OUR MARIPOSA

By Luluk_HF

282K 25.9K 2K

Untuk kamu yang selalu suka Mariposa ❤️ Untuk kamu yang selalu mendukung Mariposa ❤️ Dan.... Untuk kamu yang... More

WELCOME (WAJIB DIBACA)
1 - TOGETHER
2 - MEMORIES
4 - GERBANG SEKOLAH
5 - WAFER
6 - RESTORAN BURGER
7 - COMPLETION
8 - CAMPING
9 - THE NIGHT
10 - SIAPA CEPAT
11 - THE THINGS
12 - LITTLE GIFT
13 - PROVE
14 - WAITING YOU
15 - MY DEAR
16 - ALWAYS WITH YOU
17 - PERSUADE
18 - EMOTION
19 - RENCANA
20 - SYARAT
21 - SALAH PAHAM
22 - JANGAN MARAH
23 - BOLEH?
24 - SECOND KISS

3 - SEPERTI ES KRIM

16.5K 1.7K 120
By Luluk_HF


MASA DI SMA ARWANA

Acha memutar-mutar ponselnya dengan gundah. Pelajaran kimia yang sedang diterangkan Pak Bambang sama sekali tidak ia dengar. Fokus Acha terbelah sejak menit pertama pelajaran di mulai.

"Acha," panggil Amanda mulai risih dengan tingkah Acha.

Tak ada jawaban apapun. Amanda menoleh, memperhatikan Acha dengan heran.

"Cha!!" Amanda memanggil sekali lagi, kali ini penuh penekanan.

Acha tersentak, seketika tersadarkan. Acha menoleh ke Amanda dengan bingung.

"Kenapa Amanda?" tanya Acha.

"Lo lagi mikirin apa sih? Dari tadi nggak fokus?"

"Mikirin Iqbal," jawab Acha dengan entengnya.

Amanda menghela napas panjang, harusnya dia tidak bertanya.

"Fokus ke depan. Pak Bambang lagi materi penting."

Acha menatap ke papan tulis dan Pak Bambang sebentar, kemudian kembali memandangi Amanda dengan wajah tak berdosanya.

"Materi ini udah diluar kepala Acha. Nggak perlu Acha dengerin, Acha udah bisa," ucap Acha dengan percaya dirinya.

Lagi-lagi Amanda hanya bisa merutuki ucapannya sendiri, ia melupakan bahkan sahabatnya ini adalah juara olimpiade kimia nasional.

"Lo mending berhenti muter-muter bolpoin dan fokus ke depan!" tajam Amanda.

Acha menggeleng tegas, tak mau menuruti ucapan Amanda.

"Acha sibuk banget Amanda."

"Sibuk apa lagi?" gemes Acha.

"Acha sibuk mikirin gimana Acha bisa semakin deket sama Iqbal dan buat Iqbal suka sama Acha!! Acha nggak boleh menyia-nyiakan sedetik pun waktu Acha!" ucap Acha berkobar.

Amanda hanya bisa geleng-geleng pasrah. Sahabatnya memang sudah dibutakan oleh rasa cinta.

"Terserah!"

"Amanda ada ide nggak?" tanya Acha berharap.

"Nggak ada. Gue juga sibuk!"

"Sibuk apa?"

Amanda memberikan senyum paling manis ke Acha.

"Sibuk lurusin pikiran biar nggak ikut gila kayak lo!"

****

Jam istirahat akhirnya tiba. Tanpa menunggu Amanda, Acha langsung bergegas ke kantin. Acha tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan duduk di meja yang sama dengan Iqbal. Misinya kali inu harus berhasil.

Acha tersenyum senang melihat keberadaan Iqbal bersama Rian dan Glen di meja ujung. Mereka sedang sibuk berbincang sembari menyantap bakso. Acha tidak langsung ke meja Iqbal dan kawan-kawan, Acha berbelok dulu ke etalase esk krim dan membeli satu eskrim cone.

Setelah itu, Acha segera menghampiri Iqbal dengan wajah dipenuhi senyum bahagia.

"Iqbal," panggil Acha dan langsung duduk di samping sang pangeran. Tangannya masih setia memegangi es krim cone yang sudah ia buka bungkusnya.

Suara panggilan Acha membuat Glen dan Rian menoleh. Tapi tidak dengan Iqbal. Cowok itu bergeming sedikit pun, tetap fokus memakan baksonya.

"Iqbal, Acha bawa es krim buat Iqbal," lanjut Acha lagi, menyodorkan es krim yang dibawanya.

"Cha, lo ngasih es krim bungkusnya udah kebuka, lo mau nyuapin Iqbal apa gimana?" sunggut Glen.

Acha mengangguk cepat, mengiyakan ucapan Glen.

"Iqbal mau Acha suapin es krimnya, nggak?" tawar Acha tanpa menyerah.

"Nggak." Akhirnya Iqbal membuka suara, menolak Acha dengan dingin.

"Kenapa nggak mau? Acha bawa es krim cokelat kesukaan Iqbal."

Iqbal tak membalas, menyuapkan bakso terakhirnya ke dalam mulut. Setelah itu meminum segelas air putih. Acha menghela napas pelan, berusaha tak gentar.

"Bal terima. Es krimnya mau leleh di tangan Acha," ucap Rian memberikan saran.

Acha mengangguk-angguk, tatapanya sengaja ia ubah lebih memelas, mencba mencari keibahan seorang Iqbal.

"Gue nggak pengin es krim," balas Iqbal datar ke Rian.

Bibir Acha mengerucut, sedih mendengar jawaban Iqbal. Lagi-lagi di tolak. Tapi Acha menyerah begitu saja? Tentu saja tidak.

Acha lebih mendekatkan es krim yang akan leleh di tangannya ke hadapan Iqbal.

"Iqbal nggak mau ya hargain pemberian Acha. Iqbal makan sedikit Acha es krimnya, biar Acha senang," mohon Acha.

Iqbal menghela napas panjang, mulai jengah. Ia menatap Acha tajam.

"Bisa singkirin es krimnya?"

Nyali Acha sedikit menciut karena tatapan dan suara dingin Iqbal. Perlahan Acha memundurkan tangannya dan saat itu juga tetes demi tetes es krim di tangan Acha meleleh, mengenai jemari dan telapak tangannya.

"Iqbal beneran nggak mau es krim dari Acha?" lirih Acha pasrah.

"Nggak," balas Iqbal malas.

Iqbal segera berdiri, tanpa banyak kata bahkan tanpa pamitan ke Rian dan Glen, Iqbal beranjak begitu saja dari kantin, meninggalkan Acha dengan sejuta rasa sedihnya.

Acha menatap kepergian Iqbal dengan perasaan terluka. Acha menatap Rian dan Glen yang tengah menatapnya juga dengan kasihan.

"Acha ditolak lagi hehe," ucap Acha memaksakan senyumnya.

Rian mengambil tisu yang ada di tengah meja, kemudian menyodorkannya ke Acha.

"Bersihin tangan lo dulu Cha," suruh Rian tidak tega.

"Iya, Rian. Makasih," balas Acha menerima tisu tersebut.

Glen merebut es krim Acha, membiarkan Acha membersihkan tangannya terlebih dahulu.

"Gue makan ya es krimnya, mubadzir," ucap Glen berusaha mencairkan suasana.

Acha mengangguk lemah, tanpa berani menatap Glen maupun Rian.

"Makan aja. Kasihan es krimnya."

"Lo juga kasihan! Udah tau ditolak terus masih aja nekad!" omel Glen.

"Namanya juga suka."

"Suka juga ada batas wajarnya, Cha," tambah Rian mengingatkan.

Acha menggeleng pelan, mencoba memberanikan diri untuk menatap Rian dan Glen. Acha lagi-lagi memaksakan senyumnya, memberikan semangat untuk dirinya sendiri.

"Acha nggak mau nyerah. Apapun yang Acha inginkan pasti bisa Acha dapatkan! Iqbal sekalipun. Acha yakin itu!"

Rian dan Glen melongo mendengar tekad besar Acha.

"Makasih banyak Rian, Makasih banyak Glen. Acha balik ke kelas dulu," pamit Acha dan pergi begitu saja.

Rian dan Glen geleng-geleng takjub melihat Acha. Tak pernah sekalipun mereka menemukan cewek yang pantang menyerah seperti Acha.

"Menurut lo, Acha bakalan berhasil nggak luluhin hati Iqbal?" bisik Glen.

"Mungkin aja," balas Rian.

"Tapi hati Iqbal beneran beku banget! Selama ini banyak cewek yang nggak berhasil." Glen semakin mengecilkan suaranya.

"Acha sepertinya beda."

"Beda apanya? Cerewetnya? Menyebalkannya?" sewot Glen.

Rian menoleh ke Glen, menatap sahabatnya itu dengan kesal.

"Lo dari tadi ngapain bisik-bisik? Geli kuping gue!" kesal Rian.

Glen memberikan cengirannya, kemudian dengan tak berdosanya Glen mulai asik menjilati es krim Acha.

"Enak es krimnya, Yan. Gratis lagi," ucap Glen.

Rian menghela napas berat, tak paham lagi dengan tingkah absurd Glen.

"Pantesan aja banyak yang nyuruh lo beli otak baru!" tambah Rian.

****

Acha memberikan tanda centang terakhir pada soal Kimia yang ada dihadapannya. Saat ini Acha sedang mengajari Dina materi Kimia untuk ulangan kelas minggu depan. Meskipun beda kelas, Acha tidak keberatan jika ada seseorang meminta bantuannya.

"Gila Cha! Lo kok bisa sih jago banget Kimia?" takjub Dina, merasa terbantu oleh Acha.

Acha terkekeh.

"Acha hanya suka aja."

"Suka lo bilang? Lo doang orang aneh di kelas ini yang suka pelajaran kimia," heran Dina.

"Kimia menyenangkan Dina. Apalagi kalau sudah pelajarin lebih dalam tentang Kimia."

Dina geleng-geleng, pikirannya tidak bisa searah dengan ucapan Acha.

"Lo makan apa Cha bisa sepintar ini?" tanya Dina serius.

"Nasi, sama kayak Dina dan lainnya," jawab Acha enteng.

"Nasi lo beda kan pasti? jujur lo sama gue!"

"Beda gimana?" bingung Acha.

"Ya siapa tau yang nanam padi lo orang terkhusus gitu," jawab Dina ngaco.

Kedua kalinya Acha dibuat tertawa dengan ucapan Dina. Bukan pertama juga bagi Acha ditanyai seperti ini. Bagaimana ia bisa sepintar sekarang? Ya, tentu saja karena Acha rajin belajar dan sangat menyukai Kimia.

"Sama aja yang nanam padinya Dina. Mama Acha juga beli berasnya di supermarket, bukan di mbah dukun," celoteh Acha mencoba meluruskan.

Dina ikut tertawa, menyadari jika ucapannya barusan sangat ngaco.

"Cita-cita lo apa, Cha?" tanya Dina berubah serius.

Acha terdiam sebentar, berpikir keras.

"Nggak tau, Acha belum pikirin."

"Seriusan lo nggak punya cita-cita?" tanya Dina kaget.

"Dina punya?" tanya Acha.

"Tentu aja punya. Gue pengin kerja di dunia broadcasting atau pun punya usaha organizer sendiri," jawab Dina semangat.

"Wah, keren," ucap Acha salut.

Dina menatap Acha lekat.

"Lo beneran nggak tau cita-cita lo apa, Cha?"

Acha lagi-lagi terdiam, berusaha berpikir sekali lagi untuk mencari cita-cita yang diinginkannya.

"Kalau cita-cita untuk masa depan Acha belum punya, tapi kalau cita-cita untuk masa sekarang, Acha punya," ucap Acha sungguh-sungguh.

Kedua mata Dina melebar, antusias mendengar jawaban Acha.

"Cita-cita sekarang? Apa Cha? Apa?"

Acha tersenyum malu-malu.

"Acha pengin Iqbal jadi pacar Acha," jawab Acha tanpa beban.

Senyum di bibir Dina langsung hilang seketika, tatapan antusiasnya berubah dengan tatapan bingung. Dina tentu saja tau, bahkan semua orang di sekolah ini pun tau jika Acha sangat mendambakan seorang Iqbal. Tapi, Dina tidak tau jika sudah separah ini.

"Itu cita-cita lo, Cha?"

"Iya. Itu cita-cita Acha," jawab Acha serius.

Dina menghela napas panjang, sulit untuk berkomentar. Dina menepuk-nepuk pelan bahu Acha, mencoba menerima jawaban tersebut.

"Semangat Cha untuk mengejar cita-cita lo!"

*****

Acha dan Dina merapikan buku-buku mereka, bersiap untuk beranjak keluar kelas. Bel pulang sekolah memang sudah berbunyi sejak satu jam yang lalu, kelasnya pun sudah kosong.

"Dina langsung pulang?" tanya Acha.

"Nggak, gue mau...."

Dina terdiam sesaat, teringat jika hari ini sang pacar, Dino ada jadwal tanding basket dengan kelas Iqbal. Dina langsung menatap Acha.

"Mau apa Dina?" tanaya Acha penasaran.

"Cha, ada tanding basket!" seru Dina.

"Acha nggak suka lihat basket," lirih Acha tak tertarik.

"Kelas Dino lawan kelas Iqbal!"

Kedua mata Acha langsung berbinar ketika nama Iqbal disebut.

"Di mana? Jam berapa? Kapan? Acha sekarang suka banget sama basket, Dina!" heboh Acha berubah dalam sekejab.

Dina tertawa mendengar ucapan Acha yang menggemaskan. Dina menatap jam dinding di kelas. Pukul setengah tiga.

"Sepertinya belum selesai, Cha. Masih tiga puluh menit lagi. Ayo kita ke lapangan basket sekolah," jelas dan ajak Dina.

Acha mengangguk semangat, ia segera menenteng tasnya.

"Ayo Dina. Acha harus meraih cita-cita Acha!"

*****

Dina tidak berbohong dengan informasinya. Saat ini Acha dapat melihat jelas seorang Iqbal sedang bermain basket, Acha tak bisa menghentikan decakan kagumnya setiap kali Iqbal mencetak skor untuk timnya.

"Udah ganteng, pinter, jago basket, cocok banget jadi pacar Acha," lirih Acha berbinar-binar.

Dina yang mendengarnya hanya bisa geleng-geleng. Tak berani komentar, ia membiarkan Acha bersama dengan kehaluannya.

"IQBAALL SEMANGAATT!!" teriak Acha tanpa malu.

Acha tersenyum senang saat Iqbal melihatnya. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan emas tersebut, Acha langsung melambaikan tangan ke Iqbal.

"Iqbal, Acha di sini buat dukung Iqbal!!" teriak Acha lagi. Namun bukannya mendapat balasan atau setidaknya senyuman ramah, Iqbal langsung melengos begitu saja, kembali bermain.

Senyum bahagia Acha berubah masam dalam sekejab.

"Acha bakalan tetap dukung Iqbal. Acha nggak akan nyerah," ucap Acha berusaha menguatkan dirinya.

Acha menatap ke bawah, tak sengaja melihat tali sepatunya yang terlepas. Acha pun segera berjongkok berniat mengikat tali sepatunya. Namun, saat Acha baru akan membungkukan tubuhnya, lemparan bola basket yang keluar jalur mengarah ke Acha.

Semua mata mengikuti bola basket tersebut, hingga akhirnya bola itu mendarat tak berdosa di bahu Acha cukup keras.

"ACHAA!!!" teriak Dina paling keras saat Acha tersungkur ke belakang.

Semua orang buru-buru menghampiri Acha saat itu juga, khawatir dengan kondisi Acha. Apalagi saat melihat Acha masih terdiam tertunduk dengan seluruh wajah tertutupi rambut panjangnya.

"Cha, sori banget. Gue terlalu kejauhan lemparnya," ucap Dino merasa bersalah.

Acha tak mempedulikan suara riuh-riuh yang mengerumuninya, ia terlalu sibuk dengan rasa sakit di bahunya. Acha benar-benar kaget mendapatkan serangan tak terduga itu.

"Cha, lo nggak apa-apa?"

Acha langsung membeku, suara ringisannya seketika berhenti. Acha sangat mengenal suara berat ini. Ya, Acha yakin suara itu adalah Iqbal.

Acha berpikir keras, apa yang harus dilakukannya sekarang? Apa yang harus dijawab? Acha tak berani mengkat kepalanya.

"Kalau di film-film, pemeran utamanya kena bola basket pasti pingsan. Terus cowoknya bawa ke UKS. Apa Acha pura-pura pingsan aja? Biar Iqbal gendong Acha ke UKS? Pasti romantis banget."

Acha mulai merencanakan ide gilanya. Acha meyakinkan dirinya dan mengumpulkan semua keberaniannya.. Detik berikutnya, Acha pun langsung sengaja merubuhkan seluruh tubuhnya ke tanah.

Acha benar-benar melakukannya! Ia pura-pura pingsan!

"ACHAA!! LO KENAPA?" Dina semakin histeris karena Acha melihat Acha tak sadarkan diri.

Iqbal dan Dina langsung berjongkok, lebih mendekat ke Acha. Dina memeriksa kondisi Acha.

"Din, Acha nggak apa-apa kan? Dia kenapa?" panik Dino ikut berjongkok di sebelah sang pacar.

Dina tak menjawab, ia masih sibuk mengamati gadis di hadapannya ini. Detik berikutnya, Dina menghembuskan napas panajang. Dina dapat melihat jelas bibir dan bulu mata Acha bergerak-gerak menahan kegugupan.

Dina sangat yakin, Acha sengaja pura-pura pingsan. Dan semua itu karenaa...

"Bal, lo bawa Acha ke UKS sekarang," suruh Dina sembari menepuk pelan bahu Iqbal.

Iqbal menatap Dina sebentar, kemudian mengangguk.

"Semuanya minggir!! Kasih jalan!!" teriak Dina mencoba memberikan ruang untuk Iqbal agar bisa membawa Acha ke UKS.

Acha dapat merasakan tubuhnya perlahan diangkat dan Acha yakin itu adalah Iqbal. Acha berusaha menyembunyikan rasa bahagiannya. Ide gilanya ternyata berhasil!!

"Natasha memang pintar!!"

****

Iqbal masuk ke dalam UKS, untung saja belum di kunci. Meskipun dokter sekolah sudah pulang. Iqbal perlahan membaringkan tubuh Acha di kasur salah satu bilik. Iqbal memperhatikan Acha yang masih tak bangun.

Iqbal geleng-geleng sembari mendecak pelan.

"Bangun. Gue tau lo nggak pingsan."

*****

#CuapCuapAuthor

Bagaimana part tiganya? Suka nggak?

Semoga teman-teman Pasukan Pembaca selalu suka OUR MARIPOSA, selalu support OUR MARIPOSA dan selalu baca OUR MARIPOSA.

Jadwal update OUR MARIPOSA lebih cepat di akun karyakarsaku. Jadi, teman-teman Pasukan Pembaca yang nggak sabar ingin baca OUR MARIPOSA part selanjutnya bisa follow akun karyakarsaku.

CARANYA :

-Download aplikasi Karyakarsa di Playstore atau Appstore lalu follow akun : lulukhf

atau

- Langsung buka di web browser (safari atau chrome) kalian : www.karyakarsa.com/lulukhf

SAMPAI JUMPA DI PART SELANJUTNYA.

MAKASIH BANYAK SEMUANYA DAN SELALU SAYANG KALIAN SEMUA. JANGAN LUPA JAGA KESEHATAN YA ^^


Salam,


Luluk HF 

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 107K 57
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
2.5M 257K 61
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?
308K 22.9K 34
Namanya Camelia Anjani. Seorang mahasiswi fakultas psikologi yang sedang giat-giatnya menyelesaikan tugas akhir dalam masa perkuliahan. Siapa sangka...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.1M 289K 33
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...