Unless You

By Pandayusy

167K 3K 29

[ON EDITING] Aku kembali. Kembali untuk memenuhi janjiku. Kembali untuk menemui lukaku. Kembali untuk mel... More

Tingtong-
1. Come back
2. Welcome to Home.
3. Hi luka, aku kembali.
4. I am shocked
5. MENGHINDAR ASA
6. ROLLER COASTER & ICE CREAM
7. LONG TIME NO SEE
9. TERDALAMNYA SEBUAH LUKA
10. DIBALIK SEBUAH PERMINTAAN
11. BERTEMU UNTUK MERELAKAN
12. PELUKANMU

8. RASA DAN WAKTU

5.6K 214 2
By Pandayusy

1 minggu sudah berlalu, semenjak Ara pergi ke kantor Daren. Dan pertama kali juga ia bertemu dengan laki-laki yang ia panggil dengan nama Om Angga. Pagi ini Ara terlihat bersemangat, jumat kemarin ia sudah menerima email dari Angga.

Dan dirinya sudah diterima meskipun sebagai sekretaris. Ara tersenyum, setidaknya dia tidak menghabiskan waktunya dengan sendiri di dalam rumah.

"Ra, udah belum?" teriakkan Ori dari luar kamar membuat Ara kembali ke dunia nyata.

Sekali lagi, tersenyum di depan kaca. Tidak ada make up tebal, Ara hanya memoles dengan cushion dan lip tint kesayangannya.

"Yaa kak, ini gue mau keluar." Balas Ara.

Ara pun keluar kamar sambil menenteng heels hitam. Turun ke bawah dan berkumpul dengan keluarganya yang sudah siap di meja makan.

"Loh, Ara kok sepatunya ga dipakai?" Tanya sang Bunda.

Ara hanya tersenyum lebar, "Nanti aja dikantor bun. Ini Ara pakai sepatu biasa aja dulu."

"Loh, kamu kan baru masuk pertama kali. Kenapa ga langsung dipakai?"

Ara cemberut karena Bundanya sudah pasti akan mengocehinya dengan sikap yang belum bisa ia hilangkan.

"Udah Bunda, biarin aja. Lagian bos Ara itu temen Ori kok." Sela Ori.

Ara melongo dengan ucapan Ori. Angga temannya Ori? Di mana? Kenapa Ara tidak pernah kenal? Pertanyaan itu muncul bertubrukan di dalam kepalanya.

Tuk.

"Aw, apaan sih lo kak?" bentak Ara, sambil mengusap kepalanya yang begitu manisnya diketuk dengan sendok.

"Lo ngapain bengong? Lagi mikirin kenapa gue bisa kenal Angga gitu?"

Ara hanya menyengir, tapi tetap saja dalam hatinya ia penasaran.

"Lo harus cerita sama gue di mobil nanti." Ujar Ara. Dan langsung bangkit, tidak lupa mencium kedua pipi ayah dan Bundanya.

"Gue ga bisa antar lo nih. Ada jadwal pagi ini, buru-buru," balas Ori.

Ara hanya bengong, kakaknya itu dengan seenaknya lari meninggalkan Ara yang masih tidak mengerti. Semalam saja janji mau mengantarkan dirinya. Sekarang? Berarti memang sudah nasib Ara untuk bawa mobil sini.

"Ara mau Ayah anterin?" tanya Ayahnya, berdiri dari kursi makannya lalu menghampiri anak perempuan semata wayangnya.

"Ga usah Yah, aku bawa mobil aja." Balas Ara.

Ara pun tersenyum, mengambil kunci mobilmya. Saat ia di luar rumah, sesaat melihat sekeliling rumah ini. Benar-benar terasa asing. Di mana tembok yang dulu bisa ia loncati? Kenapa tembok disamping garasi nya terlalu tinggi? Di mana tanaman dulu Bunda dan Ia suka rawat? Di mana Gazebo dulu yang ada di teras? Dan kenapa ayunan itu terasa bukan kesayangannya?

Dan seketika itu pula Ara semakin yakin ini bukan tempat tinggal dirinya dulu. Bagaimana bisa? Dan di mana kotak itu? Kotak impiannya, kotak di mana ia tanam mimpi dulu. Dulu sebelum perempuan itu datang dan buat Kay memilihnya.

"Kenapa Ra?" Tanya Bunda yang masih melihat Ara ada di depan pintu.

"Bunda.." Ara msih tidak bisa berucap. Bagaimana ia baru bisa mengingat ini? Ini bukan rumahnya.

"Ara kenapa?" Sang Bunda pun langsung merangkul putrinya yang terlihat akan roboh.

"Pohon cemara yang dulu ada di depan rumah kemana bun?"

Bunda nya hanya tersenyum.

"Ara kerja dulu. Ini hari pertama kamu, jadi jangan terlambat." Ara sedikit melirik ke arah Budanya yang mengalihkan pertanyaannya.

"Bunda.."

"Udah, udah jalan dulu sana." Rangkul Bundanya sambil menuntun Arak e mobil yang suaminya sengaja design sendiri.

"Masuk, terus jangan lupa makan. Pulang jangan malam-malam ya," ujar Bundanya.

Ara hanya tersenyum, memeluk sesaat Bundanya. "Aku jalan bun," ucap Ara.

"Iya, hati-hati sayang."

Ara pun masuk ke kursi kemudi, menyalakan mesin. Dirinya menurunkan kaca gelap sedikit. Dan perlahan mobil itu mundur, memutar rodanya dan perlahan menghilang di balik pagar utamanya.

Sementara, di tempat tadi Bunda Ara masih terdiam. Tidak bisa mengerti bagaimana nanti ia akan jelaskan dengan putrinya. Ia tahu, apa yang putrinya cari di bawah pohon cemara.

*

Sesampainya di gedung a.k.a kantor barunya saat ini Ara pun tersenyum. Untung saja jalanan pagi ini tidak begitu padat. Jadi ia tidak terkena macet. Begitu turun dari mobil, Ara menuju ke resepsionis yang ada di lobby gedung tersebut.

"Selamat pagi mba. Ada yang bisa saya bantu?" seorang perempuan dibalik meja itu menyambut Ara. Senyum pun tidak ketinggalan dibibirnya. Sedikit menilai bahwa perempuan di depannya ini cantik hanya saja make up yang terlalu tebal mengesankan sedikit lebih dewasa.

"Saya mau bertemu dengan Pak Angga Aldrelic.." Ucapan Ara terhenti.

Mengapa namanya hampir sama seperti Kay? Apa Angga ada hubungan dengan Kay?

Ara menggeleng, menyakinkan diri ini pasti hanya kebetulan. Ya, Hanya nama bosnya saja yang sedikit mirip dengan Kay.

"Ini mba ada titipan buat mba dari Pak Angga," ujar Resepsionis yang Ara ketahui bernama Lita.

"Ini apa mbak Lita?" Tanya Ara balik.

"Ini ID card mba. Selamat bergabung mba. Nanti bisa langsung naik lift, dan menuju ke lantai 32 ya mba. Di sana ruangan Pak Angga."

"Terima kasih mba," ujar Ara dan berbalik.

Ara pun berjalan menuju lift, menekan tombol lift yang terdapat beberapa.

Ting.

1 pintu lift terbuka, Ara pun langsung masuk. Dia pun menempelkan ID card yang sudah ia kalungkan. Dan setelah itu menekan tombol 32.

Tinggi? Sangat. Tapi inilah sebenarnya yang Ara inginkan. Kerja di gedung tinggi, sehinggga jika ia sudah merasa resah. Hanya perlu berjalan sebentar untuk menuju rooftop.

Menikmati angin dan pretichor sehabis hujan. Aroma kesayangannya sejak ia pindah. Berawal saat ia kehujanan di tengah taman saat sedang duduk. Aroma tanah kering yang tersiram air membuatnya menjadi kecanduan.

Setiap hujan, ia selalu melihat rintikan dan menghirup aromanya. Dan saat salju turun, maka ia akan membiarkan tangannya tersentuh salju. Karena Angin, Hujan, dan Salju tidak lain adalah hati Ara saat ini. Begitu dingin, kaku, tapi sebenarnya masih terlalu lemah.

Ting.

Angka di atas pintu menujukkan 32, beriringan dengan pintu lift yang terbuka. Ara pun keluar dari lift, dan berjalan turun. Hanya ada 1 pintu besar di depannya. Dan 2 meja yang berada disamping pintu tersebut.

"Selamat pagi, mbak Ara?" Panggil seseorang dari belakang Ara.

Ara pun berbalik ke belakang. Ia melihat perempuan yang begitu tinggi dihadapannya.

"Salam kenal mbak, aku Rani. Sekretaris Pak Angga." Perempuan cantik itu mengulurkan tangannya. Tentu saja Ara membalasnya dengan senyumnya.

Tapi, kalau perempuan ini sekretarisnya? Lalu dia sebagai apa? Menurut email dari Angga dia menjadi sekretaris.

"Silahkan masuk dulu mbak, sudah ditunggu sama Pak Angga."

Ara yang bengong pun mendongak, dan tersenyum. Mengikuti langkah anggu Rani di depannya.

Tok. Tok. Tok.

"Silahkan masuk."

Rani menengok ke arah Ara dan tersenyum. Ara hanya mengangguk.

"Permisi pak, mbak Ara sudah datang."

"Oh boleh. Suruh masuk saja Ran," Balas suara dari dalam ruangan.

Rani pun sedikit menyingkir dari tengah pintu, membuka pintu sedikit lebar dan mempersilahkan Ara masuk. Ara menghirup nafas panjang, dan berjalan ke dalam ruangan tersebut.

Ruangan yang di dominasi warna coklat dan putih, karakter yang lembut.

"Hi Ara, silahkan duduk dulu. Mau minum apa?" Tanya Angga di balik meja kerjanya. Ia berdiri dan mengambil sesuatu yang berada di bawah laci.

"Jangan repot-repot pak." Ara emmaksakan untuk tersenyum, meski hatinya tidak berkehendak untuk tersenyum.

Hanya kata mengapa, kenapa, dan bagaimana yang memenuhi segenap isi kepalanya.

"Ara?"

"Ara?"

"Ara?"

Ara terhentak ke dunianya. Begitu mendengar pria yang saat ini ada di sampingnya memanggilnya. Benar-benar sangat tidak fokus di hari pertamanya kerja ini.

Tidak boleh ada yang membuka kotaknya. Karena di sanalah tersimpan impiannya dulu. Meski impian itu akan kandas dengan segera, hanya itu yang bisa membuatnya semangat. Hingga saat ini.

"Iya pak." Jawab Ara.

"Silahkan ke meja kamu di sana. Kamu sudah mengerti tugas kamu?" Angga menunjuk ke pintu yang ada di dalam ruangannya juga. Ya itu adalah ruangan untuk Ara yang ia siapkan.

Ara sedikit melongo, dari tadi ia tidak bisa memikirkan apa-apa. Bahkan tidak ada yang masuk di kepalanya sat ini.

"Maaf pak, boleh tolong ulangi?"

Anggaa mengeryit, seperti nya perempuan di depannya ini benar-benar sangat tidak focus dengan apa yang ia jelaskan tadi.

"Kamu, adalah asisten pribadi saya. Ruangan kamu ada di sana." Tunjuk Angga ke sebuah pintu yang masih ada di satu ruangan ini.

"Nanti kamu akan diajari sama Rani. Untuk menyesuaikan semua jadwal saya."

Ara hanya mengangguk. Semoga hari ini akan cepat berakhir. Sehingga ia bisa minta penjelasan dengan Ori. Ya, tidak mungkin ia memaksa Bundanya bercerita bila ibunya tidak mau bercerita.

Ara berjalan menuju ruangan yang tadi ditunjuk Annga. Tapi.. tiba-tiba ucapan Angga tadi baru masuk ke dalam kepalanya? Asisten?

"Pak, saya tadi sebagai apa?" Tanya Arad an berbalik badan menuju Angga yang sudah duduk manis di meja kerjanya.

"Asisten saya. Kamu, asisten saya."

Jawaban Angga membuat Ara melongo. Asisten?

"Kok, pak? Saya bukannya sekretaris?"

"Bisa dianggap begitu. Katakan kamu sekretaris pribadi saya, dan Rani ada sekretaris kantor saya. Ada yang masih mau ditanya Ara?"

Nada Angga yang begitu ketus. Membuat Ara mengalah dan masuk ke ruangannya. Kenapa sih? Bosnya itu menjadi menyebalkan. Berbeda sekali dengan sikapnya beberapa menit lalu.

Ah, bodo amat! Ucap Ara dalam hati. Lebih baik ia segera menyelesaikan hari ini untuk mencari jawaban untuk hatinya.

**

Jam ditangan kanan Ara sudah menunjukkan pukul 7 malam. Terlalu banyak hal baru yang ia pelajari membuatnya tidak begitu memerhatikan waktu. Di luar langit sudah gelap saat Ara menengok ke jendelana. Ara pun membereskan mejanya sebentar. Dan memutuskan untuk keluar.

Ruangan Angga juga sudah kosong. Sepertinya bos nya itu sudah pulang juga. Dia tidak tahu,mengapa harus ruangannya ada di dalam ruangan Angga. Yang secara tidak langsung buat dia harus selalu bertemu, dan melihat Angga setiap kali keluar dari ruangan ini.

Bos nya sangat baik, tapi terkadang jutek. Seperti tadi pagi. Rasanya dia akan segera terbiasa dengan sikap Angga ini. Kadang baik kadang galak. Sebelum beranjak, Ara membuka hpnya tepatnya ke contact.

"Ori calling.."

Ara sudah memutuskan untuk menemui Ori di luar. Karena di rumahnya tidak bisa menjamin bisa mendapat segala informasi yang ia inginkan.

"halo?"

"Ka, ada di mana?" tanya Ara. Sambil berjalan menuju ke basement tempat ia mermarkirkan mobilnya.

"Masih di rumah sakit ini. Ada check pasian 1x lagi. Kenapa?"

"bisa ketemu sebentar?"

"loh? Kenapa ga di rumah aja? Kamu di mana?"

"aku mau di luar, sambil makan ice cream. Ini baru mau ke mobil. Tunggu aku di ruamh sakit ya. Bye."

Klik, tanpa menunggu blasan dari kakaknya. Ara mematikan telpon.

Ting.

Pintu lift terbuka. Ara pun masuk ke dalam lift. Di dalam lift, ia melepaskan heels yang sedari tadi ia gunakan. Kakinya sungguh lelah. Dan ini baru pertama kali ia menggunakan sepatu tinggi ini cukup lama.

Saat pintu lift juga terbuka kembali, Ara pun memakai sepatu ini dan sedikit berlari menuju ke tempat mobilnya terparkir.

Bip. Bip.

"Ah, ribet ini sepatu."

Hanya kurang beberapa jarak lagi. Ara pun memutuskan melepaskan sepatunya. Dan tanpa alas ia berjalan ke mobil. Ara langsung masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin. Dan langsung menginjak pedal, utnuk segera sampai ke ruamh sakit tempat kakaknya berkerja.

Perjalanan 30 menit dengan kecepatan di atas-atas itu akhirnya sukses membuat Ara tiba dengan mulus. Ia memilih untuk turun dari mobil, dan mengenakan long coat berwarna abu-abu. Meski di Indonesia tidak ada musim salju, Ara tidak merasa aneh untuk memakainya. Ini adalah salah satu pakaian favorite miliknya.

Ara pun berjalan menuju ruangan kakaknya berada. Meski ia tahu ini beresiko, karena yang ia ingat terakhir Kay juga berkerja di sini. Tidak membuatnya untuk mematahkan semangat dan mengobrol dengan kakaknya di rumah.

"Sus, Ka Ori ada?" Suster yang berjaga di depan ruangan Ori pun terbangun begitu ada perempuan yang memanggilnya.

Suster ini tersenyum, "Silahkan mba Ara, Pak Ori sudah menunggu di dalam."

Ara mengangguk, dan membuka pintu Ori.

"Kak?"

"Eh kamu udah datang. Ayo kita ngobrol di luar, kakak tahu kamu pasti mau menanyakan sesuatu yang penting."

Ara mengangguk, menunggu Ori melepaskan jas dokternya. Ori merangkul adiknya, dan mengajak keluar. Tapi kakinya begitu lemah, hingga Ara hampir terjatuh jika saja Ori tidak sigap menahannya.

"Mau kakak gendong?"

Ara melotot mendengar tawaran Ori. Tapi tidak memungkiri juga, bahwa kepalanya mengangguk. Ori pun tersenyum dan berjongkok di hadapan adiknya. Ara menaikki punggung kakaknya. Bisikan para suster tidak ia hiraukan. Ara bersandar pada pundak kakaknya.

"Kakak tahu kamu capek. Tidur aja dulu, nanti kalau sudah sampai kakak bangunin."

Ara hanya mengangguk, dan menempelkan kepalanya pada pundak Ori. Memejamkan mata dan tidak lupa mengeratkan lengannya di leher Ori. Mata Ara sudah tertutup dan ia sudah berada di dalam mimpi. Tanpa ia ketahui, kini di hadapan Ori ada orang yang selalu di nanti Ara dan juga menanti Ara.

"Ara?" Panggil Kay.

Ori melotot dan mengedipkan matanya sekali. Dengan maksud untuk tidak bersuara karena adiknya sudah tertidur saat ini. Kay terhentak di tempatnya. Tidak tahu harus seperti apa, padahal tangannya saat ini memeluk Ara. Temannya yang begitu dekat dengannya dulu, sebelum ia membuat keputusan yang salah dan ternyata masih membuat Ara sakit sampai saat ini.

Teman yang ia anggap sebagai adik dan separuh hatinya. Meski bukan sebagai sebagai wanita yang ia cintai. Apakah dirinya egois?

Ori pun memajukan langkahnya, mengencangkan tangannya yang melingkar pada kaki adiknya. Ori berada di hadapan Kay saat ini.

"Untuk saat ini jangan temui Ara dulu Kay. Dia masih terperangkap pada perasaan yang begitu menyakitkan. Ara belum berubah. Tolong mengerti.."

Ori pun melangkah kembali. Kay pun tertawa kecil tapi air menetes ke pipinya. Apa yang ia perbuah sampai teman yang begitu ia sayang sangat terluka? Bagaimana caranya agar ia untuk mengobati Ara? Menebus rasa bersalahnya yang begitu menumpuk? Apa ia harus merelakan Vera?

Apakah itu bisa?

Kay mengusap air matanya, dan berbalik mengejar Ori.

"Ri.."

Ori tidak menengok. Ia tahu Kay juga terluka dengan ucapannya tadi. Pasti rasa bersalah menyeruak di hati Kay. Tapi tidak ada bisa yang dilakukan lagi. Karena hati Kay tidak berlabuh pada Ara. Kesalahan yang tidak bisa diperbarui, karena manusia tidak bisa menggerakkan kemana kita berlabuh. Melainkan takdir.

Ori melanjutkan langkahnya, begitu tiba di depan mobilnya. Mencoba membuka pintunya, dan menurunkan adiknya dengan hati=hati. Memasangkan seatbelt dan menutup pintu nya. Dengan sedikit berlari, ia menuju pintu kemudi. Dan inilah perjalanan yang ia lakukan untuk membawa 

Ara ke suatu tempat. 

--------------------

sekilas dari Author : maaf ya kalau kelamaan update nya huhu. 

"Karena rasa yang asing dan waktu yang menunda takdir."  

Continue Reading

You'll Also Like

553K 22.9K 38
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
476K 32.9K 31
Semua orang mengira Saka Aryaatmaja mencintai Juni Rania Tanaka, namun nyatanya itu kekeliruan besar. Saka tidak pernah mencintai Rania, namun menola...
544K 58.5K 24
Karmina Adhikari, pegawai korporat yang tengah asyik membaca komik kesukaannya, harus mengalami kejadian tragis karena handphonenya dijambret dan ia...
1.9M 27.9K 44
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...