Into The Light (Seungwoo X We...

By primasantono

3.7K 438 112

*COMPLETED* Wendi yang telah memasuki umur mendekati kepala 3, sejatinya tidak peduli ketika teman-temannya s... More

Into the Mirror
Prolog
1. Light
2. Blank
3. Begin Again
4. Remember Me
5. Your Smile and You
6. Stay With Me
7. I'm Here For You
8. Fever
9. When We Were Close
10. White Night
11. While The Memory Fall A Sleep
12. Timeline
13. Want Me
14. Slow Goodbye
15. Please
16. LL (Love + Love)
17. Sweet Travel
18. Petal
19. I'm Still Loving You
20. Child
21. So Bad
22. Here I Am
23. Time of Sorrow
25. In Love
26. We Loved Each Other
27. You are Mine
28. Howling

24. Like Water

65 11 2
By primasantono

Wisnu pernah melihat Wendi dengan segala kekacauannya sebelumnya, namun kali ini gadis itu sangat kacau. Sebentar-sebentar ia bisa ketawa, lalu kemudian bisa menangis hanya karena melihat iklan pizza yang muncul di televisi.

Sebentar-sebentar gadis itu hanya diam melamun, namun sedetik kemudian tiba-tiba suka ngelantur.

'Potong pendek apa ya? Terus warnain rambut yang warna-warni kayak rambut Kang Seungsik pas comeback ini. Cakep kan rambut Kang Seungsik?'

Wisnu biasanya cuma geleng-geleng sambil membatin karena dia saja tidak tahu yang mana Kang Seungsik itu dari 6 pria yang kini memenuhi layarnya belakangan ini.

Mode Kpopers Wendi tiba-tiba meningkat drastis, ia putar satu album berulang kali dengan suara keras di TV, iPad, Macbook, bahkan iPhone-nya sendiri. Dengan segala aturan yang Wisnu kurang paham seperti volume tidak boleh kurang dari 50%, kualitas video juga harus diatas 480p, dan bahkan jika ada iklan tidak boleh di-skip.

Wisnu sampai senewen sampai akhirnya rela membayar biaya Youtube Premium agar tidak berulang kali melihat Ads salah satu aplikasi grammar yang sudah ia hapal diluar kepala teksnya itu.

"Mau kemana?" ujar Wisnu kala itu yang melihat Wendi memakai jaket kupluk dengan wajah super berantakan, "Jangan deket-deket ke jembatan ya, takut loncat,"

"Apaan sih gue baik-baik aja," sahutnya sambil mengikat rambutnya menyerupai ekor kuda. Wisnu menghela napas.

"Lo tuh kalau sedih, akuin aja kalau sedih. Jangan begini, Kak, gue jadi serem,"

Wendi tetap diam, matanya terlihat sayu. Entah berapa malam dalam seminggu ini ia sulit tidur. Sebentar bisa pulas, sebentar kemudian bisa langsung bangun disusul air mata yang tiba-tiba jatuh tanpa permisi.

"Gue perlu temenin nggak?" sahut Wisnu sambil mendatangi kakaknya yang kini sudah berada di teras rumah dan sedang memakai sepatu larinya. Wendi hanya menoleh sekilas.

"Terserah."

Wisnu hanya tersenyum sambil akhirnya segera kembali ke kamar dan mengambil jaket larinya, "Pemanasan dulu deh lo. Gue nggak mau gendong orang di hari minggu yang cerah ini!" sahutnya kembali dari dalam kamar, membuat Wendi hanya tersenyum samar.

Wendi kemudian menurut dan mulai meregangkan kaki serta tangannya. Wisnu tak lama kemudian kembali ke teras dengan setelan olahraganya dan langsung mengambil posisi pemanasan juga.

"Gue ke Bandung ya besok," ucapnya kemudian sambil mengambil gerakan menahan kepalanya menengok ke arah kiri lalu ke kanan. "Mau Market Visit*, soalnya,"

"Kok dadakan?" sahut Wisnu sedikit mendelik. "Berapa hari?"

"Seminggu. Kayak nggak tahu aja kantor gue. Apa-apa serba Proyek Roro Jongrang,"

Wisnu menatapnya curiga, ia mengayun-ayunkan kedua tangannya dengan gerakan memutar. "Ini kerja kedok healing karena patah hati?"

"Nah lo pinter. Capek gue di kantor digosipin orang-orang. Udah beredar kabar kalau gue diputusin," sahut Wendi lagi sambil mengencangkan tali sepatunya.

Sambil mengedikkan kepala, gadis itu akhirnya bergegas menggerakkan tubuhnya sambil membuka pagar. Mau tidak mau Wisnu mengikutinya dan mencoba mensejajarkan langkahnya dengan gadis itu.

Wendi tampak berlari dengan tenang, walau hatinya dirundung rasa gelisah. Seminggu kemarin di kantor rasanya seperti bertahun-tahun lamanya. Baru kali itu ia merasa takut untuk datang bekerja. Takut menghadapi orang-orang.

Siapapun yang lewat kubikalnya, diam-diam suka memperhatikan dia dengan tatap curiga. Wendi yakin, semua orang sudah gosipin dia apalagi selama ini memang gadis-gadis single itu mengincar Sakti karena kesempurnaannya baik dalam bekerja maupun dalam penampilan.

Bahkan ada yang terang-terangan memanggil Sakti dengan suara yang dimanis-maniskan begitu Sakti melewati kubikal mereka. Awal-awal rasanya Wendi masih suka tersulut, namun beruntung kadang Juna yang sekarang jadi pawangnya langsung nahan dia dengan banyak-banyak nyuruh dia sabar.

Entah sudah berapa jauh keduanya hanya saling terdiam sambil menikmati ritme lari-lari kecil mereka ini. Wendi memutuskan untuk berhenti di salah satu taman komplek mereka yang mulai ramai diisi anak-anak yang sedang bercengkrama menikmati hari libur mereka.

Wendi memanyunkan bibir begitu sepasang muda-mudi yang nampak sedang kasmaran sambil bergandengan tangan melewatinya. Seakan semesta ingin meledeknya yang sedang patah hati.

"Ya ... ya ... emang dunia milik kalian deh, kita semua ngontrak!" dumel Wendi begitu pasangan muda-mudi itu mulai menjauh dari tempatnya duduk. Wisnu hanya geleng-geleng.

"Itulah gue tiap lihat lo lagi menye juga pas punya pacar,"

"Gue nggak gitu ya! Lari-lari sambil gandengan tuh apa faedahnya coba? Lari enggak, bikin kesel iya."

Wisnu hanya berdecak pelan, "Yah daripada ada orang nggak tahu situasi pegangan tangan. Bahkan pas nyetir mobil susah mindahin perseneling karena tangannya digenggam terus,"

Wendi menatapnya dengan mata menyipit sambil mengacuhkan lelaki disampingnya itu. "Najis emang. Siapa sih itu?"

Wisnu hanya tertawa sambil meneguk minumannya. Wendi gantian terdiam, sambil matanya berkeliling menatap taman yang tak begitu luas itu namun cukup menyegarkan matanya.

"Rasanya kayak baru kemarin gue bucin banget. Sekarang kalau dipikir-pikir entah kenapa gue lega sendiri karena udah berakhir,"

"Lega gimana?" sahut Wisnu sambil menoleh ke arah gadis itu.

"Awal-awal ya gue ngerasa kayak nggak se-worth it itu apa ya sampai ada cowok sesempurna itu yang nggak tahan dan ninggalin gue," sahutnya pelan. "Aneh ya, gue lebih takut ngerasa gue segitu kurangnya dibanding rasa sedih karena udah putus,"

"Apa iya gue kurang banget sampai dia pergi? Apa iya gue segitu parahnya sampai dia nggak mau bertahan sama gue? Pikiran itu muter-muter terus di kepala,"

"Tapi entah kenapa gue sekarang lega. Karena disamping dia gue selalu takut ngerasa kurang. Saking dia begitu sempurna," ujar Wendi perlahan sambil tersenyum tipis. Wisnu hanya menggeleng perlahan.

"Kalau dia sempurna, lo juga nggak bakal ragu. Nyatanya lo juga ragu sama dia kan?"

"Dia yang ragu sama gue ya. Ralat!"

"Emangnya lo yakin bisa nikah sama dia? Dengan segala rahasia yang nggak dia ceritain?"

Wendi menelan ludahnya. Sampai sekarang bahkan Sakti enggan menjelaskan mengapa lelaki itu ada di apartemen Shila, untuk apa dia disana, apa saja yang mereka lakukan dan bicarakan, semua itu tidak terjawab dan hanya memunculkan spekulasi di benak Wendi yang semakin membuatnya overthinking.

Wisnu mengangkat kakinya ke kursi taman dan duduk menyila. Ia tatap kakaknya lekat-lekat. "Kak, aslinya Bang Sakti udah beberapa kali nemuin mantannya tanpa lo tahu. Bahkan Bang Seno juga lihat sendiri."

Wendi terenyuh sejenak, matanya mulai menatap Wisnu sekarang. Wisnu menghela napasnya, "Gue udah lama khawatir soal ini pas gue nggak sengaja liat storage dia di laptop masih nama 'ma cherie' itu. Terus juga pas dia ketemu Shila di kafenya. Gue tunggu dia. Nunggu dia ngaku. Eh kepalang ketahuan sama lo,"

Wendi mendengus perlahan, "Oh gitu. Nama kontaknya juga masih 'Ma Cherie'. Haduh kalau ingat itu rasanya nyesek banget,"

"Makanya, ini nggak sepenuhnya salah lo. Dan inget, lo begini adanya udah nggak kurang kok. Lo udah berusaha buat hubungan ini, lo ngasih garis batas sama Bang Seno yang mulai deketin lo lagi. Gue rasa usaha lo udah sangat cukup,"

"Emang nggak jodoh," sahut Wendi mantap disambut anggukan. "Enough is enough. Masih untung banget gue diputusin sekarang. Daripada kepalang nikah dan ternyata nggak bisa sejalan,"

"Udah sekarang lo lakuin apa yang lo mau," sahut Wisnu sambil meneguk air mineralnya lagi. Wendi menatapnya dengan senyum ganjil.

"Kalau gitu boleh dong gue ngecat rambut warna pelangi kayak Kang Seungsik itu? Ya? Ya?" lanjutnya dengan mata mengerjap-ngerjap ke arah Wisnu.

"NGGAK!"

Seno menghela napasnya.

Banyak orang yang bilang, ada yang lebih sakit daripada derita sakit gigi. Tapi kali ini, ia ingin menyumpah serapah siapapun yang beranggapan seperti itu.

Seperti hari itu, giginya yang memang aslinya sudah ditambal itu ternyata tambalannya kurang kuat menghadapi nikmatnya bakso urat buatan Tetehnya siang itu. Ia mengerang berulang kali, membuat Tetehnya ikut senewen.

"Badan sagede kieu, nyeri huntu saeutik langsung gogorowokan ih, era atuh ka badan, Senoooo (Badan gede begitu, sakit gigi segini aja udah teriak-teriak terus, malu dong sama badan)"

"Ngghh ..., Teteh juga sih itu baso apa sendal swalow sih tadi? Buset dah meuni susah digigit (Ampun deh susah banget digigit)." gerutu Seno sambil berulang kali mengerang kala sinyal otaknya mengirim pesan kenyerian ini ke tubuhnya. Ia sampai keringat dingin dibuatnya.

"Lagian Sarah, jangan jadiin Seno kambing percobaan wae atuh buat resep-resep Teteh. Nggak inget Seno diare berapa babak habis nyobain ceker mercon dulu? Meuni teu kapok ai Teteh mah (Kok nggak kapok-kapok Teteh juga)," celetuk Mamanya Seno sambil kemudian duduk di sebelah anak bungsunya yang mengerang kesakitan, "Nih Paracetamol heula (Nih Paracetamol dulu). Teteh telpon Eji atuh. Biar diperiksa aja,"

Teh Sarah hanya manyun sambil akhirnya mencoba menelepon dokter gigi yang juga teman sebayanya itu. Tak beberapa lama Tetehnya kini sibuk dengan hpnya dan sibuk bercengkrama dengan si penerima telepon itu. Seno hanya bisa merenggut sambil mencoba merebahkan kepala ke paha Mamanya di sofa panjang itu, sembari Mamanya mengusap-usap kepala Seno dengan lembut.

"Besok beneran cuti?" celetuk Mamanya sambil mengusap-usap kepala anak lelakinya yang ia pangku itu. Seno hanya mengangguk sambil menahan ngilu.

"Mama besok belanja ditemenin atuh ya? Bayarannya es krim odol deh,"

Seno merengut malas, "Mint-choco ih Mamaaa!" keluh lelaki itu manja, "Sama aja kayak Wendi deh ih,"

Mamanya sejenak teringat akan gadis itu. Teman sebaya Seno yang dulu selalu ada untuk anak lelakinya terutama di masa sulitnya. Tiba-tiba senyum merekah muncul di wajahnya, "Aduh si geulis (Aduh si cantik)! Gimana kabarnya ya Wendi? Katanya kamu udah ketemu lagi?"

Seno memejamkan matanya sambil melenguh, "Dengar-dengar sih akhirnya putus sama temen kantornya itu,"

Mamanya terlihat senang, dengan cepat mengayun-ayunkan tubuh Seno saking sumringahnya, "Bagus atuh! Gih dikejar lagi! Mama mah seneng kalau kamu beneran sama dia!"

"Seno udah nembak pas dia masih sama pacarnya, Ma. Eh, dianya jadi aneh gitu. Kayaknya dia bingung. Makanya sekarang Seno jaga jarak dulu biar dia bisa mikirin. Siapa tahu kan nanti lama-lama dia jadi kangen sama Seno, hehehe," sahut Seno sambil terkekeh sendiri. Mamanya ikut tertawa.

"Kamu sih meuni nggak sabaran," komen Mamanya sambil perlahan menyentil lelaki itu, "Menggenggam perempuan teh kayak menggenggam pasir, Seno. Semakin digenggam semakin lari. Harus tahu kamu tuh sampai batas mana kamu genggam dia. Biar dia juga tetap bisa punya kebebasan,"

"Iya, Seno lihat Mama sekarang bahagia kan? Nggak kayak dulu pas diposesifin si ehem," sahut Seno lagi disambut jitakan halus Mamanya kembali. Seno hanya manyun.

"Gimana pun juga dia Papah kamu, Sen. Panggilnya yang bener,"

"Papah cuma dalam status eta mah (Papa hanya dalam status itu). Selebihnya nol besar!" tiba-tiba Teh Sarah sudah datang kembali dengan kunci mobil di tangannya, "Ulah ngebahas deui lah (Jangan bahas lagi lah), yuk Sen! Eji lagi nggak terlalu ramai kliniknya."

Mamanya hanya tersenyum pahit sambil mengedikkan kepalanya ke arah Seno. Seno dengan malas akhirnya bangun dan bergegas mengambil hoodie dan mengikuti arah kakaknya pergi.

Sebenarnya Market Visit ini lebih banyak dilakukan tim Quality karena berhubungan dengan penjagaan kualitas ketika produk sudah mulai dipasarkan. Makanya sebenarnya hari ini Wendi disini sebagai pendamping tim Quality yang sekaligus ingin memastikan produk mereka baik-baik saja untuk suhu Bandung yang relatif lebih dingin dari kota-kota lain di sekitar mereka bekerja.

Kalau Wendi sih suka bilang ini saatnya mereka juga bisa nyontek lawan-lawan mereka. Inovasi apa yang mereka lakukan, hal unik apalagi yang mereka klaim, dan hal-hal menarik lain yang mereka bisa dapatkan ketika survei ke penjual.

Hari pertama ini, Wendi dan timnya yang berjumlah 2 orang, kebagian visit Modern Trade*. Karena relatif rapi, pekerjaan mereka relatif jauh lebih cepat dan tidak banyak yang bisa didapat karena biasanya pelanggan di Mall relatif jarang ngobrol sama petugas sales di tempat. Beda dengan Traditional Market*, kadang sales-nya suka berbagi cerita lucu yang ibu-ibu suka tanyakan pada mereka perihal produk itu.

Tim Wendi yang lainnya memutuskan ingin jalan-jalan mumpung bisa setengah hari saja. Wendi memutuskan menolak karena sepertinya Juna memintanya tetap remote pekerjaan dan tetap mengikuti meeting online di waktu yang sudah dijadwalkan.

Wendi memutuskan duduk di salah satu kafe dan mulai membuka laptop disana. Segelas coklat panas sudah hadir menemaninya ditemani sepiring kecil banana cake yang sebentar kemudian sudah lenyap tidak bersisa.

Meeting berjalan sekitar satu jam dengan posisi Wendi yang hanya fokus pada layar didepannya saja sampai kemudian ketika ia mendongak untuk meluruskan lehernya. Ia mengenali seorang pria yang kini sedang diseret-seret oleh wanita berumur itu seperti memandangnya dengan sumringah.

Wendi mengenali keduanya dan otomatis senyum sumringah muncul di wajahnya.

"Mama? Seno?"

Notes from Prima:

Market Visit: kegiatan berkunjung ke pasar, memastikan produk aman, tidak ada isu sambil memastikan kualitasnya tetap terjaga. Sesekali jadi ladang untuk survei untuk melihat seperti apa kenyataan di lapangan yang berjalan. Misalnya tentang komentar dari pembeli untuk produk yang sudah luncur, apakah mereka suka, apakah dirasa terlalu mahal, dsb.

Modern Trade: pasar modern yang kita sering sebut supermarket.

Traditional Market: pasar tradisional.

Voilaaa! Ternyata 2 minggu aku belum update. Makasih yaaa bagi yang masih nungguin update-an cerita ini. Semoga kalian suka ya!

Oh iyaa belakangan ini memang lagi sibuk sama kerjaan dan Victon juga comeback! Yuhuuu. Streaming Stupid O'clock juga yuk!

Continue Reading

You'll Also Like

Our Boyfriend By N

Teen Fiction

24K 1.5K 37
Popularitas menjebak Rio dan Key dalam keadaan. Rio seorang kapten tim basket dan Key yang merupakan siswi #1 disekolah harus menyembunyikan kisah c...
4M 43.2K 33
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
2.6M 39.7K 51
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
3.6M 27.6K 47
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...