Hijrah Cinta

By Nonatypo

615 272 996

Spiritual - Romance Melupakan bukan pilihan jika ingin pergi dari sebuah kisah. Ikhlas mungkin lebih tepat, u... More

prolog
1. Awal
3. Jangan Hilangkan Dia

2. Kenyataan Itu Pahit

105 63 166
By Nonatypo

Ada 3 hal untuk mengapresiasi penulis: pertama vote, dua komen, tiga share. Btw, jangan sinder, ya!❤️

Typo bersebaran harap di maklumi namanya juga manusia. Tapi, jika berkenan tolong di tandai agar nnti bisa di revisi.

“Kebahagiaan adalah jalan, sedangkan kesedihan adalah ujian. Hidup adalah seberapa lapang kita menjalani kenyataan.”

Happy reading🌷


Kini Azzurra berbaring lemah di rumah sakit dengan selang infus yang menempel pada lengan sebelah kirinya. Sedangkan lelaki Dylan hanya memegang jemari Azzura begitu erat. Rasa khawatirnya kini kian memuncak begitu tinggi. Dylan merasa bersalah sedaritadi.

"Azzura, kenapa?" tanya Azzam, yang baru datang ke rumah sakit dengan napas yang tersengal.

Dylan segera mendongkakan wajahnya, menatap seseorang yang baru datang, yang tidak lain adalah Azzam sahabatnya sekaligus kembaran Azzura. "Infeksi lambung akut," sahutnya dengan suara purau.

"Akut?" tanya Azzam yang di angguki oleh Dylan. "Dari kapan?"

"Satu tahun terakhir."

Azzam hanya bisa membeku di tempat, dengan perasaan tak percaya. Dia memang kembaran Azzura. Namun, Azzam tak pernah mengetahui apa pun tentang kembarannya. Salah satunya seperti ini.

"Shit! Bisa-bisanya dia nyembunyiin dan nyepeleein penyakit!" gerutu Azzam, sembari mengusap wajahnya kasar.

Dylan hanya mengangguk, "Gue yang bodoh, gue nggak tahu cewek gue sakit."

Azzam menggelengkan kepalanya merasa tak setuju dengan perkataan Dylan. "Yang salah itu gue, karena kita satu rumah. Tapi, gue malah nggak tau apa pun, tentang dia." Azzam menjeda ucapannya, lalu menatap Azzura sekilas. "Gue nggak pantes di sebut sebagai adik, ya, Lan?" lanjutnya.

"Nggak ada yang patut untuk di salahin. Ini udah jelas gue yang salah," timpal Azzura yang tampak baru siuman.

Keduanya kini kompak menatap Azzura, "Kamu udah bangun, sayang?" tanya Dylan dengan mata berbinar.

Azzura hanya mengangguk, "Maaf."

"Kalo sakit, ya, bilang aja sakit. Nggak usah pura-pura sok kuat deh lo!" celetuk Azzam.

Dylan langsung memelototkan matanya kearah Azzam. "ZAM!" sentak Dylan. "Azzura, baru sadar. Nggak usah bentak-bentak cewek gue!" protesnya.

Azzam hanya memutar bola matanya malas, sembari tertawa tipis.  "Ck, tapi dia juga kakak gue. Kalo ada apa-apa pasti keluarga juga yang repot!" sahutnya sembari membuang pandangan.

Ucapan Azzam ternyata mempu membuat ruangan mendadak hening. Dylan segera menatap ke arah Azzura untuk memastikan. Namun, gadis itu justru tersenyum meski matanya tak mampu berbohong.

"Jaga mulut lo!" bentak Dylan, yang hendak bangkit dengan keadaan tangan terkepal.

Azzura segera memegang pergelangan tangan Dylan, sembari menggelengkan kepalanya. "Gapapa. Apa yang di bilang, Azzam. Memang betul kok, aku emang salah, aku memang ngerepotin."

Dylan, tentu menggelengkan kepalanya tak setuju. "Enggak, Ra," sahutnya dengan suara yang menahan amarah.

Dalam diamnya Azzam merutuki dirinya sendiri. Kenapa juga dia harus berbicara seperti tadi? Azzura pasti terluka oleh ucapannya. Azzam tidak berniat untuk mengatakan hal tadi. Ia terlalu takut Azzura kenapa-napa, sehingga dia tidak sadar dengan apa yang baru dia ucapakan. Azzam selalu takut jika kembaranya terluka. Hanya saja, rasa gengsi yang membuatnya enggan tuk menampakkannya

"Berhenti makan pedes, kalo lo emang masih mau hidup," ucap Azzam, terlampau dingin.

Azzura terkekeh pelan, lalu menatap ke arah Azzam. "Pedes amat sih mulut adek gue," sahutnya.

Azzam hanya memutar bola matanya malas, "Nggak usah senyum-senyum deh lo," ucapnya sembari merotasikan bola matanya. Bukan apa-apa, Azzam hanya jengah melihat senyum palsu itu.

Dylan hanya bisa menarik napas kasar. Menghadapi Azzam dan Azzura memang harus memiliki kesabaran yang lapang. Sebab, dua-duanya memilik karakter yang sama. sama-sama keras kepala, dan tidak ingin mengalah.

"Lo bolos, Zam?" tanya Dylan mengalihkan.

Azzam menggelengkan kepalanya. "Nggak bolos. Cuma nggak masuk kelas aja," sahutnya sembari menyenderkan kepala di sofa, dengan kedua tangan di belakang kepala.

Dylan jelas berdecak. "Apa bedanya bolos sama nggak masuk sekolah?" tanya Dylan.

"Kalo bolos gue niat dari rumah nggak sampe sekolah. Kalo ini gue udah di sekolah terus keluar lewat pintu belakang." Azzam, lelaki paling santai satu itu seperti tidak ada beban mengatakan hal ini kepada Dylan, Yang notabene nya adalah ketua osis di sekolahnya.

"Sama aja dodol!" timpal, Azzura merasa tak habis pikir.

"Jelas beda, gue keluar karena lo. Makanya jangan bikin orang khawatir, nyusahin aja lo!" dengus Azzam.

"Dih, ngapain lo nyalahin gue?!" sahut Azzura tak terima.

Azzam menegakkan tubuhnya, lalu menatap Azzura. "Ya, karena lo salah. Gak sadar diri? Mau gue bawain cermin segede gaban?"

Dylan hanya memijit pelipisnya, sembari menonton perdebatan antara ke dua adik dan kakak. Hal ini sudah menjadi hal yang lumrah, sehingga Dylan hampir saja jengah.

"Astaghfirullah, kalian bisa nggak sih, sehari aja nggak ribut?" ucapan Dylan mampu membuat dua orang itu mengatupkan mulutnya. Dylan hanya menghela napas, lalu menatap ke arah Azzura. "Ra, kamu baru siuman, mendingan istirahat lagi. Nggak penting ngelayanin, Azzam."

Azzam hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Lalu, menatap Azzura dengan sorot mata yang menyebalkan. "Dengerin tuh kata cowok lo!"

Dylan segera menoleh ke belakang. "Lo juga, Zam.  Ngapain masih di sini? Kenapa nggak balik ke sekolah?" tanya Dylan penuh intimidasi

D"Gue udah izin kok tuan, Dylan Adelardo Bagaskara. Yang terhormat sama piket. Jadi, nggak usah takut kalo gue kabur," sahutnya, sembari membalas tatapan Dylan, dengan tajam "Lo juga ngapain disini?" tanyanya.

Dylan berdecak, "Buta mata lo?" sahutnya.

Azzam hanya memutar bola matanya. "Gue masih bisa lihat lo yang jelek kaya gitu kok, Lan. Itu tandanya gue nggak buta!"

"Iya, nggak buta. Mungkin mata lo rabun. Cowok gue cakep ya, gak kayak lo!" timpal, Azzura sewot.

"Ck, kalo gue jelek otomatis lo juga jelek dong, Ra," sahut Azzam.

"Gue jelek udah sold out, lah lo?"

"Punya satu aja belagu, gue punya banyak tanpa lo tahu!"

Dylan lagi-lagi hanya bisa menghela napasnya kasar. Dia sudah sangat jengah. Apa mereka tidak bisa akur sebentar saja, satu menit atau dua menit pun, tidak apa-apa. Setidaknya biarkan Dylan bernapas lebih tenang.

"STOP!" teriak Dylan, Hal, itu kembali membuat mereka bungkam. "Ra, kamu tidur lagi aja, ya, sayang?" ucapnya sembari membelai rambut gadisnya.

Gadis itu hanya bisa mengerucutkan bibirnya. "Capek tidur mulu," sahut Azzura dengan lesu.

"Gue tidur nggak pernah capek tuh," timpal Azzam dengan malas. Jujur baru kali ini ada manusia yang bilang capek tidur. Padahal, kan tidur itu sangatlah enak, bukan?

"Ya, iya. Lo cuma makan, tidur, sama main. Lah gue? Belajar, belajar, dan belajar sampe mampus," jawab Azzura, sembari tertawa hambar. Tawa, yang menyelipkan beberapa luka yang enggan ia tonjolkan.

Ruangan mendadak kembali hening. Hening, yang menciptakan luka lebam-lebam pada bagian dada yang terluka hebat. Rasanya sesak. Azzura tidak tahu, mengapa rasanya bisa sesakit ini tumbuh di dunia yang semakin hari berputar tanpa sedikit memberinya waktu untuk memulihkan batin yang sedang terluka.
Dia hanya butuh jeda, untuk menjahit kembali lukanya, atau tidak memberikan sedikit kopi bubuk untuk dia taburi pada bagian-bagian luka yang ada di tubuhnya. Meski tak kentara, luka itu nyata adanya. Luka yang basah di dalam, namun tak terbaca di luar.

"Kenapa diem?" tanya Azzura, sembari menatap ke arah Azzam.

"Ngantuk," sahut Azzam singkat. Meski, hatinya kini tengah terluka hebat.

"Ck, yaudah sana balik!"

"Terserah gue dong mau gue ada di sini atau enggak. Ini bukan rumah sakit milik lo, jadi lo nggak berhak ngusir gue," sahut Azzam.

"Tapi ini ruangan gue. Jadi, gue bebas buat usir lo!" sahut Azzura dengan suara yang di naikan satu oktaf. Sedangkan Azzam, hanya acuh lalu kembali menselonjorkan kakinya di sofa.

"Udah, Ra, gapapa. Mungkin dia khawatir sama kamu," ucap Dylan sembari mengelus tangan Azzura.

Hal itu berhasil membuat Azzam menoleh ke arah mereka. "Nggak ya, ngapain gue khawatir sama dia!" elak Azzam.

"Gengsi, ya, buat ngakuin? Tanpa lo sadar, tadi lo sendiri yang bilang khawatir," sahut Azzura sembari tertawa lepas.

Azzam hanya mendelikan matanya. "Diem."

"Udah-udah bisa berhenti untuk ribut gak? Ini rumah sakit." final Dylan yang berhasil membuat adik kakak itu tak lagi bersuara.

***

Dylan memutuskan untuk keluar dari ruangan Azzura. Dia mulai berjalan dengan suara pelan agar tidak menganggu Azzura yang sedang tertidur. Sesekali dia juga menatap ke arah Azzam yang sedang bermain ponsel di sofa.

"Gue mau keluar dulu. Tolong, jagain Azzura, ya?" ucap Dylan dengan suara pelan.

Azzam hanya menaikan satu alisnya. "Kemana?" tanyanya.

"Mau pulang dulu sebentar," sahut Dylan. Azzam hanya mengangguk.

Tanpa berlama-lama kini Dylan mulai keluar dari ruangan rawat kekasihnya. Dia menghela napas kasar dan kembali menengok ke arah pintu.

Dia menyeka darah yang keluar dari hidungnya. Entah kenapa beberapa hari kebelakang ini, Dylan merasa tubuhnya tidak enak badan, sering muntah, pusing, dan mimisan.

Awalnya dia tidak begitu  mempedulikannya, dia mengira hal ini karena kelelahan saja. Namun, hari demi hari kestabilan tubuhnya malah semakin memburuk. Akhirnya ia memutuskan untuk cek kesehatan ke dokter. Mumpung dia juga sedang berada di rumah sakit.

Dylan mulai memasuki ruangan serba putih. Dia sempat membeku di tempat pada saat melihat seseorang yang duduk dengan setelan jas putih itu.

Dokter tersebut mendongkakan kepalanya, menatap ke arah pasien yang baru saja datang. Setelah melihat siapa yang datang dokter Ryan pun tertegun. Keduanya hanya saling lempar pandangan satu sama lain.

"Dylan?" ucap dokter Ryan, Dylan hanya tersenyum "M-masuk, Lan," lanjutnya lagi dengan terbata-bata.

Dylan hanya mengangguk dan mulai duduk di hadapan Ryan. "Ah, udah jadi dokter ternyata?" ucap Dylan sembari terkekeh.

Ryan hanya tersenyum sembari mengangguk. "Kakak kamu juga pasti sudah jadi dokter yang hebat, kan?" sahut Ryan.

Dylan hanya mengangguk. "Saking hebatnya sampe lupa arah pulang."

Perlahan senyum di wajah Ryan memudar. "Dia pasti sangat hebat dan sangat bisa di andalkan di sana. Jadi, sulit untuk pulang."

Dylan hanya tersenyum tipis. "Mungkin."

"Sudah lama kita tidak bertemu, terakhir kali bertemu waktu mengantar kakakmu ke bandara, ya?" tanya Ryan.

Dylan hanya mengangguk. "Bay the way, kalian kenapa putus?" tanya Dylan tiba-tiba, jujur saja lelaki itu masih bingung alasan kenapa keduanya mengakhiri hubungannya. "Maaf, kalo ini di luar konteks pembicaraan antara pasien dan dokter. Cuma ini agak mengganjal aja, hubungan kalian selalu baik-baik aja, kan? kalian juga udah lumayan cukup lama."

Ryan mengangguk. "Amel salah paham. Dia, juga tidak ingin mendengarkan penjelasan ku terlebih dulu," sahut Ryan sembari tersenyum tipis.

"Dia memang egois," ucap Dylan dengan muka datar.

Ryan menggelengkan kepalanya. "Oh ya, kamu Kenapa?" tanya Ryan mengalihkan pembicaraan.

Dylan mulai menjelaskan apa saja keluhannya kepada dokter. Ryan hanya mengangguk dan menatap ke arah Dylan dengan tatapan yang tidak dapat di jelaskan. Dia menundukkan wajahnya, entah kenapa perasaannya menjadi tidak enak.

"Hari ini kita akan melakukan beberapa rangkaian tes. Aku harap semuanya akan baik-baik saja," ucap Ryan, yang berhasil di angguki oleh Dylan.

Sudah sekitar satu jam lebih menunggu. Akhirnya hasil tes itu telah keluar. Ryan memanggil Dylan untuk kembali ke ruangannya.

Wajah Ryan sangat muram. Dengan ragu dia memberikan selembar kertas putih kepada Dylan. Ryan tidak mampu untuk berbicara. Lidahnya seketika terasa begitu kelu.

Dylan mulai mengambil surat itu. Lelaki itu hanya menatap lekat amplop yang sudah berada di tangannya. Perasaannya sangat tidak enak, di tambah melihat ekspresi Ryan, yang muram semakin membuat Dylan ragu untuk membuka isi dari amplop itu. Namun, ia menangkis semua pikiran buruk yang bersemayam di otaknya. Akhirnya secara perlahan ia membuka amplop itu  dan segera  membaca rentetan kata di kertas.

Nama: Dylan Adelardo Bagaskara

Umur: 17 tahun

Di nyatakan: Positif Leukemia

Jenis: Mieloid Akut.

Stadium: 3 (lanjut)

Mata Dylan memanas. Tanpa sadar dia sudah meremas surat itu. Dunianya sekejap teras hancur lebur.

"Nggak, ini pasti salah, kan?!" tanya Dylan dengan suara yang meninggi.

Ryan hanya menggelengkan kepalanya. "Saya sudah menduga akan hal ini. Dan, ternyata dugaan saya benar, kamu positif Leukemia, Dylan."

Dylan hanya bisa mengatupkan mulutnya, sembari menatap kembali ke arah surat. Dengan perasaan yang berat, ia berusaha mati-matian untuk bertanya perihal penyakit yang sedang dia idap sekarang.

"Bang Ryan, nggak mau coba jelasin ini?" tanya Dylan.

Bukannya tidak ingin menjelaskan. Hanya saja rasanya terlalu berat, ada sakit yang tiba-tiba ikut menghantam dadanya. Ryan, sudah menganggap Dylan sebagai adikknya. Hal itu membuat nya tak tega untuk memberitahu fakta yang sesungguhnya. Namun, Ryan juga harus bersikap profesional di sini.  Dengan perasaan gusar Ryan hanya bisa menghela napasnya panjang, lalu menatap ke arah Dylan.

"Leukemia Mieloid Akut, merupakan jenis kanker darah yang paling cepat berkembang. Jenis kanker ini ditandai dengan produksi sel yang tidak berkembang menjadi sel darah putih. Jenis ini terbagi ke dalam delapan sub-jenis berdasarkan sumber kondisinya."

"Sedangkan tahap lanjut atau stadium lanjut merupakan kanker stadium tiga. Stadium tiga berarti kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening terdekat. Tetapi, belum sampai ke organ tubuh yang letaknya lebih jauh."

"Kanker darah stadium tiga menunjukkan kondisi organ vital seperti lima, liver, dan kelenjar getah bening yang bengkak. Sedikitnya dua organ-organ tersebut akan membengkak karena jumlah sel darah putih melonjak. Selain itu, penderita juga mulai mengalami gejala anemia. Sesuai dengan keluhan kamu tadi. Kamu sering merasa pusing? Ya, karena itu adalah salah satu gejalanya."

"Pada stadium lanjut, pasien kanker tidak hanya mengalami berbagai masalah fisik tetapi juga mengalami gangguan seperti gangguan psikososial dan spiritual yang dapat mempengaruhi kualitas hidup."

Dylan hanya mematung di tempatnya, dengan hati yang tercabik-cabik oleh kenyataan yang pahit. Sekarang bagaimana dia harus bertahan menjalani penyakit yang sudah sampai pada stadium lanjut seperti ini? Bagaimana dia harus memulainya di saat penyakitnya sudah mulai menjalar kemana-mana? Belum lagi bagaimana dia harus memberitahukan orang-orang yang berada sekitarnya, tentang kenyataan yang bisa perlahan-lahan membuatnya hilang dari permukaan bumi ini.

Semuanya terjadi di luar dugaannya, perasaannya kini sangat berkecamuk, harapan untuk mencapai taraf hidup serta mimpi-mimpi yang sudah dia rangkai seketika harus tandus. Sekarang sudah tidak ada lagi yang dapat dia pertahankan lagi.

Kini, ia hanya bisa menyimpan penyakit ini sendiri, entah sampai kapan. Entah pada saat rambut yang lebat itu kian rontok dan tak menyisakan sehelai rambut pun atau membiarkannya sampai waktu itu telah tiba datang untuk menjemputnya. Terlalu banyak kata 'entah' yang tidak bisa menjamin apa pun untuk mencapai kehidupan selanjutnya.

Jujur, rasanya ia ingin marah mengapa Tuhan tak ada henti memberinya ujian. Namun, Dylan sadar memang bumi adalah tempat manusia di uji, tetapi apa bisa untuk kali ini saja dia meminta kepada Tuhan untuk membiarkannya bertahan lebih lama, setidaknya sampai ia bisa membuat orang-orang di dekatnya mendapatkan kebahagiaannya masing-masing.

"Jika ini memang sudah menjadi ketentuanmu, maka hamba hanya bisa berpasrah. Namun, tolong izinkan hamba untuk membahagiakan mereka di sisa-sisa hidup yang hamba miliki Ya, Allah. Hamba mohon," batinya dengan penuh harap.











Bersambung...

Continue Reading

You'll Also Like

2.6M 150K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...
750K 90K 12
"Gilaa lo sekarang cantik banget Jane! Apa ga nyesel Dirga ninggalin lo?" Janeta hanya bisa tersenyum menatap Dinda. "Sekarang di sekeliling dia bany...
417K 32.3K 27
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens. "Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gu...
604K 7.6K 23
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+