Calysta Finn

By dedesusilowati

6.8K 749 287

Kata orang cinta pertama itu tidak akan dapat terwujud dan Callie merasakan hal itu. Bertahun-tahun ia mengej... More

Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20

Chapter 3

420 51 36
By dedesusilowati

Berlin, Germany

Setelah seperti orang gila saat mendapati sosok Edward yang tidak sengaja dia jumpai di sebuah pusat perbelanjaan, Calysta menyuruh Taylor untuk pulang ke hotel terlebih dahulu. Dia meyakinkan managernya untuk pergi menemui teman dan kembali sebelum tengah malam.

Calysta menjejalkan ongkos taksi. Mengabaikan sang supir yang memanggilnya hendak memberi uang kembalian. Beberapa kali kakinya yang memakai heels tersandung akibat tak memperhatikan jalan. Fokusnya tengah berada pada seorang pria yang baru saja berjalan masuk ke dalam bar.

Dia berjalan tergopoh-gopoh merasakan nyeri di bagian kakinya yang lecet akibat heels yang dipakai. Menaiki tangga dengan was-was, mengikuti Edward yang dengan santai memasuki sebuah koridor, dimana di kanan kirinya terdapat beberapa pintu ruangan.

Calysta menarik nafas panjangnya. Bersiap untuk menghadapi apa saja di balik pintu ketiga yang dimasuki oleh Edward.

"Nona, Anda tidak bisa masuk sembarangan kemari." kata seorang penjaga pintu ruangan yang menahan lengan Calysta ketika dia hendak masuk ke dalam ruangan tersebut.

"Singkirkan tanganmu itu!" Calysta berkata ketus, mengusap-usap lengannya yang baru saja terkena sentuhan oleh orang asing. Dia bergidik ngeri akan banyaknya kuman yang menempel di kulit dari tangan asing itu.

Buru-buru Calysta mengambil nafas sebanyak mungkin karena mendadak penyakit sialannya kambuh. Dia berusaha memfokuskan diri akan tujuannya kemari. Memikirkan hal menyenangkan seperti mandi dengan air hangat bercampur antiseptik yang dapat mematikan kuman-kuman bersarang pada tubuhnya.

Berhasil. Nafasnya sudah stabil dan dia menegapkan kembali tubuh dengan dagu terangkat.

"Kau tidak tahu siapa aku?" katanya mendelik pada kedua penjaga yang berdiri di depan ruangan itu.

"Ini sudah peraturan Nona, Anda tidak dapat masuk karena klien kami di dalam menyewa tempat ini beserta keamanannya."

Calysta mendengkus, dan di detik itu juga entah kegilaan apa yang merasukinya. Dia menerobos masuk namun tubuhnya terhuyung kebelakang saat penjaga mendorongnya.

Sebuah tangan berhasil menangkap tubuh Calysta. Dan anehnya aroma maskulin yang menguar terasa tidak asing. Rasanya tidak mungkin, sudah bertahun-tahun lamanya. Dia mendongak dan melebarkan mata ketika seseorang yang sudah berusaha di lupakan berada tepat di depannya. Cars.

"Kau tidak apa-apa?"

Calysta merasa tidak nyaman ketika Cars memperhatikan setiap jengkal tubuhnya dan terhenti pada kedua kaki yang telanjang dengan heels yang di jinjing.

"Aku ingin masuk ke dalam sana!" mengabaikan tatapan Cars yang sulit dia mengerti, Calysta berusaha kembali pada keadaan. Mengumpulkan berbagai macam isi pikiran yang terbagi antara Edward dan Cars. Memungutnya kembali satu persatu dan memutuskan untuk mengesampingkan perasaan tidak nyaman pada pria di sampingnya

Cars tampak menaikan satu alis, jenis komunikasi tanpa suara pada para penjaga seolah berkata; biarkan kami masuk. Seperti itulah yang terbaca di mata Calysta.

"Tidak bisa, Sir. Kau pun tahu aturannya." cetus salah satu penjaga.

Cars menoleh pada Calysta, "hubungi pamanmu!"

"Pamanku?"

"Alexander."

"Ah. Jadi bar ini miliknya." ujar Calysta mengeluarkan ponsel dengan susah payah dari cluth yang dia tenteng bersama dengan heelsnya. "Lihat saja. Akan kubuat kalian berdua terlempar dari pekerjaan ini." katanya setelah menaruh benda pipih tersebut di telinga.

Tanpa berbasa basi begitu sambungan itu tersambung Calysta langsung memuntahkan keluhannya pada Alexander. Lalu dia memberikan ponsel pada salah satu penjaga tersebut. Dari wajah penjaga itu, pun Calysta dapat melihat jika nyawa mereka tengah di ujung tanduk. Mungkin saja Alexander menumpahkan berbagai macam ancaman karena telah mengusik keponakannya.

"Silahkan, Nona."

Pun dengan lirikan tajam yang ia layangkan pada kedua penjaga, kaki Callie dengan mulus memasuki pintu yang sebelumnya telah di bukakan dengan akses card.

"EDWARD!!!" Calysta memekik ketika pintu terbuka.

Teriakan Calysta menghentikan aksi ciuman dari pasangan yang tengah di penuhi kabut gairah. Edward langsung menyingkirkan tubuh seorang wanita yang sebelumnya tengah di pangku. Pria itu langsung berdiri begitu kaki Calysta melangkah mendekati keduanya.

Mata Callysta melebar kala mendapati seorang wanita yang dia kenal, Marie Scott yang merupakan salah satu model terkenal.

"A-aku bisa jelaskan semua ini, Callie." Edward berjalan mendekat, tangannya terulur hendak meraih jemari Calysta.

"Jagan mendekat!" kilasan hal serupa yang pernah dia dapati mencoba masuk kembali menjelma sebagai kenangan buruk yang menyakitkan.

"Callie maafkan aku." Edward dengan bersikeras meraih tubuh Calysta namun tiba-tiba Cars berada di tengah mereka.

"Dia bilang, jangan mendekat! Apa kau tuli, hah?"

"Siapa kau?" Edward mendesis kesal, "Minggir!!" mendorong tubuh Cars ke samping.

Calysta memundurkan diri, dan tiba-tiba saja dia berteriak saat Cars menarik tubuh Edward lantas memukul pria itu. Mengerjapkan matanya berulang kali akan tontonan dari dua orang pria yang telah berhasil menorehkan kenangan buruk, buru-buru Calysta menoleh pada seorang wanita yang sedang merapikan pakaian.

"Dasar jalang!" Calysta melempar heelsnya dan sukses mengenai kening Marie. Wanita itu mengaduh dengan bola mata yang hampir keluar dari rongganya.

Calysta tidak gentar. Dia menaikan dagunya dengan tinggi. Menantang.

"Kyaaa.." teriak Calysta dan Marie bersamaan mengambil ancang-ancang sebelum berlari saling menghampiri lantas mencengkram rambut masing-masing.

Sementara Cars meludah ke lantai setelah selesai menghajar Edward. Menatap puas dengan seringai yang menyeramkan melihat pria yang tergeletak babak belur tanpa sedikitpun perlawanan. Setelah itu Cars mengalihkan perhatiannya pada dua orang model terkenal tengah berguling-guling dengan saling menjambak. Marie memekik kesakitan ketika rambutnya disentak beberapa kali oleh tarikan tangan Calysta. Cars segera berjalan ke arah mereka tanpa basa-basi dia meraih pinggang Calysta yang sudah berada di atas tubuh Marie. Cars langsung menarik tubuh itu dari lantai lalu menaruh di atas pundaknya, memikulnya bak karung beras. Namun Calysta masih berteriak tidak terima, tangannya mengibas-kibas di udara untuk menggapai Marie yang masih tergeletak di lantai.

"Lepaskan aku sinting! Aku belum selesai menghajar wanita jalang itu. Sialan! Aku harus membuatnya paling tidak mengoperasi wajah menjijikannya itu! Lepaskan aku, Cars!"

"Diamlah!" bentak Cars menepuk pantat Calysta dengan santai.

"Sialan! Dasar mesum! Sinting! Jaga tanganmu bodoh!"

Cars tidak menggubris, dia terus saja berjalan dengan Calysta yang masih meronta. Sesampainya di parkiran dia menurunkan tubuh Calysta dengan perlahan.

"BUGGG!" Calysta memukul dada Cars kesal, kakinya menghentak-hentakan ke tanah sebagai bentuk protes.

Bibir Cars bergerak dengan berkata; "what" tanpa suara di sertai kilat jenaka dari bola matanya.

Calysta mendengus kesal. Setelah sekian tahun dia tidak bertemu dengan pria brengsek ini akhirnya mereka kembali dipertemukan dengan skenario yang sangat memalukan. Keduanya menghajar pasangan yang berselingkuh! Hidung Calysta kembang kempis dengan dada yang naik turun, rasa marah, kesal semua bercampur. Dia juga malu karena percintaannya yang gagal disaksikan oleh Cars. Si pria sialan ini!

Cars melipat kedua tangan. Matanya menatap diam bibir Calysta yang bergerak-gerak mengumpat tanpa henti.

"Bibirmu terluka." tangan Cars terulur hendak mengusap sudut bibir Calysta namun langsung di sentak gadis itu.

"Stop it! Do we know each other, Mr?"

Cars menaikan kedua tangan tanda menyerah, "Rambutmu .." dia menunjuk kepala Calysta, "sedikit berantakan!" tutur Cars datar.

"I know." teriak Calysta sedikit tidak terima dikomentari penampilannya.

Cars memperhatikan dalam Calysta yang tengah merapikan rambut dengan mengusap-usap pelan, sesekali menyisir dengan kelima jarinya.

"Sial. Penampilanku jadi berantakan seperti ini." Calysta  berjalan ke arah spion mobil lantas bercermin, memperhatikan wajahnya yang sedikit terluka akibat pukulan yang entah kapan dia terima dari Marie.

Cars bergeser hanya untuk menemukan Calysta yang menggerutu akan penampilannya di depan kaca spion.

"Oh God. Kecantikanku..." Calysta menegang wajah dengan kedua tangan, "luntur sudah."

"Kau masih terlihat cantik." tutur Cars apa adanya yang membuat Calysta langsung menoleh cepat dengan sorot mata menghujam seolah pujian yang baru saja terlontar adalah kata-kata kesumat penuh kengerian.

"Shut up! Aku tidak percaya mulut busukmu!"

Cars memutar bola matanya terkejut akan keberanian Calysta. "Ternyata kau jago mengumpat sekarang."

"Siapa dulu yang mengajariku." Calysta mendelik penuh permusuhan.

"Aku akan mengantarmu pulang. Bukankah kau kesini menaiki taksi?"

Calysta sudah cukup membereskan penampilannya. Dia meraih sesuatu dalam tas yang sempat di selamatkan saat Cars menariknya tadi. Sebuah botol antiseptik dia buka lalu di semprotkan ke seluruh badan.

"Aku tidak akan ikut dengan pria asing sepertimu." Ucap Calysta mantap dengan berbalik menatap Cars yang sudah berada di samping pintu kemudi.

"Jangan jual mahal. Ini sudah tengah malam dan kau bukan wanita sembarangan yang dapat kemana saja seenaknya."

"Cih. Sejak kapan kau menghawatirkanku?"

"Aku tidak menghawatirkanmu. Hanya jika terjadi apa-apa aku tidak mau menjadi saksi."

"Kau mendoakan sesuatu terjadi padaku?"

"Itu semua tergantung keputusan yang kau ambil, Calysta. Ikut aku atau tidak?!"

"Aku tidak mau!"

"Baiklah kalau kau tidak mau. Aku hanya mengingatkan, selain banyaknya kriminal di Berlin, hantu juga suka bergentayangan di tengah malam."

"Apa kau sudah gila menakutiku dengan hantu seperti anak kecil."

"Kalau kau tidak takut, silahkan pulang sendiri." Cars mulai menyalakan mesin mobilnya.

Calysta melirik kanan-kiri di sekitar tempatnya berdiri. Cukup terang dengan segala macam gemerlap lampu jalanan. Namun beberapa orang pria bergerombol tampak berlalu-lalang. Mendengar obrolan melantur dan langkah kaki gontai yang di ambil, sepertinya mereka sudah mabuk. "T-tunggu!" ucap Calysta, lirih namun entah kenapa terdengar oleh Cara. Karena sedetik kemudian jendela mobil itu menurun terbuka.

"Naiklah!" pinta Cars tegas.

Calysta menggigit bibir bawahnya, menimbang kembali ajakan Cars. Dia takut pulang sendirian tapi dia juga sudah bertekad untuk tidak jatuh hati kembali pada pria di depannya itu. Di liriknya jam tangan yang sudah menunjukan pukul dua belas lewat. Jika sekarang dia menghubungi Taylor sudah pasti akan berakhir dengan ceramah berkepanjangan dan dia sangat tidak menyukai itu.

"Kau mau naik atau tidak?!" tanya Cars kembali.

Nada suara itu terdengar lebih dingin dari sebelumnya atau memang suara Cars sejak dulu sudah seperti itu? Iya benar, sudah Cars memang selalu dingin untuk Calysta. Tidak ada kata-kata baik yang keluar dari mulut Cars untuknya. Dia membalikan tubuh dan tanpa memberikan jawaban, Calysta menarik pintu penumpang lantas duduk di samping Cars.

Hening untuk beberapa saat mereka berkendara.

"Bagaimana kabarmu?" Cars memulai pembicaraan. Matanya masih terfokus pada jalanan.

"Baik." jawab Calysta ketus.

Melirik Calysta sekilas, Cars tampak ragu-ragu berbicara.

"Kenapa kau menatapku seperti itu?" Calysta berhasil menangkap tingkah aneh Cars.

Cars mengusap mulutnya canggung, "kau ingin ke pantai? Jangan salah paham dulu, biasanya wanita membutuhkan tempat untuk mencurahkan kesedihan. Pantai adalah tempat yang paling cocok. Atau kau ingin aku antarkan kemana agar suasana hatimu lebih baik?"

Mata Calysta menyipit, mendikte gestur tubuh Cars yang sedang menyetir. Dia sedikit terkejut mendengar ajakan tersebut, terlebih keluar dari mulut pria itu. Namun kata-kata Cars benar, dia butuh suasana yang dapat meringankan kekesalannya. Karena demi Tuhan, jika sekarang dia pulang ke hotel, Calysta bisa saja memecahkan barang apapun agar emosinya tersalur.

"Baiklah."

"Iya..?" Cars menoleh sedikit terkejut mendengar jawaban Calysta.

"Bukankah tadi kau mengajakku ke pantai?"

"Aku hanya menawarkan. Tidak bermaksud mengajak. Tapi jika kau mau, baiklah kita pergi kesana." kata Cars berkelit. Tampangnya yang datar semakin membuat Calysta kesal.

"Cih.. Menyebalkan."

Tidak lama mereka sampai di tujuan, mobil Cars berhenti, tepat mengarah ke laut lepas. Pandangan di depan mereka begitu tenang dan nyaman, pencahayaan yang ada hanyalah dari sorot lampu mobil.

"Kau baik-baik saja?" Cars kembali membuka percakapan.

"Tidak. Apa kau buta?"

Cars tersenyum miring, "kalau begitu menangislah setelah itu mungkin kau akan sedikit lega."

"Untuk apa aku menangis?" Calysta menoleh dengan kening berkerut seolah aneh akan pertanyaan dari Cars. Pria itu pun menatapnya balik sehingga keduanya saling berpandangan.

Satu alis Cars terangkat, "bukankah wanita biasanya menangis saat patah hati seperti kau dulu menangisiku, bukan?"

Calysta memutuskan tatapan mereka dan lebih memilih memokuskan matanya ke depan dimana ombak sedang bergelung di lautan.

"Aku tidak sedih, lebih tepatnya tidak sesedih saat menemukanmu; pria yang kusukai sedang bermesraan dengan teman sekamarku. Yang aku rasakan sekarang hanyalah marah dan kesal. Aku kesal pada kedua orang sialan itu dan aku kesal pada diriku yang kembali salah memilih seorang pria."

Cars menyimak, matanya memaku tubuh Calysta. Dia ingin melarikan matanya kemanapun tanpa melihat wanita itu tapi sepertinya tidak bisa. Kata-kata Calysta terdengar sedih untuk beberapa alasan baginya.

Tanpa sadar Cars mengusap usap puncak kepala Calysta, "kau jauh lebih dewasa sekarang."

Calysta menurunkan tangan Cars dengan kasar, "jangan lakukan itu atau aku akan tergoda kembali. Aku tidak mau!"

Cars menyeringai. Jenis seringai menyebalkan yang selalu dia tampilkan kepada Calysta. "Sayang sekali sepertinya sedikit lagi aku memang bisa menggodamu, wajahmu sudah memerah."

Calysta buru-buru memegang kedua pipi dengan telapak tangannya. Oh sial, Calysta butuh udara atau sekarang dia dapat meninggal karena kesulitan bernafas.

Kaca jendela mobil pun perlahan Cars turunkan. Seolah mengerti apa yang di butuhkan dari gadis di sampingnya. Semilir angin malam yang dingin menyejukan wajah Calysta yang memanas.

"Someday i want to sit in my sadness like a parked car, engine still hot but breathing, waiting for a sad song to end. Dan aku tidak menyangka berada di sini, dengan kau yang pernah menjadi alasanku untuk bersedih. Benar-benar sangat konyol."

Cars hanya diam dengan semua isi kepalanya. Dia hanya ingin mencoba menikmati saat ini. Suasana yang begitu asing namun seperti bagian dari dirinya merindukan hal tersebut.

"Mau aku peluk?" kata Cars tanpa sadar.

"Jangan bercanda!"

Cars selalu menikmati ekspresi Calysta yang selalu heboh. "Aku hanya menawarkan jasa. Jika kau tidak mau menangis, barang kali ingin kupeluk."

Hening. Mereka sibuk dengan isi kepala masing-masing.

"Cars."

"Ada apa, Calysta..."

"Aku sudah benar-benar merelakanmu."

Cars menggeser tubuhnya menghadap Calysta. Menunggu gadis itu menyelesaikan ucapannya.

"Mari bersikap tidak saling mengenal ketika kita bertemu lagi." Tegas Calysta berucap, menoleh ke arah Cars dengan senyum menawannya yang anehnya terasa menyesakan.

***

(Calysta Finn Arcene)

(Carston Green Hale)

Tekan bintang dan komen manis setelah membaca cerita ini :)

Ig: @dede_susilowati

Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 106K 47
⚠️ Jangan menormalisasi kekerasan di kehidupan nyata. _______ Luna Nanda Bintang. Gadis itu harus mendapatkan tekanan dari seniornya di kampus. Xavie...
29.2M 2.5M 70
Heaven Higher Favian. Namanya berartikan surga, tampangnya juga sangat surgawi. Tapi sial, kelakuannya tak mencerminkan sebagai penghuni surga. Cowo...
1.8M 58.9K 69
Cinta atau Obsesi? Siapa sangka, Kebaikan dan ketulusan hati, ternyata malah mengantarkannya pada gerbang kesengsaraan, dan harus terjebak Di dalam n...
3.4M 250K 30
Rajen dan Abel bersepakat untuk merahasiakan status pernikahan dari semua orang. *** Selama dua bulan menikah, Rajen dan Abel berhasil mengelabui sem...