Persiapan pindahan kami sudah seratus persen selesai. Semua barang sudah tertata rapi. Nanti rencananya barang-barang tersebut akan diangkut mobil bak terbuka milik salah satu tetangga Bulek.
Mataku belum juga bisa terpejam, masih terang benderang rasanya. Padahal ini sudah lewat tengah malam, biasanya jam segini aku sudah tertidur lelap, bahkan mungkin sudah bermimpi indah. Tetapi gara-gara bayangan pria berkemeja batik sore tadi, membuat rasa kantukku buyar.
Wajah pria itu terus berputar-putar di kepalaku tak mau pergi. Menghadirkan satu persatu kenangan, memaksaku mengingatnya kembali.
Dia, yang selama ini selalu menyebutku kekasih di hadapan sahabat-sahabatnya.
Dia yang selalu memanggilku dengan sebutan 'sayang' di setiap kami bertemu,
Dia yang setahuku sedang menimba ilmu di pulau seberang,
ternyata dia, kini muncul.
Muncul sebagai suami orang!
Aku mendesah berkali-kali, teringat jelas bagaimana lanjutan pertemuan tak sengaja sore itu. Sore yang kelabu bagiku karena harus menahan kesal dan kekecewaan.
Flashback
Setelah dia memalingkan wajahnya seusai aksi saling tatap yang mengakibatkan patahan di dadaku, aku memutuskan tidak melanjutkan rencanaku untuk di belakang. Aku kembali duduk dengan pikiran kacau, sementara Bulek di sampingku sibuk mengusap air matanya.
Tak lagi mempedulikan keadaan Bulek yang sedang menangis, aku sibuk sendiri dengan praduga-praduga di kepalaku.
Kenapa dia ada di sini? Apakah dia salah satu keluarga mantan suami Bulek? Kenapa seolah dia tak mengenaliku? Apa dandananku yang sekarang membuatnya pangling?
Pertanyaan itu berputar sampai sesi foto dimulai. Semua tamu undangan mendapatkan kesempatan untuk maju dan mendokumentasikan gambar mereka dengan kedua mempelai. Satu persatu keluarga, tamu dan undangan bergantian maju. Mereka terlihat begitu bahagia ketika sang MC acara tersebut memanggil nama mereka untuk maju.
Aku yang berada tepat di depan mempelai tak lagi fokus dengan prosesi akhir resepsi itu. Bahkan menolak tatkala Bulek memintaku menemaninya maju.
Blank semuanya.
Hingga pada akhirnya, tubuhku seolah membeku tatkala nama itu di sebut. Nama itu tidak asing. Hatiku makin berkeping-keping ketika di belakang namanya terucap sebutan nama orang lain beserta gelarnya,
"Ayo giliran Zulfikar Sauqi dan istri, silahkan maju."
Tak berhenti sampai di situ, setelah nama itu di sebut, sahutan demi sahutan dan teriakan riang muncul menyemarakkan acara.
"Ayo pengantin baru, yang mesra ...."
"Wahahaha, pengantin baru kita kok muram, apa semalam tidak di kasih jatah ... "
Teriakkan demi teriakan itu semakin menyadarkanku, bahwa orang yang kini berada di samping mempelai wanita itu, benar-benar dia.
Darahku mendidih, mata kami kembali bertemu, tapi dia seolah sengaja memasang muka datar. Semakin membuat dadaku terbakar tak terima. Bagaimana bisa dia bisa sesantai itu menghadapiku? Seolah aku orang asing. Seolah aku bukan siapa-siapa baginya!
******
"Ini siapa, Lan? Cantiknya."
Wanita paruh baya Berkebaya warna marun datang menemui kami, lebih tepatnya menyapa Bulek. Kami sedang sesi makan malam setelah resepsi berakhir.
"Ini anaknya, Mbak Ridah."
Aku tersenyum mencoba sopan tatkala wanita itu memandangiku.
"Ridah punya anak? "
Dunia memang sempit. Rupanya wanita cantik itu teman sekolahnya Ibu.
"Kudengar, kamu baru saja menikahkan putrimu? Kenapa nggak undang-undang?"
Aku tak lagi tertarik dengan obrolan kedua Ibu-ibu ini. Bulek dan wanita cantik itu melanjutkan obrolan, sementara aku menyibukkan diri dengan menscroll medsos. Mencari info tentang Fikar.
"Nayya ... "
Aku tak perduli kala wanita paruh baya itu memanggil sebuah nama, tapi semuanya berbeda tatkala aku tak sengaja mendongak, netraku menangkap bayangan itu datang samar-samar. Lalu seolah dengan gerakan slow motion bayangan itu semakin mendekatiku.
Bukankah dia wanita yang berfoto dengan Fikar tadi? Berarti dia ...
"Sudah besar ya?"sapa Bulek disambut dengan salimnya wanita muda itu.
Ketika mereka sibuk berbicara, mereka tak sadar kini mataku terus menatap perempuan itu. Memperhatikan setiap gerak geriknya. Imut, dia imut. Tapi aku yakin aku tak kalah mempesona. Fikar dulu bilang, aku manis.
"Waktu cepat berlalu. Dulu dia masih kecil saat kamu tinggal ke Hongkong, Wi."
Bulek begitu ceria bertemu dengan mereka. Kesedihannya seakan lenyap begitu saja. Sementara perempuan itu, Nayya, namanya Nayya. Kini tersipu. Aku tidak melihat kejanggalan di senyumnya. Maksudku, aku yakin kesehariannya seperti inilah dia, tipe gadis ramah.
"Suamimu mana?" tanya wanita paruh baya itu saat kusadari adalah mertua Fikar. Pertanyaannya membuatku sesak mendadak. Jangan bilang, setelah ini adegan selanjutnya adalah Nayya memanggil suaminya? Memanggil Fikar!
"Sebentar, Bun, "
Nayya memanjangkan lehernya dengan mata mengendarkan pandangan.
"Mas Zulfi ... "
'Mas Zulfi to namanya sekarang.' Batinku, sambil menyesap air mineral pelan-pelan. Berusaha menyiapkan hati agar tidak mencakar wajah pria itu sekarang.
Pria yang selalu memelihara janggut tipis di dagunya itu kini berjalan kearah kami. Dan tak lama kemudian ia sudah berdiri di samping istrinya, tanpa mengindahkanku.
"Iya, Sayang."
Wow, panggilan 'sayangnya' pasaran rupanya. Aku jadi makin kesal pernah mendapat penggilan itu.
"Ini, Bunda yang nyari kamu."
Baru kemudian mata pria itu menemukanku. Rupanya tadi dia bukan mengindahkanku, tapi memang belum ngeh kehadiranku. Buktinya sekarang dia terlihat gugup. Beda dengan beberapa saat lalu.
"Ini teman lama Bunda, ternyata mertuanya Sony ini teman lama Bunda, Zul."
Aku sedikit kaget tatkala wanita itu alias mertua Fikar menyapa menantunya dengan sebutan nama langsung, tanpa sapaan lain.
Fikar menjabat tangan Bulek sambil tersenyum. Dari dulu dia memang pemilik senyum terbaik versi aku, tapi dulu. Beda dengan sekarang. Lebih tepatnya beberapa jam yang lalu.
"Gantengnya. Serasi dengan Nayya yang imut." puji Bulek. Membuatku melengos, tak rela.
Bulek bukan tipe orang yang gampang memuji.
"Ini siapa ya?" tanya Nayya.
Kekhawatiranku akhirnya terjadi. Kini aku menjadi pusat perhatian mereka. Nayya menatapku dengan tatapan penasaran, Bundanya yang siap menjelaskan dan Fikar yang sibuk mengalihkan pandangan.
"Ini keponakan saya. Ayo kenalan, kalau nggak salah kalian sebaya."
Bulek menyentuh sisi pundakku. Membuatku menyambut uluran tangan Nayya yang terlihat antusias.
"Innaya. Panggil saja Nayya."
Nayya menatapku dengan senyuman tulus.
"Sarifah, panggil saja Sayang."
Sengaja memang, ingin tahu reaksi Fikar.
"Maksudnya? Kamu panggilan sehari-harinya 'Sayang' gitu? "
Seperti dugaanku, Nayya ini tipe gadis ramah yang gampang berkomunikasi. Beda denganku.
Aku sempat melirik Fikar membuang wajah, dia pasti tersindir.
"Tidak ... Tidak. Aku cuma bercanda. Panggil saja Sari."
Tak pelak semua tertawa, tak terkecuali Bulek yang tadi juga sempat keheranan.
"Bulek nggak nyangka kamu bisa bercanda, Sar. Bulek kira selama ini kamu kaku anaknya."
Aku tak berniat menjelaskan lebih jauh karena kini perhatianku terpusat pada pria berkemeja ini, ia tengah sibuk mengalihkan pandangan.
"Apa harus kenalan juga sama suamiku? " Nayya terkekeh memperlihatkan matanya yang tertarik sempurna. Menandakan ia sedang bercanda.
Mataku membulat tak menyangka reaksi Nayya seperti itu. Nayya benar-benar tipe orang yang menyenangkan. Seandainya dia bukan istri Fikar, aku tak keberatan berteman dengannya.
"Tidak perlu. Bukan muhrim." tolakku saat tangan Fikar terjulur. Membuatnya menarik lagi tangannya dengan wajah memerah.
Obrolan kami terputus karena Fikar mengajak Nayya kembali ke tempat duduknya semula.
Mungkin tak nyaman dengan kehadiranku.
Flashback end.
*****
Suara Azan subuh bergema terdengar sayup-sayup menebus jendela. Sambil menggeliat kuraih ponselku di nakas memeriksa jam. Baru setengah lima kurang, itu artinya aku baru tidur dua jam.
Sambil sempoyongan karena masih mengantuk, aku menuju kamar mandi kemudian menunaikan kewajibanku dengan kantuk yang masih menyergap. Lalu kembali masuk kamar dan meraih ponselku demi mematikan bunyi alarmnya.
Rencananya aku mau tidur lagi, aku harus fit karena sore nanti harus kembali bekerja. Rencana pindahan rumah terpaksa kami rubah minggu depan.
Sebelumnya, seperti biasa, aku selalu memeriksa ponsel, memastikan chat masuk. Biasanya hanya grup chat sekolah yang ramai, sama sekali tak menarik. Aku jarang ikut nimbrung karena pembahasan mereka tak pernah nyambung buatku.
Lalu aku scroll ke bawah, barangkali ada chat lain. Ternyata ada notifikasi masuk, tanpa kuduga nama itu mengirimkan pesan sepagi ini.
Bukankah kemarin dia pura-pura tidak mengenalku? Kenapa sekarang tiba-tiba dia mengirimiku banyak pesan?
Tanpa menunggu lama karena terlalu penasaran, akhirnya kubuka pesan itu. Pesan yang membuatku tertawa sekaligus tak percaya, pria berjanggut tipis itu akan mengirim pesan sekonyol itu.
Tbc.
Di KBM aplikasi sudah masuk part 38. Bisa mampir ke sana ya.