[2] BREATHLESS [NCT FanFictio...

By cizeukeikeu

2.4K 310 104

my life after.. More

Chapter 1 : Jay In Century
Chapter 2 : Deep In The Wood

Chapter 3 : Afterlife

242 25 28
By cizeukeikeu




5 Tahun Sebelumnya





"Buka matamu."

Sinar kembali masuk ke retina Woori, hampir membutakan. Mungkin sudah sepuluh kali mereka melakukannya sejak dua jam dia masuk ke ruangan—entah apa namanya, lebih mirip laboratorium.

Woori tidak heran jika dia masuk laboratorium dan jadi kelinci percobaan. Kumpulan yang sedang menanganinya saja sudah berisikan orang-orang gila. Jika lengannya dimasukkan chip pengendali jarak jauh juga bukan hal aneh lagi.

"Jangan takut, kami tidak akan menyakiti. Asalkan kalian mau bekerjasama, kami akan segera melepaskan kalian. Hanya beberapa pemeriksaan."

Begitu kalimat yang mereka sampaikan begitu menemukan para pendonor. Dalam satu ruangan seperti pengungsi yang kelaparan.

Kecuali Woori yang ditemukan di ruangan lain, tergeletak dengan tatapan kosong. Air mata mengering di pipinya, wajahnya pucat.

Ruangan tempat dia berpisah untuk terakhir kalinya dengan Jaehyun.

Saat itu Woori tidak terlalu ingat apa yang terjadi. Setelah menangis hingga rasanya kosong, yang dia dengar hanya kebisingan saat beberapa orang masuk ke sana, menariknya sedikit kasar dan saling melemparkan pertanyaan beruntun. Karena Woori enggan bicara, mereka membawanya tanpa ada perlawanan.

Padahal Woori berharap makhluk lain yang bisa mengambil nyawanya sekalian di sana. Karena rasanya tidak ada gunanya hidup lagi.

Ah tidak, Woori tidak boleh mati. Dia masih harus menemukan Jaehyun sampai ujung dunia sekalipun. Memberinya pukulan dan menjambak rambutnya jika perlu. Merasakan kembali rambut halus dan tebalnya yang selalu membuat Woori iri. Merengkuh kembali dalam pelukannya. Mencium kulitnya yang dingin.

Itulah kenapa Woori pasrah ketika pasukan baju putih itu membawanya, setelah mereka bilang akan membebaskan jika para pendonor mau bekerjasama.

Woori tahu jika berusaha kabur atau memberontak, dia hanya akan berurusan lebih panjang dengan komplotan aneh ini.

"Kami hanya komunitas yang mendedikasikan diri untuk memerangi kegelapan. Kami dengar para vampir kabur. Tugas kami sekarang adalah memastikan kalian para pendonor tidak lagi berurusan dengan mereka. Kalian akan bersih."

"Aw!" Woori mengernyit dan melempar tatapan protes pada petugas yang berdiri di sebelahnya. "Apa itu?"

"Ada apa, nona?"

"Kau menusukkan sesuatu padaku!"

Petugas itu menelengkan kepala, di balik masker itu pasti dia sedang menertawakan Woori. "Kondisimu memprihatinkan. Ini injeksi untuk kesehatanmu."

Alis Woori mengernyit. "Bukankah harus dokter yang melakukannya? Biar kulihat lisensimu!"

Petugas itu tidak mengindahkan Woori, dia hanya melempar tatapan seolah Woori gila. "Kami bisa jamin kau berada di tangan yang tepat daripada dokter manapun. Mereka hanya akan menyuntikkan obat tak berguna. Kalian para pendonor sudah terlalu kebal untuk itu." Kemudian dia kembali meraih tangan Woori ketika gadis itu ingin berargumen lagi. Samar sebuah bisikan terdengar dari balik masker tebal itu. "Sedangkan yang kami berikan padamu mampu mengembalikan kewarasan kalian kembali."

Kalimat terakhir yang diingat Woori dan masih membekas di ingatannya adalah;

"Jika ingin ditangani dokter, pergi saja dan temui orang tuamu sekalian."

Lalu kesadaran Woori hilang seketika.









Hingga dia terbangun malam harinya. Berada di kamar asing. Ruangan dengan tempat tidur, meja rias serta pintu yang sepertinya berisi kamar mandi. Hanya ada satu jendela dengan teralis besi yang terpasang. Lalu dinding yang terlalu putih serta pintu berwarna perak.

Itu bukan hanya warna, tapi perak sungguhan.

Begitu Woori terduduk, dia langsung merasakan baju yang dia pakai. Sebuah gaun tidur dengan warna biru langit. Persis seperti yang mereka gunakan pada rumah sakit.

Beberapa perban juga ditemukan Woori. Salah satunya di leher, mengingatkannya kembali dengan pisau dingin yang ditempelkan Ten pada tragedi itu.

Ada lagi di lengannya, bukan perban hanya selotip yang terasa ketika Woori menggerakan tangan. Sudah pasti menutupi bekas suntikan perawat bodoh tadi. Woori tentu masih mengingat dengan jelas kalimat yang sudah menyakiti hatinya. Dia akan menemukan petugas itu dan memberinya pelajaran.

Mengingat dia langsung tidak sadarkan diri setelah disuntik, bukankah itu artinya dia baru saja diberi obat bius? Untuk apa mereka melakukannya? Kamar ini juga begitu janggal. Tidak, Woori tidak seharusnya berada di sini. Dia harus pergi secepatnya!

Begitu Woori keluar, dahinya mengerut lebih dalam. Kamarnya langsung menuju ke lorong balkon, dia berada di lantai dua. Di seberangnya puluhan pintu yang sama berjejer rapi. Serius, benar-benar pintu yang sama. Bukan lagi seperti komplek, tapi lebih mirip penjara. Bahkan ketika Woori mendongak, hingga lantai kelima pun hanya berisi kamar-kamar yang sama persis seperti miliknya.

Woori yakin kamar-kamar itu berisikan para mantan pendonor seperti dirinya. Terkurung dalam ruangan dengan pintu perak.

Tempat macam apa ini?

Kaki Woori yang telanjang tidak berhenti menelusuri. Napasnya memburu, jantungnya berdetak lebih kencang. Ini salah. Mereka bukan tahanan. Mungkin salah jika para pendonor itu memilih kehidupan ini, tapi bukan berarti mereka bisa memperlakukan pendonor dengan seenaknya.

Woori sudah sampai di lantai dasar, matanya mulai basah. Merasa sesak karena sepanjang mata memandang yang dia lihat masih sebatas pintu perak. Hingga matanya menemukan sebuah pintu utama di ujung lorong. Woori yakin itu adalah pintu keluar.

Benar, bukan? Woori harus berlari secepat mungkin. Seolah pintu itu akan mengunci sendiri seiringnya waktu. Napas yang memburu diiringi dengan isakan tangis membuat pelarian itu sangat dramatis. Bagaimana Woori menarik kenop pintu yang bahkan lebih besar darinya.

Pintu itu tidak terkunci, langsung terbuka lebar begitu diayun bahkan oleh tangan kecil Woori. Apakah semudah itu dia bisa pergi?

Tentu saja tidak. Karena di luar pintu itu, mata Woori hanya melihat hamparan kebun luas mirip seperti lapangan golf. Tanpa ada pohon satu pun, menjadikan pandangannya sebatas rerumputan yang gelap. Ada beberapa bangunan yang berdiri berjauhan, tapi sepertinya itu hanya gedung yang sama seperti yang dia tempati sekarang.

Mata Woori menyipit, menyeka air mata dengan kasar. Berusaha menerka-nerka sejauh apa kebun ini. Tapi matanya hanya akan jatuh pada sudut gelap yang tidak berujung. Jika dia berlari kesana apakah dia bisa keluar?

Berapa jauh?

"Jaraknya sekitar satu setengah jam, biasanya aku menghitungnya dengan lagu yang kudengarkan ketika akan keluar. Bisa delapan sampai sembilan belas lagu. Itu kalau pakai mobil. Jika jalan kaki-ah tidak. Aku tidak bisa membayangkannya. Jika kau berjalan saat siang hari, kau akan sampai dengan keringat bercucuran karena disengat matahari terik. Tapi jika berjalan di malam hari, kau tidak akan sanggup ketika keheningan mulai merenggut kewarasanmu. Rasanya seolah kau berada di luar angkasa. Sendirian, kosong. Mau coba? Silakan saja berlari di atas rumput itu. Setidaknya ambil sepatumu dulu di kamar daripada telanjang kaki. Tapi aku tidak yakin kau akan sanggup. Jadi lebih baik kau masuk dan tidur saja. Tidak akan lama, kami akan mengantarmu pulang sekitar dua hari lagi."

Woori menatap pria di sebelahnya dengan pandangan bingung dan juga marah. Dari pakaiannya, pasti dia salah satu petugas tempat ini juga. Cara pria itu bicara menjelaskan, seolah dia tahu perkataannya adalah benar.

Tidak akan ada yang bisa keluar dari sana dengan mudah. Itu intinya.

Masih tersengal, Woori berusaha bertanya. "Sebenarnya apa yang kalian lakukan pada kami?"

"Tidak ada. Hanya memberikan kalian tempat tinggal sebelum kembali pada kehidupan normal kalian."

'Lanjutkan sekolahmu, buatlah keluarga kecil dan kejar mimpimu. Hiduplah normal...'

Seiring terngiangnya kembali kalimat itu, Woori melempar pandangan. "Ini bukan tempat tinggal. Hanya laboratorium dengan para tahanan."

"Kalau laboratorium ada di gedung sebelah sana." Sahut pria itu naif sambil menunjuk bangunan yang ada di seberang mereka. "Aku bertugas di sana."

Mengindahkan ocehan pria itu, Woori memandang sekelilingnya. "Bagaimana caramu datang ke sini?"

"Dari laboratorium? Tentu saja mobil dinas. Mobilnya akan datang setiap enam jam sekali."

"Kalau begitu antar aku keluar dari sini. Kau bilang jaraknya hanya satu setengah jam jika naik mobil."

"Tentu saja tidak bisa. Saat kita tiba di gerbang, kau akan diperiksa lagi. Mereka hanya akan membiusmu karena mencoba kabur."

"Untuk apa aku di sini? Ini tempat yang mengerikan!"

"Ahn Woori? Itu namamu, kan?" Woori sempat tersentak ketika namanya disebut, kemudian sadar pria itu petugas di sini. Mungkin mereka sudah menghapal semua nama para mantan pendonor. "Bukankah kau tidak punya siapa-siapa lagi?" Tubuh Woori bergidik ketika diingatkan kembali. "Aku turut berduka atas apa yang menimpa kedua orang tuamu. Sekarang biarkan kami membantu membersihkan kembali identitasmu."

"Apa maksudmu?"

"Mereka pasti tidak sepenuhnya bercerita. Singkat saja, pekerjaan orang tuamu semasa hidup terjadi akibat campur tangan para vampir. Setelah mereka pergi, bisa dibilang kehidupanmu akan berubah sangat drastis. Kami mencoba membantumu. Setidaknya untuk bertahan hidup. Maka dari itu, bertahanlah sebentar di sini. Selagi kami mengurus sisanya. Sebentar saja....

....hanya dua hari."





****





Pria itu tidak berbohong. Dua hari kemudian, Woori bisa kembali pulang. Maksudnya kembali ke kehidupan barunya. Mereka bilang dia harus tinggal di tempat lain selain rumahnya yang dulu. Mereka akan menjadikan rumah itu sebagai pantauan, jaga-jaga jika para vampir kembali mencari para inangnya.

Secara halus Woori diusir dari rumahnya sendiri.

Tapi mereka mengijinkan Woori mengambil beberapa barang dan berpamitan. Entah pada siapa.

Hal pertama tentu Woori mengambil foto kedua orang tuanya, membawa dua tiga barang yang akan mengingatkannya pada mereka. Kemudian dia masuk ke dalam kamarnya. Kamar itu lebih terang daripada biasanya.

Dulu seseorang tidak akan membiarkan tirai terbuka bahkan pada malam hari sekalipun. Meski sudah kebal sinar matahari, dia tidak suka melihat cahaya masuk. Seseorang itu akan marah dan membanting pintu dengan auranya ketika Woori tidak mendengarkan perkataannya.

Woori ingat, setiap hari seseorang akan menunggunya di kamar. Sudah duduk dengan beberapa buku yang tidak pernah dia selesaikan.

"Terlambat setengah jam." Matanya berputar ke arah Woori yang berdiri mematung di pintu. "Selamat Ahn Woori, kau berhasil membuat Jung Jaehyun marah."

"Lalu? Apa yang akan kau lakukan? Membunuhku? Silakan saja membuang pasokan makanan terakhirmu. Orang tuaku tidak akan sanggup membuat keturunan lagi."

BRAK BRAK

Woori akan berpura-pura tidak terkejut ketika pintu di belakangnya menutup dengan kasar. Atau saat buku-buku itu jatuh dari rak kamarnya. Dan tirai berhembus padahal tidak ada angin. Juga jemari dingin yang tiba-tiba sudah berada di tengkuk Woori.

Terakhir, wajah vampir marah yang sudah berada begitu dekat dengannya. Menampakkan mata merahnya yang menyala dan taring mengkilap serta dengusan lapar.

"Taring ini akan membuktikan kalau mati adalah pilihan terbaik untukmu. Sayangnya, aku tidak akan membiarkanmu mati."

Lalu air mata Woori akan jatuh, mengakui kalau dirinya ketakutan. Namun enggan meminta maaf. Selanjutnya justru Jaehyun yang akan merasa bersalah. Meski dia pun memiliki ego yang sama tingginya seperti Woori.

Pada akhirnya keduanya hanya akan melanjutkan peran sebagai vampir dan pendonor seperti biasa. Meski kadang Woori masih setengah sadar ketika Jaehyun sekedar mengelus kepalanya, atau mengecup pipinya lembut. Juga berbagai kalimat-kalimat manis yang selalu dilupakan begitu dia bangun.

Woori tahu itu bukan hal yang biasa dilakukan oleh sekedar vampir dan pendonornya.

Semakin Woori berjalan mengelilingi kamar, semuanya terkenang jelas satu persatu.

'Aku akan menjagamu.'

'Kenapa kau terasa berbeda?'

'Tidak bisakah sekali saja menurut padaku? Tapi kau juga terlihat manis saat marah.'

Jika dipikir-pikir, Woori mengakui keduanya begitu keras kepala. Mementingkan ego semata dan pada akhirnya hanya menyalahkan diri karena tidak jujur satu sama lain lebih cepat. Mereka terlalu banyak bertengkar. Seharusnya Woori sadar bahwa perilaku pria itu semata hanya karena cemburu, khawatir dan kesal.

Ingat ketika Jaehyun kalang kabut mencarinya? Di samping dia butuh 'makanannya', dia juga khawatir Woori tidak pulang tepat waktu. Saat itu hari di mana Woori bicara jujur pada kedua sahabatnya, menceritakan apa yang terjadi pada keluarganya.

Jaehyun datang dengan amarah. Segera menghapus memori Nami dan Naeun. Namun menumbuhkan emosi pada Woori. Dia memaki Jaehyun, bersumpah tidak akan pernah mau lagi melihat wajahnya. Lalu dia hanya menangis terseguk, hingga keesokannya dia mematahkan sumpahnya sendiri.

Bukannya tidak mau, tapi Woori tidak bisa. Bagaimana bisa jika saat membuka mata Jaehyun lah sosok pertama yang dia lihat? Langsung meminta sarapan dan entah kenapa Woori tidak melawan.

Begitu banyak kisah kekonyolan keduanya. Tanpa sadar semburat senyum tampak pada wajah Woori. Senyum pedih.

Tak ingin berlarut, Woori mempercepat gerakan. Mengemas barang seperlunya. Kembali mengatur emosinya yang hampir membuatnya tidak berpikir jernih.

KRAK

Woori menoleh ketika tanpa ada angin, jendela berderak mengagetkannya. Tidak ada orang lain selain dirinya. Awalnya Woori menatap jendela itu intens. Tas yang sedang dia kemas dijatuhkan begitu saja. Langkahnya tanpa ragu berlari menuju jendela.

Berharap sesuatu...

"Miaw.."

Kucing. Berdiri memandang Woori tanpa merasa bersalah. Memasang wajah bertanya apakah gerak geriknya membuat manusia ini berharap lebih? Jika iya, maaf.

Woori mengatupkan bibirnya. Alisnya bertaut. Matanya menatap langit jingga yang terhalang pohon besar di halaman belakang rumahnya. Tidak peduli seberapa tinggi dia mengangkat dagu, tetap saja gravitasi menang. Berhasil meluncurkan air mata yang sudah dia tahan semenjak datang.

"Bodoh.." Gumamnya dari bibir yang bergetar.

Pertahanan Woori runtuh. Dia menjatuhkan tubuh, meringkuk menekuk kedua lututnya. Sudah tidak peduli jika ada tetangga mendengar tangisannya. Sepertinya mustahil, karena kehendak komplotan baju putih itu, seluruh kompleks sudah dikosongkan. Menyisakan perumahan yang akan menjadi tempat terlupakan.




****




Januari, 20—

"Ada berapa banyak makhluk itu di luar sana?"

Si rambut coklat mendongak, mengikuti arah pandang si rambut putih. Kemudian dia berdecak. "Jika tidak segera ditangani jumlah manusia dan vampir akan sama rata."

"Kalau begitu jadikan semua manusia yang tersisa menjadi Silver Path."

Si rambut coklat melempar pandangan lelah. "Kita harus ikut periksakan kepalamu, bukankah semalam sempat terbentur batu?"

Sebelum terjadi baku hantam, si rambut hitam datang membawa beberapa pasang baju seragam baru. "Jangan sampai terlambat, firasatku buruk mengingat misi kita gagal tadi malam. Ditambah kudengar suasana hati ketua Moon sedang tidak bagus."

"Kecelakaan ini bisa kita jadikan pembelaan." Si rambut putih menoleh pada si rambut coklat. "Bersikaplah seolah kau sangat kesakitan, jadi mereka akan iba."

Si rambut coklat mengernyit lagi. "Oh, kau juga bisa bersikap seperti orang bodoh sebagai akibat dari kepalamu yang terbentur. Mereka pasti akan saaangat iba." Sarkasnya. Dia beralih pada si rambut hitam. "Ada apa dengan ketua Moon?"

"Sepertinya ada hubungan dengan misi besar di ruang bawah tanah yang mereka rahasiakan. Mungkin ada kegagalan atau semacamnya."

"Misi ruang bawah tanah?"

"Itu misi rahasia, tidak ada yang benar-benar tahu apa yang mereka kerjakan di sana. Kudengar hanya lima orang yang mengetahuinya. Selebihnya hanya menjalankan perintah tanpa tahu apa yang mereka rencanakan. Ketua Moon lah yang memimpin semua misi itu. Jangan coba-coba mencari tahu jika kau masih ingin hidup aman, begitu kata wakil ketua Kim." Jelas rambut hitam.

Sembari mengganti seragamnya, si rambut putih kembali bertanya. "Ngomong-ngomong, apa yang bisa mereka lakukan karena kegagalan misi semalam?"

"Kita akan dikeluarkan dari tim. Atau lebih parahnya dari keseluruhan Light House."

Si rambut coklat menambahkan. "Ada yang lebih menyeramkan. Identitasmu akan dihapus dari masyarakat. Intinya kau bisa jadi gelandangan karena tidak bisa hidup tanpa nama."

"Itu tidak adil. Kita baru saja bergabung!"

Si rambut hitam tersenyum nanar. "Jangan dengarkan, dia hanya bercanda. Paling hanya dimarahi. Memangnya kau tidak pernah dimarahi ayahmu, anak mama?"

Si rambut putih berdecak. "Aku hanya heran. Apa yang mereka pikirkan hingga mengutus level awam memburu vampir begitu cepat? Aku bahkan baru selesai membaca buku petunjuk sebelum edaran itu datang dan malamnya aku harus melihat kelinci dengan setengah wajah."

"Serius, deh. Sudah lama aku ingin bertanya padamu." Seru si rambut coklat. Dia sudah selesai berganti seragam dan sekarang berdiri berkacak pinggang. "Bagaimana kau bisa bergabung dengan Silver Path jika kau tidak mau berurusan dengan vampir? Semua orang disini bergabung karena membenci mereka! Jika kau bisa menyingkirkan satu saja vampir malam itu, pasti akan jadi kebanggaan untukmu!"

Si rambut putih tidak mengindahkan amarah si rambut coklat. Dia hanya mengedikkan bahu dan menjawab enteng. "Entah, aku sedang ikut acara amal ketika seseorang duduk di sebelahku dan berbicara mengenai organisasi ini. Aku hanya berpikir ini menarik. Membasmi vampir berarti menyelamatkan umat manusia, bukan? Itu tujuanku."

"Kalau begitu musnahkan mereka!"

Si rambut putih terdiam. "Bagaimana jika bukan begitu caranya?"

"Maksudmu?"

"Tidak usah ada pertumpahan darah. Membasmi vampir bukan berarti membunuh mereka. Tapi menghilangkan eksistensinya."

"Itu artinya kau harus membunuh-"

"Bagaimana jika vampir bisa kembali jadi manusia?"

Si rambut coklat menelan ludah.

"Seseorang yang duduk di sebelahku waktu itu berkata seperti itu. Bahwa alangkah indahnya jika para vampir kembali menuju cahaya. Terlahir kembali menjadi manusia seutuhnya." Sekarang mata si rambut putih terlihat yakin, menatap langsung ke arah rekannya. Di mana itulah pertama kalinya kredibilitas si rambut putih bisa dipertimbangkan. Tidak selalu bersikap konyol dan naif. "Itulah yang membuatku ikut bergabung. Jika mereka bisa dikembalikan, kenapa harus dimusnahkan?"

"Batu giok yang ada di tangannya. Legenda mengatakan batu itu bisa mengembalikan vampir menjadi manusia kembali."

"Tidak, itu bohong. Legenda itu tidak benar adanya. Dia mengatakannya hanya untuk memecah belah kalian."

Si rambut coklat menggeleng. "Omong kosong. Jika yang kau baca adalah tentang batu giok itu, kau salah. Tidak ada yang bisa mengembalikan mereka. Sekalinya bermetamor, tidak akan bisa kembali. Seharusnya kau membaca buku dengan revisian terbaru."

Detik berikutnya wajah konyol si rambut putih kembali lagi. "Eh? Masa? Aku salah baca?"

Di samping itu, si rambut hitam yang hanya memperhatikan kini menyilangkan tangan di dada. "Kau sendiri?"

Si rambut coklat menoleh. "Hm? Aku?"

"Kau sendiri, bagaimana bisa berakhir di sini?"

Berganti peran, kini si rambut coklat yang menatap bergantian kedua rekannya. "Kenapa-"

Tatapan si rambut hitam berubah intens. "Kenapa kau tiba-tiba bergabung? Bukankah kudengar kau.."

Jika bukan karena pintu yang tiba-tiba terbuka, pertanyaan si rambut hitam pasti akan terjawab.

Sosok itu berdecak. "Cepat pergi atau kutendang bokong kalian semua."

"Baik, tuan!"




****





Selai stroberi pagi ini begitu manis.

Tapi justru Woori kurang menyukainya. Dia lebih suka rasa asam alami dari buah merah itu. Sudah dua hari ini dia tidak ada gairah membuat sendiri selainya. Sehingga harus mengandalkan selai buatan pabrik pagi ini. Dia tidak bisa menyuruh bibi Han membuatkannya, rasanya akan berbeda.

Matanya bergulir ketika melihat bibi Han keluar sambil menggendong Yongju. Putranya sudah selesai mandi, berpakaian rapi dan wangi khas bayi. Woori langsung menyingkirkan hal yang sedang dia kerjakan dan mengayunkan tangan.

"Anak tampan ibu, kemarilah." Yongju tersenyum dan mengayun-ayunkan tangan semangat begitu berpindah ke tangan sang ibu. "Maaf merepotkanmu bibi Han. Seharusnya aku memandikannya pagi ini. Tapi aku benar-benar sedang pusing."

Bibi Han tersenyum. "Tidak masalah. Sudah lebih baik sekarang, nyonya?"

"Ya, tentu saja. Setelah minum susu buatanmu aku merasa lebih baik. Hanya saja aku ingat harus membeli beberapa buah. Bisa kau temani aku ke kota? Aku perlu dirimu untuk menjaga Yongju saat ke sana."

"Kenapa harus ke kota, nyonya? Bukan maksudku melarang. Dengan senang hati aku akan menemanimu. Tapi kau tahu sendiri buah-buahan di toko pertigaan tidak kalah segar."

Woori menggeleng pelan. "Aku baru saja berpikir untuk tidak repot-repot membeli stroberiku lagi, bi."

"Maksud nyonya?"

"Akan kubeli bibitnya. Menanamnya di halaman dan merawatnya selagi senggang. Aku tidak akan khawatir lagi kehabisan stroberi dan membuat selai buatanku."

Bibi Han memandang nanar pada Woori yang sekarang mengelus-elus pipi Yongju. Terkadang dia merasa nyonya rumah ini begitu aneh. Atau cenderung terlalu normal untuk ukuran pemilik rumah suram di atas bukit ini? Jika kalian beranggapan wanita ini akan menyendiri dan menutup diri dari dunia luar, kalian salah.

Woori termasuk wanita yang periang, meski suka melamun. Dia tidak akan melewatkan misa di gereja, menyapa semua orang di desa. Meski hanya sebatas itu. Selain kegiatan gereja, mereka jarang terlihat. Tapi mereka punya kebun yang rapi, itu semua hasil kerjanya. Tuan rumah juga bilang jika istrinya ini suka menyibukkan diri.

Bibi Han mengakui rajutan Woori sangat sempurna. Dia pernah dihadiahi satu set sweater, topi dan sarung tangan rajut. Dia juga pandai memasak. Jika suasana hatinya sedang bagus dia bisa memasak sendiri sarapan lengkap dari berbagai negara. Sayangnya Woori suka mengeluh pusing.

Tapi idenya untuk menanam stroberi di bukit dengan minim cahaya ini? Bibi Han meragukan stroberi itu akan muncul.

"Aku rasa itu akan sedikit menyusahkan, nyonya. Apa kau pernah berkebun sebelumnya? Merawat stroberi tidak begitu mudah."

"Kita tidak akan tahu jika tidak mencoba, bi. Aku pernah berkebun. Dulu sekali. Pasti kemampuan itu masih ada jika aku melatihnya kembali."

Bibi Han hanya bisa pasrah dan manggut-manggut. "Kita lihat apa tuan bisa mencegahmu, nyonya." Candanya, memancing tawa Woori.

"Dia tidak akan bisa melarangku." Sahut Woori. "Iya, kan Yongju? Apa ayah akan menolaknya?"

Ya, dia benci stroberi. Woori tahu itu. Tapi suaminya adalah suami terbaik yang pernah ada, jadi tidak pernah memberitahukannya pada Woori. Meski Woori sudah mengetahuinya sendiri. Dia akan terus tersenyum dan bilang bahwa selai buatannya enak.

"Yongju sayang, temani ibu berbelanja ya?"




****





Vampir tidak pernah tidur. Meski mereka terlihat terbaring dan memejamkan mata, bukan tidur yang mereka lakukan. Jika kau menimbulkan suara atau gerakan sekecil apapun mereka akan langsung menyadari.

Sungchan tahu persis hal itu. Jadi ketika matahari menjelang dia akan membiarkan Elena mengistirahatkan tubuhnya di kamar dan berusaha tidak menimbulkan suara sekecil apapun.

Pagi ini hujan mengguyur cukup deras. Langit gelap, hampir tidak terlihat sinar matahari. Sungchan sempat berdecak karena hal itu akan menyusahkan jalannya menuju tempat kerja. Ditambah pondoknya yang berada di tengah hutan.

Pondok itu bukan rumah Sungchan. Hanya semacam pondok peristirahatan milik orang tuanya. Bicara tentang Sungchan, pria ini bekerja sebagai apoteker di sebuah farmasi terkenal. Banyak yang bilang pekerjaan ini hanya penyalur hobi baginya. Gaji sebagai apoteker dan warisan dari orang tuanya tidak akan sebanding.

Waktu itu Sungchan sedang menghabiskan waktu cutinya di pondok ini ketika bertemu dengan Elena. Sedang membaca buku kuno mengenai makhluk penghisap darah ketika kebetulan makhluk itu berdiri tepat di depannya.

Perkenalannya begitu cepat, Elena si vampir kemarin sore itu mau tidak mau menjadikan Sungchan sebagai tempat perlindungan. Sungchan kerap mencuri persediaan darah di laboratorium tempatnya bekerja untuk pasokan makan Elena.

Dia gila, anggap saja begitu. Namun menyembunyikan dan hidup bersama seorang vampir membuat jantung Sungchan berdetak kencang. Ada semacam adrenalin menyenangkan. Selama ini dia mengagumi makhluk itu, mempelajarinya dari semua buku yang bisa dia dapatkan. Hingga akhirnya dia mempelajarinya langsung dari sumber.

Dia bertekad akan menuntun Elena hingga dia siap.

Semalam Elena sempat membuatnya kesulitan tidur. Ada suara berisik. Entah apa yang dia lakukan di luar pondok, Sungchan sedang lelah hari itu dan memilih untuk mengeceknya esok hari.

Mata Sungchan menatap pintu kamar Elena yang bergeming. Sunyi seperti biasanya. Tapi ada yang berbeda.

Daun pintu kamar Elena tidak tertutup rapat. Itu hal yang mustahil dilakukan Elena. Sebagai manusia dan vampir, ketakutan Elena pada Sungchan justru jauh lebih besar daripada Sungchan pada Elena. Wanita itu kadang lupa jika dirinya sudah 'berubah'. Sehingga dia akan mengunci rapat kamarnya guna mencegah siapapun masuk.

"Elena?"

Tak ada sahutan. Sungchan melangkah mendekat. Perlahan dia membuka pintu kamar.

"Elena?" Panggilnya lagi.

Elena ada di sana, duduk membelakangi. Jendela yang tertutup rapat dan cuaca buruk membuat kamarnya semakin terasa suram. Gadis itu duduk bersimpuh di lantai, bersandingan dengan kantung-kantung bekas makanannya semalam.

Merasa gadis itu sudah menyadari kehadirannya, Sungchan memberanikan diri untuk mendekat. Tangannya terulur dan memegang pundak Elena.

"Hey, kau terjaga semalaman?"

Elena malah menunduk, masih tidak mau menunjukkan wajahnya. "Sungchan, kau pernah bilang kau hampir tidak mengenal orang-orang di desa ini?"

Pertanyaan mendadak itu tentu membingungkan Sungchan, tapi pria itu mengangguk. "Ya, itu karena aku tidak tinggal di sini. Kau tahu itu."

"Tapi bukan berarti kau tidak tahu rumah di ujung jalan sana punya peliharaan, kan?"

"Hm?"

"Kucing siberia berwarna coklat. Kau tahu, kan?"

Baiklah, bisakah kau bertanya tapi tatap wajahku, Elena? Begitu pikir Sungchan. Tapi tentu dia tidak mau ambil resiko membuat marah seorang vampir.

"Entahlah. Mungkin aku pernah melihatnya."

"Aku pernah memilikinya dulu. Kucing yang sama persis. Itulah kenapa aku merasa merindukannya saat melihat kucing tetanggamu. Setiap melewati rumah itu aku selalu menengok dan memastikan kucing itu ada di kandangnya. Meski dia hanya akan mendesis padaku, aku selalu lega dia baik-baik saja. Iya, seharusnya kujaga dia. Lalu semalam dia berkeliaran di halaman pondokmu. Sepertinya dia tersesat. Aku mengecek dan menemukannya di luar. Aku ingin mengembalikannya tapi dia terus mendesis padaku. Saat berhasil menangkapnya, detak jantungnya di bawah tanganku terasa hangat. Lalu..."

Perasaan Sungchan tidak enak. Saat dia hendak menurunkan tangan dari pundak Elena, Elena berbalik.

Benar saja dugaan Sungchan. Mulut Elena dipenuhi darah segar. Memenuhi hampir dagunya. Sekarang dia mengerti apa yang terjadi.

"Kumohon jangan beritahu pemiliknya kalau ini ulahku. Dia pasti akan sangat sedih. Aku marah karena tidak bisa menahan diri. Itu hanya kucing, Sungchan. Kucing yang mirip dengan milikku dulu. Aku merasa seperti membunuh peliharaanku sendiri. Bagaimana ini..."

Alih-alih menjawab, Sungchan hanya memandang nanar Elena. Dia masih setia mendengarkan wanita itu mengungkapkan isi hatinya sementara dia menatap Elena.

Elena memejamkan mata, menunduk pilu. "Oh tidak, sampai kapan penderitaan ini.."

Elena terdiam, karena dia merasakan jemari Sungchan mengitari bibirnya. Elena membuka mata dan bertemu pandang dengan Sungchan. Pria itu mengusap perlahan darah di bibir Elena.

"Itu bukan kucingmu. Kau tidak perlu merasa bersalah untuknya."

"Tapi-"

"Elena, dengarkan aku." Tiba-tiba Sungchan berubah serius. "Sampai kapan kau akan menyalahkan dirimu sendiri? Aku tahu perubahan ini bukan keinginanmu. Tapi kumohon bertahanlah. Hiduplah selayaknya vampir dan bertahan hingga-"

Elena menunggu Sungchan menyelesaikan kalimatnya. "Hingga apa, Sungchan?"

Sungchan gugup, kemudian hanya mengangkat bahu. "Hingga semuanya membaik. Kau tidak akan menyerah dan berhenti....mencarinya, kan?"

Elena menelan ludah. Dia bahkan hampir lupa alasan dia tidak membunuh dirinya sendiri dengan pasak yang dengan mudah dia temukan di jalan. Yaitu mencari seseorang. Elena yakin di belahan dunia ini seseorang itu masih hidup dan menunggunya. Banyak yang harus dia jelaskan. Elena tidak boleh mati sebelum itu.

"Kau benar." Kata Elena akhirnya. Dia melemparkan pandangan pada Sungchan dan menggenggam tangannya yang masih bernoda darah. "Boleh aku minta tolong? Kuburkan dia untukku, Sungchan. Bangkainya pasti masih di halaman belakang. Aku tidak sanggup melihatnya."

Perlahan Sungchan menyadarkan diri dari genggaman mendadak itu dan mengangguk. "Akan kulakukan....untukmu."




****




Perlu waktu sekitar setengah jam bagi Woori dan bibi Han untuk sampai di kota. Woori mengendarai mobilnya menuju toko perlengkapan berkebun yang cukup terkenal di sana. Bibi Han mendorong stroller Yongju sedangkan Woori memandu jalan.

"Aku rasa sebelah sini."

"Begitu banyak jenisnya. Aku baru pertama kali pergi ke toko berkebun. Ternyata ada banyak menarik juga, ya." Seru bibi Han.

Woori terkekeh. "Ini menyenangkan, bukan?"

"Bolehkah aku membantumu jika sudah mulai berkebun nanti, nyonya?"

"Tentu saja. Kita akan sama-sama belajar."

"Ahn Woori?"

Tawa Woori seketika hilang ketika melihat siapa yang memanggil.

Bibi Han memandang keduanya bergantian, karena tiba-tiba dua orang ini seolah mematung. Sadar akan posisinya, bibi Han berpamitan. "Nyonya, aku akan mencoba melihat-lihat sebelah sana. Aku permisi."

Woori hanya mengangguk samar. Sedangkan pandangannya masih terpaut dengan wanita di depannya.

"Nyonya Lee?"

Nyonya Lee menghela napas panjang. "Astaga, aku kira aku salah lihat. Ternyata benar itu kau. Apa yang kau lakukan di sini?"

"Membeli bibit, dan..." Tentu bukan itu maksud pertanyaan nyonya Lee. "Aku tinggal di sekitar sini."

"Mereka mengirimmu ke sini?"

Seolah mereka bicara melalui pikiran, Woori langsung mengerti. "Tidak, aku yang menentukan mau tinggal dimana. Karena aku sudah...berkeluarga."

Nyonya Lee menoleh ke arah tempat bibi Han dan Yongju berada. "Itu anakmu?"

"Iya. Anda sendiri? Apakah tinggal di dekat sini?"

"Tidak, justru aku sedang berpindah tempat tinggal."

"Kenapa?"

"Ceritanya panjang. Tadi aku melihatmu dari luar. Untuk memastikan aku sengaja masuk dan mendatangimu. Itulah kenapa aku begitu lega ketika tahu kau Woori yang kukenal."

Kemudian keduanya terdiam. Hingga nyonya Lee kembali menarik napas.

"Maaf, Woori. Aku masih terkejut melihat seseorang yang kukenal di sini. Seseorang yang kukenal dari..." Dia tidak melanjutkan. "Bagaimana kehidupanmu sekarang?"

Woori memaksakan senyum. "Baik dan...normal. Aku punya suami, putra dan kehidupan yang kuinginkan."

Hiduplah normal dan bahagia, Woori. Untukku.

"Baguslah. Kau masih muda, memang seharusnya kau menikmati hidupmu." Nyonya Lee mengelus bahu Woori. "Mereka tidak menyakitimu, kan?"

Woori menggeleng. "Aku tidak berkontak dengan mereka semenjak aku lulus kuliah. Seharusnya begitu, mereka tidak ada hak mengatur hidup kita." Tatapan nyonya Lee membuat Woori khawatir. "Ada apa? Mereka menyakitimu?"

Giliran nyonya Lee yang menggeleng. "Oh, tidak. Tentu saja tidak."

"Lalu.." Woori celingukan. "Di mana suamimu? Di mana....Mark dan Haechan?"

Pertanyaan itu hampir meledakkan tangis nyonya Lee. Tapi wanita itu berusaha menahannya. Woori berprasangka buruk.

"Mereka baik-baik saja. Tumbuh jadi anak-anak yang pintar dan sehat. Tanpa bantuan master. Tapi..."

"Nyonya Lee, kau membuatku bingung."

Mata nyonya Lee mengerjap. "Semenjak kejadian itu mereka menjalani kehidupan biasanya, seperti yang kau lakukan sekarang. Bersekolah, meraih mimpi. Tapi aku seperti tidak mengenal mereka lagi. Mimpi yang mereka mau ternyata sudah berubah. Ini mengerikan. Setelah lulus sekolah, mereka bicara padaku."

"Bicara apa?"

"Bahwa mereka...."





****




Ruang auditorium yang mirip bioskop itu sudah terisi hampir setengahnya. Beberapa orang membentuk kelompok dan duduk berjarak dengan kelompok lain. Semua kepala hampir menoleh ketika tim si rambut coklat masuk. Namun detik berikutnya mereka hanya melengos dan kembali berbisik.

"Sudah ramai."

"Kapan kakakmu sampai?"

Si rambut coklat celingukan dan mendapat seseorang berlari dari lorong. "Itu dia."

"Hei."

Si rambut hitam dan putih melambaikan tangan menyapa sang 'kakak'.

"Sibuk di laboratorium?"

"Begitulah. Ayo masuk."

"Ayo."

"Tunggu, serahkan tanda pengenal kalian."

Petugas mengulurkan tangannya yang membuat si rambut coklat menghentikan langkah. "Ah, maaf."

Si rambut coklat menyerahkan id card nya kepada petugas. Hal yang sama dilakukan pada rekannya. Si rambut hitam dan rambut putih. Petugas memindai dan mulai menyebut nama mereka.

"Tim C, gabungan baru. Lee Jeno, Na Jaemin dan....Lee Haechan. Juga staff lab Lee Mark." Petugas itu menurunkan kacamatanya dan bicara lagi.













"Selamat datang di auditorium Silver Path. Salam perak."



****



"Silver Path?? Mereka bergabung dengan Silver Path??"

Nyonya Lee mengusap wajahnya. "Kedengarannya gila, bukan? Kau bukan satu-satunya yang terkejut mendengarnya. Aku lebih terpukul."

"Tapi kenapa??" Woori tidak habis pikir. "Nyonya Lee, kau tahu sendiri organisasi macam apa mereka. Ditambah kenyataan bahwa kita adalah mantan pendo- ITU MASUK AKAL!"

"Mereka mendatangiku dan bicara serius pada kami. Bilang kalau itu sudah jadi keputusan bulat. Mereka bilang akan menebus kesalahan yang pernah kami buat. Bahwa berhubungan dengan master adalah kesalahan terbesar dalam hidup kami. Mereka berbalik membenci master, membenci kaumnya. Lalu mereka pergi dari rumah dan bergabung dengan mereka."

Rasanya napas Woori seakan tercekat. Mark dan Haechan yang begitu mengagumi master dan dunia mereka, malah berbalik membencinya? Woori bahkan tidak bisa membayangkan keduanya memakai seragam putih konyol yang selalu menghantuinya sejak peristiwa itu.

Ini salah, benar-benar salah.

"Tidak ada yang bisa kami lakukan, Woori. Kami hanya bisapasrah dan menerima keputusan mereka. Tapi jujur saja, masih ada keinginan kami untuk mengembalikan putra-putraku. Bergabung dengan kelompok itu sama saja seperti aib bagi kami. Bagaimana jika master Johnny tahu? Bagaimana jika dia kembali dan-"

"Mereka tidak akan kembali, nyonya Lee."

"Apa?"

"Kau bicara apa, mereka tidak akan kembali."

Nyonya Lee termenung dengan ucapan Woori. Lalu dia menggeleng. "Tidak. Aku yakin mereka akan kembali. Itulah kenapa aku berpindah tempat tinggal. Aku dan suamiku harus meenemukan master Johnny. Aku akan memintanya mengembalikan putra-putra kami. Kau juga, bukan Woori?"

"Apa?"

"Kau juga...menginginkan mastermu kembali, bukan?"




****





Ketiganya menghempaskan tubuh pada kursi. Mereka memilih tempat paling belakang, tipikal tempat duduk yang akan dipilih anak-anak bermasalah.

Mark, kakak si rambut coklat atau Haechan menempatkan diri di sampingnya. "Bagaimana lukamu?"

"Lebih baik."

"Akan kucek nanti."

Haechan mengangguk menanggapi. Dia melirik kedua rekannya yang fokus mengamati pembukaan. Sepertinya ketua Moon dan wakil Kim sudah masuk. "Aku punya berita. Nanti akan kuceritakan."

Mata Mark memancarkan harapan, diikuti anggukan dari Haechan membuatnya yakin.

Suara ketua Moon bergema dari mikrofon. "Baiklah, waktuku sedang tidak banyak. Jadi aku akan melakukannya dengan cepat. Ini pertemuan ke berapa? Sembilan belas- ah baik, kedua puluh."

"Pasti mereka ingin segera mengurus kegagalan misi bawah tanah itu." Bisik si rambut hitam atau Lee Jeno.

"Aku makin penasaran apa yang mereka sembunyikan." Sahut si rambut putih atau Na Jaemin.

"Seperti yang kita tahu semalam adalah malam evaluasi bagi para gabungan baru. Masing-masing dari kalian sudah melakukan pekerjaan hebat. Meski aku akui banyak yang melakukan kelalaian. Tapi tidak apa, dedikasi kalian sungguh kami hargai."

"Ketua Moon panutanku."

"Kalian akan mendapat penghargaan atas semua yang telah kalian lakukan. Kegagalan akan menjadi pelajaran untuk lebih memahami apa yang sedang kalian hadapi. Aku tidak akan lelah mengingatkan kalian. Jika kalian ingin menyerah, ingat kembali apa yang membawa kalian kemari."

Mark dan Haechan bertukar pandang sesaat. Keduanya mengeraskan rahang.

"Satu tujuan, satu pendapat. Serukan itu dari dalam dada kalian, lepaskan dengan lantang dan dengan segenggam serbuk perak hempaskan semuanya hingga mereka menggelepar. Karena itulah tujuan kita.."

Tiba-tiba suara lantang terdengar dari salah satu anggota. Dia bahkan dengan berani mengepalkan tinju ke udara.

"MUSNAHKAN KEGELAPAN! LINDUNGI CAHAYA UNTUK UMAT MANUSIA DARI MAKHLUK TERKUTUK!"

Tak lama satu persatu mulai mengikuti, menciptakan senyum puas di wajah ketua Moon.

"MUSNAHKAN KEGELAPAN!"

"PERSETAN DENGAN VAMPIR!"

"MUSNAHKAN VAMPIR!"

Jaemin cemberut. "Ini berlebihan.." Gumamnya, diikuti gelengan Jeno yang hanya malas untuk ikut-ikutan. "Bukankah begitu, kawan-"

Jaemin salah. Ketika dia menoleh pada Mark dan Haechan – yang seharusnya dia pastikan akan sependapat – justru bersikap sebaliknya. Tangan mereka sama-sama terkepal, kemudian meninju udara. Bahkan mereka satu-satunya yang berdiri dengan semangat. Ikut menyerukan gemaan itu.

"MUSNAHKAN KEGELAPAN! MUSNAHKAN VAMPIR!"

"BERI CAHAYA BAGI MANUSIA!"

"VAMPIR MUSUH KITA!"




****




"Nyonya Woori? Nyonya?"

Seperti lupa cara bernapas, Woori menarik napas panjang saat sadar dari lamunan.

"Nyonya, tolong berhenti membuat saya takut."

Woori memandang bibi Han yang memasang wajah khawatir. "Eh?"

"Anda melamun lagi. Kau mengambil napas seolah menahannya selama itu. Aku harus pastikan anda baik-baik saja."

Woori memijat pelipisnya. Dia tidak pusing, hanya saja alasan itu selalu dia pakai jika bibi Han bertanya tentang keadaannya. Bukan pusing yang dirasakan, hanya kekosongan yang selalu meliputi ketika dia merasa sendirian.

"Maaf, bi. Mungkin aku perlu teh hangat."

"Akan kubuatkan. Tapi ada hal yang ingin kusampaikan."

Melihat wajah bibi Han, sepertinya serius. "Ada apa?"

"Sepertinya aku tidak bisa menemani nyonya malam ini. Baru saja aku dapat telepon. Dari polisi. Mereka mengatakan mendapat tanda di mana sepupuku berada. Mereka ingin aku datang."

Hampir saja Woori bertanya mengenai apa yang bibi Han maksud, dia baru saja ingat. Mengenai sepupu bibi Han yang sempat hilang. Jika Woori sampai bertanya, pasti bibi Han akan sakit hati karena selama ini Woori tidak pernah menaruh perhatian akan ceritanya.

"Aku harus memastikan anda baik-baik saja sebelum meninggalkanmu, nyonya. Itu pesanku pada tuan."

"Tidak apa-apa, hari ini suamiku pulang."

"Benarkah?" Raut kelegaan menghiasi wajah bibi Han. "Kalau begitu aku akan pulang setelah membuatkanmu teh, nyonya."

"Tidak usah, bi. Pulang sajalah. Mereka pasti menunggumu. Aku bisa membuat tehnya sendiri."

Bibi Han sejenak ragu, tapi tentu berita mengenai saudaranya ini lebih penting. "Terima kasih nyonya, saya pamit."

Begitulah akhirnya Woori kembali sendirian di rumah itu. Yongju sudah pergi tidur. Woori kembali duduk dan menarik rambutnya. Pikirannya dipenuhi oleh sesuatu. Apa lagi jika bukan berita mengenai Mark dan Haechan tadi siang?

Bergabung dengan Silver Path sebagai mantan keluarga pendonor? Kedua anak itu pasti sudah kehilangan akal. Woori tahu menjadi pendonor adalah dosa mereka. Tapi bergabung dengan Silver Path juga bukan hal yang terbaik.

"Kau juga ingin mastermu kembali, kan?"

Kepala Woori menoleh ke arah kamarnya. Tepatnya ke arah pintu besar menuju balkon. Sejak siang dia membiarkan tirainya terbuka, sampai sekarang. Kalimat yang baru saja terngiang seolah menyadarkan Woori.

Kakinya melangkah ringan menuju pintu itu, menarik tirai-tirai hingga tertutup. Tidak hanya disitu, Woori memastikan tanda-tanda keagaman tidak tertutup apapun. Dia menyalakan semua lampu dan meletakkan satu tanda di dekat pintu balkon. Kemudian Woori mundur melihat hasil kerjanya.

Dadanya naik turun seraya mengambil napas.

"Siapa yang bilang? Aku tidak ingin dia kembali. Tidak."

BRAK

Sesuatu berbunyi. Arahnya dari pintu balkon kamar Woori.

BRAK

Semakin kencang.

BRAK

Apa ada sesuatu yang mencoba menabrak pintunya?

Tapi apa?

BRAK

"Woori?"

Kali ini suara seorang pria yang tiba-tiba muncul dari sudut lain. Bukan dari arah pintu yang masih menimbulkan suara.

Suara pria itu bukan pria yang ditakuti Woori akan datang.

Itu hanya suara suaminya yang sepertinya baru saja pulang dan mendapati Woori bersikap aneh. "Ada apa?"

Woori tidak menjawab, suaminya hanya mengikuti arah pandang sang istri dan mengecek apa yang menjadi keresahannya.

Benar saja, begitu suaminya menyibak tirai, tidak ada hal berarti.

Hanya ranting dari pohon tua di samping balkon yang tertiup angin, sekarang memukul-mukul pintu dengan berisik. "Aku lupa menyuruh tukang kebun membereskannya. Aku akan memotongnya besok pagi." Katanya enteng.

Mendengar helaan napas lega dari Woori, sang suami melangkah mendekat.

"Kau takut dengan suara itu? Kau tidak apa-apa?"

Woori memejamkan mata mengiyakan. Seketika ketakutannya hilang saat suaminya menariknya lembut dan memberikannya pelukan.

"Maaf pulang terlambat."

Woori menggeleng dalam pelukan. "Tidak apa-apa....































....Eunwoo."






yaps, its Eunwoo yg jadi suami Woori guys

pada setuju ga nih?

hampir setahun ga diupdate hehe

ayoooo apalagi misteri yg belum keungkap?

btw oot aku lg pake darkmode, jd itu logo tbc nya jadi putih di aku 😆


-cizeukeikeu

Continue Reading

You'll Also Like

1.3M 60.5K 72
Jangan lupa follow sebelum baca 🙏 Brutal, sadis, kejam dan brengsek adalah sifat yang melekat pada seorang pemuda tampan bernama Alison Steve Cristo...
1.3M 93.7K 58
⚠️SEBAGIAN PART TELAH DI PRIVAT, FOLLOW TERLEBIH DAHULU UNTUK MEMBUKANYA⚠️ [Sedang dalam masa pengembangan cerita dan Revisi] "Heh kuman!" panggil se...
5.8K 967 38
DANMEI TERJEMAHAN
KENZOLIA By Alpanjii

Mystery / Thriller

84.4K 4.7K 13
Iexglez diketuai oleh Kenzo, anggota inti menyamar menjadi siswa di SMA Rajawali untuk suatu misi. Ditengah misi itu ada Lilia, gadis yang Kenzo suka...