalar semakin luas. Cahaya menyisip melewati sela-selanya. Sinar putihnya semakin terang, berusaha keluar dari penjara yang membelenggu.

Dan dunia berubah terang. Dinding itu roboh menjadi pecahan hitam yang jatuh dan menghilang sebelum bisa menyentuh tanah. Fang terpana melihat kejadian di hadapannya. Angin kebut tadi sudah pergi entah ke mana, namun Fang tidak menghiraukannya. Ia lebih memilih untuk memperhatikan kilasan abu yang kini bergerak cepat melewatinya.

Ini seperti menonton tv rusak. Yang ia lihat hanya garis putih dan abu yang terus bergerak dan berkedip. Tapi Fang tetap fokus melihat garis-garis itu, karena mereka perlahan membentuk suatu gambar, sebuah bentuk.

Awalnya membentuk benda simetris seperti segitiga, kotak, dan persegi. Setelah itu mereka melekuk, membentuk ditail yang membuat Fang dapat menebak benda tersebut. Sebuah lemari tinggi yang menjulang hingga atap. Meja dengan vas bunga di atasnya. Empat kursi mengelilingi meja tersebut. Lukisan berbagai ukuran tertempel di dinding. Sayang sekarang karya seni itu hanya sebatas garis.

Semua benda ini....terlihat familiar.

"Fang"

Dan ada suara itu. Seperti meminta Fang untuk menatapnya, dan itulah yang ia lakukan. Fang memutar badannya. Ia melangkah ragu. Dari beberapa objek buram hanya satu yang membentuk bayangan manusia. Gambar ibu-nya yang tersenyum manis terlihat semakin jelas setiap kali Fang mengambil langkah mendekat.

Garis kelabu itu digantikan dengan rambut panjang yang di ikat kendur. Jaket ungu favoritnya terbentuk jelas walaupun yang Fang lihat hanya jaket berwarna abu-putih. Lagi pula, jaket mana lagi yang tangan kirinya lebih panjang dari yang satunya? Salah satu ke-unikan ibunya yang tidak pernah ia lupakan.

Tangan kanan ibunya diregangkan untuk Fang raih. "I-ibu-"

"Ibu!"

Belum sempat ia gapai tangan lentik itu sesuatu berlari menembusnya, membuat Fang berhenti dan menatap sosok kecil yang dipeluk erat oleh ibu-nya. Sang ibu tertawa geli ketika bocah itu membenamkan wajahnya ke perutnya. "Fang! Haha, jangan nakal, kamu tahu kalau ibu gelian, Ahaha!"

Fang?

Bocah bernama Fang itu mengadahkan kepalanya dan menyengir nakal. Bukannya berhenti, ia malah menggeleng-gelengkan kepalanya ke perut ibunya dengan lebih cepat, membuat wanita itu tertawa lebih keras.

"Hush! Sudah sudah, kau mau buat ibu mati tertawa, hah?" Mendengar itu Fang mendadak berhenti dan mendorong dirinya dari sang ibu.

"T-tidak! Fang ga mau ibu mati! F-fang ga akan gelitikin ibu lagi, janji! Ibu jangan tinggalin Fang! Fang ga mau sendiri! Fan-"

Tep.

Bibir kecil itu di bungkam oleh telunjuk sang ibu yang kini tersenyum kepada anaknya. "Hei, ibu cuman becanda. Ibu kan kuat, mana bisa ibu mati gara-gara tertawa, ahaha!"

Fang terlihat lega dan kembali membenamkan dirinya dalam dekapan sang ibu. Kali ini tanpa niat jahil. "Iih! Ibu bikin takut aja. Jangan gitu lagi ke Fang!" sang ibu mengangguk dan mereka kembali tertawa.

"Janji ya? Fang jangan nakal lagi. Sama jangan gampang nangis, masa laki-laki nangis?" Fang menganggukan kepalanya berkali-kali dengan mantap.

"Un! Fang ga akan nangis lagi! Kan Fang mau jadi orang populer, kalo nangis terus 'kan ga keren. Kalo ngejailin ibu dikit gapapa ya? Hehe."

Sementara itu Fang hanya bisa menatap nostalgia adegan di depannya. Tidak salah lagi, semua ini berasal dari kenangannya.

Fang ingat betul kehangatan ketika ia memeluk sang ibu. Bagaimana cara ia mengelus rambutnya. Bagaimana mereka suka beradu mulut tentang hal spele, yang kemudian diakhiri dengan dirinya menangis karena kalah pendapat. Fang sendiri masih menertawakan kejadian itu.

Lalu ketika ke-antikkan ibunya kumat, ia akan berusaha menahan hasrat sang ibu untuk tidak membeli baju-baju unik ketika berbelanja. Dari dulu ibunya memang menyukai hal-hal yang di anggap aneh. Entah itu baju yang salah ukuran, kerangka hewan misterius, barang antik, dan lain-lain. Daftarnya terlalu panjang untuk disebutkan. Tapi itulah yang menunjukan karakteristik sang ibu.

Lamunan Fang terbuyar ketika pemandangan di depannya berganti. Ia masih berada di rumah yang sama, hanya saja Fang kecil dan ibunya tidak lagi berpelukan.

Fang merasa ada yang ganjal di situasi ini. Senyum indah ibunya sudah terhapus, dan sekarang diri kecilnya sedang menatap ibu dengan ragu.

Sang ibu memberikan pandangan hampa pada putranya. Fang sempat merasa takut ketika melihat perubahan karakter yang drastis itu. Memangnya adegan seperti ini pernah terjadi di hidupnya? Seingat Fang ibunya selalu tersenyum. Seorang malaikat di hidupnya. Sebuah cahaya ramah yang selalu bersinar terang. Bukan seperti ini.

"Fang.."

Itu suara ibunya. Tapi yang ini terdengar begitu jauh, begitu kosong.

"INI SEMUA SALAH KAU SIALAN!"

Plak!

Fang terbelak. Diri kecilnya juga terlihat sama kagetnya, mungkin lebih. Ibunya berlinang air mata, tapi bukan karena sedih atau kecewa. Ibunya tidak akan melakukan tindakan sedrastis itu hanya karena masalah spele.

Ibu menamparnya.

Kesal. Marah. Benci. Ekspresi yang Fang tidak pernah lihat sebelumnya. Sosok lembut itu menghilang. Jejaknya pun Terhapus bersih. Yang membuat Fang tetap percaya bahwa sosok didepannya adalah sang ibu hanya sebatas wajah dan suara. Walaupun ucapannya tadi terdengar sangat beracun.

Ibu menamparnya.

Tindakan yang tidak pernah terbayang ibunya akan lakukan. Apa lagi terhadap dirinya. Baru saja Fang menyaksikan dirinya ditampar keras oleh sang ibu. Pipi mulus itu kini berwarna merah, dan Fang dapat merasakan sakitnya walaupun bukan dirinya yang disakiti.

"KALAU KAMU TIDAK PERNAH LAHIR, DIA TIDAK AKAN PERGI!"

Fang menatap ibunya takut. Tangannya yang dingin berusaha meredam rasa sakit yang menusuk pipinya. Matanya sudah berkaca-kaca. Ia mengeluarkan Isakan kecil, namun tidak berani menangis keras.

Seliar apapun ibunya sekarang, ia masih memegang janji untuk tidak nakal, maupun jadi anak cengeng. Tapi apa yang ia lakukan sampai membuat ibunya berprilaku demikian?

"M-maaf..hiks...ibu.. Maaf..hiks." Layaknya anak seumuranya yang melakukan kesalahan, ia meminta maaf. Fang Malahan lebih berpengetahuan dibandingkan anak seumirannua yang lain.

Setiap masalah yang muncul pasti ia tahu jawabannya. Entah pengetahuan itu ia dapat dari buku, ibunya, atau mendengarkan percakapan orang lain. Tapi sepintar-pintar dirinya, ia masih tidak mengetahui alasan hal ini terjadi.

Ibu menatap dingin putra sulungnya, sementara Fang diam menantikan senyum hangat sang ibu, pelukannya, atau apapun untuk membuktikan ibu yang ia kenal masih ada.

PRANG!

Fang menahan jeritan yang mengancam keluar. Tangan kecilnya memeluk erat tubuh yang bergetar itu, mencoba mencari rasa aman ketika sang ibu membanting piring dari meja makan. Tidak mempedulikan pecahan yang mungkin dapat melukainya ataupun Fang

"MATI SAJA KAU, SIALAN! DASAR ANAK TERKUTUK!"

Setelah itu dunia terasa berputar. Fang bersyukur suara menyakitkan tadi mulai terdengar jauh, walaupun sekarang kepalnya serasa ingin pecah. Bocah berkacamata itu mendengar teriakan dirinya untuk yang terakhir kali disertai umpatan ibunya yang tidak jelas sebelum pandanganya menjadi buram. Tampilan masa lalunya menjauh. Meninggalkan dirinya di dunia serba putih.

Fang menarik nafas dalam. Tubuhnya menjadi ringan. Seolah diangkat menuju langit yang tak terbatas. Ia membiarkan matanya tertutup dan menikmati ketenangan di antara angin.

Ia membutuhkan ini. Saat-saat tenang setelah ia baru saja dihadiahi mimpi buruk. Fang dapat merasakan dirinya dibawa kembali ke dunia. Samar-samar ia dapat melihat lampu dan dinding kamarnya.

Dari sekian banyak hal indah, kenapa tuhan mengungkit kenangan buruknya? Kenangan yang ia pendam jauh, dengan harapan ia tidak akan mengingatnya. Kejadian yang terjadi beberapa tahun lalu. Tepatnya empat tahun lalu ketika dirinya masih berusia 9 tahun.

Pada hari itu, Fang merasakan hatinya hancur untuk yang pertamakalinya.

Tapi sedikit yang ia tahu, itu baru awal dari segalanya.

.
.

~Shadow tamer~

P.S: gila prolognya panjang banget :p
.
.

Fang membuka matanya. Ia terdiam beberapa detik untuk memastikan dirinya telah kembali ke kenyataan.

Sinar mentari yang masuk melewati jendela kotaknya membuat Fang mengernyitkan matanya lalu menggeram kesal. Fang mengusap matanya yang masih berat dan menyadari adanya jejak air mata di sana. Ia kembali mengusap dengan lebih keras.

Agh,Sial. Ada apa dengan tadi malam? Tubuhnya masih menjerit kesakitan akibat pertempurannya dengan bayangan kemarin, dan sekarang ia diberi serangan mental oleh siapapun yang bertugas membawa mimpi.

Oh bagus, tangan kirinya kembali terasa tertusuk. Ia ceroboh malah menggerakan tangan berperbannya itu. Puji syukur hari kamis ini libur nasional. Fang tidak yakin ia bisa menulis catatan sekolah dengan baik.

Dengan enggan Fang mengeluarkan kakinya dari kehangatan selimut dan berjalan sedikit pincang ke kamar mandi.

Fang berusaha menghiraukan pantulan dirinya di cermin. Penampilannya sudah tidak karuan, mulai dari rambut tidur mencuat ke segala arah secara ekstrim, matanya berkantung, perban di sana-sini. Bisa dibilang sekarang Fang adalah kehancuran berjalan.

Namun prilakunya tetap acuh terhadap kondisinya. Ia tetap beraktifitas seperti biasa. Menggosok gigi, menyuci muka -dengan catatan menghindari luka. Kegiatan normal yang biasa dilakukan di kamar mandi.

Seusai melakukan kegiatan normal pandangan Fang beralih ke kotak plastik transparan di kanannya. Fang membukanya dan mengambil gulungan perban dan antiseptik. Perlahan Fang membuka perban lama yang melilit tangan kirinya.

'Masih merah..' batin Fang. Tapi tidak sesakit kemarin. Ketika ia pulang dari misi, membuka pintu rumahnya merupakan hal kedua tersulit yang perlu dilakukan. Tidak sedikit umpatan yang keluar ketika Fang berusaha memasukan kuncinya. Tapi itu belum seberapa dibandingkan rasa sakit ketika ia berjalan. Baik punggung maupun kakinya tidak berhenti membuatnya mengeluh sepanjang jalan. Dan bodohnya ia lupa kalau ia bisa menggunakan elang bayang untuk transportasi.

Perban yang masih bersih ia lapisi dengan antiseptik, sementara yang lama ia buang ke tong sampah di bawah wastafel. Fang menarik nafas. Dengan cepat perban baru itu ia lilit menutupi lukanya. Fang mendesis pelan, namun tetap melanjutkan kegiatannya itu.

Sakit memang. Ada satu luka yang paling panjang melintasi telapak tangannya, dan antiseptik tidak berteman baik dengan luka. Fang juga baru sadar kalau ternyata luka yang di dapat itu lebih berat dari yang ia bayangkan. Tapi syukurlah tidak perlu sampai ke rumah sakit. Dikunjungi Boboiboy ataupun kawannya itu tidak terlihat menggiurkan.

Perlu tiga lilitan dan satu ikatan kencang lagi sebelum akhirnya Fang dapat menghela nafas lega. Mungkin hasilnya tidak terlalu rapih, tapi paling tidak cukup memadai.

Fang keluar dari kamar mandi dan berjalan ke arah lemari bajunya. Diantara baju yang tertumpuk rapih Fang hanya mengambil jaket dan baju tanpa lengan ungu handalannya. Di hari libur ini biasanya ia akan pergi ke lapangan basket untuk mengisi waktu luang. Atau bersantai seharian dirumah sambil main laptop ditemani secangkir teh hijau.

Namun ia tidak akan melakukan keduanya. Mungkin 'tidak bisa' merupakan kata yang lebih tepat. Tentu dengan alasan yang kuat. Pertama, tangannya berada dalam kondisi mengenaskan. Hal itu sudah terbukti dengan perban di tangan kirinya.

Dan yang kedua-

KLEK

Gorden dan jendela sudah ditutup rapat. Fang mengunci rumahnya ketika ia sudah yakin tidak ada lagi celah masuk untuk pencuri atau tamu tak diundang lainnya.

-Yang kedua ia perlu mengintrogasi seorang robot kuning tentang misinya kemarin. Bola kuasa yang membuatnya bekerja setiap malam.

.
~Shadow Tamer~
.

"Oh, Fang. Tumben datang ke sini pagi-pagi."

Tok Abah tersenyum menyapanya. Tangan tua itu sedang mengelap meja counter dihadapannya. Fang mengangguk, membalas sapaan Atok. Namun matanya tidak diam menatap sang kakek, mereka bergerak cepat menerawang seluruh kedai dan sekitarnya, mencari sahabat robot kuningnya.

'..tidak ada?' Aneh, biasanya Ochobot dari pagi sudah bekerja menjadi pembantu Tok abah. Mengangkat karung choco, menata gelas, membuat choco, pasti Fang melihatnya sedang melakukan kegiatan seperti itu.

"Atok, Ochobot tak ada?" Tanya Fang yang kini duduk di bangku kedai. Atok menggaruk kepalanya yang tidak gatal dulu sebelum menjawab.

"Ochobot? Oh, dia Atok suruh kirim choco ke tetangga sebelah. Katanya ada acara nanti malam, jadinya mereka pesan choco satu karung." Atok memasang pose berpikir ketika menjawab dengan satu tangan menggaruk dagu.

"Oh..." Fang bertopang dagu, lesu. Padahal ia sudah bertekad menanyai Ochobot. Teganya ia menghilang begitu saja! Yah, walaupun itu juga bukan salahnya, tetap saja Fang merasa jengkel. Usahanya datang ke kedai Tok Aba pagi-pagi terbuang percuma.

"Huh, ya sudah. Saya pergi dulu ya to-"

"-Fang!"

Yang terpanggil menoleh ketika yang dibicarakannya muncul dari belakang. Robot kuning itu melayang seperti sudah kegilangan tenaganya saja. Kedua lengannya terseret, dan Ochobot bisa saja mencium tanah kalau saja Fang tidak punya reflek yang cepat menangkapnya sebelum jatuh.

"Alamak! Kenapa kau Ochobot?" Fang berusaha membuat Ochobot tetap sadar dengan menggoyangkannya pelan. Suara robot itu seperti deru nafas yang kelelahan.

"Haah, selesai kirim choco aku disuruh bantu-bantu. Kasihan bibi harus ngerjain sendiri, sudah tua."

Fang hanya tersenyum kecil melihat temannya itu. Ia terlalu baik hati. Mungkin pengaruh ini ia dapat dari Boboiboy yang sama baik hatinya. Dasar.

"Oh, Ochobot dah balik rupanye. Titip kedai bentar boleh ye, Atok mau ngambil barang dulu. Fang tolong temani Ochobot ye? Atok pergi dulu!" Sang kakek pergi tanpa menunggu jawaban keduanya.

Fang menatap punggung sang kakek sampai sudah tidak terlihat lagi. Kini perhatiannya berpindah ke bola kuning di pangkuannya. Terlihat dari matanya -yang sekarang setengah tertutup, Ochobot sepertinya sudah menguras seluruh tenaganya. Digoyang tidak mempan, Fang coba tampar juga sepertinya percumah. Apa mengangkut karung choco seberat itu?

"Oi Ochobot!" Fang mengangkat teman kuningnya hingga sejajar dengan wajahnya, dan kemudian bola besi itu ia guncangkan tanpa belas kasih. Ia tidak punya kesabaran untuk membangunkan dengan halus, sehingga lensa biru Ochobot yang sadari tadi menutup mendadak terbelak.

"H-huaaa! Ampun Fang! Ampuuun!" Fang melepaskan genggamannya dan membiarkan robot itu melayang dengan sedikit goyang. Ochobot memijit kepalanya yang berputar.

"Ugh, apasal aku di kocok-kocok tadi?" erang Ochobot. Sementara yang bertanggung jawab hanya mendengus sembari menyilangkan tangannya.

"Salah sendiri.." Balas Fang tanpa memberi alasan yang jelas. Robot kuning itu menghela nafas dan melanjutkan tugasnya sebagai penjaga kedai.

Suasana kedai menjadi tenang setelah itu. Sambil bersenandung Ochobot menata gelas kaca di atas counter. Kejadian dikocok-kocok tadi sudah ia lupakan, dengan riang ia mengerjakan tugasnya. Walaupun hanya sebatas menjaga kebersihan kedai karena belum ada pengunjung yang datang.

Kalau Fang?

Sekarang Fang mengalami debat internal yang sengit. Haruskah ia bertanya tentang bayangan itu sekarang? Ochobot terlihat sedang semangat sekali menata gelas. Apa ia tega mengubah senyum itu kembali menjadi kepedihan?

Inilah kendala yang selalu memberatkan Fang. Sebanyak apapun Fang bilang kalau ia tidak merasa terbenani dengan tugasnya itu, tetap saja Ochobot merasa bersalah. Dan hal itu sering membuat canggung di antara mereka. Fang tidak suka itu.

Fang tenggelam terlalu dalam di pikirannya. Ia tidak menyadari adanya derapan kaki yang kian mendekat.

'Lebih cepat lebih baik..' pikir Fang.

"Uhm, Ocho-"

"-Ochobot! Pesan special hot chocolate satu! Eh, ada Fang rupanye"

Fang mendecih. Gopal sialan. Baru saja membuka mulut, kenapa dia muncul di saat yang salah?! Dengan santainya mengambil tempat duduk di sebelah Fang tanpa menyadari perbincangan serius yang gagal terlaksana karenanya.

"Haah, hutangmu tuh kapan mau dibayar? Sudah numpuk sangat!" Gopal hanya terkekeh malu saat menerima pesanannya. Tanpa basa-basi lagi choco hangat itu ia minum dengan nikmat. "Hm~ sedapnye. Hot chocolate di pagi hari tu memang terbaik! Buatanmu tu yang terenak Ochobot."

"Hehe, terima kasih. Tapi utangmu tetap tak kubayarin."

"He?? Jahat sangat!"

Fang hanya diam bertopang dagu memperhatikan kedua kawannya. Hot chocolate Gopal tinggal tersisa setengah, tapi sepertinya ia tidak berminat untuk pergi terlalu cepat. Buktinya ia malah berbincang -atau memohon?, kepada Ochobot mengenai hutangnya tanpa mempedulikan Fang yang duduk di sebelahnya.

Kalau begini jadinya, mana bisa ia dengan leluasa bertanya ke Ochobot. Kalau ada orang lain yang tahu bisa gawat jadinya. Kepanikan, risau, takut, orang-orang memaksa pertanggung jawaban. Ugh, Fang sudah pusing memikirkannya.

"Eh, ngomong-ngomong tanganmu kenapa Fang? Mukamu juga kaya habis dicakar kucing."

Mata Fang terbelak kaget. Sial, semenyebalkannya Gopal ternyata dia teliti juga! Padahal jaketnya sudah sengaja ia kenakan, jadi seharusnya perban itu cukup tertutupi. Tidak disangka dugaannya salah. Gopal lebih perhatian dari yang ia kira.

"Huh? Eh, iya lah! Kau kenapa Fang? Jangan-jangan..." Ochobot sengaja menggantungkan kalimatnya, beranggapan Kalau Fang mengerti maksudnya.

"Bu-bukan urusanmu!" bentak Fang gagap, berusaha menutup lukanya. Ia tidak bermaksud menakuti Ochobot dan Gopal yang kini bergidik ngeri karena suaranya. Ia hanya kesal dengan Gopal yang terlalu teliti! Seingat Fang, Gopal tidak lebih pintar darinya, terbilang bodoh malahan! Bukan Fang bermaksud menyombongkan kepintarannya atau apapun...

Namun sekarang, mendadak Gopal punya kecerdikan layak detektif internasional.Yah, walaupun ini juga salah Fang yang tidak perhatian akan kondisinya.

Suasana berubah canggung. Ochobot dan Gopal tidak lagi mengobrol, sementara Fang memunggungi kedua kawannya. Gopal-tidak tahan dengan kesunyian ini, terus-menurus mengaduk coklat panasnya, membuat dentuman sendok menjadi satu-satunya suara.

"Fang-"

"-sudah, aku pergi duluan. Dah." Fang beranjak dari kursinya tanpa menunggu jawaban dan segera pergi menjauh, tidak memberi Ochobot kesempatan untuk berbicara.

Gopal menghela nafas lega. "Oi, si Fang tu kenapa sih? Dia gelut sama siapa?" Ochobot memandang punggung kawannya sampai tidak terlihat lagi sebelum menjawab. "...yah.. Mungkin hanya terpeleset." Ochobot memberi alasan asal. Jatuh kepeleset sampai babak belur itu sangatlah bukan Fang. Namun Gopal dengan mudahnya percaya alasan itu dan kembali menghabiskan minumannya.

Dan kedai pun kembali sunyi setelah itu.

.
~Shadow Tamer~
.

Seperti yang Fang perkirakan teman sekelasnya menghujaninya puluhan pertanyaan tentang tangan kirinya ketika ia masuk. Fang menjawab pertanyaan itu dengan 'kepeleset' atau 'jatuh tadi..', dan semacamnya. Dengan bantuan senyum handalannya semua orang percaya. Yah, hampir semua orang.

Fang tidak bisa berhenti gelisah di kursinya. Diam duduk manis itu cukup sulit ia lakukan. Mengapa? Karena saat ia menebar kebohongannya tadi seorang bocah bertopi jingga menatapnya dengan curiga. Untung saja dia tidak bertanya yang tidak-tidak. Kalau iya, dia bisa menyulut puluhan pertanyaan yang lain.

Boboiboy sebenarnya sedikit khawatir ketika mendapati rivalnya itu datang dengan keadaan cukup babak belur. Fang menjelaskan sambil tersenyum kalau dia jatuh terpeleset. Tapi, senyum itu terlihat.... Janggal.

Ini pasti salah satu senyum palsunya. Apapun yang Fang coba sembunyikan pasti cukup bermasalah sehingga ia harus menutup-nutupinya seperti itu. Tidak mungkin Fang dengan mudah jatuh dan terluka sebegitu parah. Sangatlah bukan Fang.

Kalau Fang tidak mau berbagi masalahnya, Boboiboy juga tidak akan memaksa. Tapi, ia harus berusaha keras menahan rasa keingintahuannya. Sebagai rival maupun teman, ia peduli dengan sesama. Jadi untuk kali ini ia harus bertingkah acuh. Namun hal itu sayangnya sulit dilakukan 100%. Buktinya, sampai sekarang, dari mejanya Boboiboy masih menatap punggung Fang dan berharap bocah berkacamata itu mau berjalan ke belakang dan bercerita kepadanya.

Bel masukpun berbunyi. Boboiboy hanya bisa diam di tempat duduk dengan perasaan gelisah menghantuinya.

.
.

"Sudah siap semua?" Pertanyaan Cekgu Papa dijawab oleh seruan 'siap' murid-muridnya. Beberapa anak berteriak dengan semangat, namun ada juga yang berseru setengah hati.

Salah satunya Fang.

Ia tidak mengerti bagaimana 'kelas memasak kue bersama' bisa berhubungan dengan matematika. Tapi menurutnya pilihan ini lebih baik dari pada mengerjakan ujian matematik dadakan.

Sebenarnya dalam memasak kemampuannya terbilang rata-rata. Mungkin lebih tinggi sedikit karena ia harus bisa menyiapkan makanan sehari-harinya sendiri. Namun Fang belum pernah memasak kue. Jadi untuk alasan yang Fang tidak ketahui tangannya terasa gatal tidak sabar ingin mencampur dan memanggang adonan. Apa lagi Cekgu Papa membebaskan muridnya untuk berkesperimen dengan bumbu-bumbu yang disediakan.

Walaupun ia tidak bisa memasak secara langsung karena tangan kirinya, Fang masih bisa memerintah teman sekelompoknya untuk mengerjakan tugasnya.

Fang membenarkan kecamatanya dan tersenyum puas. Ini akan menyenangkan.

"Eh, aku mau kuenya pake coklat yang banyak!"

"Tidak! Kita pakai keju, ma!"

"Aku setuju dengan ying! Lebih baik menggunakan keju. Kamu terlalu sering makan coklat, Gopal."

"Ada apa sih dengan coklat? Kalian memangnya tidak suka coklat?? Boboiboy bantu aku!"

"Hah? Oh, Umm..."

Satu perempatan muncul di kening Fang.

Sayangnya pemikirannya tadi melenceng. Tuhan sedang tidak berbaik hati, karena sebesar apapun keinginan Fang untuk segera memanggang kue, ia belum bisa mulai kalau teman sekelompoknya belum bisa berhenti 'berunding' menentukan taburan.

Siapa anggotanya? Siapa lagi kalau bukan Boboiboy, Gopal, Yaya, Ying dan -sayangnya, diketuai oleh Gopal. Salahkan Cekgu Papa karena memilih asal.

Gopal -yang merupakan pecinta choco sejati- bersikeras menginginkan kue rasa coklat. Sementara Ying dan Yaya ingin mencari rasa yang berbeda dan akhirnya memilih keju. Boboiboy terlihat tidak terlalu mempermasalahkan rasa apa yang dipilih sehingga ia hanya tersenyum pasrah sembari menatap tiga sahabatnya itu berdebat.

"Coklat itu terlalu biasa, ma! Keju tu lebih jarang!"

"Ga semua orang suka keju lah! Lebih baik coklat. Pasti banyak yang suka!"

Dua perempatan muncul di kening Fang.

"Eleh, itu kan hanya kau yang tak suka, Gopal."

"Apa kau kata??"

BRAK!

Pembicaraan tadi terputus dan semua mata yang ada di sekeliling meja kelompok 2 tertuju pada pemuda berkacamata yang tadi menghempaskan tangan kanannya ke atas meja.

"Sudah! Kalau gini kita tidak bisa mulai masak! Campur aja coklat dan keju tu! Selese kan masalahnya?!"

Nafas Fang menderu dan lusinan perempatan telah menghiasi keningnya. Bentakkannya tadi sukses membuat Ying, Yaya, dan Gopal diam, yang kemudian mempertimbangkan idenya dan mulai mempersiapkan bahan. Dengan ajaib langsung melupakan permusuhan mereka tadi.

"Benar juga kata Fang! Oke, Boboiboy, kau dan Ying ambil bahannya." Perintah Gopal sambil menunjuk Boboiboy dan Ying. Setelah itu telunjuknya berpindah ke hadapan Fang.

"Kau tak usah kerja. Dengan tangan ancur begitu, nanti kuenya ikut-ikutan ancur,"

"APA KAU KAT-"

"-Aku saja yang buat adonannya! Aku akan tambahkan bumbu rahasia andalanku, pasti jadi lebih enak!" Sela gadis berhijab pink degan riang.

Dan saat itulah kelompok 2 baru ingat kalau mereka mempunyai pemanggang kue kematian di kelompoknya.

"A-ah, Yaya kau bantu cuci alat-alat, ya? Sepertinya baskom dan sendok-sendoknya terkena minyak. Se-sebagai ketua kelompok aku memerintahkan kau! " Gopal menunjuk Yaya sedikit ragu.

"I-iya. Biar aku dan Gopal yang buat adonannya, ya? Aku kan belum kerja. Tangan kananku masih bisa di gunakan kok." Untuk kali ini Fang sependapat dengan Gopal. Kalau Yaya yang membuat adonan, bisa jadi adonan itu berubah menjadi kue kematian setelah jadi. Dengan diselubungi aura-aura hijau yang membunuh. Padahal biskuit yang di buat Yaya selalu terlihat imut dan menggiurkan. Berbeda sekali ketika memakannya. Fang tidak yakin seberapa banyak orang menjadi korban karena tertipu oleh tampilan imut itu.

Yaya terlihat muram sesaat, namun ia tetap menganggukan kepalanya. "Um, baiklah. Aku cuci dulu."

Seluruh anggota kelompok 2 memaksa mengulas senyum sembari menatap punggung Yaya yang kini kian menjauh dan menghilang di balik pintu.

"Fiuh, hampir saja. Bisa-bisa kita semua keracunan." Gopal menghela nafas lega.

"Tapi, apa kau tidak kasihan apa? Ngusir yaya seperti itu?" Tanya Ying dari belakang Gopal. Sedikit menyesal membuat sahabat berhijabnya itu pergi.

"Aku kan tidak ngusir dia. Aku hanya minta dia nyuci, kok" Gopal membantah sembari menyilangkan tangannya.

"Ha-ah, sudah, lebih baik kita mulai buat kuenya." Saran -atau tepatnya perintah- Fang yang segera berjalan menuju meja berisi setumpuk bahan-bahan kue.

"...eh? Bukannya aku dan Ying yang ambil bahannya?"

.
.

Srek srek

Suara Yaya menggosok baskom terdengar di wastafel kantin sekolah. Berhubung kalau ia mencuci di wastafel kamar kecil bisa mengganggu orang-orang di dalamnya, Yaya lebih memilih untuk berjalan sedikit jauh.

"Fiuh, selesai juga." Yaya mengusap bulir keringat dengan lengan kanan yang bajunya digulung sesikut. Baskom dan peralatan lain yang sudah bersih ia angkat.

"Huh,berat juga." Walaupun Gopal hanya memintanya menyuci baskom dan sendok saja, Yaya melihat debu menempel di mixer adonan. Ia tidak mau membuat kue rasa debu, sehingga sekarang tangannya sedang kesusahan membawa alat-alat itu kembali ke ruang kelas.

Klang!

"Eh? Sendoknya!" Cepat-cepat Yaya meletakan bawaanya ke lantai dan segera berlari mengambil sendok yang jatuh di belakangnya. Untuk saja lantainya tidak kotor.

"Ada-ada saja.." Yaya tersenyum kecil dan berjalan kembali ke cuciannya. Belum sempat ia melangkah ia mendengar suara yang membuatnya diam dan menaruh perhatiannya pada suara itu.

"-Memangnya gapapa ninggalin Boboiboy dan Fang berdua? Nanti mereka gelut, ma,"

Ah, itu suara Ying.

"Tak usah risau. Dengan tangan Fang seperti itu, tak mungkin Boboiboy bisa kalah. Lebih baik kita cari gulanya dulu, Emak kantin katanya punya. Kita harus buat kue yang terenak! "

Dan itu suara Gopal.

Yaya berniat untuk menyapa mereka, namun ucapan Ying selanjutnya membuatnya berbuat lain.

"Kalau ada Yaya mungkin susah juga,"

Deg

Lho? Kenapa mereka tiba-tiba membicarakan dirinya?

"Ho'oh lah. Biskuitnya tu macam dicampur bawang merah."

Ba-bawang merah?

"Aku pernah liat yang makan biskuitnya masuk ke rumah sakit, wo."

Rumah sakit?!

Yaya membeku, tidak bergerak walaupun suara kedua sahabatnya sudah terdengar jauh.

Seharusnya sekarang Yaya mengejar dan memarahi mereka berdua. Bisa-bisanya mengejek biskuit yang sudah susah payah ia buat. Tapi tidak kali ini.

Sakit. Hatinya serasa diremas oleh ucapan pedas kedua sahabatnya.
Yaya tahu, mereka pasti hanya becanda. Ya, pasti itu. Tidak mungkin mereka berbicara di belakangnya. Mungkin biskuit yang susah payah ia buat itu tidak sesuai dengan selera lidah mereka.

Tanpa sadar tangan Yaya mencengkram bajunya, membuat kain pink itu menjadi kusut, tapi Yaya tidak menanggapinya. Wajahnya tertunduk, menyembunyikan entah ekspresi apa di baliknya. Sedih kah? Tidak percaya kah? Terkhianati kah?

Mungkin bisikan-bisikan mengenai biskuitnya yang selama ini ia dengar memang benar terjadi. Bukan sebatas suara angin yang salah ia artikan.

Yaya memutar tubuhnya dan beranjak pergi dari tempatnya tadi. Kakinya tidak berhenti membuatnya pergi jauh, menjauhi kata-kata yang menusuk hatinya. Meninggalkan peralatan yang baru saja ia cuci. Dan juga meninggalkan sahabat-sahabatnya.

.
.

Sudah 30 menit anggota kelompok 2 menunggu Yaya datang dengan baskom bersih. Tapi ditunggu lama pun ia tidak kunjung datang. Boboiboy pun memutuskan untuk mencari Yaya, dan setelah 10 menit tidak sekilas pun melihat gadis berhijab pink, mereka memutuskan untuk meminta bantuan guru.

"Yaya? Oh, tadi dia minta ijin pulang cepat. Katanya ia tidak enak badan,"

Seluruh anggota kelompok 2 terkejut.

"Ma-maksudnya apa cekgu? Tadi Yaya sehat-sehat saja, kok, " ucap Ying khawatir.

"Tapi muka Yaya tu pucat! Tak mungkin lah murid cekgu ni berbohong," bela Cekgu Papa. Tidak luput dengan pose kebenarannya.

"Tapi benar cekgu! Dia tidak terlihat sakit tadi," Boboiboy menegaskan. Bukannya Yaya tadi terlihat baik-baik saja? Masih bisa terlihat riang dan bersemangat. Lalu kenapa mendadak ia sakit?

"Sudah sudah! Kalau sakit ya sakit! Kalian segera lanjutkan buat kue tu! Kelompok kalian tertinggal jauh! Cepaaat!"

Dengan gelagapan kelompok dua belari ke mejanya dan melanjutkan tugasnya masing-masing, tidak lupa mengerjakan tugas bagian Yaya.

Kue pun berhasil dibuat dengan sempurna dan kelompok 2 meraih penghargaan 'kue terenak menurut Papa Zola' berkat keahlian Fang menghias kue mereka bergambar Papa Zola (fang di paksa Boboiboy dan Gopal). Namun selama kegiatan pikiran mereka tidak terlepas dari Yaya.

.
~Shadow Tamer~
.

"Jadi, mau bicara apa, Fang?" Tanya Ochobot pada pemuda berkacamata yang sedang duduk di meja counter kedai Tok Aba. Tangan kanannya masih sibuk mengaduk hot chocolate yang baru disediakan Ochobot.

Fang berhenti mengaduk, namun ia tidak menatap Ochobot. Membuat kesunyian mendadak diantara mereka berdua.

"... Bayangan itu.... Kau ngga bilang kalau mereka bisa berbicara," jemari Fang tanpa sadar meremas sendok yang digunakan untuk mengaduk minumannya. Irisnya terhanyut pada pusaran coklat dan susu yang sepertinya tidak akan berhenti berputar.

Robot kuning itu belum menjawab. Tapi Fang bisa menebak ekspresi apa yang terpasang di wajah Ochobot.

".. Maafkan aku," Ochobot tertunduk lesu.

"Sudah berapa kali aku bilang jangan minta maaf! Aku yang menerima tugas ini! Kalau ada hambatan, itu bagian dari pekerjaan. Aku hanya bertanya saja, Ochobot. Aku tidak menyalahkanmu," Ochobot malah semakin tertunduk. Fang yang melihat sahabatnya seperti itu hanya bisa menghela resah dan kembali mengaduk minumannya.

".. dak tau.."

"Hm? Apa kau bilang?" Fang menaikan alisnya dan menatap Ochobot.

".. Tidak tahu, aku tidak tahu, Fang! Aku tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya! Uhuhu.." Ochobot menjatuhkan dirinya di atas meja, di ikuti dengan beberapa gelas ikut berguncang akibat hantaman itu.

"Oi! Ochobot, tenang!" Fang semakin panik ketika Ochobot tidak berhenti menangis dan berguling-guling. Walaupun robot tidak mengeluarkan air mata, suara Ochobot sepertinya bisa membuat kapal pecah.

"S-sebenarnye aku tak tau kenapa bayangan-bayangan tu muncul. Tapi karena mereka sering merusak dan mengganggu malam, aku pikir ini harus di hentikan! Aku tidak tahu cara lain mengatasinya, maafkan aku Fang! Huaaa.."

Tangan besi itu kini mendadak melingkari pinggang Fang dan menguncinya dalam suatu pelukan erat. Fang awalnya merasa enggan di peluk. Tapi melihat Ochobot yang sebegitu histeris membuatnya mengelus pelan kepala si robot.

"Gapapa, aku tetap ngga nyalahin kamu, kok. Justru aku senang kalau kau mengandalkan ku! Aku jadi tahu kalau sebenarnya masih ada orang yang membutuhkan diriku..." Kalimat terakhir tadi Fang bisikkan dengan pelan.

Isakan Ochobot mengecil dan Fang pun mengeluarkan senyum tipis.

"Sudah! Nangis terus ga ada gunanya. Lebih baik kita mencari cara untuk mengatasi masalah ini. Setuju?" Fang mengacungkan jempol kanannya semangat. Suatu gerakan yang tanpa sadar ia curi dari rivalnya. Namun Fang tidak menyadari hal itu.

"..oke," sayang robot itu tidak punya mulut, karena sekarang Ochobot sedang tersenyum haru yang tidak akan bisa dilihat oleh sahabatnya.

Fang mengangguk puas dan kembali ke minumannya. Begitu pula dengan Ochobot yang merapikan gelas yang ia buat jatuh tadi. Untung saja tidak pecah.

"...tangan kirimu gapapa?" Ochobot melirik tangan Fang ragu. Masih merasa malu karena ledakkan emosinya tadi.

"Gapapa, aku orangnya cepet sembuh, kok. Harusnya besok sudah bisa berfungsi sedikit." Jelas Fang sembari memperhatikan tangan kirinya.

"..Oh..baiklah,"

Fang berharap ia bisa kembali menikmati kesunyian. Lebih bagus kalau ditemani kicauan burung. Sayang lagi-lagi seseorang mempunyai timing yang buruk.

"Ochobot! Spesial hot chocolate satu! Eh, Fang ada lagi,"

Kepala Fang terancam dibanting ke meja ketika lagi-lagi Gopal datang mengganggunya. Tapi kali ini dengan tambahan bocah bertopi jingga mengambil tempat duduk samping Fang.

"Sore Fang," sapa Boboiboy ramah, yang dibalas dengan anggukan kecil Fang.

Gopal dan Boboiboy berbincang di kanannya entah membicarakan apa. Mungkin tentang game favorit mereka. Fang memutuskan untuk memblok suara mereka dan kembali menyeruput coklatnya.

"Ish, napa si Yaya tu tiba-tiba ngehilang? Aku ditanya-tanya terus sama yang lain, 'yaya mana? Yaya mana?' Ugh, capek bener jawabnya!" Gerutu Gopal.

Entah mengapa Fang menggeram, terlalu kecil untuk di dengar yang lain. Sendok teh tidak berdosa itu kembali ia remas. Kenapa ia merasa terganggu dengan ucapa Gopal? Ini tidak ada hubungan dengannya dan bukan masalahnya.

"Sudah lah Gopal. Mungkin Yaya tu benar-benar lagi sakit." Balas Boboiboy sedikit pelan. Dirinya sudah lelah mendengar cemohan yang sama sejak pulang sekolah.

"Huh, Aku benci jadinya."

Deg

Suara kursi yang di dorong membuat Gopal dan BoBoiBoy menaruh perhatiannya pada Fang. Bocah berkacamata itu diam. ekspresinya tersembunyi di balik kacamata dan surai hitamnya, namun BoBoiBoy merasakan tatapan dingin dari sana.

"....Benci, adalah kata yang kuat. Jangan se-enaknya berkata itu." Fang meletakan uang di atas meja dan pergi menjauh, meninggalkan Gopal dan Boboiboy yang kebingungan. "Napa lagi tu Fang? Kita baru datang dia malah langsung pergi. "

Boboiboy hanya bisa mengerdikkan bahu. Apa ucapan Gopal tadi menyinggungnya? Pendengaran Boboiboy menangkap Fang menggeram kecil,mungkin tidak nyaman dengan ucapan Gopal dan mungkin saja memang terasa tersinggung.

Muka Boboiboy berubah murung. Ada benarnya juga ucapan Fang tadi. Benci memang kata yang kuat. Mungkin ketika mengucapkannya kita tidak memikirkan dampaknya, hanya sebatas pelampiasan emosi saja. Tapi emosi itu akan ditangkap oleh orang yang mendengarkannya. Menenyeret orang tersebut kedalam dunia negatif yang diciptakan benci itu.

Boboiboy menatap punggung rivalnya yang menjauh dan berpindah ke Ochobot yang juga terlihat muram. Ia harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki masalah ini. Dan sepertinya ia tahu apa yang harus ia lakukan.

.
~Shadow Tamer~
.

Untuk malam kali ini Fang keluar lebih cepat dari biasanya. Entah mengapa firasatnya berkata demikian, dan akhir-akhir ini firasatnya selalu benar.

Padahal malam terlihat sunyi. Hawa-hawa negatif yang sering muncul bersamaan dengan bayangan pun tidak terasa. Harusnya ini menjadi malam yang tenang, tapi karena bulan muncul mau tidak mau Fang harus berpatrol mencari bayangan.

Fang menghentikan langkah kakinya. Tanpa disadari ia telah berjalan ke lokasi pertempurannya yang terakhir. Rumah yang sudah hancur dan puing-puingnya masih sama seperti kemarin. Sama sekali tidak tersentuh, jejak kaki saja tidak ada. Terkecuali jejak yang baru ia buat.

Memori tentang kemarin membuat Fang meraih punggungnya. Mereka kembali berdenyut meninggalkan rasa nyilu, mengingatkan Fang akan kejadian mengerikan itu. Sepertinya terseret lalu menabrak tembok dengan kecepatan tinggi akan selalu terkenang di benaknya.

Kaki Fang kembali bergerak tanpa tujuan mengelilingi kawasan itu. Ia hanya mengandalkan insting dan matanya saja karena sampai sekarang hawa negatif belum terasa. Sepertinya ini akan menjadi malam yang tenang.

Fang tidak tahu seberapa salah ucapannya itu. Karena mendadak langit menggelap. Udara terasa berat dan menyesakkan. Angin malam menjadi semakin dingin, untung saja Fang sedang mengenakan jaketnya, kalau tidak ia sudah menggigil. Sekarang saja ia masih merasa dingin.

Langit memang menggelap, tidak ada lagi bintang yang menghias. Namun itu bukan berarti bulan ikut menyingkirkan dirinya. Justru bulan menjadi semakin terang, semakin besar, karena ia menjadi satu-satunya penerangan dari atas.

Syuut

Fang meraba pipi kanannya. Aneh. Padahal ia yakin sekali ada yang menyentuh pelan wajahnya. Ia melihat ke kiri dan kanannya. Kosong, tidak ada siapa-siapa. Mungkin hanya imajinasinya saja. Angin kah?

Syuut

Lagi. Sentuhan itu kembali datang, kali ini membelai pipi kirinya. Fang mulai merasa jengkel dan berusaha melindungi kedua pipinya dari serangan lain.

Syuut

"Aagh! Cukup! Kau tu maunya apa hah?!" Fang membentak siapapun yang menyentuh belakang lehernya tadi. Tidak ada siapa-siapa. Tapi samar Fang mendengar suara.

"..Hihihi.. Hihi.."

Suara anak kecil yang tertawa. Fang berusaha mencari anak itu. Iris amethyst nya memindai dalam kegelapan dan berhenti ketika menangkap sesuatu bersembunyi di balik tiang lampu.

"Keluar. Aku tahu kau di sana." Sosok itu berhenti tertawa. Bayangan yang Fang tidak sadari mengelilingi sosok itu menjadi semakin pekat. Berputar dan melilit posesif sosok itu berkali-kali.

"Yah, ketahuan deh~"

Fang mengernyitkan matanya. Kalau diperhatikan sosok itu tidak berbentuk manusia sama sekali. Terlalu pendek untuk dibilang seorang bocah dan tidak memiliki bagian tubuh yang seharusnya dimiliki manusia. Fang justru berpikir kalau ia sedang melihat burung -atau angsa?, yang seluruh tubuhnya berwarna hitam dengan mata merah menghiasi seluk-beluk tubuhnya.

Sosok itu tersenyum lebar, menampakan gigi putih berjejer rapih. "Kau harusnya senang. Rakyat jelata seperti kau sudah dijahili oleh putri tercantik di dunia! Ohohoho~"

Fang mendengus. 'Burung' dedepannya memasang pose tuan putri dan tertawa maniak yang terus mendorong kesabaran Fang melebihi puncak.

Seharusnya ia sudah tidak kaget lagi ketika mendengar bayangan itu berbicara. Walaupun tidak ada penjelasan dari Ochobot, Fang mengasumpsikan kalau bayangan juga bisa berevolusi. Sama seperti kuasa Boboiboy. Dari tanah berubah gempa, angin jadi taufan, dan petir jadi halilintar.

Tapi evolusi di depannya tidak terlihat normal sama sekali. Mereka mungkin menjadi lebih pintar, sampai bisa memikirkan ejekan itu, namun Fang tidak berpikiran sama tentang wujud mereka. Mungkin saja bentuk mereka malah menjadi semakin abstrak.

"Ayo teman-teman! Tertawalah bersamaku, ohohohoho~" 'burung' itu meregangkan sayap hitamnya dan perlahan mulut-mulut dengan gigi putih berjejer yang sama muncul dari setiap bayangan. Dari bawah mobil, bayangan tiang lampu, seperti wilayah Fang berada dilukisi oleh mulut yang tersenyum ganjil.

"Ohoho!" "Ohoo~""Ohohoho~"

Entah Fang harus merasa kesal, jijik, atau takut, tapi yang pasti ia sudah muak dengan paduan suara ini. Tawa berbagai jenis suara bergema dan tidak menunjukan tanda-tanda akan berhenti. Dan usahanya menutup telinga sia-sia. Serapat apapun Fang berusaha suara itu selalu berhasil menembus telinganya.

"Ohohoho~, karena kau sudah menjadi rakyat jelata yang baik, aku berikan kau biskuit buatan ku yang terenak sedunia! Ohoho~"

"Biskuit?" "Biskuiiiit!" "Biskuit!"

Mulut-mulut yang sedari tadi tertawa kini mendadak bersorak-sorai dengan semangat. Mereka menjadi semakin keras seiring sayap bayangan itu terangkat semakin tinggi.

Fang melihat sesuatu ditarik keluar dari kubangan bayangan didepannya. Sesuatu yang kecil. Bentuk itu, sepertinya ia kenal. Seperti-

"Silahkan cicipi biskuitku wahai rakyat jelata~"

-biskuit Yaya.

Tidak. Mungkin ini hanya kebetulan. Siapa tahu bayangan itu mengambil bentuk kue secara asal yang kebetulan sama seperti biskuit buatan Yaya. Warnanya, hiasannya. Ya, ini hanya kebetulan. Kebetulan yang menyeramkan.

"HEI."

Pikiran Fang mendadak berhenti ketika ia merasakan hawa membunuh di atasnya. Ia meneguk liurnya dan memberanikan diri untuk mendongak.

"Aku sedang berbicara dengan mu. Dengarkan putrimu ketika dia sedang berbicara. Paham?"

Burung itu tidak bertambah besar, bergerak saja tidak. Tapi entah mengapa Fang merasa kalau bayangan itu sedang menjulang tinggi di atasnya. Seluruh mata merah itu membesar menatap Fang. Sifat putri manja tadi tergantikan oleh sesuatu yang ganas. Penuh dengan energi negatif.

Dan mendadak semua itu menghilang ketika si 'burung' kembali mengulas senyum bergigi. Fang berusaha tidak bergudik saat si bayangan berjalan mendekat dan menepuk kepalanya sedikit keras, mengacak-acak surai ungunya dengan sayap hitamnya.

"Nah, begini 'kan enak. Ayo makan biskuit ku! Saking enaknya kau bisa merasakan surga." Seru si 'burung' sembari berjingkat menjauh.

'Biskuit-biskuit' itu melayang mengitari Fang yang berusaha merapihkan rambutnya. Mulut-mulut abnormal di bawah Fang kerap menyorakinya untuk memakan biskuit itu.

Fang tidak bergerak. Sebenarnya ia tidak tahu harus berbuat apa di situasi ini. Tidak mungkin ia mau memakan biskuit kopian Yaya itu. Ia bisa saja langsung menghabisi bayangan itu dengan harimaunya, dan kemudian kembali pulang dan tidur di kasur yang ia dambakan.

Tapi baru pertama kali ada bayangan yang mengajaknya berbicara, malahan sampai menawarinya makanan -yang terlihat mencurigakan.

"Maaf, aku tidak selera makan. Terima kasih untuk tawarannya." Fang membungkuk hormat sebelum akhirnya memunggungi si 'burung' dan melangkah menjauh, berpikir kalau ia bertingkah sopan mungkin bayangan itu tidak berubah ganas.

Mulut-mulut itu berubah murung. Kegelepan menjadi semakin pekat, namun Fang belum menyadarinya. Langkahnya baru terhenti ketika 'burung' itu kembali bersuara.

"..Kau.. Benci biskuitku?"

Fang kembali merasakan aura negatif. Ia memutar badannya menghadap si bayangan.

"Ke-kenapa? Padahal sudah sepenuh hati aku membuatnya! Kenapa tidak ada yang mau mencobanya?!"

Fang melebarkan jarak diantara kedua kakinya dan tanggannya ia tempatkan di posisi bertahan. Sebentar lagi akan terjadi sesuatu. Fang dapat merasakannya, sesuatu yang besar.

"KAU MAKHLUK TIDAK BERTERIMA KASIH! MATI SAJA KAU!"

Semua mulut itu diserap oleh si burung, membungkusnya menjadi suatu kepompong hitam. Angin bergemuruh, membuat Fang menyembunyikan wajahnya dari daun atau sampah yang berterbangan.

Kepompong itu kemudian terbuka, menampilkan beruang hitam setinggi tiang listrik. Sebagai seekor binatang buas ia tidak terlihat terlalu garang. Fang tidak melihat silhouette rambut yang mencuat-cuat yang biasanya membuat seekor binatang terlihat ganas. Malahan beruang betina itu terlihat elegan dengan poros yang terbilang ramping namun tetap terlihat berisi dan kuat.

"Mati kau"

Dan puluhan mata merahnya terbuka menatap Fang dengan aura membunuh.

.
~Shadow Tamer~
.

Di meja belajar, Yaya melihat lesu keranjang biskuit di depannya. Biskuit yang awalnya ingin ia bagikan ke sahabat-sahabatnya.

Padahal biskuitnya terlihat enak. Harum gula juga tercium, bukan bawang merah yang seperti Gopal katakan. Yaya terlihat ragu sesaat sebelum mengabil sebuah biskuit berbentuk hati dengan butiran warna-warni di atasnya.

Sembari bertopang dagu Yaya mengamati biskuitnya dengan seksama. Mana mungkin benda seimut ini dapat berefek mematikan. Yaya tidak pernah melihat orang sampai masuk rumah sakit gara-gara biskuitnya, seperti yang Ying katakan. Mereka hanya melebih-lebihkan. Ya, pasti itu.

Hawa di Kamar Yaya entah mengapa menjadi berat. Cahaya lampu gantungnya menjadi redup dan kegelapan mulai merambat dari sudut ruangan. Yaya sepertinya tidak menyadari hal ini. Ia tetap memberikan perhatian penuh kepada biskuit di tangannya.

"Padahal.. Mereka bilang biskuitku enak. Tapi, kenapa mereka berkata seperti itu?"

Kenapa? Padahal ia sudah mencurahkan seluruh perasaannya dalam membuat biskuit-biskuit itu. Bersusah payah mencari informasi dari berbagai sumber untuk membuat biskuit yang terbaik. Tidak sedikit tenaga yang terkuras dalam prosesnya.

Tapi tidak ada yang mau mencicipinya. Tidak ada yang mau menghargai mereka.

Yaya termenung semakin dalam, dan kegelapan merambat semakin dekat.

.
~Shadow Tamer~
.

"Perisai bayang!" Seruan itu bertepatan dengan tinju bayangan yang menghantam perisainya.

DUM!

'GRAAW!'

Bayangan itu tidak menyerah. Otot-otot bayangan itu membesar sampai urat-urat muncul. Bertubi-tubi lengan abnormal itu dipukulkan keras ke perisai Fang layaknya sebuah drum.

DUM! DUM! DUM!

KRAK

'Ku-kuat sekali!' Fang mencoba menambal kerusakan perisainya, namun ia tidak yakin dapat bertahan lama. Satu kerusakan diperbaiki, beruang itu mengembalikannya lima kali lebih parah.

Sudah sepuluh menit sejak si 'burung'-atau sekarang beruang, melancarkan serangan pertamanya pada Fang. Dengan bantuan reflek cepatnya Fang dapat dengan mudah menghindari lengan gargantuar yang tanpa aba-aba dihempaskan menuju dirinya.

Beruang itu mengeram dan berlari menjauhi Fang. Terlihat sudah muak dengan perisai yang tidak mau pecah itu, sebelum akhirnya menyelam kedalam bayangan di bawah tiang listrik.

'Trik yang sama seperti kemarin..' Fang me-nonaktifkan perisainya, namun ia masih waspada menantikan serangan yang lain. Fang pun berpikir sejenak.

Bayangan adalah suatu eksistensi berbentuk hewan dengan mata merah di sekujur tubuhnya. Mereka hanya bisa menyerang sesuai kemampuan wujud binatangnya. Bayangan tidak bisa berbicara, hanya mengeluarkan geraman yang tidak terdengar mengancam bagi Fang.

Seluruh info yang ia dapat berdadarkan pengalaman itu terbukti salah mengingat pertempuranya kemarin. Dan 'beruang' di depannya meyakinkan Fang kalau masalah bayangan ini bukan hal normal lagi.

'Yah,Sejak awal juga memang tidak normal..' Batin Fang.

'Beruang' itu kembali muncul dari kubangan hitam di kiri Fang dan meluncurkan tinjunya. Namun dengan tambahan energi dikakinya Fang melakukan salto di udara yang dapat membuat semua mata terpukau, dan cakar hitam itu tertancap di tanah.

"Tusukan jari bayang!" Waktunya di udara memberikan Fang kesempatan untuk melontarkan serangan balasan. Jari-jari tajam melesat mengincar si beruang. Yang terincar tidak berusaha menghindar, malahan hanya menatap serangan Fang. Entah ia menganggap jari-jari tajam itu sebatas ranting kurus atau ia sudah menyerah.

Fang akhirnya bisa menyunggingkan senyum puas. 'Heh, matilah kau.'

Jari bayang itu terlihat seperti berhasil melukai si beruang. Tapi Fang tidak tersenyum. Ia mengumpat taktala sebuah cocoon bayang melindungi si beruang. Dan begitu terbuka beruang itu menghilang begitu saja.

Fang mendarat dengan kasar. Seluruh mulut yang sedari tadi menonton terus memberikan senyum mengejek untuk Fang. Beberapa bahkan berteriak bahwa dirinya akan kalah dan mati dengan kepala terpisah. Dan itu bukan yang terparah.

Sekarang mereka bisa memanipulasi bayang? Sungguh, seberapa cepat mereka berevolusi?! Dan selanjutnya apa? Mereka bisa menjadi manusia? Fang harap tidak.

Tanah di bawah Fang bergetar menandakan sesuatu yang besar sedang berlari ke arahnya. Walau matanya tidak melihat apapun, Fang bisa merasakan beruang itu mendekat.

"Hihi,"

Secara reflek Fang menyabet siapapun yang tadi bersuara di belakangnya dengan jari bayang. Kosong. Beruang itu tidak di sana.

"Cis, dimana dia?!"

"Di sini,"

Suara si beruang terdengar dari atas Fang dan ia melontarkan tinjunya. Fang sempat bergeser sedikit. Tapi bukan berarti ia tidak menerima serangan itu. Fang uleng dan kehilangan pijakannya. Membuat dirinya terjatuh dengan tidak elegan.

'Sial!'

Si beruang tersenyum bergigi dan tinjunya kali ini berhasil melontarkan Fang dua meter dari tempatnya tadi.

Fang mendecih, kemudian menyumpah ketika beruang itu kembali menghilang dari pandangannya.

"Kh! Perisai ba-!"

Terlambat. Waktu untuk membuat perisai bayang tidak cukup, dan tangan hitam itu kembali muncul menerjang ke arah wajahnya.

--------------------------------------------------

Cahaya di mata Yaya meredup. Seolah tujuan hidupnya direbut dengan paksa. Pandanganya berubah kosong. Dan kegelapan itu semakin dekat.

"... Mereka..."

--------------------------------------------------

Tangan bayangan itu terlihat begitu besar di matanya. Entah bagaimana gerak mereka menjadi lambat. Mungkin waktu memang melambat.

Fang tahu ia sudah tamat. Ia tidak mungkin dapat mengelak serangan ini. Takdirnya sudah dikunci rapat. Ia akan mati dan tubuhnya akan ditemukan di pagi hari dengan keadaan remuk. Bayangan itu tinggal bebeberapa centi lagi menghantam dirinya.

--------------------------------------------------

"...Pembohong...?"

--------------------------------------------------

Fang merasakan angin mengikis wajahnya. Kekuatan yang besar yang tidak mungkin dihentikan.

--------------------------------------------------

Seolah diberi aba-aba kegelapan itu menerjang maju, merubah wujudnya menjadi jari-jari bayang yang haus ingin melilitkan dirinya pada Yaya.

.
.

Triling~ Triling~

"Eh?"

Seketika bayangan itu berhenti bergerak. Fokus Yaya pada biskuitnya kini beralih pada suara ponsel di kanannya.

"Halo?"

"Halo? Yaya?"

"Eh, Boboiboy? Kenapa telfon malam-malam? "

Si penelepon tertawa canggung. Yaya dapat membayangakan kalau Boboiboy sedang menggaruk pipinya yang tidak gatal di seberang sana.

"Um, anu, Yaya, sebenarnye...kami ingin minta maaf,"

Yaya terkejut. "Untuk apa Boboiboy?"

Sungguh, untuk apa Boboiboy malam-malam begini meneleponnya untuk meminta maaf atas hal yang ia tidak salah. Tapi tadi Boboiboy menggunakan kata 'kami' dan bukan 'aku'. Jadi adakah orang lain yang melakukan kesalahan padanya?

"Kamu tu tidak sakit kan? Ya, mungkin kau bisa saja sakit. Tapi menurutku Itu hanya alasan. Jangan marah ya, hehe. " Yaya terkejut lagi.

"Lho? K-kok? Kenapa-?, aku memang sakit kok!" Yaya tidak berbohong. Ia memang 'sakit'. Tapi seharusnya ia tidak perlu sampai pulang awal.

Lagi-lagi yang di seberang sana terkekeh.

"Hehe, 'kan ini menurutku. Aku cuma ingin bilang, kami itu sahabatmu Yaya. Yah, pastilah suatu saat kita melakukan kesalahan. Tapi bukan berarti kita berhenti jadi teman hanya karena masalah itu," Boboiboy berhenti sebentar.

"Kita melengkapi satu sama lain, itulah teman. Kalau melakukan kesalahan kita sebagai teman akan mengingatkan, begitu juga kebalikannya. Jadi, sebagai teman aku minta maaf. Aku merasa ucapan kami tidak sengaja menyakitimu,"

Mata Yaya terbuka lebar, tidak percaya. Otaknya masih mencerna ucapan Boboiboy dengan perlahan. Mereka meminta maaf.

"Jadi.. Biskuitku enak..?"

"E-eh? B-bikuitmu enak, kok! Cuman, yah, rasanya tidak sesuai selera kita saja, hehe."

Yaya menyunggingkan senyum kecil.

"... Baiklah. Malam, Boboiboy,"

"Eh? Um, malam Yaya.." Boboiboy terdengar aga ragu dengan kalimat penutup yang tiba-tiba, dan merasa bingung dengan Yaya yang menanyakan biskuitnya. Tapi diakhir ia tetap memutus sambungan teleponnya.

'.. Jadi ini semua karena biskuit ya..?' Batin Boboiboy.

Klek

Tuut...tuut..

Yaya terdiam menggenggam ponselnya.

Mereka masih peduli. Teman-temannya masih sayang dengannya. Kalimat tadi sudah membuatnya puas. Ia tidak sendirian di sini.

Tentu saja, pasti orang pernah melakukan kesalahan. Yang perlu ia lakukan hanya mencari keberanian untuk memaafkan. Yaya merasa bodoh sekali karena tidak melihat jawaban yang sebegitu jelas terpajang dihadapannya.

Sejak kapan ia menyerah kepada keputusasaan? Bukankan ia seseorang yang kuat? Sejak kapan ia tenggelam dalam benci? Bukankan ia orang yang sabar?

Semua manusia pasti pernah berbuat salah. Ucapan Boboiboy memang benar. Dan sekarang merupakan tugasnya sebagai manusia untuk dapat memaafkan.

Bayangan itu mundur ke pojok ruangan, dengan tidak rela, sebelum akhirnya menghilang meninggalkan kamar Yaya yang kembali cerah.

Yaya yakin esok ia dapat menghadapi hari dengan senyuman.

Rasa sedihnya, sudah terangkat.

.
~Shadow Tamer~
.

Fang berusaha melindungi dirinya dari serangan apapun makhluk itu lemparkan padanya. Tapi yang ia dengar bukan suara tulang retak atau jeritannya. Malahan Suara sesuatu yang pecah. Seperti...kaca.

Fang memberanikan diri untuk menurunkan lengan yang melindungi wajahnya. Matanya terbelak kaget. Bukannya beruang ganas, dirinya kini menatap Pecahan kaca hitam berjatuhan yang akhirnya menguap sebelum bisa menyentuh tanah.

Bocah berkacamata itu membeku di tempat dan mengerjapkan matanya beberapa kali. Pandangannya masih terpaku pada lokasi bayangan itu terakhir muncul.

'Ini.. Sudah berakhir?'

Kegelapan yang sudah tidak terasa lagi menjadi jawaban bagi Fang. Sudah tidak ada lagi beruang besar serta mulut-mulut abnormal itu.

Fang berdiri dan menepuk-nepuk celananya yang kotor, masih merasa tidak percaya bahwa pertempuran ini sudah berakhir begitu saja. Tanpa alasan yang jelas.

"Hoi, kalau kau masih disini keluarlah!"

Tidak ada jawaban. Fang terdiam, mendongakkan kepalanya menatap bulan. Pertempuran kali ini memang sudah berakhir. Dan malam kembali diakhiri dengan misteri.

.
~Shadow Tamer~
.

Pagi datang. Langit terlihat cerah dengan awan menghalau sinar matahari yang berlebih. Fang terlihat sedang berjalan lunglai menuju Kedai Tok Aba. Mengapa ia bela-belakan datang ke sana walaupun tubuh sudah hancur akibat kemarin malam kalian tanya?

Fang merogoh saku celana kanannya dan membuka ponselnya. Memencet beberapa tombol untuk membuka kembali presan yang ia dapat ketika ia baru bangun tidur.

Dari: Rival bodoh

' DARURAT. Datang ke kedai tok aba jam 7.00 . Tidak boleh telat ya,'

'Huh, darurat..' Fang mendengus dan memasukan kembali ponselnya dengan kasar. Kalau memang ada keadaan darurat seharusnya seseorang sudah menelponnya terlebih dahulu. Lagian akhir-akhir ini tidak ada yang namanya keadaan darurat. Hanya ada parade bayangan dadakan yang 'meriahkan' malam. Dan mengapa ia menuruti pesan itu? Fang sendiri tidak tahu. Mungkin ia sedang berbaik hati.

Begitu Fang sampai ia disapa oleh Boboiboy yang sedang memunggungi Ying dan Gopal di depan kedai. Berbeda dari Boboiboy yang terlihat ceria, Ying dan Gopal terlihat gugup. Terutama Gopal yang sepertinya baru saja mandi keringat.

"Keadaan darurat, ya?" Desis Fang, sisi sarkastiknya mengambil alih dan membuat bocah bertopi itu terkekeh malu. Fang menghela lelah.

"Hehe, bukan darurat juga, sih. Tapi kalo engga ada kamu engga lengkap jadinya." Boboiboy menggaruk pipinya yang tidak gatal.

Fang mendengus dan memalingkan wajahnya. Dengan setengah hati berjalan mendekat, mengambil tempat duduk di paling ujung, bersebrangan dengan Ying dan Gopal. Boboiboy pun mengikuti dan duduk di sampingnya. Menghiraukan tatapan sebal Fang dari Kirinya.

"Terus, aku ngapain disini?" Tanya Fang ketus. Masih merasa sebal harus banyak bergerak di pagi hari.

Boboiboy menatap tanah dibawahnya, lama. Sebelum berbalik menghadap Fang dengan mantap. "kita akan minta maaf."

Fang menatap heran rivalnya. "Ke siapa?"

Belum sempat menjawab, semua kepala di kedai tok Aba terangkat ketika mendengar langkah kaki. Dan semua mata tertuju pada gadis berhijab pink yang berlari mendekat.

"Eh, aku telat ya?" Guman Yaya yang segera berlari lebih cepat. Namun kecepatannya kalah jauh dibandingkan lari Ying yang kini sudah terlebih dahulu menyampirinya.

"Yaya! Um... Aku.. Kita..sebenernye... " Ying menunduk dan memainkan telunjuknya. Lho? Sejak kapan Ying jadi pemalu?

"Ada apa Ying? Jangan-jangan kau kena pistol emosi Y?!" Yaya menatap khawatir Ying.

"Bukan!" Yaya terlonjak kaget mendapati Ying berseru bersamaan dengan Gopal. Sejak kapan ia ada di samping Ying?

"Um, Yaya? Sebenernye, Kami minta maaf soal kue kemarin. Kami tidak tahu kalau kami menyakiti perasaan mu. Maaf ya." Kepala Ying tertunduk semakin dalam.

"Huhu, maafkan aku Yaya! Aku tak tahu aku ngomong apa kemarin, maafkan aku!" Sementara itu Gopal memilih cara yang lebih dramatis. Dengan bersujud meminta ampun dihiasi hujan air mata,

Awalnya Yaya kaget. Tapi kemudian ia tersenyum haru melihat sahabatnya itu. Rasanya ingin ikut menangis dan guling-guling tidak jelas bersama mereka.

Tanpa berkata apa-apa lagi Yaya memeluk kedua sahabatnya. Ying dan Gopal merasa kaget dan kehabisan kata. Mereka diam menanti Yaya berucap.

"Kita tuh teman. Pasti ada saatnya kita melakukan kesalahan. Aku juga pasti pernah salah. Jadi jangan menangis, kalian ku maafkan. " Yaya mengeratkan pelukannya.

"H-huaa! Yaayaaa!!" Tidak bisa menahan lagi, Ying dan Gopal akhirnya menyerah dan membanjiri Yaya dengan air mata mereka. Yah, mungkin lebih tepatnya air mata Gopal karena sekarang ia sedang bersujud syukur memuji Yaya dan kebaikan hatinya. Masih dengan hujan air matanya.

Yaya mencari Boboiboy dan memulutkan 'terima kasih' pada bocah itu sebelum kembali berusaha menenangkan Ying dan Gopal. Boboiboy yang menangkap pesan tadi tersenyum lebar.

"Terbaik..." Ucap Boboiboy pelan.

"Hoo, jadi ini. Lantas buat apa aku dipanggil juga?" Fang menyenderkan punggungnya ke meja. Irisnya masih melekat ke drama dadakan didepannya.

"Untuk bantuan mental," balas Boboiboy ringan. Yang kemudian dihadiahi jitakan keras di keningnya.

"Aduh! Hei! Buat apa aku dijitak segala? Uh, keningku yang malang," Boboiboy dengan miris mengelus keningnya yang berdenyut. Sementara yang bertanggung jawab malah menyilangkan tangannya, ketus.

Boboiboy cemberut, tapi tidak membalas perbuatan rivalnya itu. Kalau ia balas bisa jadi Fang menjadi lebih ganas. Ia pun menghela nafas dan ikut menyenderkan punggungnya. Matanya juga menatap tempat yang sama seperti Fang.

Tidak ada yang angkat bicara. Mereka hanya menatap Gopal yang kini sudah mulai tenang. Fang secara diam-diam merasa lega ketika tangis buaya itu akhirnya berhenti.

Merasa tidak ada kerjaan, Boboiboy melirik Fang dan berhenti di tangan kirinya. Karena jaketnya tidak dikenakan Boboiboy bisa melihat perban yang membungkus tangan Fang seperti mumi tidak jadi itu.

Pertanyaan kembali berputar di benak Boboiboy. Apa yang menyebabkan luka itu? Fang yang selalu terlihat kuat. Bertempur bersamanya melawan kejahatan alien kepala kotak. Fang yang mempunyai kuasa penuh. Fang yang merupakan rival nomer satunya, dapat terluka seperti itu?

"..Fang...?" Yang ditanya menoleh dan menaikan alisnya. "Apa?"

'E-eh?' Tanpa ia ketahui mulutnya telah terlebih dahulu mendahului otaknya. Rasa penasarannya yang terlalu besar membuat Boboiboy spontan mengatakan pertanyaanya.

Boboiboy menggigit bibir bawahnya. Tangannya juga tanpa sadar juga meremas kain celananya. Kenapa susah sekali bertanya pada rivalnya itu? Ya tuhan, ini lebih menegangkan dari ujian matematik dadakan Cekgu Papa. Ia juga tidak berani menatap iris Amethyst Fang.

Ketika Boboiboy sudah berhasil menarik nafas, mengumpulkan tekad dan menatap Fang. Dirinya tidak tahan untuk kembali melihat tanah.

Kenapa? Kenapa setiap kali menatap Fang ia selalu menemukan sesuatu dibalik lensa kacamata itu. Padahal sekarang Fang sedang menatapnya datar. Tapi selalu ada sesuatu yang membuat Boboiboy ingin mengulurkan tangannya untuk si raven. Berkata padanya bahwa "aku disini," akan membantumu kapan pun. Menemanimu melewati rintangan yang membenani hidupmu. Jadi tolong panggil namaku! Jujur, Boboiboy merasa sangat puitis sekarang. Tapi itulah yang ia rasakan saat ini.

Boboiboy membuka mulutnya. Namun ia berhenti, tidak ada ucapan yang keluar. Melihat wajah Fang kembali membuatnya bimbang. Pada akhirnya, Boboiboy menggeleng dan tersenyum.

'Lain waktu saja,'

"Hehe, engga jadi," Fang memicingkan matanya. Tapi tidak bertanya lebih jauh.

"... Tanganmu, masih sakit?" Tanya Boboiboy, berusaha mencari topik lain. Matanya tidak terlepas dari tangan Fang dan terus terlihat, entahlah, sedih?

Fang mengangkat lengannya. Menggerakan jemarinya dalam gerakan meremas berkali-kali sebelum menunjukannya tepat di wajah Boboiboy yang terlonjak dengan gerakan itu.

"Heh, kau pikir aku tu lemah? Luka ini bukan apa-apa. Besok juga sembuh. Kenapa? Peduli ya?" Fang mengulas senyum angkuh dan membuat Boboiboy menepis -pelan, tangan Fang.

'Mungkin aku memang peduli..'

"Aku? Peduli sama kau? Jangan harap, deh." Boboiboy menyengir dan melihat ke atas. Sementara rivalnya membuang muka.

Suatu saat ia akan mengulurkan tangannya untuk Fang. Sekarang memang bukan saat yang tepat. Tapi jika waktunya tiba, ia segenap hati akan membantu rivalnya. Lagipula, bagaimana bisa ia menjadi rival yang baik kalau menjadi teman yanh baik saja ia tidak sanggup? Itu adalah janji Boboiboy untuk Fang.

.
.
" —aku akan membantumu. Walau kau menepis uluran tanganku. Karena untukmu... Aku—"
.
.
TBC

--
A/N:

AKHIRNYA SETELAH TIGA BULAN APDEET xD

Aah, kegalauan gabisa nulis cepet. Sudahlah.. :3

Oya, kalau ada yg mo liat fanart boboiboy( banyaknya FangBoy sih..) silahkan kunjungi instagram saya : @TsubasaKEI /promosi/

Sekian,
TsubasaKEI, out.

Continue Reading

You'll Also Like

2K 148 12
Lanjutan dari fanfic Takemichi x Mikey dari akun wattpad @Sanzuuuh maaf ya guys Author ga inget ama sandi akun sendiri, jadi ya... ga bisa login lagi...
1.1K 104 7
Himitsu by Asazuki Maju (RUTEN) Kaishin translation by me Jgn seenaknya ngambil hasil translate! 25 Desember 2023
10.7K 1K 32
‼️ɪɴꜰᴏʀᴍᴀᴛɪᴏɴ ᴀʙᴏᴜᴛ ᴛʜɪꜱ ʙᴏᴏᴋ‼️ ꜱᴛᴏʀʏ? ᴏʀɪɢɪɴᴀʟ ʙʏ ᴍᴇ ᴄʜᴀʀᴀᴄᴛᴇʀ? ᴘᴜɴʏᴀ ʏᴜꜱᴇɪ ᴍᴀᴛꜱᴜɪ, ꜱᴀʏᴀ ᴄᴜᴍᴀɴ ᴍɪɴᴊᴇᴍ 🙏🏻 ꜱʜɪᴘ? ᴀꜱᴀᴋᴀʀᴜ,ꜱᴇᴍᴇ ᴀꜱᴀɴᴏ,ᴜᴋᴇ ᴋᴀʀᴍᴀ ꜱʟɪɢ...
73.3K 6.7K 50
Sebuah cerita Alternate Universe dari tokoh jebolan idol yang banyak di shipper-kan.. Salma-Rony Bercerita mengenai sebuah kasus masa lalu yang diker...