Enchanted

By plxntmxrs

989 124 212

ON GOING 15+ Haluan kedua DaraUpan✨ . . . "Saat pertama kali bertemu pandang denganmu, aku sudah terpesona. S... More

P R O L O G U E
O N E
T W O
T H R E E
F O U R
F I V E
S I X
S E V E N
E I G H T
N I N E
T E N
A N O T H E R
E L E V A N
T W E L V E
T H I R T E E N
F O U R T E E N
F I F T E E N
S I X T E E N
S E V E N T E E N
N I N E T E E N
T W E N T Y
T W E N T Y O N E
T W E N T Y T W O

E I G H T T E E N

24 4 3
By plxntmxrs

Seorang laki-laki dengan surai silver menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Raut wajahnya sedang tidak bersahabat, ia baru saja merasakan pedih-perih yang diberikan oleh kedua orang yang dia benci.

Perlahan kedua tangannya terangkat, terdapat banyak bekas luka cambukan serta darah yang hampir membasahi tangannya. Sakit, marah, dan kecewa bercampur aduk di benaknya.

Dia menoleh ke belakang, ia melihat adik laki-lakinya yang tertidur pulas dengan bekas air mata di pipinya. Adiknya masih memakai selimut karena berlindung dengan kedua telinga yang ia sumpal dengan headphone.

Dirinya hampir saja terlambat. Adiknya hampir menjadi korban kekerasan kedua orang tuanya yang sedang beradu mulut karena mencoba untuk memisahkan mereka. Untungnya, dia sempat membawa adiknya kembali ke kamar sebelum akhirnya dia yang terkena.

Lelaki itu menghela napas, dia bangun dari duduknya dan berjalan menuju kamarnya. Dia juga mengunci pintu kamar adiknya agar mereka tidak mengganggu adiknya.

Si surai abu-abu itu segera beranjak ke kamar mandi di dalam kamarnya. Ia membuka seragam yang masih ia kenakan, lalu menatap sejenak fleksi cahaya dari dirinya di cermin. Ia terlihat sangat berantakan.

Berbagai luka cambuk, luka lebam bekas pukulan yang terdapat di tubuhnya, serta tangannya yang sedikit dilukis oleh dirinya sendiri.

Sudut bibirnya tertarik, membentuk sebuah senyuman yang miris untuk mengejek dirinya sendiri.

Ia sebenarnya tidak peduli seberapa banyak luka yang ia dapatkan dari kedua orang bajingan itu. Tapi, ia tetap tidak mau kalau adiknya juga harus merasakan apa yang dia rasakan.

Arti nama Solar adalah matahari. Jika ia adalah sang matahari, maka adiknya adalah semesta baginya. Semesta yang harus ia jaga, dan semesta yang harus selalu dia hangati dengan cahayanya.

Ia tak mau, jika adiknya ikut seperti dirinya. Ia ingin adiknya tumbuh dengan masa kecil yang bahagia seperti anak-anak lainnya.

Kalau saja ia dapat membawa adiknya pergi. Ia sudah melakukannya sedari dulu.

Itu semua karena.. ia juga masih anak-anak.

===

"Lo ini ngapain aja, sih, Lar? Luka lo tambah banyak, tau!"

"Lo gak perlu tau."

Pukul setengah enam, Solar langsung berangkat ke sekolahnya dan menuju ke UKS untuk mengobati lukanya. Ia tidak mengobatinya sendiri, ia dibantu oleh Dannia, salah satu teman kelasnya yang merupakan salah satu anggota PMR.

Semalam, ia menghubungi Dannia untuk meminta tolong, maka dari itu, mereka sudah ada di sekolah sebelum pukul enam.

Dannia menatap lekat kedua iris silver milik Solar. Ia sedikit takut dengan tatapan kosong Solar.

"Solar, lo benar-benar gak apa-apa?"

Solar menoleh, "gue gak papa, ini luka kecil."

"Bukan itu maksud gue," Dannia menghela napasnya. Ia tidak tahu harus apa, padahal luka-luka Solar termasuk luka parah.

Saat Solar baru datang, laki-laki itu langsung membuka kemejanya, dan itu sukses membuat Dannia menjerit.

Luka cambuk, goresan, serta lebam berkumpul di punggungnya. Belum lagi dengan tangan dan kaki Solar.

Kini Dannia sedang menyiram luka yang ada di punggung Solar dengan alkohol. Ia bahkan sampai meringis dan tidak berani untuk melihat, namun Solar malah menampilkan wajah tidak berekspresi sama sekali.

"terakhir lo minta gue obatin itu dua minggu lalu, luka kemarin cuma ada di punggung sama kaki, sekarang nambah di tangan, itu lo yang buat sendiri, 'kan?"

Pertanyaan Dannia untuk yang kesekian kalinya tidak direspon lagi oleh Solar. Laki-laki itu hanya diam memandangi lantai.

Lagi-lagi Dannia menghela napasnya, "Oke, gak bakal gue tanya lagi kalo lo gak jawab pertanyaan terakhir gue, untuk hari ini, sih."

"Lo yakin gak mau cerita soal masalah lo? Bukan sama gue, tapi sama teman lo."

Akhirnya Solar merespon, ia menggelengkan kepala.

"Cukup lo aja yang tau."

Dannia kini mengelus dadanya setelah menaruh kapas yang ia gunakan untuk membersihkan luka Solar. Ia sudah menduga, bahwa itulah kata-kata yang akan keluar dari mulut Solar.

Ya, selama ini, hanya Dannia yang mengetahui kondisinya yang terluka parah seperti ini selain dengan dokter langganan Solar. Hanya Dannia 'lah teman sepantarannya yang mengetahui kondisinya.

Meskipun begitu, Solar selalu menutup mulut tentang apa yang terjadi. Dannia hanya mengetahui sebatas 'luka' yang Solar punya, selain itu, Solar tidak memberitahukannya.

Awalnya, Dannia sama sekali tidak peduli dengan ini. Tetapi lama-kelamaan, ia menjadi kasihan pada Solar.

Pasalnya, ini bukanlah sesuatu yang baru, tetapi sudah lama terjadi semenjak mereka menduduki kelas 6 SD.

Singkatnya, Dannia adalah teman berpangkat 'dokter' langganan bagi Solar.

"Lo mau tidur dulu? Masih ada satu setengah jam, nanti gue bangunin." tawar Dannia setelah selesai mengobati Solar.

"Izin satu mapel. Bilang gue telat dikit, lagi nganter adek, adek gue sakit."

"Serius? Bisa-bisa guru dateng ke sini."

Solar mengangguk seraya memposisikan dirinya dengan senyaman mungkin untuk memasuki alam mimpi.

"Tolong, Ni. Dari kemarin gue gak bisa tidur."

"Berapa hari?"

"Hampir semingguan."

"Kali ini gue gak mau ngasih obat tidur lagi, dan lo gak boleh beli!" tegas Dannia sambil memberikan selimut pada Solar, "gue bakal kunci pintu, hp lo gue bawa. Nanti bel isti satu, gue ke sini."

Dannia mengambil ponsel Solar yang sengaja diletakkan di atas nakas.

"Jangan ngebantah, atau gue kasih tau Bu Zila!" ancamnya, dan lalu keluar dari UKS setelah mengambil tasnya.

Solar hanya dapat menghela napas dan memandangi langit-langit UKS. Ia memejamkan matanya sejenak, tetapi beberapa bayangan yang muncul di kepalanya membuatnya langsung membuka mata. Ia terbangun dari posisinya, lantas mengusap wajahnya dengan kasar.

"Sialan! Apa gue udah gak boleh tidur lagi, hah?!"

Ia kembali membaringkan tubuhnya seraya memejam. Tapi lagi-lagi, bayangan itu muncul.

Sebelah tangannya ia angkat untuk menutupi cahaya lampu yang menyilaukan matanya. Sembari itu, ia mengucap beberapa permintaan di dalam hatinya.

Apa ini pertanda, gue bakal tidur panjang?

===

Solar memasuki ruang laboratorium untuk mengikuti pelatihan olimpiade. Baru saja ia duduk, sebuah suara tegas langsung menginterupsinya untuk berdiri.

Ia menyeringai saat melihat seorang gadis bertubuh mungil yang menatap tajam padanya. Gadis itu menampilkan ekspresi marah karena Solar yang terlambat datang ke pelatihan.

Semangatnya yang semula redup, kini sudah terisi penuh hanya dengan bertemu gadis itu.

Solar menatap lekat setiap inci dari wajahnya. Benar-benar indah, bagai memandang purnama.

Meski ia selalu dikasari oleh gadis itu, ia tetap menyukainya. Ia menyukai segala tentang gadis seindah purnama itu.

Jika Solar adalah matahari, maka ia membutuhkan bulan untuk melengkapi kehidupan semesta. Matahari dan bulan itu saling melengkapi, bukan?

Tapi.. apakah mereka dapat bersatu seperti air dengan tanah?

===

Seorang laki-laki bersurai navy menatap langit biru dengan senyum cerah yang merekah. Di kepalanya terdapat banyak hal yang terlihat indah jika dipaparkan.

Sementara di sebelahnya, terdapat lelaki bersurai pirang yang sedang bergumam kesal sembari menatap ke bawah. Sebuah pemandangan kurang mengenakkan baginya membuatnya sebal.

"Pojan sialan, gebetan gue ditempelin!!"

Si surai navy menoleh, lantas terkekeh melihat temannya yang kesal, itu adalah kejadian langka baginya karena susah untuk memancing emosi sang sahabat.

"Kesel, bang?"

"Lo diem aja, deh!"

Taufan dan Blaze, dua sohib yang selalu bersama di manapun mereka berada. Mereka sedang berada di atap sekolah untuk saat ini karena jam istirahat sedang berlangsung.

"Ngab, lo udah nentuin mau kemana belum?"

Blaze menoleh pada Taufan dengan tatapan heran, "Mau kemana? Gue mau turun, nyamperin itu Pojan, terus gue gebukin, abis itu gue--"

"Bukan itu, njir!" Taufan menoyor kepala Blaze, "maksud gue, lo mau SMA atau SMK?"

"..."

PLAK!

"Woi! Sakit, bang--"

"Lo siapa, anjir?!" bentak Blaze seraya mencengkram kerah seragam Taufan.

"Taufan yang gue kenal gak bakal ngomongin sekolah!!"

"Be-berhenti dulu, bangsat! Leher gue--"

"Apa?! Lo nyamar jadi temen gue? Atau lo ngerasukin temen gue? Jawab!!"

"Ini gue, anjing! Dengerin gue dulu!" tegas Taufan yang membuat Blaze langsung melepaskannya.

"Apa?!"

Taufan mengusap lehernya seraya mengambil napas sebanyak-banyaknya. Ia hampir saja mati dicekik oleh Blaze.

"Bangsat, hampir mati gue, tolol. Gue belum nikah juga."

"Bodo."

Blaze duduk di hadapan Taufan setelah menarik bangku yang tadi ia gunakan. Ia menatap Taufan dengan tajam.

Laki-laki yang ditatap Blaze malah tersenyum seraya menatap pada langit. Senyum yang semulanya tipis kini mengembang menjadi senyuman lebar, bahkan sedikit menampilkan giginya.

"Lo serem kalo senyum-senyum begitu." ucap Blaze seraya menggeleng kepala, "ada apa, sih?"

"Bayangin, kalo nanti gue nik--"

"Cukup, jangan lanjutin." Blaze langsung menutup mulut Taufan sebelum khayalannya semakin berkembang.

Taufan terkekeh seraya mengusap mulutnya, "Gue mau berubah."

"Tumben, kesambet apaan?"

"Adara."

"Buset. Beneran ada cewek yang bikin lo gini ternyata." Blaze menepuk keningnya, diam-diam ia bersyukur karena sahabatnya itu mau berubah.

"Oke, kalo gitu, lo mau gimana?"

"Gue ambil SMK manager."

"Bukannya lo gak boleh ambil SMK?"

"Seriously?" Taufan menoleh kearah Blaze dengan tatapan datar, "gue bisa minta nyokap gue, lho."

"G a6, tch."

Blaze mendengus kesal, "Gue ngikut lo aja kalo urusan gitu, gue juga gak tau mau kemana."

"Lo harus nentuin pilihan lo sendiri, Bro. Gak bisa terus ngikutin gue begini. Bukannya lo mau jadi atlet basket?"

"Gak boleh, nyokap takut gue kayak bokap."

"Itukan bokap lo, beda sama lo."

"Nasib anak gak jauh beda dari orang tuanya, Bro."

"Teori siapa itu? Sini gue telen mulutnya." Taufan menepuk pundak Blaze, "masa depan lo adalah keputusan lo. Orang tua itu cuma jalan untuk mempermudah dan mempersulit. Mereka seharusnya mendukung dan ngasih saran. Hak menentukan itu ada di lo."

"Tau, ah! Pusing gue." Blaze menghela napas, lalu menatap pada langit, mengikuti kebiasaan Taufan akhir-akhir ini.

"Ayi disuruh ambil farmasi. Padahal dia sering cerita ke gue, dia mau jadi musisi."

"Lo?"

"Jadi astronot."

"Gila, jauh banget sama otak lo!"

"Lo berniat ngehina gue, 'kan?!"

Taufan terkekeh, "Sensitif amat, PMS?"

"Bacot."

Dengusan kesal milik Blaze membuat Taufan tertawa. Taufan pun bangun dari duduknya sembari menepuk pundak Blaze.

"Kalo mau ngomongin soal begini, jangan sama gue. Sama ahlinya sana."

"Siapa?"

"Bu Zila, 'lah! Atau kalo mau yang sepantaran, sama Yaya. Kalo nggak sama Dara."

"Kalo sama Dara, mending ngomongin cara dapetin Vara."

"Vara, Vara, Vara. Pikiran lo Vara terus apa?" delik Taufan seraya menatap geli pada Blaze.

Blaze memberi tatapan yang sama pada Taufan, "Daripada lo, Daraaaaaaa terus. Kamar lo udah penuh foto Dara, anjir!"

"Baru tiga doang, nyet!"

Blaze mendumal, ia ikut bangkit dari posisinya. Mereka berdua pun berjalan beriringan meninggalkan atap sekolah.

"Api membara itu pasti ada alasannya, ada pemicunya."

Taufan melirik Blaze yang sedang berada di sampingnya. Mereka sedang menuruni anak tangga secara berdampingan. Seulas senyuman miring pun terlukis di wajahnya.

"Di laut, pasti selalu ada angin, entah angin malam atau siang."

"Hubungannya naon, jing?"

"Intinya angin untuk lautan yang dalam."

"Gak nyambung, lebih nyambung gue." Blaze tertawa untuk meremehkan Taufan, "lo gak bakat jadi anak sastra."

"Karena gue emang bukan anak sastra, anjing!"

"Yeeee, ngegas si bapak!"

"Mau gelut dimana lo?"

"Lapangan, yang kalah traktir."

"Gaslah, anying!"

===

"Menurut lo, matahari itu lebih cocok untuk bulan atau bunga?"

Adara mengerutkan keningnya ketika Solar tiba-tiba melanturkan pertanyaan aneh padanya. Ia menaruh pensil yang sedaritadi ia gunakan. Ia juga melirik Aurora sejenak untuk melihat reaksinya, namun gadis itu sedang fokus pada hafalannya.

"Ya.. matahari cocok buat semua, mungkin?"

"Menurut gue, matahari lebih cocok untuk bulan." Solar tetap fokus pada buku biologi kesayangan miliknya. Sesekali ia mengalihkan pandangannya pada Adara yang ada di hadapannya.

"Matahari memang cocok buat bulan, karena mereka saling melengkapi bumi dengan siang dan malam,

"tapi, gue lebih setuju kalo matahari itu untuk bunga."

Solar hampir menjatuhkan bukunya, ia langsung menoleh pada Adara dengan tatapan tajam.

"Kenapa?"

"Harusnya udah jelas, 'kan? Bunga butuh cahaya matahari untuk hidup! Lo baca itu gak, sih?!" omel Adara, "Matahari dan bulan itu cuma saling melengkapi. Mereka untuk siang dan untuk malam."

"Lo tolol atau goblok?"

"Yaudah, sih! Gue cuma nanya doang, anjir!" protes Solar karena tidak terima dibilang bodoh oleh Adara.

"Pertanyaan yang kayak gitu harusnya gak perlu gue jawab!"

"Tinggal jawab aja apa susahnya?!"

"U-udah. Jangan berantem git--"

"Diem lo!!" bentak Solar seraya menunjuk Aurora dengan tatapan marah. Itu langsung membuat nyali Aurora menjadi ciut, bahkan membuat gadis itu bergetar takut.

"Solar!" Adara bangun dengan menggebrak meja, "lo itu kenapa, sih?! Jangan bentak cewek!"

Solar mendengus, ia langsung memalingkan wajahnya dari Adara dan melanjutkan pelajarannya. Ia juga sedikit menjauh dari tempat Adara.

Gadis yang dijauhi oleh Solar malah mengernyit heran, ia memilih menghampiri Aurora yang masih bergetar ketakutan.

"Ra? Lo gak apa-apa? Mau gue gebukin sekalian itu orang, hm?"

Aurora menggeleng, dengan refleks ia menarik tubuh Adara dan mendekapnya.

"Jangan, jangan berantem depan Aura."

Adara menghela napas, ia mengangguk mengerti. Lalu ia membiarkan Aurora memeluknya sementara sampai ia tenang. Ia juga mengusap-usap punggung Aurora.

Panic attack emang semerepotkan itu. batin Adara iba pada Aurora. Ia paham betul dengan itu karena Kakak sepupunya juga mengalami hal yang sama.

Sesekali iris maroon-nya melirik Solar. Ia benar-benar bingung dengan lelaki bersurai silver itu.

Kenapa ia seperti sedang menyangkal sesuatu?

===

2055 kata
Kelupaan update, masih keitung double up ga nih? Kalo nggak, yowis, sy update lg ntar🗿

Saya akan mulai memunculkan konflik, bwahahahah, konflik akan datang saat mereka naik kelas.

Ini sebenernya alur waktunya mau saya sesuaikan dengan diri saya sendiri. Jujur, saya udah naik kelas 9, dan saya juga bakal buat mereka naik kelas 9 di chapter kedepannya.

Oke, gak usah bahas umur.

Masih ada satu chapter lagi yaaa

Mars, 20 Juni 2022

Continue Reading

You'll Also Like

61K 12.3K 14
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] 21+ ‼️ Apa jadinya jika si berandal Jasper Ryker yang dijuluki sebagai raja jalanan, tiap malam selalu ugal-ugalan dan babak...
77.9K 5.5K 25
"MOMMY?!!" "HEH! COWOK TULEN GINI DIPANGGIL MOMMY! ENAK AJA!" "MOMMY!" "OM!! INI ANAKNYA TOLONG DIBAWA BALIK YAA! MERESAHKAN BANGET!" Lapak BxB ⚠️ Ma...
50.8K 3.6K 51
"Jika ada yang harus berkorban dalam cinta ini, maka itu cintaku yang bertepuk sebelah tangan" - Dziya Idzes "Sekat-sekat ruang yang tertutup layakn...
827K 87.4K 58
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...