Our Stories

By yennymarissa

52.6K 5.4K 924

"If you love someone, let it go, because if he returns, he will be yours. But if he does not come back, he ne... More

Regret - 01
Regret - 02
Regret - 03
End of The Road
Maleficent
Too Late
Time Lapse
Losing Us
Broken
Broken
Little Mermaid
White Lies
Lost Stars
It Takes Two To Tango

Ambiguity

4.6K 409 43
By yennymarissa

Aku nggak tahu harus merasa bersyukur atau justru sedih punya sahabat laki-laki seperti Revaldy Sanggara—si don juan yang kiprahnya sudah nggak perlu diragukan lagi sejak dulu. Kadang aku bersyukur karena dia nggak pernah absen buat ada di setiap titik hidupku. Tapi bagian menyebalkannya adalah karena semua perempuan yang sedang menjadi kekasihnya akan selalu merecokiku jika dia tiba-tiba nggak bisa dihubungi seperti sekarang. Apalagi pacar Reval sekarang berada di kantor yang sama denganku—walau kami beda lantai.

"Tolong kasih tahu gue ya, Dil, kalau Reval nanti bisa lo hubungin. Dari kemaren gue teleponin dia, tapi nggak pernah diangkat. Terakhir emang dia bilang lagi sibuk banget sih di kantor."

Sibuk apaan?! Orang jelas-jelas kemarin Reval meneleponku sampai tengah malam cuma buat menceritakan tentang anak magang yang baru masuk di timnya.

Aku mengangguk saja sambil memberikan cengiran pada Reiya—pacar kesekian Reval di tahun ini, yang bahkan masih berjalan selama lima bulan. "Hari ini gue juga belum ada kontak dia sih, Rei. Tapi nanti coba gue telepon, ya."

Soalnya kalau kutelepon sekarang, Reiya pasti akan mencecarku karena Reval pasti akan langsung menjawab panggilanku.

"Ng... tapi bisa coba teleponin sekarang aja nggak sih, Dil? Gue butuh ngomong sama dia soalnya."

Waduh. Melihat bagaimana Reiya sangat ingin berbicara dengan Reval, dan sahabatku itu terlihat seperti sedang menghindar, pikiranku mulai meliar ke mana-mana. Apa jangan-jangan Reiya hamil dan Reval lagi berusaha lari dari tanggung jawab, ya?

Eh, astaga! Kok, bisa-bisanya aku curiga sama sahabatku sendiri? Duh.

"Dil..."

"Hah? Oh, iya, iya. Bentar, ya."

Aku segera mengambil ponsel dan mengirimkan chat pada Reval agar tidak mengangkat panggilanku nanti karena sedang ada Reiya. Aku melakukan ini bukan karena aku lagi membela Reval. Tapi karena aku sedang menghindari masalah baru yang mungkin akan timbul jika Reval mengangkat panggilanku di saat dia tidak menjawab telepon dari pacarnya sendiri.

Karena aku sudah sangat kapok dengan kejadian-kejadian sebelum ini—ketika pacar-pacar Reval mengataiku pelakor saat sahabatku itu justru bisa menghubungiku di saat tidak memberi kabar pada pacarnya. Padahal, jika Reval sedang punya pacar, aku nggak akan pernah mau berinteraksi berlebihan dengan sahabatku itu—walau tetap saja nggak bisa karena Reval tuh bisa selalu ada di mana-mana. Aku jelas masih sadar diri kalau posisi pacar akan lebih tinggi daripada sahabat perempuannya.

Sayangnya, nggak semua pacar Reval melihat niat baikku.

"Dilara!"

"Iya, iya, bentar. Tadi gue bales chat nyokap dulu," gerutuku pada Reiya yang sangat tidak sabaran.

Setelahnya, aku menghubungi Reval setelah mengaktifkan speaker dan untuk pertama kalinya selama kami bersahabat, laki-laki itu tidak menjawab panggilanku. Dalam hati, aku menarik napas lega. "Tuh, nggak diangkat, Rei. Kayaknya emang dia beneran lagi sibuk, deh."

Aku sedikit merasa bersalah saat melihat raut Reiya yang kecut.

"Ya udah, deh. Nanti tolong kabarin gue ya kalau Reval udah bisa dihubungi."

Kepalaku mengangguk saja sambil mematikan layar ponsel karena satu chat dari Reval baru saja masuk menanyakan apakah Reiya sudah pergi atau belum. Setelah Reiya kembali ke lantai tempat kerjanya, aku memilih untuk melanjutkan pekerjaanku yang tadi sempat tertunda karena kehadiran perempuan itu. Belum juga ada lima menit aku fokus, ponselku sudah lebih dulu berbunyi menampilkan nama Reval.

"Elo tuh bisa nggak sih jangan bikin repot kalau punya pacar?! Udah gue bilang juga jangan pacaran sama orang kantor gue! Bener-bener ndablek banget!" semburku langsung setelah menjawab panggilan Reval.

Sialnya, Reval justru tertawa tanpa dosa menyambut omelanku. "Lo nggak tahu seposesif apa dia setelah sebulan kami pacaran."

"Bukan urusan gue ya, Revaldy Sanggara," ketusku, yang justru masih dibalas tawa olehnya. Menyebalkan. "Udah, ah. Gue mau balik kerja. Jangan lupa telepon tuh pacar lo. Kalau emang udah nggak mau lanjut sama dia, ya putusin baik-baik. Jangan gantungin kayak gitu. Kapan sih, lo tobatnya? Heran!"

"Iya, iya. Pasti gue putusin," sahutnya santai. "Nanti pulang gue jemput, ya? Mau gue traktir, nih."

Raut kesalku langsung berubah menjadi senyuman lebar. "Okay!"

Selalu begitu tiap kali aku kesal dengan Reval. Dia selalu bisa membuat mood-ku baik kembali hanya dengan makanan.

Tapi, sial! Aku lupa kalau aku sedang diet!

Jadi akhirnya, ketika sampai di sebuah restoran baru yang katanya Reval adalah milik salah satu kenalannya, aku cuma makan salad sayur dan minum air putih. Reval sempat protes tapi aku tetap saja tidak mendengarkannya. Aku tidak akan membiarkannya menggagalkan dietku lagi.

"Kalau cowok lo emang beneran sayang, nggak bakal dia paksa-paksa lo buat diet."

Aku cuma mendelik saat mendengar sindiran itu. "Gue diet bukan buat Arthur, kok. Emang gue sadar diri aja," sanggahku. "Lagian muka gue lagi sensitif nih, habis liburan kemaren, jadi mau jaga makan dulu."

"Halah! Pake bohong segala," sambarnya dengan nada malas. "Kalau waktu itu lagi nggak rame, udah gue tonjok muka cowok lo."

Aku meringis kecil melihat kekesalan Reval yang tiba-tiba timbul. Aku tentu tahu kejadian mana yang sedang dibicarakannya sekarang.

Jadi tiga malam yang lalu, aku membawa Arthur ke pertemuan teman-teman kuliahku dan Reval. Kami berkumpul di sebuah restoran barat yang kebanyakan menunya adalah kesukaanku. Aku sedikit kalap karena terlalu menikmati makanan yang tersaji sampai satu kalimat Arthur saat kami semua sedang mengobrol, membuat meja kami hening seketika.

Ini udah malem tapi kamu makan lebih banyak dari aku. Nanti cantikmu hilang lho kalau gendut, Sayang.

Aku sempat mati kutu waktu Arthur bilang kalimat itu—walau sebenarnya tiga bulan setelah kami resmi berpacaran, dia memang cukup sering mengatakan tentang hal itu, tapi aku merasa kalau yang dia lakukan memang untuk kebaikanku. Itu sebabnya, aku cuma tertawa garing berusaha menghidupkan suasana yang tiba-tiba kaku karena teman-temanku di sana mulai memandang tak suka pada Arthur—yang justru terlihat sangat santai.

"Itu karena dia peduli sama gue, Reval. Nggak perlu sensitif gitu, deh," ujarku, yang langsung membuat Reval memutar bola matanya jengah. "Lagian emang gue udah mulai gendutan lagi, jadi baiknya mulai jaga makan."

"Ck! Elo itu nggak gendut, Dil, tapi semok. Bagus, kok."

Aku mencibir sebal. "Halah, pret!! Makan tuh, semok! Lo ngomong gitu karena gue sohib lo dari kecil."

Begitulah hubunganku dengan Reval yang nggak akan pernah absen dari perdebatan demi perdebatan. Tapi bersama Reval itu nggak pernah membosankan. Mungkin itu sebabnya dia bisa digilai banyak perempuan selama ini. Karena sekalipun menyebalkan, aku harus mengakui kalau dia itu ganteng. Kelewat ganteng dengan badannya yang proporsional. Dadanya—

"Sekarang lo lihatin gue kayak lagi nafsu, Dil."

—memang menyebalkan.

Seketika aku membuyarkan pemikiran konyolku tentang Revaldy Sanggara, yang pesonanya memang nggak perlu dipertanyakan lagi.

Apa aku pernah suka sama Reval?

Jelas iya!

Mana mungkin sih, aku nggak suka sama laki-laki ganteng, apalagi dia selalu ada di dekatku sejak kami berseragam putih-merah? Waktu itu kami baru masuk SMA kayaknya. Aku yang memang sudah sadar kalau dia ganteng jelas jadi baper waktu dia bela-belain menembus hujan deras cuma buat membelikanku pembalut ke minimarket yang cukup jauh karena sedang tidak ada stok pembalut di koperasi sekolah.

Tapi bersyukurnya, otakku kembali waras buat nggak terperdaya sama don juan kayak dia waktu dia cerita baru saja pacaran dengan salah satu kakak kelas yang cantiknya sudah kayak idol Korea—yang jadi cinta pertamanya sampai sekarang, mungkin. Tentu saja setelah tahu itu, aku langsung sadar diri. Jadi, daripada sakit hati karena ditolak, mendingan jadi sahabat Revaldy Sanggara selamanya.

"Bener-bener nafsu ya lo sama gue??"

"Apa, sih?!" kesalku, tentu saja berusaha menutupi malu karena lagi-lagi tertangkap basah memperhatikannya. "Tuh, gue lagi lihat pasangan mesum," elakku saat tak sengaja melihat pasangan di belakangnya sedang berciuman mesra.

Reval bergidik jijik saat berbalik. "Kayak nggak bisa sewa hotel aja," gerutunya, yang membuatku terkekeh geli.

"Seru tahu, sensasinya beda, Val," sahutku sambil terkikik. Tapi seketika aku mengernyit saat nggak mendapati raut geli atau pun seulas senyum menyebalkan andalannya.

Dih, ini anak kenapa lagi?

"Lo pernah ciuman sama Arthur?"

"Iuhhh, privasi orang itu, ngapain lo tanya-tanya?" protesku tak suka. Aku kan bukan anak SD yang harus dipantau saat pacaran.

"Susah banget tinggal jawab doang."

"Ya, lo pikir aja. Emang cuma lo yang bisa pacaran ala orang dewasa—" Kalimatku terhenti karena terkejut saat tiba-tiba Reval memotong daging di piringnya dengan sangat kuat sampai menimbulkan bunyi.

"Dagingnya alot," jelasnya tanpa kuminta.

Aku hanya mengedikkan bahu, lalu kembali memakan saladku. Ini nih, salah satu sifat Reval yang menyebalkan. Mood-nya bisa berubah tiba-tiba tanpa alasan yang jelas.

"Dil, emang lo udah ngapain aja sama Arthur?"

Aku mendelik lagi. Ini anak kenapa sih jadi banyak tanya soal kayak gini? Aku bahkan nggak pernah menanyakan apa saja yang sudah dilakukannya dengan pacar-pacarnya itu. "Kepo banget sih urusan ranjang orang," sungutku, berusaha terlihat sewot seperti biasa.

Tapi melihat wajahnya yang tiba-tiba sangat tidak bersahabat, membuat nyaliku ciut juga. Padahal dia sudah tahu kalau aku masih marah dengan cara berisik itu tandanya bukan benar-benar marah. Tapi, kenapa mood jeleknya malam ini bertahan lebih lama?

Sisa malam itu akhirnya kami habiskan dengan wajah Reval yang terus tertekuk. Aku sudah berusaha mengajaknya bicara, tapi dia tetap saja menanggapi dengan singkat. Jadi akhirnya aku memilih mengalah. Toh, nanti sikapnya juga akan kembali seperti semula.

Anehnya, sampai seminggu berlalu pun, Reval masih juga tak seperti biasa. Selama tiga hari itu, dia benar-benar tidak menggangguku dengan chat iseng atau telepon curhatan seperti biasa. Tadinya kupikir itu mungkin karena dia menyesal sudah memutuskan Reiya. Tapi setelah kuingat-ingat lagi, dia mana pernah galau habis putus dari pacar-pacarnya.

Duh, masa sih, dia marah karena jawabanku malam itu? Aku tahu sejak kami berdua memutuskan pergi ke Jakarta untuk kuliah meninggalkan Jogja, dia selalu berperan seperti seorang papa yang protektif pada anak perempuannya. Tapi masa iya dia percaya kalau aku bisa melakukan hal seperti itu sama Arthur? Mana mungkin. Sesayang apa pun aku sama pacarku, aku hanya membiarku mencium bibirku. Eh, tapi pernah sih, hampir kelewat batas kalau aja Arthur nggak langsung menahan diri.

Sebenarnya, salah satu alasanku bertahan dengan Arthur yang terkadang mengesalkan jika sedang membahas kecantikan perempuan versinya adalah dia cukup baik mengontrol nafsunya sebagai laki-laki. Itu sebabnya, aku berusaha mengabaikan kalimat-kalimatnya yang sebenarnya tak jarang membuatku berkecil hati dengan wajah atau bentuk tubuhku.

"Kamu pesen air putih aja ya, Sayang."

"Tapi aku lapar, Thur," balasku, berusaha membujuk Arthur yang sedang melihat menu makanan. Siang tadi aku hanya makan sayur, telur dan beberapa potong dada ayam yang kurebus, jadi tentu saja tak seberapa dibandingkan energi yang kukeluarkan karena memeras otak selama bekerja.

"Kamu udah mulai kelihatan gendut, Dil. Nggak kasihan sama badan kamu? Tuh, lihat juga satu jerawat di dahi kamu belum kempes dari beberapa hari lalu."

Tanganku seketika terangkat meraba satu jerawat di dahi yang belum mengecil karena aku memang sedang datang bulan. Mataku mulai memanas saat Arthur sama sekali tidak terlihat ingin membatalkan kalimatnya tadi.

"Kamu harus lebih keras jaga badan, Sayang. Kamu kan, tahu aku nggak suka perempuan gendut."

Sebenarnya, aku sakit hati. Tapi aku tidak tahu harus mengatakan apa di tengah kondisi lapar dan mentalku yang tiba-tiba terasa jatuh sampai ke dasar. Padahal perkataan itu bukan kalimat baru yang dikatakannya, tapi kali ini justru rasanya aku sangat ingin menangis.

"Lo nggak denger kalau Dila bilang lapar?"

Kepalaku seketika mendongak dan menemukan Reval berdiri menjulang di sampingku sambil menatap Arthur dengan sangat bengis. Rasa haruku seketika mengembang di dada saat bertemu lagi setelah tak melihatnya selama seminggu. Aku hampir saja melompat ingin memeluknya saat Arthur membanting buku menu ke atas meja dengan keras.

"Kenapa sih, lo selalu ikut campur urusan gue sama Dila?" sengit Arthur sambil bangkit berdiri. "Kurang kerjaan lo?" sinisnya.

Aku bisa melihat kedua tangan Reval mengepal sangat kuat. "Elo yang kurang kerjaan sampai ngatur-ngatur makanan Dila, Tolol," desisnya, lalu tiba-tiba menarik tanganku sampai membuatku bangkit dari kursi. "Lo juga mau-maunya diatur sama bajingan kayak gini!" sentaknya padaku. "Kalau lapar, ya makan! Ngapain perlu ijin sama orang lain!"

Bentakan itu semakin membuatku ingin menangis.

"Wajar kamu dengerin aku, Dil. Aku pacar kamu. Dia siapa?? Dia cuma temenmu doang!"

Aku langsung menahan lengan Reval saat sadar kalau dia ingin menerjang Arthur. "Pulang aja ya, Val," cicitku. Entah kenapa situasi ini membuatku lebih memilih bersama Reval. Aku yakin akan lebih aman bersamanya dibanding Arthur yang sedang sangat kesal.

"Ke sini, Dil! Ngapain kamu deket-deket sama dia?!"

"Bisa-bisanya lo teriakin Dila di depan gue!" Reval melepaskan tanganku, lalu mendorong tubuh Arthur.

Hampir saja dua laki-laki besar itu saling menyerang jika saja aku tak segera menarik Reval dengan kekuatan penuh, lalu menyeretnya pergi diiringi teriakan dan makian Arthur pada kami. Setelah ini, aku mungkin tidak akan pernah datang lagi ke restoran ini. Memalukan sekali.

Sesampainya di mobil Reval, aku melipat bibir untuk mengatasi kecanggungan yang pertama kalinya terjadi di antara kami. "Val..."

"Elo tuh, nggak bisa lebih pinter dari ini ya, Dil?"

Huh?

"Cowok sampah kayak gitu ngapain juga masih lo pertahanin?!"

Aku terdiam. Perutku sudah sangat lapar, jadi kubiarkan saja dia mengamuk sesukanya dibanding tenagaku semakin habis. Lagipula sepertinya aku memang harus memberinya waktu untuk mengeluarkan uneg-uneg setelah seminggu mendiamkanku—yang sebenarnya sama sekali tak benar-benar tahu di mana letak kesalahanku.

Pada akhirnya, Reval benar-benar mengamuk. Dia terus berbicara tanpa henti mengabsen semua rentetan kesalahan Arthur—yang bahkan aku tak sadar pernah dilakukan oleh pacarku itu. Jangan lupa dengan makian yang selalu diucapkannya kalau lagi benar-benar kesal.

"Dil..."

Eh, dia sudah selesai marahnya? Kok, tiba-tiba suaranya jadi lembut banget.

"Dua tahun lalu... lo... pernah hamil?"

Seperti ada suara petir yang menggelegar tepat di atas kepalaku. Tubuhku seketika terasa membeku dengan tatapan melebar melihatnya yang justru sedang menatapku dengan lekat tapi sama sekali tak menyembunyikan kekacauan di sana.

"Dil—"

"Pulang. Gue mau pulang." Suaraku mulai bergetar hebat.

Aku bisa melihat Reval berusaha untuk membuka bibirnya tapi kembali diurungkan berganti dengan membuang napas keras.

Pada akhirnya, Reval benar-benar mengantarkanku pulang. Sepanjang jalan kami hanya saling diam walau aku tahu dia tak pernah absen melirikku. Setelah sampai di apartemen pun, aku langsung membuka pintu milikku dan bergegas masuk tanpa mengatakan apa pun padanya.

Ketika sampai di kamar, aku langsung menelungkupkan tubuhku di atas kasur. Air mata yang sejak tadi kutahan pun akhirnya terjatuh. Sedikit demi sedikit, lalu semakin deras diiringi raungan kesedihanku.

Dua tahun lalu, aku melakukan kesalahan. Tidak. Kami melakukan kesalahan.

Hari itu, untuk pertama kalinya kami merayakan tahun baru hanya berdua tanpa keluarga kami—yang memang dekat layaknya saudara, karena orangtua kami yang juga bersahabat. Aku tidak pernah menduga bahwa minuman keras itu akan membuatku melepas kegadisan tanpa sadar dengan sahabatku sendiri.

Benar, malam itu kami sama-sama tidak sadar. Aku bahkan sangat terkejut saat pagi harinya terbangun dan menemukan Reval sedang memelukku dengan tubuhnya yang bertelanjang dada. Aku tadinya ingin langsung menendangnya, tapi kesadaran kalau kejadian malam tadi mungkin akan mengubah persahabatan kami, membuatku mengurungkan niat. Dengan air mata yang masih menetes di pipi dan penyesalan yang bergelayut di dada, aku perlahan bergerak meninggalkan Reval kembali ke kamarku. Aku terus memaki diriku karena pasti sudah membuat kedua orangtuaku kecewa.

Setelah menenangkan diri—walau tak pernah bisa benar-benar tenang, aku menemui Reval seolah tidak pernah terjadi apa pun di antara kami. Aku bersikap seperti biasa berusaha mengabaikan kegundahan di hati dan kepalaku.

"Semalem gue hangover parah sampai nggak inget kalau habis tidur sama siapa."

Pagi itu hampir saja aku tersedak bubur ayamku waktu mendengar gumaman tiba-tiba darinya. Dia bahkan terus meracau tentang keinginannya mencari perempuan yang sudah diperawaninya tanpa sadar. Sedangkan aku hanya bisa menanggapi dengan cengiran-cengiran garing nggak penting. Aku benar-benar bingung waktu itu.

Nggak mungkin kan, aku tiba-tiba bilang padanya kalau akulah perempuan yang sudah diperawaninya?? Bisa-bisa dia langsung menoyor kepalaku sambil mengejek dengan kata-kata menyebalkannya. Kalau sampai itu terjadi, aku pasti akan sangat sakit hati nantinya.

Kupikir, keputusanku untuk melupakan segalanya dan sama sekali tak ingin membahas apa pun dengan sahabatku itu adalah yang terbaik. Karena tak ada yang berubah dari hubungan persahabatan kami. Setidaknya, biar hanya kegadisanku saja yang hilang di usiaku yang ke dua puluh lima tahun. Sebab mau menyesal sampai aku menangis darah pun, semua tidak akan kembali karena kebodohanku.

Awalnya, kupikir begitu cukup. Nyatanya, aku selalu dihantui rasa bersalah pada diriku sendiri dan kedua orangtuaku. Aku mulai merasa rendah diri karena takut kalau tidak akan ada laki-laki yang akan menerimaku dengan tulus nantinya. Bahkan setelah kejadian itu, aku beberapa kali pergi ke psikiater untuk membantuku mengatasi kecemasan yang mulai berlebihan.

Tapi sayangnya, dua bulan setelah kejadian malam itu aku justru dinyatakan hamil dan keguguran di hari yang sama sehari setelah pulang liburan dari Sumba bersama Reval. Konyol sekali.

Aku nggak bisa mendeskripsikan bagaimana perasaanku hari itu. Waktu itu, yang tahu keadaanku hanya Mbak Widya—tetanggaku dan Reval yang tinggal di sebelah unitku—karena dia sedang ada di unitku untuk mengambil oleh-oleh yang kubawa. Lagi-lagi, aku tak berniat memberitahu Reval yang setelah dari Sumba langsung ke Kalimantan untuk memantau salah satu proyeknya di sana.

Dadaku kembali terasa sesak mengingat kehilangan hari itu. Sekalipun tak pernah mengharapkannya, aku tetap saja merasakan kehilangan. Aku sudah berusaha untuk melupakan semua kejadian itu. Aku sudah menganggap bahwa aku tak pernah mengalami kebodohan itu, makanya aku bisa menjalani hidup seperti biasanya.

Kupikir, setelah berhasil mengatasi kecemasanku dan mulai menjalani hidup dengan baik, semuanya sudah kembali seperti semula.

Sayangnya, hari ini tiba juga. Reval akhirnya tahu tentang rahasia yang sudah kusembunyikan rapat-rapat. Tidak mungkin dia sudah sadar kalau perempuan yang dulu ditidurinya adalah aku, kan?

Pemikiran itu semakin membuatku menangis kencang.

Jika begitu, apa gunanya aku menguatkan diri untuk mengabaikan semuanya agar persahabatan kami tetap berlanjut sampai selamanya?

Kepalaku mulai terasa pusing karena sudah terlalu lelah menangis. Entah jam berapa aku akhirnya terlelap dan terbangun saat jendela di balkon kamarku terbuka lebar membiarkan sinar matahari mengganggu tidurku.

Aku mengambil ponsel di dekatku dan sedikit mengernyit saat tidak menemukan rentetan chat dari Arthur. Tapi kedua mataku perlahan melebar saat menemukan chat darinya, yang membuatku sadar kalau dia sangat marah soal kejadian semalam. Keningku mengerut dalam saat menemukan satu chat yang dikirimkan dari ponselku—tapi aku sama sekali tak sadar sudah melakukannya.

Me:
Nggak usah ngancem2 putus
Emang gue mau putusin lo!
Jangan hubungin gue lagi!

Anda telah memblokir kontak ini.

Sial! Reval pasti sudah ada di apartemenku.

Kan, benar saja. Aku menemukannya sedang menatapku dengan tatapan yang rasanya berbeda dibanding sebelum-sebelum ini.

"Cuci muka sana. Gue udah bikinin sarapan."

Aku hanya berlalu tanpa mengatakan apa pun.

Setengah jam kemudian, kami sudah terduduk di balkon kamarku dengan kepala yang masing-masing tertunduk setelah menghabiskan sarapan yang rasanya tidak bisa kunikmati dengan baik.

"Dil."

"Hm?" Aku bergumam menjawab berusaha menghindari matanya yang terlihat sedikit sembab. Semalam dia mungkin juga menangis setelah tahu tentangku dulu—yang kemungkinan besar pasti dari Mbak Widya.

"Sebenernya, pagi itu gue inget kalau lo perempuan yang gue tidurin malam itu."

Tuh, kan. Aku benar. Tapi aku hanya bisa menarik napas berat sambil mengangguk singkat karena lidahku terasa kelu untuk menjawab. Sejujurnya, aku malu sekali membahas masalah ini lagi.

"Pagi itu gue sengaja mancing-mancing cerita tapi pas lo nggak bilang apa pun, gue sadar kalau lo milih buat lupain kejadian malem itu." Aku mendengar helaan napasnya yang memberat. "Jadi, karena lo ngambil pilihan itu, mau nggak mau gue juga nggak bisa maksa lo, kan?"

Aku terdiam. Tapi setelah membuang napas berat, akhirnya aku memberanikan diri untuk menceritakan rentetan kejadian yang terjadi setelah malam itu. Sepanjang aku bercerita, aku bisa melihat tatapannya yang diliputi frustasi dan rasa bersalah.

"Maaf ya, Dil," lirihnya sambil mengusap kepalaku lembut. "Gue minta maaf banget."

Aku memaki diriku ketika hampir saja kembali terbawa suasana saat melihat matanya yang memerah menahan tangis itu menatapku dengan sangat lekat. Jika saja tidak kebal, mungkin aku benar-benar akan jatuh lagi dengan pesonanya seperti waktu sekolah dulu. "Val, udah, ya..." balasku pelan. "Yang udah lalu, ya udah. Gue berharap banget hubungan kita nggak rusak karena masalah ini."

"Dil, kalau gue bilang gue cinta sama lo, gimana?"

Hah?

"Dari dulu, cuma lo satu-satunya cewek yang bisa bikin gue nggak tenang kalau sehari aja nggak denger suara lo."

Mataku mengerjap lambat. Detik selanjutnya aku tertawa kering, lalu berdecak kesal menatapnya. Dia pikir aku masih selemah dulu setelah kami melakukan kesalahan itu? Tidak. Aku sudah bangkit dan berusaha menerima semua kesalahanku di masa lalu. "Val—"

"Lo inget gue pernah cerita kalau gue ketemu cinta pertama gue di Hari Kartini dulu."

Kepalaku mengangguk pelan, dengan ingatan yang perlahan mulai melayang ke masa lalu. Tentu saja aku tak lupa siapa cinta pertama yang dimaksudnya ini. Si kakak kelas cantik yang bernama Sachita. Waktu itu sekolah kami sempat heboh seharian ketika melihat kecantikan Kak Sachi saat memakai kebaya indah di perayaan Hari Kartini. Karena setelah cerita tentang cinta pertamanya itu, dia pacaran dengan Kak Sachi.

"Gue nggak bisa lagi lihat lo cuma sebagai sahabat di perayaan Hari Kartini waktu kita kelas dua SMP dulu."

Aku hampir saja menjatuhkan rahangku.

"Lo cantik banget waktu itu."

Sebentar, ini ada apa, sih? Sebenarnya, Reval lagi mengerjaiku, ya? Masa kulitku yang dulu dekil itu, dia bilang cantik?

"Dilara Janethra, mau ya kasih gue kesempatan buat upgrade status kita? Bukan karena kesalahan masa lalu kita. Tapi emang karena gue mau lo dari dulu. Cuma lo, sampai gue harus singgah ke mana-mana karena takut lo kabur kalau tahu soal perasaan gue yang sebenernya," lanjutnya lagi. "Tapi kali ini, gue nggak mau diem lagi, Dil."

Sumpah, semua perasaan sendu yang tadi muncul di dadaku seketika menghilang berganti dengan perasaan aneh. Sepanjang aku mengenalnya, dia tidak bisa berbohong di depanku dan keluarganya. Jadi tatapan serius ini, aku tahu kalau dia memang sungguh-sungguh saat mengatakannya. Sial, Reval sialan sekali!

"Jadi, mau ya, coba kenalan sama gue sebagai partner seumur hidup lo nanti?"

Sepertinya, aku sudah gila. Karena aku hanya diam saja saat tiba-tiba Reval merangkum wajahku dan menempelkan bibir kami lalu perlahan memberi lumatan yang sangat lembut.

Benar, aku memang sudah tidak waras karena kembali jatuh pada pesona don juan seperti Revaldy Sanggara.

END

salam,
yenny marissa

29 Mei 2022

Continue Reading

You'll Also Like

61.3K 10.5K 40
Edisi BeckFreen...
9.6K 902 7
Dua tahun bukan waktu yang singkat buat Kinara Aldia untuk mengejar dan mengharap perhatian seorang Ardito Wisanggeni. Berbagai upaya ia lakukan, mul...
478K 3.7K 16
WARNING 18+ !! Kenzya Adristy Princessa seorang putri terakhir dari keluarga M&J group yang diasingkan karena kecerobohannya. Ia hanya di beri satu...
12.6K 1.5K 29
HunRene Versi Lokal! Kisah dua sisi kehidupan gadis cantik belia bernama Irene Clarissa. Ia memiliki keistimewaan diantara milyaran manusia. Melihat...