Protect At All Costs (END)

By an_ssky

16.3K 2.3K 3.8K

C A M P U S S T O R Y *** "Kamu cowok, kan? Aku nggak pernah kenal kaum kamu. Tepatnya, nggak kenal makna sal... More

p r a k a t a
a b o u t
prolog
01_alleged trouble
02_(don't) care about
03_touch
04_unidentified
05_toes and arguing
06_unsee scenery
07_hard-to-get approval
08_anxiety ring
09_wrong way to interact with you
10_silly perspectives and thoughts
11_memory caller
12_space and squeeze
13_like a rain
14_with you, again
16_thank you in silence
17_hated stare
18_with you, always
19_belief
20_closer
21_falling for you
22_words to believe
23_his existence
24_she and her past
25_stay stay stay
26_apology
27_people come and go, so you do
28_night of confession
29_she's the present
30_his world is hers
epilog
extra chapter
1.1_you're not alone
1.2_such a hard time
1.3_he want, but he can't
1.4_messed up
1.5_choices
1.6_turning point [END]
Loving Can Hurt (Special Chapter JM Birthday)

15_a rush of blood

264 47 75
By an_ssky

Jika informasi tentangmu bukanlah apa-apa, tentu saja tidak ada yang akan berubah setibanya ia datang menyapa.

***

Koloni awan seperti memberi isyarat, bahwa terik sedang tak diberi ruang. Sedang putih cerahnya yang mendominasi, mengabarkan tentang hujan yang belum hendak diturunkan. Bagi sebagian besar orang, bisa jadi ini adalah cuaca yang paling mereka minati untuk beraktivitas di luar rumah. Tidak membakar kulit, pun menjauhkan kata kuyup dari rentetan oksigen yang dihirup.

Akan tetapi, bagi Jaza, maknanya lebih dari itu. Bersama pandangan matanya yang belum juga beralih dari satu titik, terima kasih diembuskan secara perlahan, disisipkan di antara partikel penyusun udara di sekitarnya yang saling menarik dengan lemah. Bukan karena dia bisa beraktivitas dengan mudah, tetapi karena di sisi lain parkiran, Isy akan menyusuri jalanan dengan suhu yang menyenangkan. Tidak perlu kehujanan, tidak juga dikecupi teriknya sengatan matahari. Ya, semoga saja, cuaca ini akan bertahan sampai gadis itu selesai dengan urusannya.

Kala Isy menolehkan kepala ke arah Jaza yang tengah berdiri di parkiran mobil, gigi rapi sang lelaki semakin tampak mentereng. Senyumnya bertambah lebar, apalagi ketika Isy membunyikan klakson dan menundukkan kepala kepadanya, sebagai tanda perpisahan. Lucu, batinnya.

"Hati-hati, Sy."

Ah, ralat. Bukan kepadanya, melainkan kepada wanita paruh baya di samping Jaza. Gadis itu bersikap ramah tidak lain karena eksistensi Dokter Ratih. Kalimat yang baru saja diucapkan sang tante itu membuat Jaza sadar bahwa bukan hanya dirinya yang ada di sini, melainkan ada orang lain yang menjadi alasan tingkah manis sang gadis sedari tadi.

Meski begitu, Jaza tidak menanggalkan raut sumringah dari wajahnya. Seolah menjadi pengiring bagi tiap gerakan yang diambil Isy hingga gadis itu benar-benar keluar dari area parkir dan bergabung dengan kendaraan lain di jalan raya. Tatapan Jaza belum putus, setidaknya sampai suara di samping menariknya dari kepungan euforia.

"Kamu suka, ya, Kak?"

Jaza menoleh dengan sisa senyum yang masih kentara. "Hah? Gimana, Bulik?" Tampaknya, lelaki itu belum menangkap tanya yang dilontarkan kepadanya.

Disaksikannya gelengan kepala sang tante disertai senyum yang dipasang dengan makna yang belum ditangkap oleh Jaza. Kemudian, dirasakannya rangkulan di bahu, sekaligus membuat dua insan yang saling berbagi darah itu berada di posisi yang semakin rapat. "It's obvious, Kak. Kamu dari tadi nggak berhenti senyum, mana curi-curi pandang ke dia lagi. Kayak ABG aja."

Jaza terkekeh, ketika mulai mengerti ke mana arah pembicaraan mereka. "Keliatan banget emang, Lik?"

Dokter Ratih terkekeh, menggeser tangannya untuk menepuk-nepuk lengan Jaza dan merangkulnya. "Banget. Kamu keliatan lagi kasmarannya, Kak. Isy kayaknya juga sadar, deh, tapi didiemin aja kamunya. Dia beberapa kali nyentuh tengkuk, lirik kamu juga. Abisnya kamu fokus banget lihatin dia, apalagi pas dia lagi bicara. Awas, loh, anaknya risih."

Jujur, Jaza juga tidak merasa bahwa dia sedang menyembunyikan ketertarikannya kepada Isy. Dibiarkannya segala hal mengalir, termasuk ekspresi rasa yang ternyata sangat jelas untuk disadari. Bahkan sampai dia tidak menyadari bahwa segala atensi yang dimiliki disita sepenuhnya oleh sang gadis.

"Tapi Jaza sama Isy cocok nggak menurut Bulik?" Jaza menanyakan hal itu dengan pandangan yang sama sekali belum beralih dari titik kepergian Isy. Padahal, setitik pun bayangan gadis itu tidak dapat lagi dilihat dari tempatnya berdiri. Kemudian, dia merasakan tepukan keras di lengannya sebelum sang tante melepaskan sentuhan itu dan sedikit menjauhkan tubuh.

"Emang Isy-nya mau sama kamu?"

Kontan saja, Jaza menolehkan kepala dan menatap tak suka kepada tantenya, mengundang tawa dari yang lebih tua. "Gitu banget sama ponakan sendiri," katanya sambil memberikan tatapan kesal, mengundang tawa yang lebih lebar.

"Udah, ah. Ayo masuk. Bulik ada janji sama pasien sore nanti." Benar saja, Dokter Ratih meninggalkan Jaza dan memutari kap mobil untuk mencapai kursi penumpang.

Sementara Jaza tidak terima. Bukannya menuruti titah, dia justru berkata dengan nada yang terdengar seperti rengekan. "Bulik, cocok atau nggak, jawab dulu."

Tantenya tidak menanggapi, membuat Jaza hendak membuka mulut lagi, tetapi urung ketika Dokter Ratih memberikan tatapan penuh peringatan. "Berisik banget kamu ini. Nggak penting cocok atau nggak kalau ceweknya nggak mau. Udah, cepet masuk."

Kalimat itu seolah menjadi penutup paling final sebelum Dokter Ratih memasuki mobil. Sedang Jaza betulan menghentikan kalimatnya, dengan bibir yang tanpa sadar dimayunkan sebagai ekspresi kekesalan. Sepertinya, orang yang melihat lelaki itu saat ini tidak akan menyangka bahwa Jaza adalah staff ahli Departemen Sosial dan Kemasyarakatan BEM FISIP yang sudah memiliki banyak pengalaman memimpin program kerja.

Pada akhirnya, lelaki itu memasuki mobil, menjalankan perintah sang tante yang tidak akan bisa dibantah. Tangannya segera aktif mengontrol kemudi. Tadi, Jaza memang berangkat bersama Dokter Ratih, mengantar wanita itu untuk menjadi pembicara seminar di Fakultas Psikologi yang ternyata juga dihadiri Isy. Maka, sekarang Jaza juga harus mengantar tantenya ke klinik tempat praktik beliau.

Mobil mulai berjalan, dengan hening yang tercipta di dalam sana. Dokter Ratih tengah mengecek iPad di tangannya, mungkin meninjau kembali berkas-berkas pasien yang dia tangani. Mungkin juga membaca jadwal yang harus dia tuntaskan. Jaza tidak tahu pasti dan tidak berminat untuk mencari tahu. Sebab pikiran lelaki itu pun sedang berkelana ke sana kemari, memutar ulang segala yang dilalui beberapa saat lalu.

Dia tidak pernah menyangka akan bertemu Isy hari ini, apalagi disuguhi fakta bahwa Dokter Ratih--adik dari mamanya--mengenal gadis itu begitupun sebaliknya. Bahkan, ketika melihat Isy di resepsionis sebelum memasuki aula pun, Jaza tidak yakin dengan pandangannya. Suara familier yang memilih hot chocolate dibandingkan kopi, belum mampu mematikan ragu. Sampai akhirnya, dia bisa melihat nama gadis itu di buku tamu, membuatnya meminta hot chocolate juga karena menyadari bahwa panitia salah memberikan cangkir kepada Isy.

Menyaksikan Isy dan Dokter Ratih mengobrol dengan santai sepanjang acara makan siang tadi, sampai-sampai tidak kehabisan topik, tentu saja merupakan hal yang sangat mengejutkan bagi Jaza. Bagaimana bisa mereka saling mengenal, di saat disiplin ilmu yang dipelajari Isy pun tidak sejalur dengan Dokter Ratih? Dia kembali mengingat cincin milik Isy yang pernah dia temukan. Cincin yang meninggalkan kecurigaan di hatinya, bahwa bisa jadi itu adalah benda yang dibutuhkan oleh mereka yang memiliki gangguan kecemasan. Cincin yang membuat Jaza bertanya kepada Dokter Ratih dan mendapatkan kepastian bahwa itu adalah anxiety ring, sesuai dugaannya.

Mata Jaza juga dapat menangkap dengan jelas bahwa Isy masih mengenakan benda itu, meski modelnya berbeda dengan yang ditemukan Jaza. Mungkinkah Isy mengenal Dokter Ratih karena gangguan psikis yang dia miliki? Jaza menggelengkan kepalanya sekilas. Dia penasaran, tetapi kemungkinan itu bukan hal yang ingin dia konfirmasi sebagai sebuah kebenaran.

"Mampir minimarket dulu, ya, Kak."

Suara itu datang tiba-tiba. Jaza sedikit tersentak dibuatnya. "Eh? Oh, iya, Bulik," katanya sembari melirik sedikit kepada Dokter Ratih, sebelum kembali fokus pada jalanan di depan.

"Kamu kenapa, Kak? Masih mikirin Isy, ya?"

Sekali lagi, kalimat dari tantenya membuat atensi Jaza teralihkan. Dia menoleh sebentar, untuk menyadari bahwa sepertinya, pikiran lelaki itu yang sedang tidak berada di tempatnya dapat ditangkap oleh psikiater sekaligus penulis buku motivasi dan mental health yang duduk di sampingnya.

"Udahlah, Bulik pasti mau ngeledek." Itu yang diucapkan Jaza, kemudian mendapatkan kekehan sebagai sahutan.

"Ada yang mau kamu tanyain tentang dia?"

Sontak, kalimat itu membuat Jaza menoleh secara refleks, sampai dia sedikit telat memfungsikan rem. Kedua manusia di dalam mobil itu kontan tersentak, karena mobil di depannya sudah terhenti dan menjadi tahanan lampu merah.

"Kakak, nyetirnya yang bener!" Dokter Ratih meninggikan suara, sementara Jaza hanya bisa menampilkan cengiran.

"Maaf," ungkap sang lelaki dengan cengiran yang belum tanggal.

"Kamu, nih. Udah ah, nyetir yang bener." Tampak nada kesal dari Dokter Ratih, yang membuat Jaza sedikit panik.

Bersama laju mobil yang tak lagi tertahan, Jaza pun kembali pada topik yang sempat terputus lagi. "Bulik, itu yang tadi, emang aku boleh tanya-tanya tentang Isy?"

Dokter Ratih memberikan tatapan penuh peringatan. "Nyetir dulu yang bener! Kalau sampai ada apa-apa, Bulik botakin kepala kamu."

Jaza bergidik ngeri. Walaupun Dokter Ratih adalah tante yang paling dekat dengannya, dia tetap tidak bisa mengabaikan fakta bahwa peringatan wanita itu cukup menyeramkan. Maka, Jaza kembali memberikan cengiran. "Satu aja, deh. Bulik, kok, bisa kenal sama Isy dan sebaliknya? Ketemu di seminar juga?"

"Nyetir dulu, Kak. Astaga, susah banget dibilangin."

"Satu aja, Bulik. Yang lain, aku tanyain nanti."

Dokter Ratih tampak menghela napas. "Hubungan Bulik sama Isy itu dokter dan pasien. Udah, nanti lagi tanyanya. Beneran Bunda kirim ke rahim lagi kamu, kalo masih riweuh."

"Ohhh. Tapi nanti boleh tanya lagi, kan?"

"Iya, Kakak, astagfirullah. Lama-lama tekanan darah Bulik naik kalau ngadepin kamu."

Jaza tertawa, kemudian menyunggingkan tersenyum lebar ketika mendapatkan jawaban tersebut, sebelum sebuah pemikiran melintas di kepalanya. Perlahan, senyumnya meredup. "Emang Bulik boleh ngasih tahu informasi pasien ke orang asing?"

Kali ini, nada bicara Dokter Ratih sudah jauh lebih normal, seolah menyadari keingintahuan Jaza sekaligus ketidakinginan lelaki itu untuk melampaui ruang privasi Isy. "Bulik tahu batasannya, Kak. Memang, nggak semua pertanyaan kamu bisa Bulik jawab, apalagi yang berhubungan dengan informasi langsung dari Isy dan diagnosis yang Bulik kasih. Tapi, Bulik bisa jawab beberapa hal yang nggak menyentuh ranah-ranah rahasia itu. Dengan syarat, kamu memang peduli sama Isy, bukan penasaran aja."

Dokter Ratih berbicara panjang lebar, tetapi tidak semuanya dicerna oleh Jaza. Fokusnya didominasi oleh satu kata, yang membuatnya khawatir tanpa bisa dicegah.

"Diagnosis, Bulik? Maksudnya ... Isy udah sempet dapat diagnosis?"

Ada sesak yang merampas keleluasaan Jaza untuk menghirup udara. Entah kenapa, dia seolah merasakan masa tidak baik-baik saja yang mungkin pernah dilewati Isy. Kepalanya menoleh ke arah sang tante, setelah memastikan tidak ada kendaraan yang terlampau dekat di depan sana. Lalu, Dokter Ratih menyusul, menyambut tatapan Jaza. Tanpa sepatah kata pun, wanita itu menyunggingkan senyum, lalu menepuk pundak Jaza dan kembali memusatkan atensi ke depan sana.

Tidak ada penyangkalan. Berarti, pertanyaan itu hanya memiliki satu jawaban. Iya. Begitu saja, suasana hati Jaza jauh dari kata baik-baik saja. Cuaca hari ini, berkurang keindahannya, secara tiba-tiba.

AN.
May 12, 2022.

Continue Reading

You'll Also Like

217K 13.7K 20
"Nggak mungkin setiap orang meluangkan waktunya 24/7 untuk seseorang, Andira. Kamu jangan mimpi." Kata-kata itulah yang justru membuat seorang Andira...
3.5K 848 38
Nilam tidak menyukai laki-laki jamet alias 'jajal metal' yang suka berpakaian dan punya gaya berbicara aneh serta menongkrong dan mengobrol berkepanj...
1.2M 38.6K 22
[SUDAH DITERBITKAN OLEH PENERBIT KATA DEPAN] Menjadi Public Relations Officer memang mimpi Tania sejak kuliah dulu. Kini, setelah lima tahun bekerja...
2.6K 389 41
Ini kisah tentang mereka yang hidup di antara. antara suka dan luka, antara benci dan cinta, serta antara hidup dan mati. Tentang Jihan yang berusah...