Protect At All Costs (END)

By an_ssky

15K 2.1K 3.5K

C A M P U S S T O R Y *** "Kamu cowok, kan? Aku nggak pernah kenal kaum kamu. Tepatnya, nggak kenal makna sal... More

p r a k a t a
a b o u t
prolog
01_alleged trouble
02_(don't) care about
03_touch
04_unidentified
05_toes and arguing
06_unsee scenery
07_hard-to-get approval
08_anxiety ring
09_wrong way to interact with you
10_silly perspectives and thoughts
11_memory caller
12_space and squeeze
13_like a rain
14_with you, again
15_a rush of blood
16_thank you in silence
17_hated stare
18_with you, always
19_belief
20_closer
22_words to believe
23_his existence
24_she and her past
25_stay stay stay
26_apology
27_people come and go, so you do
28_night of confession
29_she's the present
30_his world is hers
epilog
extra chapter
1.1_you're not alone
1.2_such a hard time
1.3_he want, but he can't
1.4_messed up
1.5_choices
1.6_turning point [END]

21_falling for you

233 42 40
By an_ssky

Some people say, they don't know how love comes. For me, it's about how you are always there. 

***

Bersama langkah yang dibawa semakin jauh meninggalkan bagian dalam bangunan minimalis LovALife, Isy merutuki diri. Tidak tahu dari mana asalnya, secarik terima kasih diluncurkan begitu saja. Bukannya Isy antipati dengan kalimat itu. Hanya saja, dia tidak bisa menebak dengan pasti, apa tujuan terlontarnya barisan huruf itu dari mulutnya. Atau mungkin ... lebih tepatnya, dia masih enggan mengakui.

Isy memejamkan matanya erat, sebelum membuka pintu LovALife untuk sedetik kemudian benar-benar berada di luar ruangan. Lagit sudah semakin terpejam, membagikan selimut pekatnya kepada bumi yang masih setia dengan pendar-pendar kecil sinar buatan. Gadis itu harus segera pulang, meski tanpa disadari, ada ingin yang terpendam untuk menunggu barang sebentar. Menunggu kemunculan seseorang sebelum mereka benar-benar saling bertolak ke peraduan.

Lagi-lagi, pejaman erat dan gelengan kepala yang menjadi gerak penghias tubuh Isy. Kenapa pula dia harus menunggu Jaza?

Kini, setelah menangkis segala hal yang semakin jelas seiring waktu berjalan, Isy meneguhkan langkahnya. Gadis itu menghampiri motor yang terparkir sedikit di ujung, tetapi tidak berjarak lebih dari sepuluh meter dari pintu utama LovALife.

Sampai akhirnya, kaki itu melambat. Raut yang semula tak karuan karena bersusah payah menepis hadirnya seseorang di kepala, kini berubah menegang. Gadis itu perlu mengaitkan kedua tangannya, lalu memainkan logam bundar yang terpasang di jari tengah. 

Nggak apa-apa, katanya dalam hati, sembari mengulas senyum dan mengambil napas perlahan. Pun mengeluarkan sama pelannya, seolah berusaha mengusir kecemasan setelah melihat empat hingga lima pemuda yang bergerombol, menduduki kursi kosong yang berjarak sekitar dua meter di sebelah titik terparkirnya motor Isy.

Toh, masih ramai kendaraan. Nothing bad will happen. Kalimat penenang kembali terulang. Seperti yang disarankan Dokter Ratih, dia mencoba membangun perspektif positif. Hingga dia berhasil membawa kaki kembali melangkah dengan ritme yang meningkat, meski tidak seteguh tadi.

"Baru pulang kerja, ya, Mbak?"

Namun, pertahanan yang dibangun, digoyahkan dengan satu kalimat itu. Entah apa maksudnya, tetapi Isy tidak bisa perpikir positif atasnya. Sama sekali.

Gadis itu tidak menjawab, tidak pula berusaha menaruh pandang ke asal suara. Dia hanya mempercepat langkah menuju motor yang kini hanya berjarak belasan jengkal saja.

"Nggak takut emang, pulang malem sendirian?" Suara lain menyapa. Warnanya berbeda dari yang pertama. Rasanya, Isy ingin berteriak bahwa seharusnya tidak perlu ada ketakutan jika saja wanita dan kaum mereka tak tinggal di atas bumi yang sama. Namun, gadis itu menahan. Dia malas memperpanjang. Toh, kini Isy hanya perlu mengaitkan kunci motor ke tempatnya dan pergi dari sana.

"Mau ditemenin nggak, pulangnya?"

"Waduh, cantik fisik doang, tapi sombongnya kebangetan."

Kalimat itu meluncur saat Isy sudah berada di atas motor. Sekali lagi, gadis itu menulikan telinga. Dia fokus untuk menyalakan mesin kendaraan. Hingga akhirnya, cemas menyerang saat tidak ada bunyi berarti yang dia dapatkan. Usahanya tidak berbuah. Benda besi itu setia dalam geming, tak mau mengantar pergi pemiliknya.

"Nah, kan. Butuh bantuan kita juga."

Masih saja, Isy tidak menjawab. Meski samar-samar, dia dapat mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Netranya konsisten menyinarkan harap, bahwa motornya bisa bekerja sama sekarang juga. Tidak peduli meski dari sudut mata, tubuh-tubuh terlihat mendekat.

"Sini. Untung cantik, jadi dimaafin."

Entah suara orang yang keberapa, tetapi kini volumenya semakin besar saja. Jelas jika ia tepat berada di samping Isy. Kalimat-kalimat lain bersahutan. Sampai rasanya, telinga Isy sudah enggan menampung suara-suara menjijikan tersebut.

Sampai dirasanya ada tubuh yang semakin mendekat, Isy meremas udara kosong dan menolehkan kepala ke samping, di mana orang-orang tak beretika itu berada. "Norak." Dia berucap tegas. Kali ini, didapatinya wajah-wajah yang tak pernah ingin dia ingat. Wajah-wajah yang kini saling melempar tatap dengan kawanannya, sedang seringai dibiarkan bersemayam di masing-masingnya.

"Ya elah, sewot amat. Nggak bisa diajak basa-basi banget jadi orang. Lo pasti nggak punya temen, ya?"

Tawa menyembur, tetapi Isy tidak menurunkan tatapan tajamnya. Bukankah lemah hanya akan membuatnya terlihat semakin mudah untuk diinjak-injak oleh mereka yang bahkan lebih pantas disebut sampah?

"Temenan sama kita ajalah udah. Biar kalo motor lo mogok, punya one call away."

"Halah, sok bule lo, Dam." Lagi. Tawa yang seolah tak mengganggu siapa pun. 

Bohong jika Isy tidak takut. Dia duduk di atas motor saat ini, dan lima orang di hadapannya tentu lebih dari mampu untuk berbuat macam-macam dengan gadis itu. Akan tetapi, Isy bisa apa lagi? Dia bisa apa lagi, saat perlahan matanya justru memanas bersama bayangan pudar yang melintas. Mata yang diatur untuk memberikan sorot muak, kini perlahan meredup, bersama gerak seseorang yang terlihat hendak meraih stang motornya.

"Udah, gue bantuin sini."

Ingin sekali Isy menepis. Akan tetapi, apa yang akan terjadi selanjutnya jika dia melawan semakin banyak? Apakah mereka akan kehilangan kesabaran sebagaimana yang sebenarnya Isy rasakan sekarang?

"Bang, minggir. Nggak usah gangguin orang, apalagi cewek. Dunia udah sesek, nggak perlu ditambahi ulah sampah kayak kalian."

Berbeda dengan suara yang dari tadi Isy dengar, kali ini gadis itu menyambutnya dengan harapan. Perlahan dia mengerjapkan mata, mencoba melirik pemiliknya meski tidak berhasil, sebab kepala gadis itu masih lurus menghadap segerombolan orang yang menyebalkan. Satu yang dia tahu, mereka mundur sedikit.

"Lah, gue mau nolongin elah. Nyerocos aja mulut lo."

"Gue nggak tuli, kalau lo mau tahu." Suara itu dingin, mencekam. Lain dengan nyaman yang biasa Isy dengar. Gadis itu memainkan cincinnya dengan satu tangan yang masih bertengger di stang.

"Ya nggak usah laporan sama kita-kita. Emang kita emak lo?"

Suara tawa terdengar lagi, tetapi Jaza tidak menanggapi. Isy tidak tahu bagaimana raut lelaki itu. Satu hal, dia merasakan kehadiran Jaza tepat di belakangnya.

"Santai aja tuh mata. Nggak usah melotot kayak gitu. Lagian cewek gini doang lo belain sampe ngata-ngatain kita. Berapa, sih, semalem?"

Kalimat itu ... entah mengapa terasa sakit sekali. Napas yang semula kembali pada ritme normal setelah kedatangan Jaza, kini tercekat sepenuhnya. Tidak ada oksigen yang cukup mampu menerobos masuk. Satu, dua, tiga, lalu puluhan bayangan menyerbu kepala.

Aku tahu dia, Sy. Nggak mungkin dia berbuat kayak gitu kalau nggak ada pemicunya.

Playing victim nggak, sih? Paling sama-sama mau.

Ya gimana. Kalo lagi butuh duit, semua hal juga dihalalin.

Gue udah bilang. Apa susahnya, sih, tutup mulut? Gue sih nggak rugi, ya, karena orang-orang udah pasti bakal nyalahin lo.

Buliran air mata berjatuhan tanpa permisi. Dia bahkan tidak lagi punya kemampuan untuk terkejut ketika sebuah tinju melayang di hadapannya, membuat seseorang harus tersungkur ke belakang. 

"Lo!"

Netra Isy memang sudah dikaburkan air yang menggenang, tetapi dia masih bisa melihat bagaimana Jaza memainkan ponsel dengan cepat, kemudian mengangkatnya di atas kepala kala satu seruan itu muncul dari pihak yang terkena tinjuan. "Maju! Gue nggak peduli mau kalah jumlah, mau babak belur. Tapi gue pastiin, kalian semua digelandang polisi malem ini juga!"

Decihan kesal terdengar, lalu seruan yang menutup kerusuhan malam ini. "Cupu lo, bocah!"

Orang-orang itu berbalik, meninggalkan Isy dan Jaza dengan hening yang semakin terasa bersama gerutuan mereka yang menghilang perlahan.

"Isy, masuk dulu, ya? Aku nggak bawa minum."

Kesadaran menjemput. Isy memang tidak menatap ke arah Jaza, tetapi barang tentu lelaki itu dapat melihat bagaimana saat ini, air mata akrab dengan wajah Isy. Gadis itu segera mengusap pipinya kasar. "Nggak usah. Aku mau pulang."

"No. Masuk dulu, tenangin diri. Biar dicek juga motornya. Ya? Aku temenin." Jaza merendahkan tubuh, membuat mereka hampir sejajar meski Isy berada di posisi duduk.

Namun, kalimat terakhir yang diucapkan, membuat hati gadis itu justru serasa teremas. "Temenin?" Kali ini, dia menajamkan mata, mengarahkannya kepada Jaza.

"Iya. Nggak usah khawatir."

Jaza bahkan memberikan senyumnya, tetapi Isy justru menarik seringai. Dia memalingkan wajah sebentar, lalu kembali menatap lelaki di depannya. Tanpa peduli dengan raut bingung yang diberikan, dia berucap, "Kamu cowok, kan?" Tajam sekali nadanya. "Aku nggak pernah kenal kaum kamu. Tepatnya, nggak kenal makna salah dan benar di mata kalian, karena semua yang aku anggap salah, justru jadi kebenaran di sana. Sama kayak orang-orang itu, sama kayak mereka yang berlaku sebagai hakim dan buta sama perasaan orang lain. Jadi, stop nge-comfort aku. Stop peduli, karena aku nggak tahu apa lagi tidakan salah yang bakal kalian benarkan."

Sesak sekali. Kalimat panjang itu seperti kumpulan suara yang selama ini tidak bisa dia keluarkan, yang selama ini ingin dia serukan tetapi tak dilengkapi keberanian. Kalimat-kalimat itu menyingkap segala hal yang sempat terkubur dalam. Hingga kini, kala ia meluncur dengan lancarnya, hanya deru napas yang tersisa. Deru napas tak beraturan karena sistem respirasi dalam tubuh gadis itu bekerja tanpa aturan.

Sementara di hadapannya, Jaza sama sekali tidak mengalihkan tatap. Isy memang terlalu kalut untuk menganalisis sorot itu, tetapi dia melihat keteduhan di sana. Dia melihat kepasrahan, juga sakit yang mendalam. Entah dari mana asalnya, apa yang mendasarinya, Isy merasa lelaki itu tak membiarkan sesaknya bertahan sendirian.

Menit demi menit habis, memberikan bungkam segenggam ruang. Jaza sudah menegakkan tubuhnya, hingga bersama deru napas Isy yang berangsur normal, lelaki itu kembali pada posisi semula. Dilekatkannya tatap kepada netra sang gadis, lalu berkata dengan rendah, "Di sana penuh banget, ya, Isy? Semua tentang kaumku ... jahat, ya? Maaf, maaf. Maaf harus bikin dunia kamu dipenuhi hal-hal kayak gitu. Aku nggak bisa berbuat apa pun, tapi ... ke duniaku aja, mau?"

Bagaimana kalimat itu bekerja, Isy tidak mengerti. Dia tak kuasa menciptakan sebuah definisi, di saat perasaannya sendiri terlalu abstrak untuk dimengerti. Dia setia dalam geming, begitu pula dengan deru jantung yang berangsur melirih, tidak berdetak sesakit tadi. Satu hal yang pasti, dia harus mengedipkan mata dan beralih dari netra Jaza jika tak ingin bulir lain jatuh dari tempatnya. Namun kali ini, bukan sakit yang terasa.

"Aku mau pulang," katanya, usai berhasil memalingkan wajah dari Jaza. 

Hening, dan Isy masih sanggup bertahan untuk tidak melirik reaksi sang lelaki. Hingga akhirnya, Jaza mencipta suara.

"Iya. Biar aku cek dulu, ya, motornya. Nggak nyala, kan? Kamu ke dalem dulu, minum dulu."

Lelaki itu tidak keberatan, bahkan saat kalimat panjangnya tidak diberi sambutan. Kali ini pun, Isy masih tidak menatap ke arahnya dan justru turun dari motor. "Nggak usah masuk, aku bawa minum."

Begitu saja, Isy berjalan menjauhi Jaza. Dia sama sekali tidak membiarkan sorot mata jatuh ke sana. Karena jujur, Isy tidak mampu. Bahkan ketika dia sudah duduk di pelataran kecil LovALife, melirik ke arah lelaki itu tidak terasa mudah. Jantungnya berdetak dengan irama lain. 

Kaki Jaza yang mencoba menghidupkan motor dengan kick starter, lelaki itu yang berjongkok entah untuk apa, juga tangan yang cekatan menekan layar ponsel dan mendekatkan benda pipih itu ke telinga, tampak lain di mata Isy.

Gadis itu memutar-mutar cincin di jari tangan, dengan tumbler yang tergenggam di antara kedua telapak. Matanya fokus ke pergerakannya sendiri.

Tuhan, Jaza memang sebaik ini, kan? Apa aku ... cukup pantas untuk punya rasa ke dia?

This day, Jaemin confirmed with Covid-19 :(( also our precious sunflower :(( Hope Jaemin, Haechan, Jeno, and Chenle will get well very soon. I beg you to pray for them, Guysss.

Jangan lupa vote NCT Dream di Mcountdown jugaa (ini semoga dibaca sebelum jam 22.00 sih hehe)

AN
June 6, 2022

Continue Reading

You'll Also Like

2.3M 73.1K 17
Sebagian sudah diunpublish Link ebook di google play : https://play.google.com/store/books/details?id=uA5QDwAAQBAJ Pesona pria itu mengacaukan indran...
4.8K 1.1K 33
"Aku tidak suka gadis bodoh." Adam dan Naira yang kini beranjak dewasa dan memasuki masa-masa indah selama di SMA. Menjalani kehidupan dari masa rema...
BLOOMING By diaryzee

Teen Fiction

732 90 25
bloom (noun) ; a beautiful process of becoming. Areksa jatuh cinta dengan pertemuan yang tak terduga dan cara paling sederhana. -this book are about...
4K 459 2
"I heard you're a player. Nice to meet you, i'm the coach." *** Aura Angela Febiola, seorang selebgram dengan jumlah followers jutaan. Orang-orang...