Menunggu

By Ami_Shin

31.1K 4.6K 411

Alma dan Arka saling bersahabat. Sejak kecil, mereka selalu bermain bersama, melakukan berbagai hal nakal ber... More

Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Epilog

Part 6

2.3K 274 35
By Ami_Shin

Arka tidak tahu, jika patah hati itu ternyata sangat menyebalkan. Kehilangan semangat, tidak berselera makan, merasa gusar sepanjang hari, membuat aktivitasnya benar-benar terganggu. Dan yang paling tidak masuk akal, mendadak Arka tak ingin bertemu Alma apa lagi mendengar suaranya.

Panggilan Alma berkali-kali dia abaikan. Hanya beberapa pesan Alma saja yang dia balas, itu pun hanya jawaban singkat seadanya. Alma bertanya apakah dia baik-baik saja, dan karena tidak mau membuat Alma khawatir, jadi Arka membalasnya.

Benar. Alma pasti akan khawatir jika Arka tak memberi kabar seharian. Karena biasanya, sejak pagi hingga malam hari, mereka tak pernah lupa saling berbalas pesan, sekalipun hanya berupa pesan-pesan konyol yang cukup menghibur rasa lelah mereka karena pekerjaan.

Tapi khusus beberapa hari terakhir, Arka yang biasanya uring-uringan karena tidak bisa bertemu atau melewatkan waktu bersama Alma, kini malah memilih menjauh. Entah mengapa, namun Arka merasa dirinya akan semakin patah hati jika dia bertatap muka dengan Alma.

Alma menolak untuk dia cintai. Dan alasan yang dia berikan kemarin tak bisa Arka bantah. Alma takut kehilangan Arka, itu kenapa dia menjauh dari segala hal yang bisa membuat persahabatan mereka berantakan. Sedangkan Arka pun tak bisa menjanjikan jika mereka baik-baik saja semisalnya mereka merajut hubungan asmara.

Hubungan asmara? Cih. Bahkan Alma saja pun tidak memiliki perasaan yang sama sepertinya.

Arka yang sejak tadi sedang mengendarai mobilnya tanpa arah dan tujuan, kini mendengus malas.

Ya. Sudah satu jam lamanya Arka berkendara kesana kemari dengan perasaan gundah. Biasanya, sepulang dari kantor, Arka akan menemui Alma. Kalau pun tidak, dia akan bergegas pulang dan menunggu telefon atau video call dari gadis itu. Tapi karena Arka sedang berusaha menjauh, maka Arka tidak tahu apa yang harus dia lakukan saat ini.

Perutnya mendadak bersuara. Arka melirik perutnya sejenak dan tersadar jika sejak siang tadi dia belum mengisi perutya sama sekali.

Patah hati sialan!

Arka mengamati sekelilingnya, mencari sebuah kafe atau pun restoran. Rasa-rasanya perutnya tak bisa menunggu lebih lama lagi untuk diisi. Namun, manakala dia menyadari sesuatu, Arka mengernyitkan dahinya. Kemudian, diraihnya ponsel dan Arka mulai menghubungi seseorang.

"Lo di Resto, El?" tanyanya langsung begitu panggilannya terjawab. Benar. Arka memutuskan menelefon Elena begitu dia menyadari jika mobilnya berada di sekitar dimana Restoran temannya itu berada.

[Nggak. Aku lagi di rumah. Kenapa, Arka?]

"Oh. Gue pikir lo lagi di Resto. Gue kelaparan, kebetulan ada di dekat resto lo. Gue pikir lo ada di sana."

[Sori. Aku lagi di rumah, Ka. Baru aja nyampe.]

"Nggak apa-apa kok, El. Ya udah, gue—"

[Kalau kamu mau... kamu bisa datang ke sini. Nanti aku masakin sesuatu buat kamu.]

Dahi Arka mengernyit. Dia sedang mempertimbangkan ajakan Elena. Dan setelah dia pikir-pikir, dari pada dia makan sendirian di tengah rasa patah hatinya yang mengganggu ini, kenapa tidak dia terima saja ajakan Elena. Toh Arka juga sedang membutuhkan teman untuk menghibur kesedihannya.

"Oke. Gue ke rumah lo sekarang kalau gitu." Cetus Arka begitu saja.

Untungnya, jarak antara restoran dan apartemen Elena tidak begitu jauh, jadi Arka tidak harus menunggu lama untuk sampai di sana. Elena sudah menunggunya di lobi. Tersenyum manis pada Arka ketika Arka menghampirinya.

"Laper banget ya kamu?" tanya Elena. Arka mengernyit menatapnya hingga Elena tertawa pelan. "kelihatan, Ka. Muka kamu asem banget soalnya."

Mendengar itu, Arka jadi terkekeh geli seraya mengusap-usap perutnya. "Iya nih, El. Gue laper banget sampai pengen makan orang."

"Nggak perlu sampai makan orang. Aku udah masak buat kamu." ujar Elena.

"Enak nggak?" Arka menggoda.

Elena tersenyum tipis. "Sejauh ini sih, belum ada yang bilang kalau masakan aku nggak enak."

Kemudian, Elena membawa Arka masuk ke apartemennya. Dia langsung mengajak Arka ke dapur, menarik kursi untuk Arka hingga Arka tertawa pelan.

Selagi menunggu Elena yang sibuk menghidangkan makanan ke atas meja makan, Arka duduk menyandar sembari mengamati gerak-gerik Elena. Dia terlihat sangat cekatan dan bersemangat. Sepertinya dia memang sudah biasa melakukan pekerjaan seperti itu di dapur.

Dan semakin lama Arka mengamatinya, maka Arka jadi semakin ingat pada Maminya. Persis seperti yang sedang dia perhatikan saat ini.

"Karena waktunya nggak banyak, aku cuma bisa buatin kamu Cumi saus tiram dan lalapan. Eh, ada kerupuk juga sih, Ka. Kamu suka kerupuk?" Elena sudah berdiri di sebelah Arka, baru saja meletakkan piring di depan Arka dan sekarang sedang mengisi gelas Arka dengan air. Benar-benar menyiapkan segala keperluan makan Arka.

Arka menengadahkan wajahnya sedikit ke atas agar bisa menatap Elena. Ditatapnya Elena lekat hingga gadis itu menyadari tatapan Arka dan kini membalasnya dengan tatapan bingung.

"Kenapa, Ka?"

"Gue cuma heran."

"Hm?"

"Lo salah satu calon istri idaman banget, El. Kenapa masih aja jomblo sih?"

Mendengar itu, bibir Elena mengerucut cemberut dengan sangat menggemaskan hingga Arka terkekeh geli. Sejujurnya wajahnya terasa sangat menghangat saat ini karena pujian yang baru saja Arka lontarkan padanya. Belum lagi tatapan Arka yang saat ini masih terus mengarah padanya, membuat Elena salah tingkah saja.

Itu kenapa Elena sangat berpura-pura berdecak pelan seraya mendorong pelan sebelah pipi Arka agar berpaling darinya.

"Nggak usah, El, gue aja." Protes Arka ketika melihat Elena hendak mengisi piringnya dengan nasi.

"Nggak apa-apa, Ka. Kamu kan tamu di sini, jadi udah kewajiban aku melayani kamu."

Arka mengangguk-anggukkan kepalanya. "Thanks," ucapnya seraya menerima piring dari Elena.

Elena menarik kursi di samping Arka ketika Arka mulai menyantap makanannya. Duduk sambil bertopang dagu, Elena tak bisa berhenti mengamati lelaki pujaan hatinya itu saat ini.

"Woah." gumam Arka dengan tatapan tak percaya.

Seketika, Elena menatap Arka panik. "Kenapa? Kamu nggak suka, ya? Masakannya... nggak enak?"

Arka menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Wajahnya terlihat sangat bersemangat ketika melontarkan kalimat pujian untuk Elena. "Ini enak banget, El. Sumpah. Dan lo tahu, rasanya persis kaya masakan nyokap gue."

Sudut-sudut bibir Elena perlahan terangkat, membentuk senyuman manis yang indah. Hatinya berdesir hangat meski kalimat pujian yang baru saja Arka katakan padanya bukanlah pujian pertama yang pernah dia dengar mengenai masakannya.

Tapi, karena Arka yang mengatakannya, maka rasanya benar-benar berbeda.

"Ya udah, abisin kalau gitu." Ujar Elena.

Arka mengangguk dan kembali menikmati makanannya, sama sekali tak menyadari tatapan penuh cinta yang Elena sematkan padanya.

Ditengah kegiatan makannya, Arka merasakan getaran yang berasal dari ponselnya. Dia menemukan nama Alma di sana, membuatnya memelankan kunyahannya dan termangu. Padahal sejak dia bertemu dan mengobrol bersama Elena, Arka cukup berhasil mengenyahkan rasa sesak yang sejak tadi mengganggunya. Namun, begitu dia menemukan nama Alma di layar ponselnya, rasa sesak itu kembali hadir.

Arka menghela napasnya samar, menunggu panggilan itu berakhir lalu mematikan ponselnya. Arka tahu, ketika Alma tidak berhasil menghubungi melalui sebuah panggilan, maka gadis itu akan mengiriminya ratusan pesan.

Biasanya, Arka senang-senang saja membaca seluruh pesan-pesan itu. Bahkan dia sangat terhibur setiap kali membacanya. Namun saat ini Arka malah merasa sebaliknya. Jangankan membaca pesan-pesan yang Alma kirim padanya, menemukan namanya saja sudah membuatnya merasa gamang. Itu kenapa Arka memilih menghindar dan mematikan ponselnya.

"Kok nggak diangkat?" tanya Elena. Arka hanya menggelengkan kepalanya. "dari siapa memangnya?"

"Bukan siapa-siapa." Jawab Arka sekenanya. Lalu dia memasang senyuman di bibirnya. "hm, ngomong-ngomong, El, gue boleh nambah nasi nggak?" Arka memerlihatkan cengirannya yang kekanakan.

Arka benar-benar terlihat menggemaskan jika seperti ini, membuat Elena tertawa geli dan meraih piring Arka untuk menambahkan nasi lagi ke atasnya. "Cukup?"

"Cukup."

"Nih."

"Thanks." Ucap Arka. "by the way, El. Kalau lo lagi cari calon suami, gue daftar ya. Masakan lo enak banget, gue yakin kalau jadi suami lo, gue bakalan betah nemenin lo di dapur." Arka tak lupa mengerling jail pada Elena.

Arka hanya bercanda. Dia bahkan terkekeh pelan seraya menyuapkan nasi ke dalam mulutnya lagi. Hanya saja, apa yang Elena rasakan saat ini berbanding terbalik.

Elana tak mampu berkedip, matanya menatap lekat pada wajah Arka. Lalu perlahan, telapak tangan Elena meraba dadanya. Debarannya sangat kencang, membuatnya merasa sedikit sesak. Hanya saja, rasa sesak itu terasa sangat memabukkan. Membuatnya merasa senang.

***

"Kemana sih nih anak!" rutuk Alma. Wajahnya bersungut kesal. Bukan hanya karena Arka tidak mengangkat panggilannya, lalu nomernya tiba-tiba saja tak aktif, tapi karena beberapa hari terakhir ini, Arka semakin sulit dihubungi. Dan beberapa hari terakhir ini pula mereka sudah tak pernah bertemu.

Alma baru saja keluar dari kantornya. Dia bahkan masih berdiri di depan kantor dengan ponsel menempel di telinga sekalipun yang menjawab panggilannya adalah mesin penjawab telefon. Padahal Alma bermaksud mengajak Arka hangout malam ini sekaligus mencaritahu perihal tingkah aneh Arka ini. Tapi sahabatnya itu malah tidak bisa dihubungi.

"Bener-bener ya lo, Arka!" rutuknya lagi.

Sebuah motor berhenti di hadapan Alma, si pengendara motor itu melepaskan helm dari kepalanya. Begitu melihat wajahnya, Alma mendengus malas padanya. "Minggat sana lo!" umpat Alma.

Indra yang mendengar umpatan Alma hanya tersenyum tengil. "Ngomel mulu lo, Al. Kenapa lo? Gaji lo belum turun? Mau gue pinjemin duit? Bilang aja berapa, nanti gue transfer, tapi bunganya dua puluh persen ya, Al."

Menipiskan bibirnya kesal, satu kaki Alma menendang motor Indra hingga motor itu sedikit miring ke samping. "Pergi nggak lo, Ndra?! Gue lagi nggak punya waktu buat dengerin ocehan sialan lo itu, ya!"

Lelaki berdarah batak itu hanya tertawa menyebalkan pada Alma. Dia tahu jika mood Alma sedang buruk hari ini, karena sejak tadi, Indra selalu melihat Alma memberenggut dan mengomeli segala hal disekelilingnya, termasuk mesin fotocopy.

Karena Alma masih tetap tidak bisa menghubungi Arka, maka sembari berteriak putus asa, Alma melempar ponselnya ke dalam tas, menghentakkan satu kakinya dengan begitu frustasi. "Mati aja deh lo, Ka!"

"Ka? Arka? Sahabat lo itu?" sahut Indra.

Lagi. ekor mata Alma menyorot tajam dan terganggu menatap Indra. "Gue hitung sampai tiga, kalau lo belum pergi dari hadapan gue, gue bakar nih motor lo."

Indra melengos malas. "Kaya punya mancis aja lo."

Alma menipiskan bibirnya tajam, merogoh tasnya, kemudian mengeluarkan sebuah pemantik dari sana hingga Indra melebarkan matanya terkejut. Sementara Alma menatap Indra dengan tatapan malasnya.

Dengan wajah panik, Indra memelototi Alma. "Heh, jangan gila ya lo! Masih baru nih motor gue."

"Ya makanya lo pergi dari hadapan gue Indra Alpha Siregar! Gue lagi naik darah dan pengen makan orang sekarang! Jadi, kalau lo masih sayang nyawa, mendingan sekarang lo pergi sebelum gue telen lo hidup-hidup!" teriak Alma kuat.

Indra bergegas turun dari motornya, menghampiri Alma, memegangi kedua bahunya dan menatap Alma lekat. "Oke, Alma, coba lo ikutin apa yang gue bilang. Tarik napas... buang perlahan... ya, terus, begitu."

Anehnya, Alma yang sejak tadi benar-benar merasa terganggu dengan kehadiran Indra, kini malah mengikuti perintah lelaki itu begitu saja meski dengan wajah juteknya yang terlihat putus asa.

"Gimana? Sekarang lo udah tenang belum?" Tanya Indra begitu melihat perubahan di raut wajah Alma. Alma mengangguk pelan. "Nggak pengen makan orang lagi kan sekarang?"

Alma menggelengkan kepalanya dan Indra nyaris tertawa melihat wajahnya yang terlihat menggemaskan.

"Nah, karena sekarang lo udah tenang, gimana kalau sekarang lo ikut gue."

"Kemana?"

"Hangout. Malam minggu ini."

"Iya! Tapi kemana?!"

Bukannya menjawab, Indra malah mengedipkan sebelah matanya, membuat Alma mengernyit jijik menatap padanya.

"Cacingan ya lo?!" omel Alma.

Wajah Indra berubah datar. Maka dari pada mereka memulai perdebatan lagi, Indra bergegas mengambil helm dan memasangkannya ke atas kepala Alma. "Untung aja lo temen gue ya, Al." rutuknya. "buruan naik." Perintahnya pada Alma begitu dia sudah kembali naik ke atas motornya.

Alma menatap Indra dan motornya bergantian. "Motor baru ya lo?" tanyanya dengan wajah polos hingga Indra ingin sekali membenturkan kepalanya ke helm yang terpasang di kepala Alma saat ini. Jelas-jelas tadi Indra sudah memberitahu Alma. Bahkan dia sengaja berhenti di dapan Alma untuk memamerkan motor barunya. Tapi gadis ini malah baru menyadarinya sekarang?! Benar-benar menyebalkan!

Malas menjawab pertanyaan Alma, Indra memilih menarik tangan Alma mendekat padanya, menyuruh Alma segera naik sembari mengomelinya. Dan tentu saja, Indra mendapatkan sebuah pukulan di kepalanya.

Selama berkendara, Indra menanyai Alma mengenai moodnya yang mendadak buruk seharian ini. Dan Alma memberitahu Indra mengenai Arka. Indra tertawa-tawa mendengar segala umpatan Alma mengenai sahabatnya itu. Jangan pernah meragukan mulut manis Alma ketika dia sedang mengumpat.

"Kelab?" gumam Alma begitu menyadari kemana Indra membawanya.

Sembari melepaskan helm dari kepala Alma, Indra mengangguk. "Kalau lagi stres, enaknya minum sambil goyang, Al."

Alma menyipitkan matanya curiga memandang Indra. "Goyang?" ulangnya.

Indra mengangguk sekedar, namun begitu dia menyadari maksud pertanyaan Alma, dia menoyor kepala Alma tanpa sungkan. "Maksud gue bukan goyang yang itu! Nggak usah kepedean deh lo, Al. Gue nggak nafsu sama lo."

Alma mendengus, kemudian kakinya dibawah sana bergerak cepat, menendang tepat pada tulang kering Indra hingga lelaki itu memekik dan melompat-lompat dengan satu kaki di tempatnya. "Terus, lo pikir gue nafsu gitu sama lo?" Alma tersenyum malas. "bocah kaya lo memangnya bisa apa sih, Ndra? Coli juga palingan tahan lima menit." Alma tak lupa memerlihatkan senyuman mengejeknya pada Indra sebelum melengos pergi mendahului Indra.

"Lima menit katanya?" sambil meringis kesakitan, Indra menyipitkan matanya menatap punggung Alma. "belum aja lo gue goyang sampai pagi, Al. Anjing, sakit banget kaki gue." meski merutuk kesal, namun Indra bergegas menyusul Alma.

Di dalam, mereka duduk di balik meja bar. Memesan minuman, menikmatinya sembari saling mengobrol mengenai apa pun termasuk Arka.

"Lagi sibuk kali, Al." ucap Indra mencoba menenangkan. Karena sepertinya, rekan bekerjanya ini masih saja kesal karena sahabatnya itu.

Alma mendengus. "Sesibuk apa pun Arka, dia nggak pernah sampai hilang kabar begini. Heran gue, maunya apa sih nih anak. Pengen gue cariin banget?"

Indra hanya bisa menghela napas malas begitu mendengar rutukan Alma lagi. Dan karena dia tidak ingin membuat gadis ini kembali memikirkan masalahnya, maka Indra mencari sebuah ide. Diajaknya Alma bermain batu gunting kertas dimana siapa yang kalah harus meneguk segelas minuman.

Mulanya Alma bermain dengan malas-malasan. Tapi semakin lama, apa lagi semakin Indra sering kali kalah, dia jadi sangat bersemangat. Bahkan kini mereka berdua sudah saling tertawa dan bercanda.

Tak cukup sampai di sana, mereka memutuskan turun ke dance floor. Ini pertama kalinya Alma bersenang-senang di kelab malam bersama Indra, dan ternyata Indra adalah teman minum yang menyenangkan.

"Lo nggak bakal kenapa-napa?" tanya Indra di telinga Alma.

"Memangnya gue kenapa?"

"Minum-minum begini. Orangtua lo nggak bakal marah?"

Alma tersenyum geli mendengarnya. "Marah?" ulangnya. "lo tahu King? Salah satu kelab malam yang dulu paling ngetrend?"

Indra mengernyit seraya berpikir sejenak sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya. "Kenapa?"

"Itu yang punya bokap gue."

"Abizar Ilyas?! Bokap lo Abizar Ilyas, Al?!" pekiknya dengan sorot mata tak percaya.

Alma menatap Indra aneh. "Lo nggak tahu memangnya?" Indra menggelengkan kepalanya kuat. "bokap lo nggak pernah cerita?"

"Selain ngomel dan ngajakin gue berantem, gue nyaris nggak pernah ngobrol sama dia. Jadi, mustahil aja kalau tiba-tiba dia cerita tentang lo ke gue." Indra mengerjapkan matanya lambat, masih menatap Alma dengan tatapan tak percaya.

Indra tahu siapa itu Abizar Ilyas. Walaupun belum pernah bertemu, tapi memangnya siapa sih yang tidak mengenal seorang Abizar Ilyas? Dia memiliki sebuah perusahaan IT yang terkemuka. Dia adalah seorang legenda.

"Gila!" gumam Indra tak percaya,

"Ya udah sih," Alma mengibaskan tangannya dengan gerakan malas. "biasa aja."

"Gue beneran masih nggak nyangka. Padahal lo anaknya Abizar Ilyas, tapi... kenapa lo masih suka morotin gue ya, Al? Bokap lo jarang kasih lo duit?"

Mendengar itu, wajah Alma berubah datar dan sedetik setelahnya, kedua tangannya menjambak rambut Indra kuat hingga Indra memekik meski sembari tertawa.

Setelahnya, mereka kembali menikmati waktu bersama. Menari, tertawa, mengobrol mengenai apa pun dan ternyata hal itu mampu membuat Alma melupakan kekesalannya terhadap Arka.

***

Kalian kangen cerita menyayat hati, kan? Nah, siap-siap deh hahaha.

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 79.5K 53
"Pernikahan itu terjadi atas dasar kontrak bukan cinta, dan aku hanya pengganti bukan pemilik." - Gracellina Edellyn Tak terlintas barang secuil pu...
33.3K 4.4K 24
Namanya Abriagi sering di panggil Agi. Anak berusia empat belas tahun, masih tergolong anak-anak karena belum menginjak remaja. Hidup Agi itu keras s...
861K 32.6K 34
[KAWASAN BUCIN TINGKAT TINGGI 🚫] "Lo cuma milik gue." Reagan Kanziro Adler seorang ketua dari komplotan geng besar yang menjunjung tinggi kekuasaan...
91K 491 6
cerita-cerita pendek tentang kehamilan dan melahirkan. wattpad by bensollo (2024).