Our Stories

De yennymarissa

53.1K 5.5K 936

"If you love someone, let it go, because if he returns, he will be yours. But if he does not come back, he ne... Mais

Regret - 01
Regret - 02
Ambiguity
End of The Road
Maleficent
Too Late
Time Lapse
Losing Us
Broken
Broken
Little Mermaid
White Lies
Lost Stars
It Takes Two To Tango

Regret - 03

5K 526 144
De yennymarissa

Gadis

Mengenal Kaia adalah salah satu hal terbaik dalam hidupku. Kaia terlalu baik untuk mereka yang hanya bisa melihat sesuatu tanpa berusaha menemukan kebenarannya. Aku tak pernah peduli saat orang-orang di sekitar kami sering memandangnya dengan tatapan tak suka karena semua pemberitaan tentangnya yang dianggap sebagai pembunuh kakaknya sendiri. Sejak awal, aku lebih percaya pada perasaanku yang mengatakan kalau Kaia bukan perempuan kejam seperti itu.

Dan itu, terbukti.

Kaia bahkan tak bisa mengusir kucing yang suka mengganggu saat kami makan di pinggir jalan. Dia justru pernah sengaja membeli satu porsi lauk hanya demi memberi makan kucing liar.

Aku sangat menyayanginya. Selain ibuku yang sudah tiada beberapa tahun lalu, dia adalah satu-satunya keluarga yang kupunya. Dia bahkan pernah menguras tabungannya untuk membiayai pengobatan ibuku yang waktu itu sedang melawan kanker hati.

Jadi, ketika aku tahu kalau dia sedang melawan kanker otak, aku benar-benar ketakutan. Aku menangis seharian setelah mengetahui keadaannya. Pantas saja selama beberapa bulan terakhir tubuhnya terlihat lebih kurus. Dan sekarang, dia masih tidak sadarkan diri setelah aku menemukannya pingsan di kamar mandi kemarin pagi.

Aku mengusap air mataku lagi. Dalam hati masih mengumpati keluarga Kaia yang sangat kejam. Setelah dokter mengatakan keadaan Kaia yang semakin memburuk dan kemungkinan tidak lagi bisa bertahan lebih lama, aku berusaha menemukan kontak keluarganya di ponsel sahabatku itu—sambil terus menangisi keadaannya.

Dan yang kutemukan sungguh membuatku merasa sangat miris. Papa dan mama Kaia memblokir nomor ponsel sahabatku itu. Begitu juga dengan Mas Putra. Sedangkan nomor ponsel Aghas, tak bisa dihubungi sama sekali. Aku memang tidak mengenal mereka secara langsung tapi bagiku apa yang mereka lakukan sudah sangat keterlaluan. Berkali-kali juga aku memaki Aghas melalui pesan dari ponsel Kaia setelah mengatakan kalau itu dariku. Terakhir aku juga memberitahu alamat rumah sakit dan ruangan tempat Kaia dirawat. Aku berharap kalau ketika Aghas menyalakan ponsel, laki-laki itu membaca pesan dariku.

Malam itu, aku kembali menangis dengan raungan. Hatiku sakit sekali memikirkan kehidupan seperti apa yang sudah dijalani Kaia sebenarnya?

Gadis, kalau aku nggak bisa bertahan nanti, aku titip surat yang kutulis kemarin buat Mas Aghas, ya.. Waktu dia pergi, aku belum sempat pamitan.

Air mataku jatuh lagi mengingat kalimat Kaia sehari setelah kami mengetahui kehamilannya.

Nanti aku mau dikremasi aja ya, Gadis.. Kalau dikubur, nanti makamku sepi nggak akan ada yang berkunjung. Kalau dikremasi, kamu bisa sebar abunya di laut. Kamu kan suka laut, jadi kalau kangen aku, kamu bisa sekalian ke sana. Soalnya, kalau aku nggak ada, cuma kamu yang kangen nanti..

Lagi-lagi, aku menangis kencang.

"Kai, harus kuat, ya," bisikku di sela isakan tangisku. "Bayinya juga pasti mau kalian bertahan."

Sayangnya, dokter sudah menyerah dan mengatakan tak ada harapan lagi.

Aku semakin ketakutan. Waktu aku ingin kembali menghubungi nomor ponsel Aghas, ternyata dia sudah lebih dulu menghubungi ponsel Kaia. Aku baru akan mengatakan makian, saat mendengar suara lirih Kaia yang memanggilku.

"Gadis..."

Aku segera meletakkan ponsel yang tadi kupegang tanpa mematikannya. Air mataku mengalir lebih deras saat melihatnya berusaha membuka kedua mata. "Kai..." balasku sambil bergerak mendekati wajahnya. "Selamat datang kembali," bisikku dengan air mata yang masih mengalir. Aku akan terus percaya kalau Kaia-ku akan bertahan.

Kaia terlihat berusaha tersenyum kecil dengan bibir pucatnya. "Gadis... aku bahagia bisa kenal kamu di hidupku," ucapnya sangat lirih dan sedikit terbata. Hatiku hancur sekali saat sadar tak ada lagi binar di mata Kaia. Tatapan matanya sudah terlihat begitu tak berdaya menatap langit ruangan. "Gadis... nanti... jangan sering nangis... Gadis harus terus bahagia, ya."

Kepalaku menggeleng kuat-kuat dengan linangan air mata yang tidak mau berhenti. Aku sangat kesakitan mendengar dia terus menyebut namaku seperti itu. Jangan pergi, aku ingin sekali berteriak seperti itu. Tapi aku tahu aku tak harus membuatnya semakin tersiksa.

"Kalau aku hari ini pergi, nggak perlu bilang siapa-siapa ya, Gadis..." ucapnya lagi. Tidak ada air mata yang mengalir darinya. Justru air mataku yang terus mengalir meminta dia tak mengatakan kalimat yang membuatku semakin merasa sesak.

"Aku mau tidur lagi, Gadis..." lirihnya lagi, kali ini aku melihatnya mengerjap-ngerjap sangat lambat. "Kepalaku pusing... badanku rasanya sakit semua..."

Aku sudah meraung, menggenggam tangannya dengan sangat kuat. Dokter sudah mengatakan padaku untuk bersiap akan kemungkinan terburuk, tapi aku belum siap. Aku tidak akan pernah siap.

"Aku capek banget, Gadis... maafin aku, ya..."

Rasanya duniaku hancur saat mendengar suara nyaring dan garis lurus di mesin EKG. Dokter dan suster yang berlarian masuk lalu membawaku menyingkir dari dekat Kaia sama sekali tak membuatku berhenti menangis. Aku benar-benar merasa seperti tak tahu apa yang sedang terjadi sebenarnya.

Aku kehilangan lagi. Aku kehilangan Kaia. Aku kehilangan sahabat yang sudah kuanggap seperti saudara kandungku.

=><=

Aghas

Aku membenci Kaia sejak kematian Putri—perempuan yang kucintai. Semua bukti kejahatan yang mengarah padanya membuat perasaan sayangku sebagai kakak lenyap begitu saja. Aku ingin tak mempercayai tuduhan untuknya, tapi Putra yang bahkan kakaknya saja tidak lagi bisa percaya. Semua orang membencinya, dan aku pun begitu.

Sampai ketika papa—pria yang sudah membesarkanku setelah kematian kedua orangtuaku—tiba-tiba memintaku untuk menikahi Kaia di saat aku sudah memiliki kekasih. Nesya adalah satu-satunya wanita yang berhasil membuatku membuka hati setelah kematian Putri. Sayangnya, hubunganku dengan Nesya harus menghadapi ujian karena aku tak bisa menolak permintaan papa.

Akhirnya aku menikahi Kaia. Dan itu membuatku semakin membencinya. Entah apa yang dia katakan sampai membuat papa mengambil keputusan untuk menikahkan kami.

Sepanjang kami menikah, aku bersikap sangat dingin padanya. Aku selalu berangkat sangat pagi dan pulang larut malam hanya untuk menghindarinya. Aku tak pernah menyentuh makanan apa pun yang dia buat dan mengabaikan kehadirannya yang selalu menungguku pulang. Aku bahkan sengaja masih meneruskan hubunganku dengan Nesya dan lebih sering menghabiskan waktu bersamanya. Sampai suatu hari Nesya tiba-tiba mendatangiku dengan tangisan pilu dan berteriak meminta putus karena dipermalukan oleh seseorang yang akhirnya aku tahu adalah orang suruhan papa.

Aku marah. Aku mengamuk karena tak bisa melindungi Nesya dari luka yang seharusnya tak perlu didapatkannya. Pada akhirnya, aku melepaskan Nesya. Tapi aku tetap tidak bisa menghentikan amarahku pada Kaia—yang pasti menjadi dalang dibalik tindakan papa pada mantan kekasihku.

Malam itu, bukan hanya membabi buta memaki Kaia, aku juga berakhir menjadi seorang pemerkosa. Kaia mungkin tak tahu kalau setelah dia terlelap, aku hanya bisa menatap penuh rasa bersalah karena tak bisa menahan emosiku. Aku mengusap rambutnya yang mungkin rontok karena aku sempat menjambaknya saat mengambil paksa hakku. Detik itu juga, aku merasa seperti ada yang salah dengan hatiku. Aku ingin memeluknya dan mengatakan maaf, tapi otakku langsung menolak mentah-mentah. Aku masih bersikeras kalau dia pantas mendapatkan kemarahanku.

Semakin lama, tanpa sadar aku mulai merasa tak asing lagi dengan kehadirannya di sekitarku. Aku selalu mengatakan kalimat kasar dan menyakitkan bukan semata karena kebencianku, tapi juga karena aku ingin menyadarkan diriku sendiri pada perasaan yang aku sadari mulai timbul untuknya. Aku berusaha mematikan jenis perasaan itu walau masih terbilang sangat kecil.

Tapi tetap saja tak mudah. Karena melihatnya yang mulai berhenti membuatkanku sarapan dan juga tidak lagi menungguku pulang, rasanya seperti ada yang hilang. Ada satu waktu aku ingin mencium aroma masakan yang biasanya dia buat—tanpa pernah aku makan satu kali pun, tapi aku berusaha menahan diri karena tak ingin terlihat konyol. Aku tak akan membiarkan harga diriku jatuh hanya karena perasaan yang menurutku salah.

Aku membencinya.

Kalimat itu yang selalu kurapalkan hampir tiap hari di kepalaku. Mungkin karena itulah sikapku kerap berubah-ubah saat bersamanya. Sejujurnya, saja otakku tidak terus mengingat kejadian masa lalu, Kaia adalah sosok yang mudah dicintai.

Sebelum aku ke Surabaya, aku menolak ketika dia tiba-tiba meminta satu pelukan karena pagi itu saat terbangun dengan posisi memeluknya, aku terkejut menyadari kalau hari itu adalah hari kematian Putri. Egoku seolah sedang mengejek kebodohanku yang tidur sambil memeluk perempuan yang sudah membunuh cinta pertamaku. Karena itulah sikapku kembali dingin padanya sampai aku berangkat dinas ke luar kota.

Aku mematikan ponsel pribadiku selama di Surabaya, karena tak ingin terganggu oleh keinginan menghubungi Kaia untuk sekadar mendengar suaranya yang entah sejak kapan seringkali membuatku terbiasa. Aku bahkan berusaha menahan diri untuk tidak meminta maaf karena tak memeluknya hari itu. Tapi lagi-lagi egoku yang memenangkan pertarungan.

Sekembalinya dari Surabaya, aku langsung pergi ke rumah papa karena papa tiba-tiba memintaku datang ke sana setelah menghubungiku ke nomor ponsel yang selalu kugunakan untuk pekerjaan—mungkin karena papa tak bisa menghubungi nomor pribadiku.

Awalnya kami hanya membicarakan proyek besar yang sedang kukerjakan di Surabaya sampai tiba-tiba papa mengubah topik pembicaraan yang cukup membuatku terkejut. Selama ini, yang aku tahu, tidak ada satu pun dari keluarga Wijaya yang menerima Kaia setelah kesalahan fatal perempuan yang masih menjadi istriku itu. Tapi detik itu juga aku sadar kalau papa tetaplah seorang ayah yang mencintai putrinya tanpa syarat.

"Kaia nggak pernah minta papa untuk menikahkan kalian, Ghas. Soal mantan pacarmu pun, Kaia nggak pernah bilang apa-apa," ujar papa dengan mata yang terlihat memerah menahan tangis. "Memangnya apa yang bisa Kaia bilang kalau dia cuma tahu kami membencinya?"

Benar. Aku mengabaikan fakta itu.

Tolol.

Aku benar-benar tolol.

Bagaimana bisa aku menyalahkan seluruhnya pada Kaia, di saat aku ikut berperan menjadikan dia sebagai orang yang tak bisa mengeluarkan suara apa pun di antara kami? Bodoh!

"Seminggu ini, papa selalu mimpi buruk tentang Kaia." Aku menyadari suara papa mulai memberat menahan tangis. "Papa nggak pernah bisa benar-benar marah sama Kaia, Ghas. Mungkin terkesan egois buat kamu, tapi papa nggak bisa lagi lihat dia hancur di rumah ini. Itu makanya papa minta kamu nikah sama Kaia, karena papa yakin kamu bisa jagain putri bungsu papa."

Tidak. Papa salah. Justru aku yang menambah luka baru lagi pada perempuan itu.

"Tolong buat Kaia bahagia ya, Ghas. Papa mohon lupakan kejadian di masa lalu, karena papa juga sudah melupakannya."

Tubuhku mulai bergetar kala mengingat kembali bagaiamana sikapku pada Kaia selama kami menikah.

Setelah keluar dari ruang kerja papa, aku bergegas masuk ke mobil dan meminta supir untuk mengantarku pulang ke apartemen. Aku ingin segera bertemu Kaia dan kali ini akan benar-benar meminta maaf padanya. Mungkin sudah saatnya kami memulai pernikahan dengan cara yang benar.

Di perjalanan, aku seolah baru sadar belum menyalakan ponsel pribadiku. Dan tubuhku tiba-tiba mendingin saat membaca rentetan pesan yang masuk dari Kaia tapi ternyata dikirim oleh Gadis—sahabat Kaia.

Tidak mungkin.

Kaia sakit dan tidak sadarkan diri?

Dengan suara bergetar, aku meminta supir mengganti rute menjadi ke alamat rumah sakit yang Gadis kirimkan untukku. Aku segera menghubungi nomor ponsel Kaia dan baru saja akan bersuara saat tiba-tiba aku mendengar suara perempuan yang kurindukan—tapi seringnya tak mau kuakui.

"Gadis..."

Aku mendengar semua percakapan di ponselku dengan jantung yang berdebar kencang. Tubuhku mulai menggigil tanpa ampun. Setelah sampai di rumah sakit, aku berlari sepanjang lorong untuk menemukan ruangan tempat istriku dirawat. Kakiku bergetar hebat saat menemukan sosok perempuan yang sedang terduduk dengan kepala menunduk dan tangisan begitu pilu tak jauh dari ranjang rumah sakit.

Aku bergerak berusaha melihat Kaia lebih dekat, tak mempedulikan dokter dan suster yang sedang mengelilingi tubuh istriku itu. Aku baru teringat tentang tubuhnya yang terlihat semakin mengurus selama beberapa bulan terakhir dan ternyata inilah yang disembunyikannya.

Istriku, sudah memejamkan mata dengan wajah yang sangat tenang.

"Waktu kematian..."

Aku memilih tidak mendengar perkataan dokter. Tanganku bergerak membelai wajah Kaia yang sangat pucat. "Kaia, ini Mas Aghas," sapaku dengan suara serak. Kukecupi seluruh wajahnya dengan air mata yang terus mengalir. Tapi istriku itu tetap diam. Seolah sedang membalasku dengan pengabaian yang lebih menyakitkan.

"Aku pulang, Kai," ujarku lagi. Kali ini dengan nada sedikit memaksa beriringan dengan isakan tertahan yang akhirnya membuat dadaku terasa begitu sesak. Aku ingin dia membuka mata. Aku ingin dia tahu bahwa selama ini aku tak pernah benar-benar bisa membencinya. "Jangan tinggalin aku begini."

Aku menangis lagi. Duniaku seperti berhenti berputar saat tahu kalau Kaia memang sudah pergi. Dia akhirnya memilih menyerah dan meninggalkanku dalam ribuan penyesalan tanpa henti.

=><=

Banyak hal yang terjadi selama satu bulan setelah kepergian Kaia yang terlalu tiba-tiba bagiku dan keluarganya. Papa jadi sering jatuh sakit dan mama tidak lagi terlihat seperti memiliki gairah hidup. Seluruh keluarga Wijaya berduka—tanpa terkecuali.

Terutama saat satu fakta yang akhirnya terkuak setelah bertahun-tahun terlewat.

Kaia tak pernah mendorong Putri dari balkon. Malam itu, Putri yang sedang berada di kamar Kaia, ternyata diperkosa oleh supir pribadi mama yang waktu itu tidak ikut pergi bersama papa dan mama. Putri yang pasti sangat kalut akhirnya memilih untuk menjatuhkan diri dari balkon kamar Kaia—dan kami semua, justru menuduh Kaia pelakunya hanya karena sore hari mereka bertengkar dan berpikir kalau malam harinya sepasang kakak adik itu kembali bertengkar di kamar Kaia dan berakhir Kaia mendorong Putri.

Nyatanya, kami salah. Kami berdosa telah membuat hidup Kaia seperti di neraka selama bertahun-tahun.

Jika saja istri si bajingan yang merusak segalanya itu tidak datang sambil menangis dan menceritakan dosa sang suami yang disimpan selama bertahun-tahun, kami tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Atau jika saja bajingan itu tidak sedang sekarat dan ingin mengakui dosa, mungkin kami akan tetap menganggap kalau Kaia adalah seorang pembunuh.

Setelah hari itu, papa semakin sering mengurung diri di ruang kerja. Kesehatannya kian menurun sampai harus duduk di kursi roda. Mama juga selalu menangis di kamar Kaia yang menjadi saksi kematian Putri dan awal dari kehancuran putri bungsunya. Putra juga sama terpukulnya. Dia terus meracau tentang kesalahannya yang selalu mengabaikan Kaia bahkan di pertemuan tak sengaja mereka di restoran—yang menjadi pertemuan terakhirnya dengan Kaia. Aku melihat dan mendengarkan tiap kehancuran itu dalam diam.

Tapi setelah kembali sendirian, aku hanya akan menangis sampai kesulitan untuk bernapas. Rasanya sangat mencekik saat sadar tak lagi bisa menemukan Kaia di mana pun.

Aku belum sempat mengatakan perasaan sayangku padanya. Aku belum sempat meminta maaf untuk semua dosa dan kesalahan yang kulakukan padanya.

Setiap malam, tak ada satu detik pun kulewatkan tanpa menangis menyesali segalanya. Aku memutar kembali ingatan tentang kebersamaan kami. Jika saja aku bisa menahan egoku, mungkin aku bisa memberinya kebahagiaan—walau hanya sebentar. Sayangnya, aku hanyalah laki-laki tolol yang tidak berguna.

Suatu pagi, aku cukup dikejutkan dengan kehadiran sahabat Kaia yang sejak pemakaman tak terlihat di mana pun. Setelah keluarga Kaia datang ke rumah sakit hari itu, Gadis mengatakan permintaan Kaia untuk dikremasi sedangkan kami mengatakan akan memakamkan Kaia di kuburan milik keluarga Wijaya. Aku yang saat itu sedang sangat hancur hanya membiarkan Putra berdebat sangat alot dengan Gadis sampai perempuan itu memaki kami semua tanpa terkecuali. Gadis meneriakkan dengan lantang seluruh kesalahan kami sampai membuat kami terdiam, walau pada akhirnya dia mengalah dan membiarkan Kaia dimakamkan saja.

"Gue cuma mau kasih ini," ujarnya sambil menyerahkan sebuah amplop berwarna biru muda padaku. "Titipan dari Kaia."

Tubuhku menegang saat mendengar satu nama itu. Aku menatap wajah Gadis, yang terlihat jelas menyimpan banyak kemarahan untukku. Karena rentetan pesan makian yang dikirim melalui ponsel Kaia hari itu sudah menjelaskan segalanya.

"Gimana sebulan hidup tanpa Kaia? Bahagia?" tanyanya dengan nada sangat sinis.

Aku tercekat dalam diam. "Kami... mencari kamu setelah pemakaman. Ada banyak hal yang mau kami bicarakan."

"Gue butuh waktu buat terima kenyataan kalau sahabat gue udah nggak ada," sahutnya ketus, tapi wajahnya jelas tak bisa menyembunyikan rasa kehilangan di sana. "Lagian buat apa cari gue? Mau nanya tentang Kaia selama dia sakit? Nggak perlu. Buat apa? Kaia udah nggak ada di sini lagi. Itu mau kalian, kan?"

Tanpa menunggu balasanku, Gadis berbalik pergi. Tapi belum berjalan terlalu jauh dariku, Gadis justru berbalik dan menatapku dengan tatapan yang penuh kesakitan.

"Mungkin lo belum tahu karena gue emang minta pihak rumah sakit buat nggak bilang ke kalian," ucapnya tanpa jeda. "Kaia lagi hamil waktu itu. Anak lo."

Duniaku seketika terasa hening detik itu juga. Lidahku kelu bahkan hanya untuk sekadar menahan langkah Gadis demi meminta sebuah penjelasan. Dengan tubuh yang mulai bergetar hebat, aku memaksa kakiku melangkah menuju sofa dan mulai membuka amplok yang diberikan Gadis padaku tadi.

Napasku tiba-tiba terasa sesak saat menyadari tulisan yang terlihat di satu lembar kertas berwarna krem itu.

Halo, Mas Aghas-ku yang ganteng...

Aku harap kamu selalu sehat dan bahagia di mana pun kamu berada. Seharusnya, aku bilang semua isi surat ini secara langsung, tapi kupikir kita udah nggak punya kesempatan lagi buat ketemu. Makanya aku buat surat ini...

Tapi ujung kertasnya sedikit ada darahku, tadi nggak sadar kalau ternyata mimisan. Jangan marah, ya. Aku janji ini jadi surat pertama dan terakhir yang aku tulis buat kamu

Mas Aghas... aku mau minta maaf karena selama ini cuma terus memberikan kamu luka dengan rantai yang mengikat dalam bentuk pernikahan kita. Aku juga minta maaf karena udah buat kamu menderita dengan pernikahan kita. Aku tahu kamu terluka dan menderita, tapi sayangnya aku nggak bisa melakukan apa pun buat menolong kamu

Mas Aghas.. sejujurnya aku sakit tiap kali kalian bilang aku pembunuh. Aku merasa nggak pernah bunuh siapa pun apalagi kakakku sendiri. Tapi semua hal pahit yang terjadi di hidupku bikin aku berpikir kalau mungkin aja memang aku yang udah dorong Kak Putri tanpa sadar. Aku mau bersikeras kalau aku bukan pembunuh, tapi kalian pasti tetap nggak akan percaya..

Jadi, tolong maafin aku ya, Mas..

Aku juga mau berterima kasih karena udah menjadikan aku istrimu walau aku tahu itu karena sebuah paksaan.Tapi aku selalu bersyukur bisa memiliki kamu walau cuma sebentar

Aku bahagia, sangat..

Kamu tahu nggak, Mas? Sebenernya, aku udah menyukai kamu sejak umurku sepuluh tahun. Mengerikan, ya? Kadang aku juga mikir begitu. Tapi nyatanya, emang itu yang terjadi. Selama enam belas tahun aku cuma menyukai bahkan mencintai laki-laki yang nggak pernah melihatku, dan hebatnya aku sama sekali nggak menyesali hal itu sedetik pun

Tapi sayangnya, sedalam apa pun perasaanku buat kamu, sekuat apa pun keinginanku buat bersama kamu, aku tetap aja harus kalah pada takdir yang memaksaku agar berhenti

Mas Aghas-ku, aku pamit, ya...

Maaf karena nggak bisa lagi mendoakan kamu setiap pagi dan malam. Maaf karena nggak bisa lagi memperhatikan kamu dalam diam. Maaf karena nggak bisa berpamitan secara langsung sama kamu. Maaf juga karena aku harus ikut bawa pergi calon anak kita—kalau aku boleh menyebutnya begitu..

Aku bukan mengakhiri perasaanku, Mas. Aku cuma mengakhiri rantai yang selama ini membelenggu kamu begitu erat. Kamu harus tahu, kalau aku selalu mencintai kamu sampai akhir. Aku juga janji akan selalu melihat kamu dari atas sini untuk memastikan kebahagiaan kamu

Aku melepaskan kamu sekarang. Jadi, selamat berbahagia ya, Cintaku...

Aku menangis lagi. Meraung dengan lebih hebat sambil memeluk surat dari Kaia—yang entah sejak kapan dipersiapkan untukku. Aku memukuli dadaku hanya untuk berusaha mengambil napas walau sedikit demi sedikit.

Tuhan...

Kaia mencintaiku? Mencintai laki-laki bajingan sepertiku?

Maaf juga karena aku harus ikut bawa pergi calon anak kita—kalau aku boleh menyebutnya begitu..

Aku kembali meraung terisak jauh semakin menyakitkan kala membaca kembali satu kalimat itu. Aku teringat saat suatu malam tiba-tiba Kaia pernah menanyakan pendapatku tentang kehamilannya. Sejak perlahan mulai menerima kehadirannya, aku memang tak lagi masalah jika harus memiliki anak darinya. Tapi aku berusaha menyembunyikan jawabanku yang sebenarnya karena masih membesarkan egoku.

Ya Tuhan... aku menyesal. Aku sangat menyesali segala kebodohanku.

Aku masih terisak hebat sampai kepalaku mulai terasa pusing. Entah berapa lama aku menangis sampai di pagi harinya aku seolah membayangkan Kaia membangunkanku dengan senyuman teduh miliknya.

Aku... mulai tak waras.

Sampai tujuh tahun berlalu dan aku masih dengan kehidupan yang sama; meratapi kepergian Kaia—perempuan yang ternyata sudah menguasai seluruh hati dan pikiranku. Hidupku seperti berjalan di tempat. Hanya karirku saja yang kian hari semakin naik. Tapi hatiku tetap terasa kosong. Tidak ada satu pun hal yang berhasil mengalihkan duniaku dari Kaia.

Aku sampai pada keputusan akan menemui Kaia dan anakku nanti dengan status yang sama; sebagai suami seorang Kaiandra Wijaya.

Putra pun sama sepertiku. Sampai detik ini, hidupnya juga masih berkutat dengan kesendirian.

Gue aja nggak bisa jagain adek-adek gue, Ghas, gimana gue bisa jagain perempuan lain?

Itu kalimat Putra jika ada rekan kerja kami yang menyinggung tentang kesendirian kami di usia yang sudah sangat matang. Penyesalan kami seolah sepakat tanpa kata untuk menghabiskan waktu seorang diri. Tidak ada satu pun dari keluarga yang bertanya-tanya tentang kesendirian kami selama bertahun-tahun, seolah mereka sudah mengerti.

Kaia, apa kabar? Aku nggak pernah baik-baik aja setelah kamu pergi. Aku sayang kamu. Tunggu aku, ya...

END

=><=

gaesss, jangan lupa baca ceritaku yg baruu yaaaa. follow akun wp ku biar tak ketinggalan huehee. thankyu!!

salam,
yenny marissa

25 Mei 2022

Continue lendo

Você também vai gostar

249K 5.4K 16
Dewa si CEO kaya yang tiba-tiba kepincut gadis muda. Gadis menggemaskan bernama Shera, masih menginjak sekolah menengah atas tingkat kedua. Tentu umu...
Moonlight And Roses De sasa

Ficção Adolescente

291 87 25
Lori yang disebut-sebut sebagai tuan putri Newman Scott Private School karena kecantikannya, kini terjerat kasus narkoba. Meski tes urine telah membu...
404 62 5
"Kamu bisa lepaskan andai itu menyakitkan." Periode : Januari - Februari 2024
SCH2 De xwayyyy

Ficção Geral

104K 16K 43
hanya fiksi! baca aja kalo mau