Our Stories

By yennymarissa

52.6K 5.4K 924

"If you love someone, let it go, because if he returns, he will be yours. But if he does not come back, he ne... More

Regret - 01
Regret - 02
Regret - 03
Ambiguity
End of The Road
Too Late
Time Lapse
Losing Us
Broken
Broken
Little Mermaid
White Lies
Lost Stars
It Takes Two To Tango

Maleficent

3.8K 428 83
By yennymarissa

Pernah dengar kisah tentang Maleficent—si tokoh yang jadi jahat karena rasa marah dan kecewa? Iya, si wanita yang tadinya penuh kasih berubah mengerikan berbalut dendam karena rasa sayangnya dikhianati.

Itulah yang terjadi dalam kehidupan Flora Kailee saat membiarkan Kalandra Prathama—calon suami Geya Indira, kakak kandungnya—yang sedang mabuk menodainya sehari setelah pesta pertunangan sepasang kekasih itu. Seharusnya, Flora bisa melawan. Tetapi rasa sakitnya akan pengkhianatan Geya sejak bertahun-tahun lalu berhasil membuatnya membutakan mata hati. Flora ingin membuat Geya merasakan patah hati yang sama saat sang tunangan direbut dengan cara yang jauh lebih jahat.

Flora berubah menjadi sosok maleficent karena rasa kecewanya pada Geya.

Sejak lima tahun lalu, Geya sudah tahu kalau Flora jatuh cinta pada tetangga baru mereka. Flora yang lebih pendiam memberanikan diri menjawab pertanyaan godaan dari Geya tentang Andra. Kejujuran yang diucapkan Flora tentang perasaannya seolah menjadi bahan ejekan oleh Geya, karena tak lama berselang, kakaknya yang ceria dan periang itu justru menjadi semakin dekat dengan Andra. Baru diketahui oleh Flora bahwa semua surat dan hadiah yang dititipkan pada Geya—karena dibanding dirinya, kakaknya itu yang lebih dekat dengan Andra—ternyata disampaikan Geya bukan atas namanya, melainkan atas nama sang kakak.

Geya menyembunyikan kelicikan dibalik senyuman riang dan pembawaan ceria yang selama ini jauh berbeda dari Flora. Hal itu tentu membuat Flora marah. Teramat marah. Tetapi sayangnya, Flora tak bisa melakukan apa pun. Ayah dan Bundanya begitu mendukung hubungan Geya dan Andra. Mereka selalu tersenyum bahagia tiap kali melihat sepasang kekasih itu tertawa lepas di atas patah hati Flora.

Karena rasa sakit akan pengkhianatan itulah yang menimbulkan dendam di hati Flora sampai membuatnya tak pikir panjang menyerahkan diri di bawah Andra yang sedang mabuk. Dan sekarang, di usianya yang bahkan baru sebulan menginjak dua puluh dua tahun—dan baru beberapa bulan lalu menjalani wisuda, Flora dinyatakan hamil. Sembilan minggu.

Saat ini di depan Flora sedang terjadi pengeroyokan yang dilakukan oleh Ayah dan Pandu—kakak laki-lakinya pada Andra. Juga tubuh lemah Geya yang masih terus menangis sambil dipeluk oleh Bunda dan Tante Sita—mama Andra. Hanya Om Haris—papa Andra, yang terdiam menatap Andra dengan kecewa. Tetapi Flora memilih bergeming. Diam menatap datar pemandangan di depannya. Bahkan dua tamparan yang masing-masing diberikan oleh Geya dan Bundanya sama sekali tak memberi ringisan sakit dari bibir Flora.

Tadi Geya terus berteriak histeris bahwa kehamilan ini adalah jebakan yang sengaja dilakukan Flora karena sudah sejak lama mencintai Andra. Geya terus meracau menjatuhkan harga dirinya di depan seluruh keluarga mereka dengan air mata yang mengalir deras sampai Flora tahu kalau seluruh orang menatapnya penuh rasa jijik bercampur kebencian.

Flora yang dikenal sebagai gadis tenang dan pendiam seketika berubah sebutan menjadi perempuan tidak tahu malu perebut calon suami kakak kandungnya sendiri. Semua kalimat itu Flora telan sendirian karena tahu kalau dirinya juga memang bersalah. Sekalipun sejak awal, Flora sudah menyalahkan Geya yang merebut tempatnya.

Tempatnya di hati Andra—yang jatuh cinta karena lukisan darinya, tapi diakui sebagai milik Geya. Dulu, Flora terlalu naif saat Geya seringkali memintanya membuatkan beberapa lukisan untuk perempuan itu. Tapi ternyata, lukisan itu justru disebut Geya sebagai karya sendiri pada Andra—yang memang ternyata pecinta lukisan. Flora tak sengaja mengetahuinya saat Bunda memarahi Geya yang ketahuan berbohong tentang lukisan-lukisan untuk Andra. Tetapi sekalipun marah dan kecewa, sampai akhir Bunda tetap bungkam dan tidak berdiri di sisi Flora sama sekali.

Keputusan dari kekacauan hari itu adalah; Andra harus menikahi Flora—diam-diam. Hanya perlu mengundang keluarga dekat mereka. Tanpa perlu mengadakan resepsi apa pun. Dan begitulah akhirnya, Flora menikah dengan Andra.

Sebuah pernikahan yang justru membawa neraka bagi Flora. Siksa yang begitu menyesakkan bagi seorang istri yang sedang hamil. Karena Andra tetap saja berhubungan dengan Geya. Berdalih pekerjaan karena Geya adalah salah satu bawahan Andra di kantor. Andra mengasingkan Flora di rumah besar yang jauh dari perumahan kedua orangtua mereka.

Tetapi Flora tetap saja menerima. Berpikir kalau suatu saat sikap Andra pasti akan melunak padanya. Kehadiran calon anak mereka pasti bisa mengubah hati Andra yang masih keras.

Sayangnya, Flora tak sadar kalau kebencian sudah mendarah daging di hati Andra. Bahkan tiap masakan yang berusaha Flora buat pun tak pernah Andra sentuh. Bukan hanya itu, Flora bahkan rela merendahkan dirinya sendiri menggoda Andra dan yang didapatkannya adalah makian dan sebutan 'pelacur murahan'. Seolah belum cukup, Flora bahkan pernah dibentak habis-habisan oleh Andra saat dia sengaja menunjukkan lukisan-lukisannya—berharap bisa menarik sedikit perhatian pria itu.

"Kamu pikir aku jatuh cinta sama Geya karena lukisan-lukisan nggak berguna kamu itu?! Mimpi!" bentak Andra dengan emosi yang terlihat jelas di wajahnya. "Aku jatuh cinta sama Geya karena itu dia! Bukan kamu!! Dasar sialan!"

Malam itu, Andra tak pulang. Flora tahu kalau Andra pasti menginap di rumah orangtua pria itu. Dan Flora juga tahu kalau tak akan ada yang melarang, karena sejak hari pernikahan tersembunyi itu, tak ada satu pun dari keluarga mereka yang tidak mengucilkannya. Seketika Flora merasa asing di antara keluarga yang dulu selalu bersamanya. Bahkan para sepupunya pun bertindak hal yang sama. Seolah Flora adalah aib yang harus dihindari daripada membuat semua orang malu.

Hebatnya, Flora tetap saja bertahan. Cinta butanya pada Andra mungkin sudah berubah menjadi obsesi gila sampai membuatnya menjadi seorang pesakitan menyedihkan. Atau mungkin dendamnya yang membara pada Geya demi membuat kakaknya itu tidak memiliki sang lelaki membuat Flora mengesampingkan lukanya sendiri.

Pengabaian, penghinaan, makian, celaan, bentakan sampai sebuah tamparan pernah Flora dapatkan dari Andra karena melihat Geya menangis saat berada bersamanya. Padahal kejadian sebenarnya, Flora hanya diam sepanjang Geya membicarakan betapa hati kakaknya itu hancur dengan semua kekacauan yang sudah terjadi. Mereka tidak bertengkar, sama sekali. Hanya Geya yang terus menerus menangis di depannya—karena Flora tahu kalau Geya juga tak sepenuhnya bisa menerima kenyataan kalau dia sudah menjadi istri Andra.

Flora memang jahat. Dia mengakui hal itu. Tetapi Flora hanya berusaha membalas rasa sakit di hatinya pada Geya—walau justru memberi luka baru dalam hidupnya. Tetapi bodohnya, Flora terus memilih bertahan bersama Andra. Sama sekali tak peduli bahwa tak ada satu pun dari keluarga Andra yang menyambut kehadirannya dengan sukacita.

"Aku mau temenin Geya ke ulang tahun temennya. Jangan ganggu dengan kirim-kirim chat atau telepon-telepon nggak penting buat cari perhatian. Ngerti, kan?"

"Chat yang kukirim atau pun telepon yang kulakuin itu bukan buat cari perhatian, Kak. Tapi itu memang pas aku butuh kamu. Kehamilanku sedikit berat. Aku sering mual dan muntah kalau malam. Aku—"

"Nggak ada yang suruh kamu hamil anakku!" potong Andra cepat. "Kamu bisa telepon Geya waktu tahu aku mabuk, tapi kamu justru ngambil kesempatan dalam kesempitan seperti perempuan murahan!"

Itu benar. Flora memang sengaja mengambil kesempatan pada malam itu. Tetapi diteriaki kembali tentang kesalahannya membuat Flora merasa semakin getir.

Perempuan murahan katanya?

Padahal Flora berani bersumpah kalau yang menyentuhnya selama ini hanya Andra.

"Udah, nggak usah manja. Biasanya juga kamu sendirian, kan." Setelah mengucapkan kalimat itu, Andra memilih berlalu meninggalkan Flora sendirian di rumah mereka.

Sedangkan Flora perlahan terduduk di atas sofa sambil mengusap perutnya yang membuncit di usia kehamilan menginjak enam bulan. Tidak seperti wanita hamil yang lain, tubuh Flora hanya berubah pada bagian perut yang membuncit. Sedangkan bagian tubuh lain justru terlihat semakin mengurus—seolah menunjukkan betapa batinnya tak pernah baik-baik saja. Flora hanya sedang membohongi diri sendiri kalau dia tak menderita sendirian. Karena meyakini kalau Geya juga sedang menderita patah hati.

Nyatanya, Geya tetaplah menjadi yang utama sekalipun Andra sudah menikahi Flora. Sampai akhir, Flora tetaplah si pecundang yang kalah dari Geya—yang disebutnya sebagai kakak yang licik.

Beban pikiran yang memberat itu perlahan membuat Flora merasa perutnya mulai keram. Sakit sekali. Sampai membuat Flora terus meringis sambil mengusap perut—berusaha membuat bayinya sedikit tenang. Beberapa saat berlalu seperti itu, sampai Flora tak lagi kuat menahannya dan memilih untuk menghubungi Andra—mengabaikan peringatan yang tadi sudah diberikan oleh laki-laki itu.

"Ha—"

"Aku akan ceraikan Flora setelah bayinya lahir, Ayah. Karena aku mau melanjutkan hubunganku sama Geya."

Tubuh Flora berjengit di tempatnya. Menahan bibirnya agar tak lagi berbicara. Sekalipun menduga kalau kemungkinan itu akan terjadi, tapi Flora masih terus percaya kalau kelahiran bayinya nanti akan membuat Andra menetap memilihnya. Flora yang naif berpikir kalau cinta dan perhatiannya memang sudah ditolak oleh Andra, pria itu pasti tidak akan menolak anak mereka. Tetapi sepertinya, Flora lagi-lagi salah.

"Lo yakin, Ndra?"

Itu suara Pandu—kakak laki-laki Flora dan Geya.

"Gue cinta Geya, Bang. Dan akan selalu begitu. Lagipula, Geya bilang mau terima anak dari Flora nanti, karena biar bagaimana pun anak itu juga keponakannya."

"Ya Tuhan, Gey! Kamu baik sekali. Mama selalu bersyukur Andra punya kamu."

"Tapi kalau Ayah dan Bunda nggak setuju, aku nggak bisa kembali sama Mas Andra, Ma. Aku minta maaf—"

"Bunda akan selalu setuju demi kebahagiaan kamu, Gey. Flora harus dikerasin biar nggak lagi bersikap sembrono dan iri sama kebahagiaan kakaknya sendiri."

"Ayah..?"

"Ayah setuju, Ndra. Tolong selesaikan semuanya dengan baik. Dan jangan lagi ulangi kesalahan bodoh lainnya."

Klik.

Flora terdiam saat panggilannya dimatikan secara sepihak oleh Andra. Sesuatu yang membuat Flora sadar kalau Andra sengaja membuatnya mendengar percakapan jahat itu. Dan bukan hanya itu saja, Andra juga berbohong soal menemani Geya ke pesta ulang tahun. Karena nyatanya, Andra bersama Geya sedang makan malam dengan keluarga mereka.

Setetes air mata Flora terjatuh di pipi. Beriringan dengan tetesan-tetesan lain dan rasa sesak yang tiba-tiba muncul di dadanya. Flora menangis. Terisak begitu menyedihkan saat tengah perutnya masih terasa keram. Andra dan Geya sudah terlalu jahat. Semua orang yang ada di hidupnya benar-benar jahat.

Flora masih terus menangis. Menangisi nasibnya yang menyedihkan karena harus melewati semua kesakitannya seorang diri. Benar-benar sendirian tanpa ada seorang pun yang menemani. Bahkan saat akhirnya tak lagi merasa kuat, Flora memilih memesan taksi online untuk ke rumah sakit. Semua dilakukan Flora sendirian. Di tengah kesakitannya menyemai luka.

Beruntung bayi di kandungannya baik-baik saja. Setidaknya, hanya kehadiran bayi yang tak pernah dipedulikan siapa pun inilah—yang akan menjadi kekuatan Flora menjalani hidup. Dan seolah semua kalimat semalam belum cukup, siang hari setelah kembali ke rumah, Flora harus disuguhi pemandangan menjijikkan saat Andra dengan menggebu mencium Geya di dalam kamar laki-laki itu.

"Tunggu sampai bayi sialan itu lahir, Gey. Aku janji akan langsung menikahi kamu dan memiliki kamu dengan cara yang benar. Aku nggak mau bikin kesalahan lagi, apalagi ke kamu—orang yang sangat aku cintai."

Bukan hanya berdarah. Flora merasa hatinya tercabik-cabik mendengar Andra menyebut bayinya sialan. Rasa cinta yang semalam masih ada—walau kadarnya mungkin sudah berkurang, seketika berubah mati seketika. Flora membenci Andra. Membenci Geya. Membenci seluruh keluarga mereka semua.

Sejak hari itu, diam-diam Flora menyusun langkah hidupnya sendirian. Tanpa ada Andra atau satu pun dari keluarganya. Sudah cukup rasanya menerima luka dan bersikap naif dengan terus berharap pada tempat yang salah.

Setelah dua bulan ikut bersikap apatis pada kehadiran Andra di sekitarnya, Flora tiba-tiba mendatangi rumah orangtuanya di sore menjelang malam—di saat jam pulang kerja seperti biasa. Flora hanya memasang wajah datar saat Andra dan Geya terkejut mendapatinya berada di ruang tamu keluarga Mahesa. Seperti layaknya seorang tamu yang dijamu sopan oleh sang tuan rumah, Flora duduk tanpa bersikap santai—walau masih memasang raut tenang. Flora mengumpulkan Andra, Geya, Pandu, kedua orangtua dan mertuanya.

Di atas meja yang berada di tengah-tengah mereka, Flora menyerahkan beberapa lembar kertas mempersilakan Andra untuk membacanya.

"Itu ada surat pembatalan pernikahan buat kita."

Kalimat itu seketika membekukan semua orang yang berada di sana. Sama sekali tak menyangka jika Flora akan memberikan sesuatu di luar rencana mereka semua.

"Kamu mau kita cerai, kan?" tanya Flora pada Andra yang masih bergeming. "Maka aku kabulkan. Bahkan lebih dari itu. Aku membuat semuanya lebih mudah buat kamu," lanjutnya lagi. Sama sekali tidak ada nada bergetar dan keraguan dalam suaranya. "Tapi aku juga punya dua syarat kalau kamu mau kita berakhir selamanya."

Kali ini, semua tatapan mengarah pada Flora yang perlahan menggeser lembaran kertas lain agar ikut dibaca oleh Andra.

"Pertama; bayi ini hanya milikku. Hanya milikku, sekalipun kamu ayahnya. Nggak ada satu pun dari kalian yang boleh mengklaim bayi ini, termasuk semua keluargamu. Dan yang kedua; aku mau sepenuhnya keluar dari keluarga Mahesa. Secara hukum juga." Flora menjelaskan dengan tenang.

Kesiap seketika terdengar di sana.

"Apa maksud kamu, Flo?" Rusman menatap putri bungsunya dengan tajam.

"Menantu Ayah mau cerai, tapi kupikir itu terlalu tanggung buat pernikahan kami yang bahkan masih terlalu muda. Jadi kubuatkan surat pembatalan nikah, tapi tentu dengan dua syarat tadi."

"Apa-apaan sih, kamu, Flo?! Kenapa kamu jadi berubah kayak gini?!"

Flora memilih mengabaikan kemarahan Pandu. Dia kembali menatap Andra yang terlihat menggenggam kertas di tangan dengan sangat kuat. Begitu pun mama mertuanya yang menatap tak suka padanya. Hanya papa mertuanya yang diam dengan tatapan tak terbaca.

"Kamu pikir, bisa apa kamu tanpa keluarga Mahesa, Flora!" Nindy sama sekali tak mengerti jalan pikiran Flora. Putri bungsunya yang dulu begitu pendiam itu terlihat terlalu banyak berubah. Menjadi serakah dan sedikit mengerikan.

"Apa... ini karena aku, Flo?"

"Iya," sahut Flora dingin. Tetapi sama sekali tak membalas tatapan Geya. Bahkan setelah Geya menangis keras pun, Flora masih bergeming.

"Tanda-tangani saja, Ndra! Anak ini memang sudah nggak waras!" Rusman yang sedang dipenuhi emosi melihat kekacauan yang lagi-lagi ditimbulkan seketika mengambil keputusan sepihak. "Bisa apa kamu tanpa keluarga ini!" sentaknya lagi, sambil mengambil berkas yang harus ditanda-tanganinya sebagai persetujuan akan menghapus nama Flora Kailee Mahesa dari kartu keluarganya—selamanya. "Seharusnya kamu bersyukur kalau keluargamu masih terima kamu setelah aib yang kamu lempar ke muka kami!" Rusman melemparkan kertas yang sudah di tanda-tanganinya ke arah Flora dengan kencang.

"Terima kasih." Hanya balasan formal itu yang diberikan oleh Flora pada pria yang tidak lagi dianggapnya sebagai ayah sejak malam ini.

"Kamu pikir apa yang kamu punya sampai bisa menekanku kayak gini?" Andra menggeram menatap Flora dengan tajam. "Aku bahkan bisa menceraikan kamu tanpa kesepakatan dari kamu!"

"Lalu setelahnya, aku akan kasih tahu semua orang kalau pernah hamil anak kamu dan menikah lalu diceraikan karena kamu selingkuh—"

"Kamu yang menjebak anakku!"

"Saya nggak menjebak siapa pun, Tante," Flora menekan panggilannya pada sang mama mertua. "Anak Tante yang mabuk dan meniduri saya."

Di tempat duduknya, baik Nindy dan Pandu sama-sama terdiam menyesalkan sikap Flora yang sudah jauh sekali berubah. Entah apa yang ada di pikiran Flora sejak beberapa bulan terakhir ini.

"Tanda-tangani saja, Ndra! Nanti juga anakmu bakal cari kamu!"

Sayangnya, Flora akan memastikan hal itu tidak pernah terjadi.

"Pikirkan baik-baik, Ndra."

Dua suara berbeda dari mama dan papanya membuat Andra berada dalam dilema. Satu sisi ingin mengakhiri segalanya dengan Flora. Tetapi di sisi lain juga tak rela jika harus kehilangan anak yang beberapa kali berhasil membuat dadanya berdesir saat melihat perut Flora yang membuncit. Tatapan Andra perlahan kembali mengarah pada perut Flora, bergantian menatap Geya yang masih menangis.

Kemudian dengan tangan bergetar dan helaan napas yang memberat, Andra memilih menandatangani surat itu. Berpikir kalau mamanya benar. Suatu hari nanti, anaknya pasti tetap akan datang mencari ayah kandungnya.

"Terima kasih." Sekali lagi, Flora mengucapkan kalimat yang sama. "Pembatalan pernikahan diajukan atas nama kamu. Alasannya saya buat karena bayi dalam kandungan saya bukan milik kamu dan kamu menikahi saya karena dalam paksaan. Itu alasan yang paling masuk akal dan diterima oleh pengadilan."

Ada rasa berbeda yang Andra resapi saat mendengar Flora menyebut dirinya sendiri dengan sapaan begitu formal.

"Selama nggak ada satu pun di antara kita yang berbicara sejujurnya, saya yakin semua akan berjalan dengan lancar." Flora perlahan membereskan kertas-kertas di atas meja, lalu bangkit berdiri tanpa mengubah tatapan datarnya saat menatap satu per satu manusia yang tak akan mau lagi ditemuinya sampai mati. "Saya berharap ini menjadi pertemuan terakhir kita. Setelah ini, kita nggak ada hubungan apa pun termasuk soal anak. Bayi ini milikku. Selamanya akan begitu. Lagipula, kamu nggak akan mau bersama bayi sialan ini, kan?"

Flora hanya mengulas satu senyum miring menyadari pias di wajah Andra. Setelahnya, Flora menghadap ke arah Ayah dan Bundanya. "Terima kasih karena sudah membuat saya ada di dunia ini. Tapi saya tetap berharap nggak pernah bertemu dengan kalian lagi. Selamat tinggal." Flora membiarkan saja Ayahnya menatap dengan geram dan penuh kemarahan. Juga Bundanya yang mengganti tatapan marahnya perlahan dengan sendu dan kekecewaan. "Oh, iya. Jika suatu saat kalian melanggar isi dari surat ini, maka aku akan langsung membuatkan laporan ke polisi."

Setelahnya, Flora menegakkan kepalanya. Berjalan tenang tanpa keraguan meninggalkan orang-orang yang hanya memberinya luka. Flora memilih melepaskan kebenciannya dan mengganti dengan sikap tak peduli. Maleficent sepertinya juga layak untuk hidup bahagia.

"Kamu nggak nangis, kan?"

Flora mengulas senyum menjawab pertanyaan dari laki-laki yang sekarang mengulurkan tangan untuk digenggamnya. Seorang laki-laki yang dua bulan lalu menawarkan bantuan di tengah rasa frustasi yang melanda dirinya. Seorang laki-laki yang juga ikut mendengar tentang rencana Andra yang ingin menceraikannya. Seorang laki-laki yang memberi bahu untuknya bersandar.

Seorang laki-laki bernama... Argajati Prathama.

===

Empat tahun berlalu begitu saja. Andra akhirnya menikah dengan Geya setahun setelah pembatalan pernikahan bersama Flora diresmikan oleh pengadilan. Tidak banyak yang berubah dalam keluarga besar Prathama dan Mahesa sejak Flora benar-benar menghilang dan tak pernah muncul sama sekali. Beberapa bulan awal kepergian Flora hanya menyisakan kemarahan di dada Andra dan seluruh keluarga besar mereka. Tetapi Andra tak akan bisa menampik kalau ada sudut hatinya yang kosong. Tak bisa dimasuki oleh siapa pun termasuk Geya—wanita yang akhirnya berani untuk Andra nikahi walau saat itu masih bersemayam rasa ragu setelah kepergian Flora dan anaknya.

Andra juga tahu kalau dua tahun terakhir ini, ayah mertuanya terus mencari tahu tentang Flora yang entah sekarang berada di mana. Sekeras apa pun mereka semua mengumandangkan benci pada perubahan sikap Flora, Andra sadar kalau mereka semua juga ingin mengetahui kehidupan wanita itu di luar sana. Sering terbersit rasa khawatir di benak Andra saat mengingat Flora pergi dengan perut buncit mengandung bayinya. Tetapi justru selalu disebutnya dengan 'bayi sialan'. Kebodohan yang lambat laun disesalinya dengan hebat.

Sejujurnya, Andra berbohong saat mengatakan ke Flora tentang tak jatuh cinta pada Geya karena sebuah lukisan. Karena yang sebenarnya terjadi adalah Andra memang mulai membuka hati pada Geya saat perempuan itu menunjukkannya berbagai lukisan indah yang membuatnya begitu tertarik dan kagum sampai berpikir kalau Geya sangatlah cocok dengannya. Terkesan naif, memang. Tapi itulah yang terjadi.

Ketika Geya akhirnya menceritakan semua itu—dengan derai air mata—setelah Andra menikahi Flora, yang justru dirasakannya hanyalah kemarahan pada perempuan yang sudah menjadi istrinya itu. Andra merasa dipermainkan dan diolok oleh Flora yang jatuh cinta padanya dan mengambil kesempatan dalam ketidak-sadarannya. Andra merasa muak tiap kali menatap kedua mata Flora, karena itulah dia tak pernah bersikap lembut pada perempuan itu.

Sayangnya, semakin lama waktu berjalan, Andra mulai menyesali kekejamannya pada Flora. Bukan karena cinta yang terlambat—karena Andra tahu kalau cintanya pada Geya masih sama besarnya—tapi karena Andra sadar, bayi di kandungan Flora akan selalu mengikat kakinya tanpa sadar.

"Mas, ayo berangkat. Udah siap, kan?"

Lamunan Andra terhenti saat mendengar suara Geya memanggil namanya. Andra mengulas senyum tipis, lalu membiarkan Geya merangkul lengannya menuju mobil. Mereka akan menghadiri undangan pembukaan resmi dari rekan bisnis yang membangun sebuah wahana permainan yang diperkirakan menjadi wahana terbesar di negara ini. Dan sepertinya, rumor itu benar. Karena tempat itu bukan hanya berisi berbagai wahana permainan, tapi juga ada teater dan beberapa gedung lain.

"Mas, mau ke WC dulu, ya."

Kepala Andra mengangguk. "Yuk, aku temani."

"Kenapa sih, nggak mau Mami gendong aja? Kamu kan masih kecil."

"Aku sudah besar, Mami! Aku laki-laki!"

Langkah kaki Andra dan Geya seketika terpaku saat menyadari siapa yang berjalan tak jauh dari mereka. Andra juga mendengar itu. Percakapan ringan yang tiba-tiba membuat dadanya begitu sesak.

Kaki Flora juga perlahan berhenti melangkah saat kepalanya menoleh kecil menyadari seperti ada yang memperhatikannya. Flora terkejut, tentu saja. Tetapi detik selanjutnya, Flora sudah berhasil menguasai diri dan kembali melanjutkan langkah walau harus melewati sepasang manusia itu. Benar-benar menganggap tidak pernah mengenal sama sekali.

"PAPI!!"

Deg.

Debaran jantung Andra menggila saat mendengar panggilan dari balita laki-laki di sebelah Flora. Untuknya-kah panggilan itu? Karena balita bermata sama sepertinya itu seperti sedang akan berlari menyongsong ke arahnya...

...bukan.

Balita itu justru berlari melewati Andra.

"Papiku!!"

"Jangan lari-lari jagoannya Papi. Nanti bisa jatuh, lho."

Bukan hanya tubuh Andra yang membeku, tapi juga Geya. Mereka jelas masih mengingat suara itu dengan jelas. Keduanya segera membalikkan tubuh dan seketika tersentak saat melihat Jati—sepupu Andra—sedang membungkukkan tubuh untuk menggendong sang balita.

"Hai, Sayang. Nggak nyasar ke sini kan, Mi?" Jati berjalan menghampiri Flora yang mengulas senyum lebar ke arahnya, lalu memberi kecupan di pelipis perempuan itu.

"Papi, aku nggak digendong Mami, dong! Aku sudah besar, kan?"

Jati tertawa geli sambil menciumi wajah sang putra. "Tentu. Anak Papi kan jagoan sekali," pujinya. Kemudian perlahan menoleh pada Flora yang masih diam di tempatnya. "Kenapa, Mi? Yuk, masuk!" Jati menggandeng tangan Flora dengan sebelah tangannya yang bebas. Tetapi langkahnya seketika terhenti saat menyadari siapa yang berdiri tak jauh dari tempat mereka. "Astaga, Bang Andra!" sapanya terkejut, menghampiri Andra masih sambil menggandeng Flora di sebelahnya. "Kalian diundang juga? Ya ampun, udah lama ya, nggak ketemu."

Geya yang lebih dulu membalas sapaan Jati, karena Andra masih juga bungkam dengan raut pias. "Hai, Jati. Nggak nyangka bisa ketemu di sini,ya," balasnya, lalu menggigit bibir bawah, bergantian menatap antara Jati dan Flora dengan ragu. "Kalian..."

"Oh, ya!" Jati seperti baru tersadar akan posisi mereka. "Ini Flora, istri saya, Mbak. Kalian udah kenal kan, ya?"

Sekali lagi, tubuh Andra dan Geya semakin membeku di posisi mereka berdiri.

"Sorry ya, nggak datang waktu nikahan kalian. Saya masih di Aussie waktu itu."

Lagi, hanya Geya yang bisa memberi sahutan—walau dengan nada begitu kecil. "Nggak apa-apa. Kalian... nikah kapan?"

"Habis lahiran anak pertama kami, Mbak," jawab Jati pelan agar sang putra yang sedang sibuk dengan jam balita di tangan tak mendengar—walau Jati yakin putranya itu belum memahami percakapan mereka. Jati merasa tak perlu menjelaskan detail kalau dia menikahi Flora setelah pengadilan meresmikan pembatalan pernikahan istrinya itu dengan Andra.

Geya hanya mampu membalas dengan seulas senyum. Kemudian memberitahu kalau keluarga Prathama dan Mahesa juga diundang di acara malam ini.

"Wah, rame ya hari ini," celetuk Jati menanggapi. "Sebenernya tadi saya juga nggak mau bawa si kecil. Tapi Mbak yang biasanya bantu ngurus lagi sakit. Nggak tega kalau ninggalin istri cuma berdua sama anak. Apalagi istri lagi hamil anak kedua kami."

"Oh?"

"A-apa?"

Jati hanya memberikan cengiran sambil merangkul pinggang Flora. "Tiga tahun nunda, Bang. Mau fokus ke anak pertama sama usaha kami dulu. Baru lepas kontrasepsi lima bulan lalu, eh bersyukur sekarang udah ngisi. Jalan tiga bulan ya, Mi?"

Kepala Flora hanya mengangguk tipis. Sejak tadi membiarkan saja Jati yang banyak berbicara atas nama mereka. Toh, Flora merasa tidak mengenal dan memiliki urusan lagi dengan dua orang di depan mereka.

"O-oh... Selamat ya, Flo." Geya berusaha mengajak Flora berbicara, walau hanya tanggapan sebuah anggukan untuknya. "Ndra," panggilnya berbisik pada Andra. Berusaha menyadarkan Andra untuk tidak menatap lama di perut Flora.

"A-aku..." Andra tergeragap. Tatapannya kembali mengarah pada balita di gendongan Jati. "H-hai—"

"Kata Mami nggak boleh ngobrol sama orang asing!"

Keempat orang dewasa itu seketika terkejut mendapati reaksi sang balita yang langsung menolak sapaan tangan terulur dari Andra—dengan membalikkan tubuh dan semakin mengeratkan rangkulan di leher Jati.

"Hei, Agra, jagoannya Papi. Di depan kita bukan orang asing. Sapa dulu. Ini—"

"Kenalan Papi, Agra," potong Flora sambil menggenggam tangan mungil sang putra.

Andra dan Geya seketika menoleh tak percaya ke arah Flora. Sedangkan Jati hanya tersenyum maklum, sama sekali tak ingin merevisi perkataan sang istri.

"Kenalan itu apa, Mami? Teman?" Kepala Agra menoleh menatap sang mami dengan kerjapan polos di mata bundarnya.

"Kenalan itu bukan teman. Tapi cuma orang yang nggak sengaja bertemu."

"Berarti itu orang asing, Mami."

"Bukan, ini—ini pa—"

"Jangan coba-coba, Bang." Jati mendinginkan suaranya. Menghilangkan kesan ramah yang sejak tadi dibangunnya. Kemudian Jati kembali menoleh ke arah sang putra yang masih betah memeluk lehernya. "Nggak apa-apa kalau nggak mau kenalan. Sekarang kita masuk aja, yuk. Acaranya udah mau mulai."

"Yeay!"

"Kami pamit dulu ya, Bang. Mbak Geya, duluan." Jati mengajak Flora pergi sambil merangkul mesra pinggang sang istri. Sama sekali tak mempedulikan lagi kehadiran Andra dan Geya. "Begitu caranya pembalasan yang benar, Mami."

"Nggak sekalian kamu kasih tahu kalau malam ini sebenarnya acara punyamu?"

"Acara punya kita, Mi," ralat Jati lembut. "Nggak apa-apa nanti biar jadi kejutan aja."

Dalam rangkulan mesra Jati, Flora hanya tertawa lalu mencium pipi sang suami. "Terima kasih ya, Mas Jati. Papinya anak-anakku."

Jati ikut tertawa dan mencuri satu ciuman di pipi Flora.

"Aku juga mau dicium!!"

Seketika itu juga Jati dan Flora tertawa gemas melihat tingkah Agra. Keduanya tak pernah tahu kalau sudah meninggalkan sepasang suami-istri yang masih terpekur hebat dengan tungkai kaki melemas.

Andra tiba-tiba ambruk jatuh berlutut setelah kakinya terasa bergetar tak mampu menahan tubuhnya lagi. Penolakan balita yang adalah putranya itu begitu menusuk jantungnya. Kedua mata Andra sudah memerah basah ingin menangis. Hatinya hancur sekali melihat Flora dan anaknya sudah bahagia bersama laki-laki lain. Laki-laki yang sama sekali tak pernah Andra duga. Laki-laki yang adalah adik sepupunya sendiri!

Sejak kapan?

Sejak kapan kedua orang itu dekat? Di saat Andra tahu kalau tiap kali ada acara kumpul keluarga besar mereka, Jati tak pernah banyak bicara sejak kematian kedua orangtua sepupunya itu.

Ini sakit.

Sakit sekali.

Jenis rasa sakit yang baru pertama kalinya dirasakan oleh Andra selama dia hidup.

Melihat bagaimana Jati memperlakukan putranya dengan sangat baik dan sang putra yang juga begitu dekat dan menyayangi sepupunya itu membuat cubitan keras di hati Andra. Sungguh, Andra cemburu. Belum lagi wajahnya yang cukup mirip dengan Jati seolah berhasil menutupi kenyataan kalau balita tadi adalah putranya. Siapa pun yang tidak tahu kisahnya dan Flora tak akan tahu kalau balita dalam gendongan Jati tadi adalah anaknya. Miliknya—tapi tak akan pernah bisa lagi berada dalam genggamannya. Karena wajah Andra dan Jati yang mirip, otomatis balita yang adalah anaknya tadi itu juga terlihat mirip dengan Jati.

"Mas?"

Kepala Andra seketika menoleh menatap Geya yang ternyata sudah ikut berjongkok di depannya. Geya menatapnya dengan linangan air mata yang menyedihkan.

"Kita pulang, ya?" Geya bertanya dengan nada tercekat. Hatinya sakit, tapi ada jenis perasaan lain yang muncul di dadanya saat ini.

Kecemburuan.

Geya begitu cemburu saat Jati menjelaskan secara tersirat kalau Flora hamil dengan mudahnya. Sedangkan Geya? Di tahun ketiga pernikahannya dengan Andra, sampai detik ini mereka belum dikaruniai seorang anak. Padahal dokter sudah mengatakan kalau keadaan mereka berdua baik-baik saja, tapi kehamilan itu tetap tak kunjung datang.

Apa ini karma atas semua kesalahan yang sudah mereka lakukan?

Sungguh, Geya tak ingin mengiyakan hal itu.

Bersamaan dengan perasaan remuk yang dirasakan oleh Andra dan Geya, di dalam ruangan besar itu, suasana justru sedang begitu meriah saat Jati memberi kata sambutan sambil terus menyebut nama Flora dan Agra. Belum lagi suasana semakin riuh saat Agra tak henti-hentinya memanggil, "Papiku!" dengan begitu riang dan lucu.

Flora duduk di sana. Mengabaikan berbagai macam tatapan dari orang-orang yang pernah disebutnya sebagai keluarga. Tetapi Flora sudah tak peduli.

Sekalipun sudah melepaskan seluruh kebencian itu, Flora memilih melupakan semua yang pernah terjadi di masa lalunya. Melupakan semua. Seluruhnya. Termasuk orang-orang di dalamnya. Flora sudah memulai hidupnya yang baru. Benar-benar baru. Tanpa orang-orang di masa lalu. Tanpa orang-orang yang membuatnya menjadi manusia jahat.

Karena, maleficent yang pernah menjadi jahat juga berhak untuk bahagia, kan?

END

lagi demen nulis yang gini2 hahaha

salam,
yenny marissa

31 Agustus 2022

Continue Reading

You'll Also Like

12.6K 1.5K 29
HunRene Versi Lokal! Kisah dua sisi kehidupan gadis cantik belia bernama Irene Clarissa. Ia memiliki keistimewaan diantara milyaran manusia. Melihat...
9.6K 902 7
Dua tahun bukan waktu yang singkat buat Kinara Aldia untuk mengejar dan mengharap perhatian seorang Ardito Wisanggeni. Berbagai upaya ia lakukan, mul...
475K 3.7K 16
WARNING 18+ !! Kenzya Adristy Princessa seorang putri terakhir dari keluarga M&J group yang diasingkan karena kecerobohannya. Ia hanya di beri satu...
245K 5.4K 16
Dewa si CEO kaya yang tiba-tiba kepincut gadis muda. Gadis menggemaskan bernama Shera, masih menginjak sekolah menengah atas tingkat kedua. Tentu umu...