ABOUT FEELINGS [END]

papeda_ द्वारा

103K 5.8K 625

PART MASIH LENGKAP! JANGAN LUPA FOLLOW SEBELUM MEMBACA⚠️ *** Auva Ileana, seorang gadis cantik yang mengagumi... अधिक

00 - AF
01 - AF
02 - AF
03 - AF
04 - AF
06 - AF
07 - AF
08 - AF
09 - AF
10 - AF
11 - AF
12 - AF
13 - AF
14 - AF
15 - AF
16 - AF
17 - AF
18 - AF
19 - AF
20 - AF
21 - AF
22 - AF
23 - AF
24 - AF
25 - AF
26 - AF
27 - AF
28 - AF
29 - AF
30 - AF
31 - AF
32 - AF
33 - AF
34 - AF
35 - AF
36 - AF
37 - AF
38 - AF
39 - AF
40 - AF
41 - AF
42 - AF
43 - AF
44 - AF
45 - AF
46 - AF
47 - AF
48 - AF
49 - AF
50 - AF
51 - AF
52 - AF
53 - AF
54 - AF
55 - AF
ANNOUNCEMENT

05 - AF

2.6K 147 20
papeda_ द्वारा

Matahari mulai naik, menyinari setiap sudut sekolah dengan kehangatan yang perlahan mengusir dinginnya pagi. Setelah kejadian di kantin tadi, tubuhku terasa perlu istirahat untuk mencerna makanan yang baru saja kumakan. Aku melangkah perlahan menuju taman belakang, tempat favoritku untuk mencari ketenangan. Namun, pandanganku tertuju pada sosok Alvan yang tengah bersandar di kursi yang biasanya kududuki.

Dia tampak santai dengan mata terpejam, menikmati angin sepoi-sepoi yang membawa harum bunga dari taman. Sedang apa dia di sini? Biasanya, dia tidak pernah ke taman ini. Mungkin kali ini aku akan mencari tempat lain, mengingat Alvan sudah terlihat nyaman di sana. Aku membalikkan badan dan perlahan ingin menjauh, sebelum panggilan darinya membuatku berhenti.

“Auva.”

Aku hanya diam, bingung dan sedikit cemas, tidak tahu harus merespons bagaimana.

“Auva,” panggilnya lagi, kali ini dengan nada yang lebih tegas.

Aku bisa mendengar dengan jelas suara decakan kesal dari balik punggungku.

“Telinga lo mendadak budek, apa gimana?” suaranya terdengar kesal.

Dalam hati, aku meringis mendengar perkataannya. Dengan senyum polos, aku berbalik menatapnya. “Hehe, hai Al,” ucapku sambil melambaikan tangan ke arahnya.

“Sini!” titahnya, nada suaranya tak terbantahkan.

Aku menunjuk diriku sendiri sambil menatapnya bingung. “Gua? Kenapa?”

“Ke sini, lo ini bego apa gimana?” jawabnya dengan nada yang semakin kesal.

Oke, baiklah. Aku tak ingin membangunkan sisi lain dari Alvan. Kulangkahkan kaki perlahan dan berdiri di hadapannya. Terkejut begitu dia menarikku untuk duduk di sampingnya.

“Lama banget, timbang duduk doang!” gerutunya. Aku mencoba untuk tersenyum walau canggung.

“Gua mau balik aja deh,” ucapku, berharap bisa menghindari konfrontasi lebih lanjut.

Kulihat dia menatapku tajam, matanya memancarkan ketegasan yang tak bisa kuabaikan. Oke, sepertinya ucapanku salah.

Puk!

Tubuhku menegang saat merasakan bahu kiriku terasa berat. Alvan ternyata bersandar pada bahuku. Aku hanya bisa terduduk kaku, merasakan seluruh badanku yang menegang, memegang kotak bekalku dengan erat.

Aku benar-benar gugup setengah mati karena bisa sedekat ini dengan Alvan. Detak jantungku berdegup kencang, semoga Alvan tidak mendengarnya.

“Buatin lagi.”

Aku mencoba mencerna perkataannya. Maksudnya, dia ingin dibuatkan bekal lagi, begitu? Aku hanya menatapnya dengan bingung.

“Ck, buatin gua bekal lagi, Auva,” jelasnya.

“Hah?”

Alvan bangkit dari bersandar, menjauh dari bahuku, dan menatapku serius. Aku terpaku pada bola matanya yang cantik.

“Tolong buatkan gua bekal lagi, nasi goreng dengan telur setengah matang. Bisakan?”

“Ogah, gua mager,” ucapku cepat.

Alvan terlihat menahan emosinya, aku merutuki ucapan yang keluar begitu saja.

“Auva,” panggilnya, suaranya rendah.

Aku gelagapan, mengangguk keras. “Oke, gua buatin. Serantang penuh tenang aja.” Dahinya mengernyit.

“Hah?”

Dia terlihat bingung, ekspresinya lucu, aku menahan diri untuk tidak tersenyum.

“Apa? Gua inget lo punya buntut empat, kepala dua lagi. Jadi, ya apa salahnya gua buatin serantang penuh?”

“Jangan!”

Dia menolak keras. Apa aku salah tingkah? Ah, Alvan pasti tidak rela jika mereka ikut dibawakan bekal olehku?

“Kenapa?” pancingku.

“Gua pengen dibuat khusus, jadi jangan coba-coba buatin yang lain juga! Gua pergi dulu.” Ia bangkit dan meninggalkan aku sendirian.

Sudut bibirku berkedut, ingin tersenyum. Dia tidak rela aku membuatkan yang lain bekal. Bunda, calon menantumu lucu. Rasanya aku ingin berteriak karena bisa berinteraksi dengannya.

Pada akhirnya, bel masuk berbunyi, dan aku dengan cepat menuju ke kelas. Perasaan bahagia masih menyelimuti hatiku, sampai di mana aku bisa melihat Naka yang berjalan menghampiriku.

“Pa, dari mana?” tanyanya, suaranya ceria.

“Dari taman belakang, kenapa?” Aku menjawab dengan polos, mencoba mengikuti alur percakapan.

Dia menggelengkan kepalanya, sepertinya ada sesuatu yang ingin dia sampaikan. Kami berdua berjalan bersama menuju kelas, aku bingung harus memulai obrolan apa. Naka masih asyik memakan permen karet, dan aku tak tahu harus memulai obrolan apa?

“Lo suka seblak?” tiba-tiba Naka bertanya, menyadarkanku dari lamunanku.

Aku menoleh ke arahnya, dia tengah menatapku dengan serius. Aku mengangguk. “Suka, kenapa emang?” tanyaku, mencoba mengikuti alur pembicaraan.

“Mau seblak? Gua traktir, tapi pulangnya lo harus ikut gua,” jawabnya, suaranya penuh semangat.

“Ke mana?” tanyaku, mencoba mencerna tawarannya.

“Ke suatu tempat, mau?” Naka terlihat bersemangat.

Aku terdiam, mencoba memikirkan tawarannya. Ini tidak seperti yang aku bayangkan.

“Gua enggak akan berbuat gitu,” ucapnya, seolah bisa membaca pikiranku. “Gua cuma butuh bantuan lo, makanya itu gua minta tolong Pa,” katanya sambil menatapku.

“Oh, minta tolong. Lo ngomong yang bener kek! Mana pake bujukan dulu,” omelku, mencoba menunjukkan ketidaksetujuanku.

Dia hanya tertawa kecil. “Gak lah, gua enggak kayak gitu.”

“Iya dah iya, terserah.” Aku mengalah, tidak ingin membuatnya merasa terlalu dibuat repot.

Akhirnya, kami sampai di kelas, tiba-tiba mereka semua diam menatap ke arah kami. Salah satu alisku terangkat, mempertanyakan mengapa mereka mendadak diam? Aku merasakan rangkulan pada bahuku, mencoba untuk menjauhkan lengan Naka. Namun, malah merasakan cengkeraman pada bahuku yang semakin mengerat.

Masih dengan suasana yang hening, Naka membawaku pada kursi kami. Setelah aku duduk, mereka kembali pada aktivitas masing-masing. Ketua kelas masuk dengan membawa sebuah catatan yang ia genggam. Sepertinya guru bahasa Indonesia tidak akan masuk untuk hari ini. Suasana kelas kembali normal, meskipun ada rasa penasaran yang menggelora di benakku tentang apa yang ingin dilakukan Naka setelah ini.

“Woi, bisa diem dulu enggak?!” serunya, Romi sang ketua kelas, dengan ekspresi wajah yang sedikit kesal, kini menuliskan pesan pada papan tulis.

Kami semua membaca rangkaian huruf dengan perlahan. Setelahnya, Romi mengetuk papan tulis beberapa kali.

“Ekhem! Jadi karena hari ini Bu Lala udah ngambil cuti lahiran, beliau bilang akan diganti sama Pak Arkan sementara waktu,” jelasnya dengan suara yang mencoba menembus kebisingan di kelas.

“Iya, terus kenapa?” tanya Amel dengan raut wajah penasaran.

“Pak Arkan sekarang ada tugas lain. Beliau kasih tugas buat kita bikin resensi novel dan dikumpulkan pada pertemuan selanjutnya,” lanjutnya menjelaskan dengan jelas.

Perkataan dari ketua kelas membuat suasana menjadi ramai, terutama ketika anak-anak lelaki di sini menyuarakan ketidaksetujuan mereka.

“Woi, gua enggak suka baca!” seru Bima dengan nada protes yang keras.

“Rom, ini novelnya bebas?” tanya Sinta, mencoba mencari tahu lebih banyak.

“Bebas, jangan lupa nanti bukunya dibawa buat bukti kalo emang ngerjain,” jawab Romi sambil menatap keseluruhan kelas.

Setelahnya, kelas kembali ricuh. Aku, yang hampir selesai membaca salah satu buku novel, tersenyum. Tidak buruk, masih ada waktu satu minggu untuk aku mempelajari materi ini. Suasana yang riuh membuatnya merasa hidup dan penuh dengan energi yang positif.

“Pa, gua enggak ngerti pernovelan,” ucap Naka dengan wajah yang agak bingung.

“Terus kenapa?” tanyaku, mencoba memahami kebingungannya.

“Lo ini enggak peka! Bantuin kek, nanti gua gratisin novel deh,” katanya dengan semangat, matanya berbinar-binar.

“Beneran?” Aku memperhatikan wajahnya yang kini mengangguk kecil, mencoba memastikan bahwa dia serius.

“Pulang sekolah aja,” jawabnya singkat.

“Apa? Beli novelnya?” Aku semakin bingung dengan rencananya.

“Enggak! Kita beli bebek, Pa. Ya, iyalah beli novel gimana sih!” Dia tampak kesal, tapi ekspresinya lucu membuatku tersenyum.

“Tapi bener ya, kalau gua nanti gratis novel dari lo?” Aku menegakkan kepala, mencoba memastikan bahwa aku memahaminya dengan benar.

Naka mengangguk. “Iya, tapi sekalian dari sana bantuin gua kerjain.”

Aku mendengus kecil, mencoba menilai rencananya. Naka, jangan bilang kamu akan membeli dan langsung mengerjakan begitu saja. Aku dengan segera meliriknya yang tengah meminum susu kotak, mencoba membaca ekspresinya.

“Gimana? Bantuin kerjain?” Dia menatapku sambil terus menyedot isi susu kotak itu, dengan tatapan polos dia mengangguk kecil.

“Hum, nanti bantuin beli novel terus ayo kerjain sama lo. Jadi, tugas gua selesai tanpa harus nunggu minggu depan.”

Tak!

“Endasmu beres bocah!” seruku dengan nada menggertak saat menghantam jidatnya dengan telapak tanganku. Tidakkah ia memahami materinya terlebih dulu?

“Kata siapa sih langsung beres, Ka?” tanyaku, mencoba menekankan pentingnya pemahaman.

Kulihat ia mencebikkan bibirnya, ekspresinya agak kesal. “Kata gua lah! Apa lo, mau mukul gua lagi?” serunya, membalas dengan nada yang agak memprovokasi.

Tidakkah dia menyadari bahwa kita perlu melakukan analisis terhadap kelebihan dan kekurangan sebuah novel yang akan diresensi?

“Tapi gua benerkan? Lagian, novelnya buat bukti,” ujarnya dengan acuh.

“Matamu!” seruku, sedikit frustrasi dengan sikapnya.

“Lo kok ngegas?” protesnya.

Aku hanya mencoba untuk bersabar menghadapi sosok Ranaka. “Sini, gua jelasin deh.” Aku melihat dia mendekat, mengambil buku paketku, dan menyodorkannya padanya. “Nih, liat. Ada unsur intrinsik dan ekstrinsik. Belum lagi, kayak identitas novel, sinopsis, dan terakhir, kelebihan serta kekurangan sebuah novel,” jelasku, berharap dia bisa memahami.

“Lo harus bisa isi semua poin yang gua sebutin tadi, makanya dikasih waktu seminggu buat baca novel,” tambahku, mencoba menekankan pentingnya membaca dengan seksama.

Naka diam, sambil membaca materi tersebut. Aku melihat bola matanya membesar. “Serius, suruh baca sampe selesai?” tanyanya, ekspresinya mencerminkan ketidakpercayaan.

Aku mengangguk. “Iya. Kalau enggak dibaca sampe selesai, lo tau kelebihan dan kekurangannya sebuah novel itu dari mana?” tanyaku, dengan ekspresi gemas, berharap dia mengerti pentingnya hal tersebut.

“Gua malas baca novel, Pa. Mending baca buku pelajaran,” keluh Naka dengan ekspresi yang agak cuek.

“Tapi kali ini tugas. Lagi pula, kita dikasih waktu seminggu, itu cukup, Ka,” coba aku membujuknya.

“Matamu!” Aku tertawa saat dia mengulangi kata-kataku. Orang pintar memang bacaannya beda.

“Baca novel paling lama tiga atau empat hari, Ka. Cepet ‘kan?” Dia menatapku dengan tatapan sinis, lalu aku tertawa kecil.

“Itu sih, karena lo nolep,” godanya membuatku sedikit kesal meskipun aku tahu itu benar. Aku mencubit lengannya, menunjukkan ketidaksetujuanku atas ucapannya.

“Gua enggak nolep, Cuma enggak ada kerjaan aja,” aku menjelaskan sambil mencoba mempertahankan diri.

“Hoax banget, padahal emang lo nolep,” balasnya dengan nada mengejek, membuatku mendelik tak suka padanya.

“Ka, gua enggak mau bantuin tugas lo. Minta bantuan ke geng lo aja,” kataku, mencoba menahan tawaku karena aku sebenarnya sedang menggodanya.

“Kok gitu?!” serunya dengan ekspresi terkejut.

“Lah gua kan nolep. Kerjaan gua di rumah, sibuk sendiri,” aku menjelaskan dengan nada serius, meskipun sebenarnya aku sedang bercanda.

Kulihat raut wajahnya berubah menjadi pias, kena kau, Ranaka.

“Pa, gua bercanda sumpah, jangan gitulah. Masalahnya Cuma lo doang yang paham pernovelan. Kalo mereka pahamnya pembalasan sama penghibahan,” jelasnya, mencoba menjelaskan.

Mereka yang Naka maksud adalah anggota lain Bradiz. Oh, jangan bilang kalau setiap mereka kumpul dan tertawa itu sebenarnya sedang ghibah? Aku jadi ingin tahu siapa dan apa saja yang mereka ghibahkan? Ah, tipikal Naka, selalu punya cara unik dalam berkomunikasi.

“Kalau lo bantuin gua, gua bebasin lo beli novel semaunya deh,” bujuk Naka, mencoba menggodaku dengan tawaran yang menggiurkan.

“Kalau misal gua ambil lima novel, gimana?” Aku mencoba merespons, ingin mendapatkan persetujuan atau tanggapan lebih lanjut.

“Bebas Pa, mau lima atau sepuluh sekaligus,” jawabnya dengan mantap, membuatku semakin tertarik dengan tawarannya.

Bagaimana ya? Tawaran yang memang dari awal menarik. Salah, lebih menarik yang sekarang daripada tadi. Lima buku itu lumayan, dan Naka menjanjikan itu, ‘kan?

“Oke, tapi bener ya semau gua?” Aku ingin memastikan bahwa ucapannya benar.

“Iya Upa bebas, asal lo bantuin gua kerjain tugasnya,” jelasnya dengan senyum lebar.

“Oke, deal.”

Setelahnya, dia tersenyum lebar, lalu perhatianku teralihkan ke arah pintu kelas. Di sana ada Alvan dan juga Liam. Mereka sedang apa? Bukankah ini masih jam pelajaran? Lalu kenapa ada di sini?

“Naka, lo dicariin sama Liam!” teriakan dari Romi membuat Naka melihat ke arah pintu kelas. Aku melihat dia menepuk jidatnya. Ah, apakah dia punya janji dengan mereka dan lupa? Bisa jadi.

“Pulang sekolah sama gua. Gua keluar dulu,” pamitnya.

Naka dengan cepat menghampiri mereka. Liam dengan gemas memukul bahunya saat Naka berbicara sesuatu. Sedangkan Alvan, sedari tadi, dia menatapku. Ada apa dengannya?

Setelah itu, mereka bertiga berlalu begitu saja. Setidaknya, aku bisa bernafas secara lega, tanpa gangguan dari Angel dan dayang-dayangnya. Untuk hari ini.

Namun, aku tidak tahu besok dan seterusnya bagaimana. Aku memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya dengan perasaan campur aduk di dalam hati.

ー TBC ー

पढ़ना जारी रखें

आपको ये भी पसंदे आएँगी

46.7K 1.6K 47
Kaira adalah seorang bad girl dengan rupa seorang gadis yang berwajah polos. Tapi, sifatnya tidak sepolos wajahnya. Kaira adalah seorang bucinlovers...
GLANCE nyrdnt_ द्वारा

सामान्य साहित्य

65.4K 3.9K 44
[SEBAGIAN CHAPTER DIPRIVATE, FOLLOW SEBELUM MEMBACA.] Nastasia D. Aldebarack, seorang gadis biasa yang akan merasakan sakit bila dilukai. Mencintai...
HERIDA Siswanti Putri द्वारा

किशोर उपन्यास

644K 25K 36
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
JUST D [Who Are You?] [END] whyyouandi द्वारा

किशोर उपन्यास

293K 36.6K 61
[HARAP FOLLOW SEBELUM MEMBACA, TERIMAKASIH] Warning! 18+ Murder scene, strong language, (no sex scene) Harap bijak dalam memilih bacaan Summary: Davi...