Our Stories

By yennymarissa

53.1K 5.5K 936

"If you love someone, let it go, because if he returns, he will be yours. But if he does not come back, he ne... More

Regret - 02
Regret - 03
Ambiguity
End of The Road
Maleficent
Too Late
Time Lapse
Losing Us
Broken
Broken
Little Mermaid
White Lies
Lost Stars
It Takes Two To Tango

Regret - 01

6K 581 104
By yennymarissa

Kaia

Aku mencintai seorang lelaki sejak aku bahkan belum mengerti apa itu cinta. Usiaku masih sepuluh tahun saat aku diam-diam menganggapnya lebih dari sekadar kakak.

Namanya Aghastra Wirandito.

Mas Aghas-ku yang ganteng, begitu aku selalu memanggilnya sejak kecil. Dia adalah sahabat baik kakak lelakiku. Orangtuanya sudah meninggal sejak dia kecil, dan kedua orangtuaku-lah yang mengambil peran menggantikan sosok orangtua yang sudah tiada baginya. Semua itu membuatnya menjadi sangat dekat dengan seluruh keluargaku. Dia selalu disambut dengan sangat riang tiap kali datang ke rumah kami. Aku pun melakukan hal yang sama. Bahkan seringkali sengaja mengganggu untuk menarik perhatiannya.

Kami cukup dekat. Dia adalah kakak yang sangat perhatian, bahkan dibandingkan dengan Mas Putra dan Mbak Putri—para kakakku, yang selalu menjadi pusat kebanggaan keluarga besar kami.

Dia yang selalu membesarkan hatiku saat aku merasa kecil di tengah kesempurnaan kedua kakakku. Dia tak pernah absen mengusap puncak kepalaku tiap kali kami bertemu. Dia juga selalu membelikanku es krim atau makanan kesukaanku tiap kali datang ke rumah. Mas Putra bahkan selalu mengejekku yang terlalu manja pada lelaki yang kucintai itu. Tetapi sedekat apa pun hubungan kami, aku selalu menyembunyikan perasaanku padanya. Karena aku tahu, dia hanya menganggapku sebagai seorang adik.

Bagiku, itu sudah cukup. Selama dia selalu berada di dekatku dengan tiap senyum, tawa dan segala perhatian yang tak pernah lepas untukku, aku merasa baik-baik saja.

Senyum dan tawanya adalah kebahagiaanku. Seluruh perhatiannya selalu membuatku merasa mampu berdiri tegap di tengah dunia yang seringkali membuatku kecewa.

Sayangnya, segalanya lenyap terlalu cepat saat satu kejadian yang menimpa Mbak Putri tujuh tahun yang lalu. Aku yang sejak dulu tak pernah diperhitungkan dalam keluarga besar Wijaya, semakin dipandang rendah bahkan seringkali ditatap hina dan sinis setelah kejadian itu.

Semua orang menyalahkanku hanya karena aku berada di tempat yang sama saat Mbak Putri meregang nyawa. Mereka bilang, aku sengaja membunuh kakak perempuanku karena rasa iri dengan kesempurnaan yang dimiliki oleh Mbak Putri. Ketika aku berusaha membela diri di depan mereka, papa justru memberikan tamparan yang sangat kuat sampai kupikir telingaku mungkin akan tuli karena suara dengungan yang begitu keras setelah tangan itu menyentuh pipiku.

Tidak ada yang mempercayaiku. Tidak ada yang membelaku, bahkan kedua orangtua kandungku.

Mereka semua menghakimiku. Mengatakan bahwa aku adalah manusia kejam yang tega menghabisi nyawa saudaranya sendiri karena rasa dengki.

Aku resmi menjadi seorang pembunuh keji di usiaku yang ke tujuh belas tahun. Dan seolah belum cukup, enam bulan setelahnya, kakekku juga ikut pergi karena sakit setelah cucu kesayangannya meninggal. Lagi-lagi, aku menjadi tersangka utama.

Dasar pembunuh!

Anak pembawa sial kamu!

Seluruh keluarga Wijaya semakin membenciku. Tiap kali ada acara keluarga, aku selalu diharapkan untuk tidak pernah muncul. Karena jika aku datang, hanya umpatan dan juga rasa sakit yang mereka berikan padaku.

Seharusnya, Mama memang nggak pernah melahirkan kamu, Kaia.

Rasanya memang mengerikan saat mendengar kalimat jahat itu dari sosok yang bertaruh nyawa untuk membiarkanku berada di dunia ini. Tetapi lagi-lagi, aku juga harus merasakan kesakitan lain saat menyadari bahwa lelaki yang kucintai ikut menatapku dengan tatapan dingin dan tidak peduli. Tak ada lagi sikap ramah dan menyenangkan darinya. Bahkan untuk memberi segaris senyum pun, dia tak pernah lagi melakukannya sejak hari itu.

Mas Putra bilang, aku sudah melakukan kesalahan sangat fatal saat membunuh seseorang yang disukai lelaki yang kucintai. Hari itu, untuk kesekian kalinya aku menangisi kehidupanku. Takdir yang malang, dan tentu saja sangat menyedihkan.

Pantas saja dia sama sekali tak berusaha membelaku seperti biasanya. Pantas saja dia terlihat begitu terpukul dengan tiap tudingan yang diberikan seluruh keluargaku. Padahal, seandainya saja aku diberi kesempatan untuk berbicara, aku mungkin bisa menceritakan apa yang kutahu tengang malam itu.

Bukan aku yang bunuh Mbak Putri.

Berulang kali aku mengatakan hal itu, tapi tetap saja tidak ada yang mempercayainya. Hanya karena sore hari sebelum kematian Mbak Putri, orang-orang di rumah melihat kami bertengkar, dan malamnya tubuh Mbak Putri ditemukan tidak bernyawa setelah jatuh dari balkon kamarku. Mereka bilang, kami kembali bertengkar dan aku mendorong Mbak Putri sampai terjatuh. Aku bahkan sama sekali tidak tahu tentang hal itu.

Seringkali karena tuduhan kejam itu, aku jadi berpikir bahwa mungkin memang aku yang mendorong Mbak Putri tanpa sadar. Tetapi detik selanjutnya hatiku langsung berdenyut nyeri karena aku tahu bahwa memang bukan aku yang melakukannya. Aku bahkan baru tahu kematian Mbak Putri setelah mendengar teriakan keras mama dari arah taman belakang. Pun dengan langkah tergopoh-gopoh milik papa yang beriringan bersama Mas Putra dan Mas Aghas.

"Awas kesambet!"

Aku sedikit terkejut saat merasakan tepukan ringan di bahuku. Tatapanku berpaling dari sebuah gambar yang mengingatkanku akan semua yang terjadi dalam hidupku selama tujuh tahun terakhir ini. "Kok, kamu baru dateng, sih?" Aku menyipitkan mata menatap Gadis, satu-satunya orang yang mau menjadi sahabatku sejak awal kuliah dulu. Karena sejak kejadian itu, entah bagaimana caranya, seluruh orang yang mengenalku selain keluargaku pun tahu bahwa aku adalah seorang pembunuh—yang tidak dipenjara karena belas kasih dari keluarganya sendiri.

"Biasalah. Habis kelarin kerjaan dulu."

Aku hanya berpura-pura sebal. Gadis selalu mengingatkanku pada sosok diriku sebelum kematian Mbak Putri. Dia periang, enerjik, mudah bergaul, dan selalu terlihat apa adanya. Hanya satu yang menjadi perbedaan, dia tidak pernah menyembunyikan rasa sukanya pada seorang lelaki. Tidak sepertiku yang dulu. Ah, sekarang pun aku sudah jauh dari semua sifat itu. Aku yang sekarang adalah si pendiam, pemalu, tidak mudah bergaul, bahkan rentetan sifat mengerikan lainnya seringkali aku dengar ditujukan untukku.

Awalnya memang aku ingin sekali memberontak dan berteriak melawan. Tapi semakin lama aku memilih untuk diam saja. Toh, aku tahu bahwa sekeras apa pun aku membela diri, tidak akan ada yang mau mempercayaiku selain Gadis.

Suatu hari, aku pernah bertanya padanya alasan mengapa dia bisa mempercayaiku begitu saja. Lalu dia justru memberi jawaban yang cukup membuatku kagum.

Lo mungkin nggak percaya. Tapi gue ini terlalu pinter buat menilai kepribadian orang.

Terkesan sembarangan memang, tapi sayangnya aku mempercayai hal itu. Bagiku, Gadis adalah satu-satunya kebaikan yang masih Tuhan sediakan untuk hidupku yang sudah terlalu menyedihkan.

"Habis ini nginep di kosan gue aja, kek. Emangnya nggak capek apa lo bolak-balik jauh dari kantor ke rumah bokap lo?"

Aku menarik napas, lalu menggelengkan kepala. Aku juga sangat ingin melakukannya. Tapi papa sama sekali tidak memperbolehkanku pergi dari rumah. Mereka membenciku, tapi tetap membelengguku seolah masih memiliki rasa peduli. "Kan, nggak bakal dikasih ijin."

"Ck." Gadis berdecak keras. "Eh, ini foto kalian?"

Belum sempat aku menutup buku yang tadi kubuka dan tidak sengaja menemukan foto di masa lalu, Gadis sudah lebih dulu menariknya. "Ini yang namanya Aghas?" tanyanya, menunjuk foto lelaki remaja yang merangkulku dengan senyuman lebar.

Aku membasahi bibirku yang tiba-tiba terasa kering. Sekalipun sudah tahu tentang yang terjadi tujuh tahun lalu dan perasaanku pada Mas Aghas, aku tidak pernah benar-benar memperlihatkan orang-orang itu pada Gadis. Dia pun sangat jarang menyinggung tentang Mas Aghas atau keluargaku yang lain. Bahkan untuk bertanya bagaimana rupa mereka pun tak pernah. Sesuatu yang selalu kusyukuri dari sahabatku ini.

"Iya," jawabku akhirnya.

"Ganteng."

Aku mendengus kecil, jelas mengiakan. "Makanya kamu langsung tunjuk dia pas pertama kali lihat foto ini," cibirku, tapi juga tertawa kecil.

Aku memang merasa sakit. Tapi waktu yang berlalu dengan tiap perlakukan dingin mereka yang tak pernah habis, membuatku justru sudah terbiasa. Jadi ketika pembicaraan tentang mereka muncul, aku tidak pernah lagi menangis atau terluka.

Gadis ikut tertawa. Aku melihatnya memperhatikan foto itu dengan jelas. "Mbak Putri emang cantik, sih," gumamnya sambil menatap lekat gambar Mbak Putri yang berada di antaraku dan Mas Putra.

"Mbak Putri itu cantik banget, Dis. Bukan cantik doang," sergahku, kembali memperhatikan foto itu. Bibirku tanpa sadar tersenyum mengingat kenangan indah di masa lalu.

"Iya, sih. Lo mah, kalah jauh," sahutnya, sambil kembali menyerahkan foto yang sebenarnya sudah cukup usang itu.

Bukannya kesal, aku justru tertawa sambil menerima dan kembali menyelipkan foto itu dalam bukuku. "Mbak Putri itu paket lengkap plus plus, Dis," ujarku. "Cantik, pinter, ramah, baik, terus—"

"Lo nih, kalo udah ngomongin Mbak Putri, pasti nggak ada habisnya," potong Gadis sambil mengacak-acak rambutku, lalu tertawa saat aku berdecak sebal. Dia selalu seperti itu. Seakan aku hanyalah anak kecil dan dia adalah kakakku, padahal kami lahir di tahun yang sama, hanya berbeda bulan.

"Masih jam tujuh, nih. Mau nonton dulu nggak?" ajak Gadis, setelah tawanya mereda.

Tentu saja aku langsung mengangguk. Papa dan mama tidak pernah lagi mempedulikanku sejak kejadian tujuh tahun lalu. Mereka membiarkanku melakukan apa pun, asal tidak pergi dari rumah. Katanya, aku harus kembali pulang ke rumah, jadi jika aku melakukan kejahatan lain, mereka akan mudah untuk menemukan keberadaan akhirku.

Aku meringis kecil saat mengingat kalimat itu.

Tapi baru saja aku dan Gadis sampai di mall, ponselku justru berdering dan menampilkan nomor papa di sana. Seketika itu juga jantungku berdebar sangat kencang. Sejak kejadian itu, papa tidak pernah meneleponku sama sekali.

"Hal—"

"Pulang sekarang."

Hanya begitu. Karena setelahnya, papa sudah mematikan panggilannya. Dan aku hanya mampu memejamkan mata sesaat.

"Orang rumah, ya?"

Aku mendongak dan mendapati Gadis sedang menatapku dengan ringisan kecil. Mungkin menyadari perubahan wajahku setelah menerima panggilan tadi. "Iya." Aku mengulas senyum. "Kita nggak jadi nonton nggak apa-apa, ya?"

"Yaelah, santai aja. Kita bisa nonton pas weekend nanti."

"Oke!" sahutku, dengan senyum semangat. Ah, aku memang sangat beruntung memiliki Gadis. "Yuk, aku antar pulang."

"Nggak usah. Gue naik taksi aja."

"Serius nggak apa-apa?"

"Iya, dong! Lagian gue sekalian mau lihat-lihat skincare dulu."

Aku akhirnya mengangguk, lalu mengendarai mobilku menuju rumah. Ketika mobilku sudah berada di garasi rumah, aku termenung cukup lama. Aku sangat sadar pasti ada sesuatu yang penting sampai papa meneleponku tadi. Sesaat aku menatap ke depan, memperhatikan rumah megah si sulung Wijaya. Rumah yang selalu menjadi tempat berkumpul keluarga besar Wijaya yang sangat berpengaruh. Aku masih ingat sebelum kejadian itu, rumah ini adalah tempat bermainku bersama para sepupu. Bibirku tanpa sadar melengkungkan senyum tipis saat mengingat aku—si periang yang selalu tertawa sekalipun tahu kalau nenek dan para orang dewasa lainnya seringkali membandingkanku dengan Mas Putra dan Mbak Putri. Tetapi aku tetap saja tidak terpengaruh karena aku masih memiliki Mas Aghas dan remahan perhatian dari kedua kakakku.

Senyum di bibirku perlahan surut. Aku tahu kenangan yang coba aku munculkan kalau ini hanyalah bentuk usahaku mengabaikan ketakutan karena tahu akan terjadi sesuatu yang mungkin lagi-lagi akan memberi rasa sakit untukku.

"Non, Bapak udah nunggu di ruang kerjanya."

Aku yang baru keluar dari mobil segera mengulas senyum tipis pada Mbok Sim—perempuan paruh baya yang menjadi satu-satunya orang yang masih menganggapku ada di rumah ini. Bahkan pelayan lain pun tidak melakukannya padaku sejak kejadian naas itu. "Iya, ini aku mau ke sana. Makasih ya, Mbok."

Mbok Sim tersenyum. "Non sudah makan?"

"Udah. Tadi aku makan sebelum ketemuan sama Gadis." Sekalipun tidak pernah membawa Gadis ke rumah ini, aku cukup sering menyebut namanya seperti sekarang.

"Baik, Non. Kalau nanti butuh apa-apa, panggil Mbok aja ya, Non."

"Iya, Mbok. Makasih, ya. Aku naik duluan."

Setelahnya aku menaiki tangga menuju ruang kerja papa. Cukup lama aku berdiam diri di depan pintu untuk menenangkan jantungku yang berdebar sangat kencang. Aku benar-benar ketakutan. Karena sejujurnya, sekeras apa pun aku berusaha melupakan, tiap kalimat hinaan dan cacian yang semua orang tujukan untukku selalu berhasil membuatku menatap diriku sendiri dengan rendah.

"Papa," sapaku pelan, membuat papa segera mendongak lalu kembali menatap berkas di atas meja.

"Duduk di sana. Ada yang mau papa omongin."

Aku menurut. Lima belas menit kemudian, papa sudah ikut  duduk di depanku. Awalnya sama sekali tidak ada pembicaraan di sana. Papa hanya diam sambil menatapku, yang tentu saja menundukkan kepala dalam diam.

"Papa akan menikahkan kamu sama Aghas."

Aku merasa seperti ada yang menekan jantungku dengan kuat saat mendengar satu kalimat tiba-tiba itu. Papa pasti melihat kedua mataku sudah membola penuh keterkejutan. "Pa-pa," panggilku terbata. "A-aku... bukan... maksudku, kenapa tiba-tiba begini?"

"Kenapa? Bukannya selama ini kamu suka sama Aghas?"

Aku tertegun. Bagaimana papa bisa tahu? Apa Mas Putra yang memberitahu papa? Tapi bukankah aku sudah menyangkal kalimat kakak lelakiku waktu itu?

"Ta-tapi..." Bodohnya, aku tak mampu mengeluarkan kalimat apa pun karena rasa terkejutku.

"Semua berkas-berkasnya sudah hampir selesai. Setelah kasih tahu kamu, papa akan kasih tahu Aghas. Kalian akan menikah minggu depan."

"Papa," potongku cepat. "Mas Aghas udah punya pacar. Aku pikir papa juga pasti tahu soal itu." Aku tahu kalimatku terlalu berani. Tetapi papa harus tahu bahwa lelaki yang kucintai itu sudah memiliki kekasih. Setelah lima tahun berkutat dalam duka karena kehilangan Mbak Putri, Mas Aghas akhirnya berhasil membuka hati pada seorang perawat yang dikenalnya saat dirawat karena tifus sekitar dua tahun yang lalu.

Ya, sebanyak itu aku mengetahui tentang Mas Aghas. Sudah kubilang, aku sangat mengerikan dalam mencintainya secara diam.

"Itu urusan papa."

Kepalaku menggeleng kuat. "Pa-pa... tolong, aku nggak bisa," pintaku memohon. Aku tidak tahu apa tujuan papa bertindak seperti ini secara tiba-tiba. Tapi aku tidak mau jika itu mengorbankan kehidupan lelaki yang kucintai. "Aku mohon, jangan Mas Aghas." Aku kembali memohon. Kali ini air mataku sudah hampir terjatuh.

"Seharusnya Putri yang menikah dengan Aghas."

Tubuhku membeku. Benar-benar merasa kedinginan secara mendadak. Aku menelan ludah susah payah untuk sedikit mengaburkan nyeri dalam dadaku.

"Nggak ada bantahan lagi. Minggu depan kalian akan menikah."

Dan aku tahu, titah itu tidak akan bisa kulawan. Pun dengan Mas Aghas yang tak pernah mampu melawan permintaan kedua orangtuaku.

Aku memang mencintai Mas Aghas. Sangat. Tetapi bukan cara ini yang kuinginkan untuk bisa memilikinya. Karena aku yakin, ada tujuan yang berusaha papa capai dari pernikahan ini. Dan aku tahu, itu pasti akan menghancurkanku.

=><=

lanjut gak nih? haha

jangan lupa di masukin ke library yaa biar gak ketinggalan kalo update huehehe

salam,
yenny marissa

18 Mei 2022

Continue Reading

You'll Also Like

9.7K 913 7
Dua tahun bukan waktu yang singkat buat Kinara Aldia untuk mengejar dan mengharap perhatian seorang Ardito Wisanggeni. Berbagai upaya ia lakukan, mul...
5.9K 1K 12
Tentang Hassi, Natha, dan juga Harita
LOST LIGHT✓ By Six eyes

Mystery / Thriller

1.2K 559 10
[SEDANG DI REVAMP] Saling menyembuhkan luka yang masih membekas dari masa lalu
562K 4.6K 17
WARNING 18+ !! Kenzya Adristy Princessa seorang putri terakhir dari keluarga M&J group yang diasingkan karena kecerobohannya. Ia hanya di beri satu...