Our Stories

By yennymarissa

52.2K 5.4K 924

"If you love someone, let it go, because if he returns, he will be yours. But if he does not come back, he ne... More

Regret - 01
Regret - 03
Ambiguity
End of The Road
Maleficent
Too Late
Time Lapse
Losing Us
Broken
Broken
Little Mermaid
White Lies
Lost Stars
It Takes Two To Tango

Regret - 02

3.3K 514 152
By yennymarissa

Kaia

"Kamu bukan cuma mengerikan sebagai manusia, tapi juga sangat menyedihkan sebagai seorang perempuan."

Itu kalimat pertama yang Mas Aghas katakan setelah kami resmi menjadi sepasang suami-istri. Aku tahu dia marah. Sangat marah dengan pernikahan yang papa rancang untuk kami, karena berpikir akulah dalang dibalik permintaan itu. Padahal, jika saja dia ingin memahami lebih jauh, mana mungkin papa mau mendengarkan permintaanku, kan? Sayangnya, karena sudah terlanjur sangat membenciku, dia pasti tidak akan berpikir sampai ke sana.

Hari pertama sebagai seorang istri kulalui dalam hening, karena kami tidur terpisah. Hari-hari berikutnya pun terus begitu sampai aku mulai terbiasa dengan kehadirannya yang hanya menganggapku sambil lalu di dekatnya.

Iya, selama satu bulan kami menikah, dia akan berangkat sangat pagi dan pulang larut dan tak pernah menyapaku saat aku sengaja terjaga menunggu kepulangannya. Bodohnya, aku tetap saja bangun lebih pagi darinya hanya untuk membuatkannya sarapan yang aku tahu tak pernah disentuhnya sama sekali.

"Mas Aghas, sarapan dulu, yuk. Hari ini aku buatin omelet nasi—"

"Emang kapan aku pernah makan satu pun makanan yang kamu buat?" sahutnya datar tanpa menoleh padaku, lalu pergi begitu saja meninggalkan apartemen yang menjadi saksi betapa dinginnya dia padaku sejak kami menikah sebulan yang lalu. Oh, bukan. Sebenarnya sejak kematian Mbak Putri, sikapnya padaku memang sudah jauh berbeda dibandingkan dulu.

Rasanya pernikahan kami memang sangat menyedihkan. Kami masih tidur di kamar berbeda, bahkan seringkali tak ada komunikasi yang terjalin. Tapi konyolnya, aku tetap saja berusaha ingin menjadi istri yang baik untuknya.

Bahkan ketika di bulan kedua aku tahu kalau dia masih berhubungan dengan kekasihnya, aku berpura-pura tidak tahu dan tetap menjalankan peranku sebagai istri—yang tentu saja diabaikan. Aku membiarkannya selalu makan siang bersama sang kekasih bahkan selalu memiliki waktu kencan tiap akhir minggu.

Setiap malam aku masih menunggunya pulang dari kantor, walau masih tetap tak mendapatkan sapaan apa pun—selayaknya seorang suami menyapa istri yang sudah menunggunya pulang ditemani kantuk karena menunggu sampai tengah malam. Lalu pagi harinya, aku akan bangun sangat pagi dan tetap menyiapkannya sarapan. Seolah semua kegiatan itu sudah menjadi kebiasaan yang rasanya akan aneh jika tak kulakukan. Tidak pernah ada percakapan berarti dalam pernikahan kami. Karena dia lebih sering diam dan mengabaikanku, kecuali sudah merasa sangat terganggu.

"Nggak perlu nunggu aku pulang dan jangan bikinin aku sarapan apa pun lagi. Urus aja diri kamu sendiri!"

Kalimat itu sudah terlalu sering dia katakan, dan aku masih saja bebal. Aku masih melakukan semua kebiasaanku untuknya dengan harapan dia juga akan terbiasa dan akhirnya perlahan mencairkan hati untuk menerima pernikahan kami.

Gadis bilang cintaku pada Mas Aghas sudah tidak benar. Menyesatkan, katanya. Sejujurnya, aku juga sadar tentang hal itu sejak awal kami menikah. Aku tahu bahwa tujuan papa menikahkan kami hanya ingin membuatku semakin terluka. Atau mungkin juga cara papa dan mama untuk membuangku dari rumah. Karena sejak menikah, aku tak pernah diundang dalam acara apa pun yang keluarga Wijaya adakan, di saat Mas Aghas yang adalah suamiku justru selalu ada di sana. Aku juga tidak pernah lagi bertemu dengan kedua orangtua dan kakakku, pun saudara-saudaraku yang lain. Aku resmi menjadi orang asing.

"Jatuh cinta itu juga punya batas, Kai. Mau sampai kapan lo terus merendahkan diri buat laki-laki yang nggak bisa menghargai semua usaha lo?"

Mau sampai kapan? Aku juga tak tahu jawaban apa dari pertanyaan Gadis waktu itu. Sebab, masih ada sudut hatiku yang justru mengatakan kalau pernikahan ini bisa menjadi satu kesempatan bagiku untuk meluluhkan hati pria itu kembali.

Karena sampai bulan-bulan berikutnya pun, aku masih tetap melakukan kegiatan yang sama—bahkan mulai berusaha membuka percakapan-percakapan kecil yang tentu saja tidak mendapatkan tanggapan apa pun. Aku juga selalu meminta ijin padanya tiap kali akan pergi ke mana pun—meski tak ada balasan darinya. Intinya, aku benar-benar berperan sebagai seorang istri yang sangat menghormati suaminya—walau tentu tak pernah mendapatkan balasan yang sama. Tapi aku sama sekali tak merasa marah atau pun kesal. Aku menikmati peranku, sebagai istri yang terlalu mencintainya.

"Gue tahu kalau nikah itu emang nggak melulu bikin bahagia. Tapi kalau lihat lo yang makin kurus dan kayak punya banyak beban gini, udah jelas pernikahan lo nggak sehat, Kai."

Aku hanya mengulas senyum saat di salah satu pertemuan kami, Gadis lagi-lagi mengomentari penampilanku yang katanya semakin kurus dan tidak berseri lagi. Aku bahkan sama sekali tidak sadar kalau tubuhnya lebih kurus dibanding sebelumnya, karena aku merasa baik-baik saja.

Tapi sepertinya aku salah. Karena di bulan ke delapan pernikahanku, aku merasakan pusing yang tak lagi bisa kutahan seperti sebelum-sebelumnya. Tubuhku juga terasa sering lelah, padahal aku tak mengerjakan banyak hal berat dalam satu hari. Sesekali aku juga mendapati darah keluar dari hidungku. Tapi saat itu aku tak terlalu ambil pusing karena sejak dulu aku memang kerap mimisan tiap kali kelelahan.

Aku bertahan sampai hampir satu bulan dengan keadaan yang terus seperti itu, tapi akhirnya aku justru pingsan saat sedang jam makan siang di kantor. Rekan kerjaku yang membawaku ke dokter dan saat aku tersadar dokter justru memintaku melakukan MRI. Dan satu minggu kemudian, aku hanya bisa terpaku saat dokter memaparkan hasil pemeriksaanku.

Kanker otak stadium III.

Selama dokter menjelaskan kondisiku yang bagiku terlalu tiba-tiba itu, aku hanya bisa diam tanpa benar-benar mendengarkan. Dokter mengatakan kalau gejala awal dari kanker itu seharusnya sudah kurasakan sejak lama tapi mungkin aku abai. Entahlah. Mana mungkin aku ingat di saat aku terlalu sibuk dengan semua kejadian pahit dalam hidupku. Dokter juga menjelaskan penanangan seperti apa yang bisa dilakukan untuk mengobatiku karena kanker stadium III akan menyebar lebih cepat dan bersifat ganas.

Tapi aku masih juga diam dan justru meminta waktu untuk mengambil keputusan. Jadi akhirnya, dokter hanya memberikanku obat yang harus kuminum secara rutin. Sekalipun dokter mengatakan padaku untuk tidak berkecil hati karena masih ada cara untuk memperlama penyebaran sel kankerku, tapi aku jelas sadar kalau hidupku tidak akan lama lagi.

Pada akhirnya, hari itu aku keluar dari ruangan dokter dengan kepala menunduk dalam.

Aku merasa tidak pernah membunuh Mbak Putri, tapi kenapa hidupku justru terus menyedihkan setelah kematiannya? Atau sebenarnya tanpa sadar memang aku yang sudah membunuhnya dan menyimpan semua kejahatanku di alam bawah sadarku?

Mungkin saja, kan?

Buktinya, Tuhan lagi-lagi menghukumku dengan memberikan kanker yang tiba-tiba saja sudah memasuki stadium III. Lucu sekali. Tapi air mataku justru mengalir sangat deras sampai dadaku terasa sangat sesak.

Aku akhirnya sadar, kalau Tuhan sepertinya memang membenciku.

=><=

Tadinya, setelah berkeliling tak tentu arah setelah pulang dari rumah sakit, aku ingin menghubungi Gadis untuk memberitahukan tentang hasil pemeriksaanku. Tapi saat aku sadar kalau Gadis pasti akan sangat histeris, aku mengurungkan niatku. Karena dua tahun lalu, ibunya Gadis juga meninggal karena kanker walau jenis kanker yang berbeda. Jadi lebih baik aku tidak membuka luka Gadis kembali.

Itu sebabnya, aku memilih pulang dan segera tidur. Untuk malam ini, aku mungkin tidak akan menunggu suamiku pulang. Tidak dengan kondisiku yang sangat menyedihkan sekarang.

Tapi ketika aku masuk ke unit apartemen Mas Aghas, aku justru sudah menemukan duduk di atas sofa dengan wajah yang sangat dingin saat menatapku. Aku sangat terkejut saat tiba-tiba dia bangkit dan menyambar lenganku dengan sangat kuat. "M-Mas Aghas..?"

"Apa yang udah kamu bilang sama papa sampai papa bikin Nesya nangis dan minta pisah dari aku?!" sentaknya kasar. Dan aku hanya bisa mengerjap kebingungan saat dia menyebut nama kekasihnya. "Sebenarnya apa maumu, Sialan?! Belum cukup kamu bunuh Putri, sekarang kamu bikin aku kehilangan Nesya juga?! Kenapa dari dulu kamu cuma bisa bikin kacau hidupku, Brengsek?!"

Kalimat terakhir itu rasanya benar-benar menikam jantungku. Kali ini, aku sudah menangis dan tak lagi mampu berusaha melepaskan diri darinya. "M-Mas a-aku—" Kalimatku terhenti saat dia tiba-tiba mencengkeram rahangku dengan sangat kuat. Aku akhirnya sadar kalau dia sedikit mabuk.

"Kamu mungkin emang harus dikasarin dulu biar bisa tahu diri!"

Belum sempat aku bergerak menjauhkan diri saat tubuhku sudah dibanting ke atas sofa dengan Mas Aghas yang berada di atasku. Mataku terbelalak lebar saat mulai menyadari maksud dari tindakannya kali ini. "N-Nggak, nggak, Mas. Jangan gini!"

Aku berusaha bergerak melawan kemarahannya yang sangat mengerikan. Aku bahkan harus mengabaikan rasa sakit di kepalaku sepanjang aku memberi perlawanan—yang sepertinya sia-sia dengan tenaga besar diiringi kemarahan darinya.

Pada akhirnya, aku kalah. Lagi. Pada hukuman yang entah kenapa harus kudapatkan tanpa tanggung-tanggung. Dalam satu hari, duniaku runtuh. Bukan hanya tubuhku yang sakit, tapi juga hati dan mentalku. Aku menangisi segala kemalanganku hari ini.

Dia... Mas Aghasku... suamiku... laki-laki yang kucintai sejak dulu... meniduriku dengan kasar. Bukan, dia memperkosaku dengan sangat keji.

"Sekarang kamu harus tahu kalau bukan cuma kamu yang bisa hancurin hidupku. Aku juga akan hancurin kamu, sampai salah satu dari kita mati," bisiknya setelah dia mendapatkan pelepasannya. Lalu pergi begitu saja setelah merapikan diri.

Hebatnya, setelah semua kekejaman itu selesai, aku tidak lagi menangis. Aku justru menatap langit ruang tamu dengan satu senyuman yang pasti terlihat sangat menyedihkan. Ketika aku menyadari sesuatu menetes dari hidungku, aku perlahan bangkit duduk sambil menghapus darah itu. Tidak ada air mata yang kuteteskan selama aku merapikan diri. Aku hanya merasa kosong, hati dan jiwaku.

Semuanya terasa mengerikan. Aku merasa semakin tak berharga. Padahal, aku sebentar lagi mati, kenapa Tuhan masih juga ingin menyiksaku dengan cara menjijikkan seperti ini?

Miris sekali kamu, Kaia.

Setelah malam itu, aku tak pernah lagi menyiapkan sarapan untuknya. Tapi entah apa yang terjadi, sejak malam itu dia justru selalu pulang lebih awal dariku. Dan beberapa hari setelahnya, aku baru sadar kalau perubahan itu dilakukannya karena memang ingin menyiksaku lagi.

Dia, selalu meniduriku sejak malam itu.

"Aku udah beli pil pencegah kehamilan. Kamu harus minum itu dari sekarang. Aku nggak mau kamu hamil."

Pada akhirnya, tidak ada lagi yang tersisa dari diriku. Aku, benar-benar sudah rusak. Karena dia sungguh menepati janjinya untuk menghancurkanku.

Apa yang Mas Aghas lakukan padaku, membuatku merasa tak sanggup lagi untuk bertahan. Jadi aku memilih untuk tidak mengikuti opsi apa pun yang dokter sarankan untuk menekan pertumbuhan sel kankerku dan hanya mengkonsumsi obat dari dokter.

Dia bilang akan terus menghancurkanku sampai salah satu dari kami mati, maka biarkan aku yang mengakhiri semuanya dengan kematianku yang tak akan lama lagi. Konyolnya, walau sudah sejauh itu dia menghancurkanku, aku masih tetap tidak bisa benar-benar membencinya. Aku masih tetap menyebutnya dalam doaku, juga masih menunggunya pulang—walau dari dalam kamarku. Karena sekalipun merasa hancur, aku seolah terbiasa memastikan dia pulang dengan selamat ke tempat ini.

Aku mungkin sedih dengan perubahan sikapnya, tapi aku juga sadar kalau semua itu pelampiasan rasa kecewanya padaku. Karena entah hanya perasaanku saja atau memang dia benar-benar menyadarinya, beberapa kali sikapnya padaku tak lagi sedingin dulu.

Selama dua minggu terakhir, setiap kali selesai mengambil haknya, dia tak lagi kembali ke kamarnya tapi justru menarikku ke dalam pelukannya lalu kami akan tertidur—walau pagi harinya aku lebih sering tak menemukannya di sampingku. Selain itu, pernah suatu kali dia tiba-tiba pulang sambil membawa steak daging dan meletakkannya di depanku.

"Makan. Aku nggak suka tidur sama perempuan kurus."

Hari itu, aku hanya mengulas senyum tipis sambil menerima makanan darinya. Dia hanya tidak tahu kalau semakin hari tubuhku akan terus menyusut sampai akhirnya mati nanti.

Baginya, aku mungkin hanya perempuan yang menjadi teman tidurnya demi satu misi; menghancurkanku. Tapi bagiku, aku menganggap itu menjadi bakti terakhirku sebagai istrinya sebelum aku mati. Itu sebabnya, aku tak pernah marah dengan semua tindakan yang dilakukannya padaku.

Aku tahu kalau aku perempuan sangat bodoh yang sedang menyiksa dirinya. Tapi memangnya apa yang bisa dilakukan perempuan sekarat tak berharga sepertiku selain menerima semua yang terjadi padaku sekarang?

Sekalipun sejujurnya, aku merasa tak lagi mampu bertahan dengan keadaanku. Rasanya sangat menyiksa saat harus menyembunyikan rasa sakitku di depan Mas Aghis, Gadis dan seluruh orang di kantorku. Belum lagi berat badanku yang terus menyusut sampai pernah membuat Gadis protes dan terus membawakanku susu penambah berat badan tiap kali kami bertemu. Setiap malam aku juga harus berusaha menahan pusing dan sesak di samping Mas Aghas yang sudah terlelap setelah kebersamaan kami. Aku juga harus bertahan dengan gejala-gejala lain yang semakin lama rasanya semakin mengerikan.

Semua kesakitan itu sungguh menyiksa. Tapi aku tahu ini pilihanku, dan sudah sangat terlambat untuk melakukan pengobatan. Karena tidak sampai dua bulan setelah vonis dokter kuterima, kankerku sudah naik menjadi stadium IV.

Sesuai saran dokter, aku akhirnya berhenti kerja untuk mengurangi aktifitasku. Aku cukup sadar diri kalau kondisiku tak lagi seperti dulu. Sekalipun memang ingin mengakhiri segalanya, tapi aku tetap meminum obat dan mengikuti saran dokter karena tidak cukup kuat untuk menanggung semua gejala kanker yang kurasakan.

Hanya Gadis yang tahu kalau aku sudah berhenti kerja. Awalnya dia tak tahu apa alasanku resign, tapi akhirnya dia mendapatkan jawaban setelah aku pingsan saat sedang bertemu dengannya. Siang itu, dia menangis meraung sambil memakiku. Aku tidak marah. Aku justru memeluknya sambil berkali-kali mengatakan kalau aku akan baik-baik saja. Saat mengatakan kalimat itu, dalam hati aku justru tertawa geli.

Memangnya siapa yang akan baik-baik saja saat kankernya sudah memasuki stadium akhir? Pembohong.

Tapi tentu aku tak akan mengatakannya di depan Gadis. Sahabatku ini mungkin terlihat periang dan kuat, tapi aku tahu kalau jauh di dalam hatinya, dia juga rapuh sepertiku. Hari itu, dia memintaku menginap di rumahnya. Dan lagi-lagi dia hanya menangis saat tahu aku diam-diam muntah di kamar mandi.

"Harusnya bilang kalau sakit! Kenapa susah banget buat kasih tahu?!" sentaknya, tapi dengan air mata yang mengalir.

Aku tidak marah atau pun kesal, karena aku tahu dia benar-benar khawatir bukan hanya prihatin pada keadaanku. Jadi aku hanya mengulas senyum, lalu memintanya untuk membantuku kembali berbaring. Tubuhku memang akan terasa sangat lemah jika gejalanya sedang timbul seperti ini, dan aku sudah mulai terbiasa dengan hal itu.

Beberapa minggu setelahnya, kondisiku tak kunjung membaik. Mas Aghas hanya sekali bertanya saat melihatku tak memakai pakaian kerja di saat dia berangkat lebih siang dibanding biasanya.

"Aku lagi cuti, Mas."

Jawaban bohong itulah yang kukatakan, dan dia hanya mengangguk singkat lalu pergi ke kantor. Setelahnya, aku kembali berkutat dengan rasa sakit di sekujur tubuhku. Sesekali aku merasa cukup hebat saat masih bisa berdiri dan tersenyum di depan suamiku dengan penyakit mengerikan yang bersarang di tubuhku.

Terkadang aku berpikir apakah aku akan mati tiba-tiba tanpa pernah bisa mengatakan pada semua orang kalau aku bukan seorang pembunuh? Tapi lagi-lagi aku tak tahu jawabannya. Aku hanya bisa menjalani sisa hariku dengan terus berpura-pura.

Pernah satu waktu saat aku merasa sudah terlalu lelah dengan rasa sakit di tubuhku, aku tanpa sadar mengatakan pada Mas Aghas tentang perceraian. Kupikir dia akan langsung mengiyakan dan melonjak kesenangan, tapi dia justru marah sambil memakiku sampai melampiaskannya dengan mengambil haknya secara paksa. Aku benar-benar tak menyangka kalau Mas Aghas yang dulu kukenal sangat hangat bisa berubah terlalu jauh.

Apakah aku menangis? Tidak.

Terkadang aku juga bingung apa yang sebenarnya kurasakan. Karena nyatanya, sikap Mas Aghas yang berubah-ubah kadang bisa memperlakukanku dengan baik, kadang juga bisa bersikap dingin sampai terkadang sedikit kejam sama sekali tak membuatku merasakan apa pun lagi. Bahkan saat aku tak sengaja bertemu dengan Mas Putra bersama kedua orangtuaku yang sedang makan malam di saat aku sama sekali tak bisa makan sampai membuat Gadis marah dan tiga orang yang berbagi aliran darah denganku itu sama sekali tak menyapa seolah aku hanya siluet manusia, aku juga tak merasakan apa pun lagi.

Aku tidak marah, tidak juga kecewa. Hanya... kosong.

Aku ingin mati, tapi aku takut bunuh diri. Karena itu aku hanya bisa menunggu kapan penyakitku ini menang dan mengalahkan tubuhku.

"Mas Aghas, kalau seandainya aku hamil, kamu marah nggak?"

"Kamu hamil?"

Kepalaku menggeleng, lalu mematikan ponsel yang tadi kugunakan untuk melihat cerita ibu hamil yang lewat di akun instagramku. "Cuma tiba-tiba kepikiran aja." Akhir-akhir ini, aku memang sering memikirkan hal-hal secara random. Mungkin karena sudah kehilangan harap akan semua hal, jadi aku beralih memikirkan hal-hal yang aneh.

"Ya kalau udah hamil, mau gimana lagi."

Aku hanya tersenyum tipis mendengar jawabannya itu. Setelahnya, aku tak membahas apa pun lagi dan berganti memejamkan mata dalam pelukannya.

Pagi harinya, kupikir sikap sedikit hangatnya semalam masih tersisa karena itu aku yang baru saja membersihkan darah dari hidungku selama dia bersiap memberanikan diri untuk meminta satu pelukan karena dia akan ke Surabaya selama beberapa hari.

"Taksiku udah nunggu di bawah."

Hanya satu kalimat bernada dingin itu yang dia ucapkan. Padahal, aku memintanya satu pelukan karena aku takut saat dia pulang nanti, aku sudah tak lagi ada di sini. Tapi ketika mataku menangkap tanggal di kalender, aku tertegun hebat. Hari ini adalah hari kematian Mbak Putri, jadi sikap suamiku yang berubah kembali dalam semalam tak lagi membuatku bertanya-tanya.

Keesokan harinya, aku merasakan mual yang hebat sampai tidak bisa bangkit berdiri lagi. Terpaksa aku meminta tolong pada Gadis untuk membawaku ke rumah sakit dan beberapa jam setelahnya, dokter yang biasa menanganiku memintaku untuk melakukan pemeriksaan kehamilan. Dan aku, dinyatakan hamil.

Hari itu, setelah beberapa bulan tak menangis, akhirnya air mataku jatuh juga. Bersama Gadis yang juga terisak memelukku, aku meraung karena tak seharusnya semua ini terjadi. Aku mau mati, tapi kenapa Tuhan justru memberikan nyawa di perutku, kan? Kenapa Tuhan harus semakin sekejam ini padaku? Padahal pertanyaan yang pernah kuucapkan ke Mas Aghas, hanya satu tanya iseng.

"Mungkin keponakanku minta kamu lebih kuat makanya dia kasih tahu kamu kalau dia udah ada di perutmu." Sejak tahu aku hamil, Gadis mengubah sapaannya padaku karena katanya tak ingin mengajarkan yang tak baik pada calon anakku.

Gadis... kamu pasti sudah tahu separah apa kondisiku sekarang, kan? Jadi, bagaimana mungkin janin ini juga bertahan.

"Jangan ditutupi lagi. Suami kamu harus tahu keadaanmu sekarang. Termasuk calon anak kalian."

"Nanti aja tunggu aku keluar dari rumah sakit," jawabku. Aku tak mungkin mengatakan padanya kalau suamiku mematikan ponselnya sejak dia berangkat ke Surabaya.

Jadi, selama hampir empat hari aku hanya berbaring di rumah sakit ditemani Gadis yang begitu setia menemani sahabat penyakitan sepertiku. Sampai di suatu pagi—saat Gadis sedang pergi mencari sarapan, kepalaku seperti dipukul batu besar dan membuatku sesak napas diiringi darah yang terus mengucur dari hidungku. Aku hampir terjatuh jika saja tak memegang pintu kamar mandi. Tapi rasa sakit yang amat hebat itu pada akhirnya membuatku menyerah dan berakhir dengan suara keras yang terdengar di telingaku.

Aku terjatuh. Atau, mungkin saja memang ini akhir hidupku.

=><=

salam,
yenny marissa

21 Mei 2022

Continue Reading

You'll Also Like

STRANGER By yanjah

General Fiction

248K 28.1K 34
Terendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang putra yang datang dari tempat yang tak t...
51.4K 9.2K 36
Edisi BeckFreen...
30.9K 3.5K 6
Aldan dan Agatha menjalani pernikahan yang melelahkan. Membuat keduanya berada pada persimpangan yang tak sama, dan selalu berakhir saling menyakiti...
1M 112K 50
[PRIVATE ACAK! SILAHKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] "NENEN HIKS.." "Wtf?!!" Tentang kehidupan Nevaniel yang biasa di panggil nevan. Seorang laki-laki yan...