With U || Oneshoot

Av taekieah

909 82 15

oneshot/twoshot All story bxb Mer

Sorry
Polaroid Love [ Sungjake ]

Stewart [ Nomin & Markmin ]

223 19 4
Av taekieah

Hallo, selamat membaca
semoga suka:))

Sorry jarang up











"Dasar tidak tau malu!"

"Padahal Nana begitu baik dengannya"

"Tidak tau terima kasih"

"Pelacur sialan"

"Mati saja kau sialan"

"Dasar bitch"

"Ternyata dia sama saja dengan ibunya"

"Pelacur murahan!"

"SHUT UP!" Kalimat bentakan itu sukses membuat makian serta umpatan di sepanjang koridor berhenti.

Pemuda itu, Nana J. Stewart. Melangkahkan kakinya mendekati Dariela yang berdiri diam di tempat dengan kepala yang tertunduk.

Gadis cantik itu tengah menahan tangis dengan kedua tangan yang terkepal kuat. Menahan rasa sesak juga sakit yang merajam hatinya begitu dalam.

Ia hanya mengambil satu, satu yang begitu spesial dari Nana yang selalu dilimpahkan kebahagiaan sejak kecil, berbeda sekali dengan dirinya yang selalu mendapat makian serta umpatan dari orang-orang sekitar.

Tapi kenapa? Kenapa semua orang begitu membencinya?

Kehilangan satu kebahagiaan tidak akan membuat Nana J. Stewart menderita hingga mati!

Itu hanya satu dari sekian banyak, tapi semua orang terlalu berlebihan! Selalu saja memihak Nana Nana dan Nana! Selalu saja Nana! Dariela benci hal itu.

"Kalian tidak tau apa-apa! Jadi tutup mulut kalian sebelum aku merobeknya dengan kedua tanganku sendiri" ancam Nana dengan sepasang mata indahnya yang menajam penuh peringatan.

"Kau masih membelanya Nana?! Dia bahkan merebut Zachery darimu!" Ucap seorang gadis yang tidak terima akan Nana yang mengancam mereka.

Dia dan teman-temannya hanya menyuarakan fakta, fakta akan betapa tidak tau malunya Dariela yang tega menghianati sahabatnya sendiri yang telah banyak membantunya.

"Itu bukan salahnya, jika dia memang mencintaiku, dia tidak akan tergoda dengan orang lain"

Nana mengepalkan kedua tangannya, mencoba menahan matanya yang sedikit memerah mengingat ketika dirinya memergoki keduanya tengah bercumbu panas.

Jujur saja, si kecil ini berusaha menahan semuanya sendiri. Mencoba menguatkan hatinya setiap kali melihat salah satu dari keduanya.

Hatinya benar-benar sakit akan pengkhianatan yang dilakukan keduanya, si manis Stewart ini juga punya hati.

Semuanya terdiam, tidak berani membuka mulut sedikit pun kala melihat si manis tengah menahan diri.

Salah satu dari mereka yang sendari tadi menonton berjalan mendekat, merangkul leher si manis Stewart yang refleks langsung menoleh padanya.

Stewart muda itu menatap dalam pada sosok pemuda di sampingnya. Memberikan sorot mata tak terbaca yang dibalas senyum tipis oleh pemuda itu.

"Jangan bahas hal ini lagi, kalian menyakitinya semakin dalam"

Pemuda itu menatap satu persatu gadis di depannya yang kini tertunduk bersalah. Merasa tidak enak pada Nana yang terlihat begitu rapuh di depan mereka.

Total mengabaikan kehadiran Dariela yang entah sudah pergi kemana. Gadis cantik itu sudah tidak tahan lagi akan apa yang terjadi.

"Maaf Nana"

Nana menggeleng pelan, semua ini bukanlah salah mereka, salahnya karna terlalu hanyut dalam euphoria sesaat yang datang sebelum badai menerjang.

"Tidak masalah, bukan salah kalian" ucapnya di sertai senyum tulus.

Pemuda itu benar-benar berhati malaikat. Jeno Zachery pasti menyesal karna telah menyia-nyiakannya.

"Aku pergi dulu, ada kelas dengan Mr. Alison sebentar lagi" pamitnya kemudian.

Si manis melangkah pergi, berjalan beriringan dengan pemuda tampan yang setia merangkul lehernya sendari tadi.

Nana sendiri tidak masalah akan hal itu, sudah terlalu terbiasa akan perilaku Axello muda yang tak pernah berubah sendari dulu.

Pemuda tampan itu tidak akan menyerah kecuali dirinya sudah benar-benar kesal, sama persis seperti sepupunya itu. Jeno Zachery.

"Hey, mau jalan-jalan setelah kelas berakhir?"

"Kemana?"

"Wherever you want babe" jawab pemuda tampan itu dengan sebelah mata yang berkedip jahil, membuat si manis refleks memukul lengan pemuda itu dengan pipi yang memerah samar.

"Ish! Mark~" rengek Nana dengan pipi memerah.

Stewart muda itu mengerucutkan bibirnya kesal, merasa begitu sebal akan Mark yang menertawakan dirinya yang tengah malu.

Pemuda itu benar-benar menyebalkan!

"Mark!"

"Oke oke oke" Mark menghentikan tawanya melihat Nana yang bersedekap dada.

Pemuda Axello itu mencubit kedua pipi berisi Nana yang membuat sang empunya memekik kesal. Manatap penuh permusuhan pada Mark yang tersenyum jahil, berniat kembali mencubit pipi yang terasa begitu lembut di kedua tangannya, namun gagal karna si manis Stewart yang sudah kabur terlebih dahulu, berjalan menjauh setengah berlari dari Mark yang kembali tertawa. Gemas akan kelakuan si manis Stewart yang begitu menggemaskan.

Sepasang mata tajam itu berubah datar kala netranya bersibobrok dengan sang sepupu yang berdiri jauh di sana, menatap dalam diam semua interaksi keduanya yang tak luput dari penglihatannya sedikit pun.

Pemuda itu memilih acuh, mengabaikan begitu saja Jeno yang hanya berdiri diam di tempatnya, tidak melakukan apa pun atau pun sekedar membuka suara.

Zachery muda itu hanya diam seperti patung.

"Ck, tidak berguna" gumam Mark sebelum melangkah menyusul Nana yang sudah jauh di depan sana.

***

Mark menatap lamat Nana yang tengah tertidur di atas sofa dengan berbantalkan selimut yang dilipat sedemikian rupa.

Anak itu terlihat lucu dengan kaos biru langit yang melekat elok di tubuh mungilnya, tampak sedikit kebesaran di tubuh si manis.

Pemuda tampan itu menggigit pipi dalamnya menahan gemas akan cara tidur Nana yang terlihat lucu dengan telinga yang memerah samar.

Ia tak bisa menahan diri untuk tidak memfoto si manis Stewart yang kelewat lucu itu, tangannya benar-benar gatal untuk menyimpan momen di benda pipih miliknya sebagai kenang-kenangan.

M_ark_ax.

Liked by _jeff_ery.j, s___choi, and 840.386 others
M_ark_ax. Sleep😴

View all comment

Oh? Jarinya terpeleset menjadikan foto itu sebagai postingan kedua di akun instagram pribadinya.

Mark benar-benar tidak sengaja melakukannya, tapi pemuda itu tidak merasa bersalah sama sekali telah memposting foto tanpa persetujuan empunya.

Lagipula nanti Nana akan melihat foto itu ketika membuka sosial medianya, dan bisa Mark pastikan pemuda itu akan mengomel sebab ponselnya yang terus menerus mendapatkan notifikasi akibat ulah Mark barusan.

Ia lupa mematikan komentarnya ngomong-ngomong.

Tapi biarlah, si tampan ini ingin melihat reaksi khalayak ramai akan postingannya barusan.

Mark ingin melihat respon publik akan tindakan kecilnya ini, anggap saja seperti uji coba sebelum menjatuhkan bom waktu di sebuah tempat.

Ngomong-ngomong masalah bom waktu, Mark sudah menjatuhkannya sejak lama. Tinggal menunggu waktu saja sampai bom itu meledak dan mengguncang semua orang.

Axello muda ini tidak sabar melihat apa yang terjadi nantinya.

"Eung, Mark~"

Nana mengerjapkan matanya yang merasa sedikit silau akan lampu kamar yang menyala terang.

Sepasang mata indah itu terpejam kembali dengan bibir yang mengerucut lucu, sedang tubuhnya bersandar nyaman pada sandaran sofa dengan rambut yang sedikit acak-acak kan khas orang bangun tidur.

Si manis mengulurkan kedua tangannya, meminta gendongan dengan wajah bantalnya yang begitu lucu.

"Gendong~" rengeknya manja.

Sepertinya Stewart muda itu tengah ingin di manja, di perlakukan bak seorang ratu dalam istana mewah oleh pangeran tampan yang setia melayani.

Mark tidak keberatan akan hal itu. Pemuda tampan itu mengangkat Nana dalam gendongannya dengan sang empunya yang menyembunyikan wajah manisnya di ceruk lehernya.

Menyamankan diri dengan kedua tungkai yang membelit pinggang Mark erat, takut kalau-kalau dirinya jatuh menghantam dinginnya lantai.

Si manis tersenyum kecil, semakin menyamankan posisinya dalam pelukan Mark kala keduanya telah berbaring di atas ranjang.

Saling memeluk dengan Nana yang mengusalkan wajahnya di dada bidang sang Axello, membuat pemuda tampan itu menerbitkan senyum miringnya dengan tangan kanan yang setia mengusap lembut punggung sempit si manis.

"Tidurlah babe, kamu butuh istirahat yang cukup"

***

Hari ini adalah hari tersial bagi pemuda berdarah Korea itu. Sejak pagi hingga malam dirinya tak berhenti mengumpat dalam bahasa negaranya agar orang lain tidak mengerti.

Ia benar-benar kesal saat ini, harusnya ia pulang ke negara kelahirannya untuk menghadiri upacara pernikahan sang kakak tercinta.

Namun batal karna dosen yang tiba-tiba meminta bantuannya hingga hari menjelang sore, yang mengharusnya dirinya membatalkan penerbangan ke Korea selatan dan membiarkan uangnya terbuang percuma.

Rasanya ia benar-benar ingin mengamuk dan menjambak rambut sang dosen yang tersenyum tidak bersalah tadi, padahal dirinya sudah mengambil cuti selama seminggu untuk menghadiri acara bersejarah kakaknya itu.

"Menyebalkan, sialan, Argh Minhyuk hyung maafkan Soobin huhu" teriaknya dalam bahasa Korea.

Tidak peduli akan tatapan beberapa orang yang menatap aneh dirinya. Choi Soobin sudah terlanjur bad mood hari ini.

"Apa?!" sinisnya kemudian. Menatap galak pada orang-orang yang menatap dirinya dengan tatapan aneh.

Pemuda manis itu bahkan sudah berkacak pinggang dengan sepasang mata bulatnya yang melotot, mencoba menakut-nakuti orang-orang yang justru merasa gemas.

"Ish menyebalkan" gerutunya disertai bibir yang mencebik kesal dengan puncak hidung memerah.

Pemuda Choi itu sudah benar-benar kesal hingga ingin menangis.

Belum lagi dirinya harus pindah ke mansion keluarganya atas perintah dari sang ayah yang takut anak bungsunya kenapa-napa, yang artinya ia harus meninggalkan Penthouse yang telah di tinggali selama 4 tahun lamanya.

Bukannya Soobin tidak mau, hanya saja dirinya mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk memiliki Penthouse itu.

Akan sayang jika tempat tinggal semewah dan semahal itu di biarkan kosong begitu saja.

Soobin memang akan sesekali tinggal di sana, tapi tetap saja!

Rasanya seperti uangnya terbuang sia-sia nantinya, dan juga ada begitu banyak koleksi buku-buku bacaan yang ada disana, butuh waktu setidaknya dua hari untuk sedikit mengosongkan tempat itu nanti.

"Uh, sialan"

Sepasang tungkai jenjangnya berjalan sedikit lebih cepat kala menyadari sesuatu.

Ada seseorang di belakang sana, mengikuti setiap langkahnya hingga di tempat yang sepi saat ini.

Tidak ada seorang pun disini, tempat ini benar-benar sepi dengan suara kucing serta anjing yang menjadi backsound.

Pemuda manis itu berjalan berbelok memasuki sebuah lorong gelap untuk bersembunyi.

Sepasang coklat madu itu menajam dengan indra pendengarannya yang ikut menajam, mendengarkan langkah kaki seseorang yang semakin mendekat ke arahnya.

"Kemana?" gumamnya pelan.

Telinganya tak dapat menangkap suara pergerakan sedikit pun di luar sana, hanya ada suara kucing dan anjing yang mendominasi malam tanpa hal lain.

Putra bungsu keluarga Choi itu berjalan perlahan, mengintip keadaan luar lorong yang sepi senyap.

Ia menghela nafas, menurunkan sedikit kewaspadaannya terhadap sekitar yang terasa aman.

Si manis melangkah keluar, melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti dengan langkah tenang setenang air.

Ia akan kembali ke mansion saja, tidur disana untuk malam ini sebelum kembali ke Penthouse untuk mengambil keperluan kuliahnya.

FIRE~~

Suara lagu dari boyband kesukaannya terdengar memenuhi suasana malam yang sepi.

Soobin refleks mengumpat kala dirinya terkejut, merutuki dirinya yang lupa mengganti nada dering ponsel yang sebelumnya di ganti oleh Nana yang kesal sebab dirinya sering mengabaikan telepon masuk karna terlalu hanyut dalam dunianya sendiri.

Pemuda manis itu mengerutkan alisnya bingung, menatap penuh pada ponselnya yang menampilkan nama sang sahabat yang sebelumnya berkeliaran di pikirannya.

Tangannya bergerak, mengangkat telepon Nana dengan wajah masam yang mendominasi.

"Hallo-"

BUGH

BRAK

Sebuah hantaman kuat mengenai kepala belakangnya yang membuat pemuda manis itu menjatuhkan ponsel beserta tubuhnya di atas trotoar yang kotor.

Soobin memegangi kepala belakangnya yang terasa sakit, sepasang mata indah itu mengerjap sakit dengan pandangan memburam melihat sekitarnya.

Ia tak tau apa yang menghantamnya barusan, namun itu cukup membuatnya pening juga sakit yang membuat seluruh tubuhnya melemas.

Putra bungsu keluarga Choi itu masih mencoba mempertahankan kesadarannya yang menipis, mencari-cari titik fokus untuk menetralkan sedikit penglihatannya walaupun percuma.

"Waktunya bersenang-senang kelinci manis" ucap sebuah suara sebelum dirinya benar-benar kehilangan kesadaran sepenuhnya.


























Hal pertama yang dirinya lihat adalah kegelapan.

Entah sudah berapa lama dirinya terkurung disini, terikat pada kursi berbahan besi yang tertanam pada lantai yang kotor, dengan penerangan dari sebuah lampu yang berada tepat di atas kepalanya.

Pemuda itu meringis pelan, merasa perutnya yang terasa sakit sebab melewatkan jadwal makanannya lagi.

Ia tak dapat mengingat dengan jelas, hanya ada kilasan ingatan samar sebelum dirinya berakhir disini.

Dalam ingatannya, ia melihat seorang pemuda berpakaian serba hitam yang berjongkok di depannya dengan tongkat bisbol di pundak.

Dirinya tak dapat melihat rupa sosok itu, kepala terlalu sakit untuk melihat dengan jelas sebelum dirinya menyerah dan berakhir pingsan.

Tapi, sebelum dirinya benar-benar kehilangan kesadaran, ia sempat mendengar ucapan sosok itu. "Waktunya bersenang-senang kelinci manis" ucapnya sebelum kegelapan mengambil alih dirinya sepenuhnya.

Pemuda itu, Choi Soobin, tidak mengerti mengapa dirinya diperlakukan seperti ini oleh seseorang yang tidak dikenalnya.

Ia tak pernah mencari masalah, pun merasa memiliki masalah dengan seseorang.

Si manis ini bahkan jarang berinteraksi dengan orang lain, kecuali sahabatnya sebab terlalu sering menghabiskan waktu dengan tumpukan buku di perpustakaan.

Ia benar-benar pusing sekarang. Kepala belakang masih terasa berdenyut sakit hingga menimbulkan kerutan yang begitu kentara di dahi pemuda itu.

Ingin mengumpat namun kepalanya terlalu pusing itu melakukan hal itu.

"Sayang, kamu sudah bangun?" Ucap sebuah suara bariton yang memenuhi ruangan.

Pemuda manis itu mendongak, melihat siapa halnya orang yang telah menahannya disini.

Sepasang coklat manis itu menyipit kala mendapati sosok asing yang berdiri dengan kedua tangan yang dimasukkan kedalam saku celana.

"Siapa kau? Dan apa masalahmu denganku?" tanya si manis beruntun, berusaha menahan rasa sakit di kepalanya yang semakin menjadi kala dirinya mengeluarkan suara.

Yang ia butuhkan adalah jawaban, bukan pertanyaan retorik yang membuang tenaga.

Pemuda manis ini tengah dalam mode seriusnya.

Sosok itu tersenyum tipis, kedua tungkai jenjangnya melangkah mendekati si manis yang memasang mode siaga padanya.

"Jangan terburu-buru sayang, kamu bisa menanyakannya satu persatu padaku, aku punya banyak waktu luang untukmu" ucapnya diiringi kekehan ringan yang menggema di ruang yang sepi.

Langkah kakinya terhenti di depan si manis yang mendongak ke arahnya, menatap begitu tajam dengan sepasang coklat manis yang terlihat indah di bawah cahaya.

"Apa maumu? Aku tak pernah membuat masalah denganmu"

"Memang tidak, aku hanya ingin bertanggung jawab sayang"

Pemuda manis itu menaikkan sebelah alisnya bingung, tidak mengerti akan ucapan pemuda di depannya yang menambah pusing di kepalanya, bahkan rasa sakitnya tidak menghilang sedikit pun.

"Apa maksudmu?" jawab Soobin kemudian.

Kedua tangannya yang terikat terkepal kuat menahan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi.

Kedua mata indah itu sempat kehilangan fokusnya untuk beberapa saat, yang di tangkap dengan baik oleh sosok pemuda yang menawannya saat ini.

"Berpura-pura bodoh heh?"

Pemuda itu menarik rambut Soobin hingga sang empunya mendongak, menikmati raut wajah kesakitan pemuda manis itu yang tampak menyenangkan untuknya.

"Argh"

Soobin meringis sakit, merasakan bagaimana kepalanya yang semakin berdenyut menyakitkan hingga membuat keringat sebesar biji jagung jatuh menuruni pelipisnya.

Sosok itu menundukkan tubuhnya, menyejajarkan wajahnya dengan Soobin yang mengernyit sakit.

"Apa aku perlu berkunjung agar kamu ingat Choi?"

"Apa maksudmu!"

Jambakan di rambutnya menguat, membuat pemuda manis itu semakin mendongak memperlihatkan leher putihnya yang mulus tanpa noda.

Hal itu dimanfaatkan dengan baik oleh sosok itu. Ia mendekatkan wajahnya ke leher Soobin yang terekspos, mengendus pelan membaui si manis yang bergetar pelan.

"Sepertinya aku memang harus berkunjung" ucapnya dengan suara serak yang dalam.

Ia mendekatkan wajahnya ke telinga Soobin, sengaja menghembuskan nafas hangatnya yang menimbulkan gelenyar aneh di tubuh si manis.

Pemuda itu tersenyum miring, menggigit pelan telinga Soobin yang semakin memerah hingga ke tengkuk.

Ia jadi semakin tidak sabar mencicipi pemuda manisnya ini lagi, menikmati jepitan hangat yang melingkupi dirinya seperti waktu itu.

Sepasang mata tajam itu berkabut nafsu, menyeret turun tangan kirinya yang bebas hingga berhenti di sebuah gundukan yang terhalang kain celana.

Tangannya bergerak, meremas lembut hingga menimbulkan erangan sang empunya yang terkejut akan serangan mendadak yang menjera dirinya.

Sosok itu membasahi bibirnya yang kering, berbisik dengan suara serak yang membuat si manis bergetar di tempat.

"Aku merindukanmu sayang"

***

Mark memperhatikan Nana yang tengah mengunyah makanan dengan kedua pipi berisinya yang bergerak naik turun.

Terlihat lucu dengan sepasang mata bulat itu yang begitu fokus akan objek di depannya, mengabaikan intensitas Mark yang tengah menggigit pipi dalamnya menahan gemas akan kelakuan si manis.

Axello muda itu mencubit pucuk hidung si manis yang melemparkan tatapan sengit padanya, merasa terganggu akan kelakuan sang Axello yang menampilkan raut wajah tak bersalah.

"Jangan menggangguku Mark!"

Mark mengangguk-angguk saja, tangannya sesekali menusuk-nusuk pipi kanan Nana yang di hadiahi geplakan pada kepala belakangnya.

"Kasar"

"Biarin" balas Nana yang kembali melanjutkan acara makanannya.

Pemuda manis itu meraih segelas air yang ada di dekatnya, menegaknya hingga tandas yang kemudian membawa piring, sendok, garpu juga gelas kotor ke wastafel di dapur untuk di cuci.

"Biar maid saja babe"

"No, aku bisa sendiri" jawab Nana kemudian.

Ia mulai mencuci peralatan makannya dengan telaten, memastikan semuanya sudah bersih yang kemudian mengeringkannya dengan lap yang ada disana, lalu di simpan kembali pada tempatnya semula.

Si manis mengeringkan tangannya dengan tisu yang setelahnya ia buang pada kotak sampah yang tersedia.

Sepasang mata indahnya melirik sekilas Mark yang tengah fokus pada laptop di depannya, tampak begitu serius dengan beberapa berkas yang ada di samping sang Axello juga kaca mata yang bertengger manis di hidung mancungnya.

Si tampan itu tengah berada di ruang tengah, duduk di sofa panjang berwarna abu-abu yang di pastikan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk kembali menginjakkan kaki di kamar.

Ini adalah kesempatan bagi Nana untuk bermain-main dengan kesayangannya itu, juga melacak keberadaan sang sahabat yang sudah menghilang lebih dari sebulan setelah panggilan teleponnya terakhir kali.

Ia akan mencari Soobin hari ini, memastikan sahabat jelmaan kelincinya itu baik-baik saja di tempatnya sekarang.

Si manis melangkahkan kakinya memasuki kamar yang sunyi, berjalan begitu tenang menuju meja kerjanya yang terdapat laptop yang tengah menyala, menampilkan sebuah lokasi di dalam hutan di barat kota.

Itu lokasi yang sama sejak sebulan yang lalu, tak pernah berubah atau pun hilang selama sang empunya masih hidup.

Nana akan kesana nanti, mengambil kembali apa yang menjadi miliknya dan melihat bagaimana usaha orang itu untuk mendapatkan kembali mangsanya yang direbut paksa darinya.

Ini akan menjadi permainan yang menarik, Nana jadi tidak sabar akan akhir dari semua ini.

Stewart muda itu memejamkan matanya dengan punggung yang bersandar nyaman pada sandaran kursi, terlihat begitu menikmati suasana tenang yang tercipta di sekitarnya.

Ia tengah memikirkan sesuatu yang menyenangkan, hingga sepasang mata indah itu terbuka dengan seutas senyum miring yang tercetak begitu jelas di wajah manisnya.

"Tunggu dan terima hukumanmu nanti bajingan" desisnya pelan


























Hari-hari berlalu begitu saja, tanpa kenangan ataupun sesuatu yang menyenangkan seperti biasanya.

Soobin benar-benar sudah pasrah akan semua yang terjadi, seluruh tubuhnya masih sakit akibat berusaha kabur kemarin.

Pemuda gila itu benar-benar tidak punya hati dalam menghukumnya seperti pertama kali dirinya berusaha kabur.

Tanda kemerahan itu hampir ada di setiap lekuk tubuhnya dengan luka sayatan juga memar yang mendominasi, si manis Choi sudah tidak mengharapkan apa pun lagi.

Ia akan menjalani semuanya dengan pasrah, tak berusaha kabur lagi yang selalu membuatnya berakhir dalam kesakitan seperti kemarin.

Kedua pahanya benar-benar sakit, tak bisa bergerak sedikit pun untuk sekedar berpindah tempat atau apa pun. Luka tusukan itu cukup dalam hingga membuatnya meringis setiap kali menggerakkan kedua kakinya.

"Berusahalah kabur lagi Soobin, dan aku akan membuatmu lumpuh setelahnya" ucap seorang pemuda yang datang dengan kotak P3K di tangannya.

Pemuda itu berjalan mendekati Soobin yang membuang wajah dengan kedua tangan yang mencengkram erat selimut yang membungkus tubuh polosnya, agaknya si manis Choi ini gelisah juga takut akan kehadiran pemuda itu di kamar.

Pemuda itu mendengus kasar, mendudukkan dirinya di samping Soobin yang tak mau menatap dirinya. Terus-menerus membuang wajah meski ia ada di samping si manis.

"Look at me Choi Soobin" ucapnya kemudian, memberikan perintah pada si manis yang tak kunjung menurut.

Kelinci manisnya ini benar-benar menguji kesabarannya saat ini.

"Soobin, lihat aku atau aku akan berbuat kasar padamu"

Lagi, tak ada tanggapan.

Si manis Choi itu masih ada pada tempatnya, tak bergerak sedikit pun meski aura gelap mulai mengelilingi dirinya yang berasal dari pemuda di sampingnya itu.

Pemuda itu menggeram marah, tangannya lantas mencengkram paha kanan Soobin yang membuat si empunya mengerang sakit di tempat.

"Aku sudah memperingatkanmu Soobin, tapi kamu memang sangat suka sekali membuatku berbuat kasar padamu" ucapnya sembari menguatkan cengkraman pada paha Soobin yang berusaha melepaskan tangannya.

Si bungsu Choi masih berusaha melepaskan tangannya sekuat tenaga, memberontak dengan air mata yang mengalir turun juga isakan dan permohonan yang mengudara bebas.

"Lepas!... hiks lepas Yeonjun!... sakit hiks sakit! SAKIT!"

Pemuda itu-Yeonjun-berdecak malas, melepaskan cengkeraman tangannya pada Soobin yang meringkuk, menjauhi dirinya dengan tubuh yang bergetar juga isakan serta ringisan yang menyertai.

Sepasang mata tajamnya menatap tangannya yang terasa lengket dengan cairan berwarna merah yang menghiasi, juga selimut yang bernoda merah yang sebelumnya melingkupi paha si manis.

Ia menghela nafas, mencoba mengatur emosinya yang terpancing agar tak menyakiti kelinci manisnya itu lagi.

Pemuda tampan itu menaiki ranjang, bergerak mendekati Soobin yang masih terisak di tempatnya.

"Hei" panggilnya dengan nada lembut.

Sedang tangan kanannya mencoba menyentuh Soobin yang semakin meringkuk takut dengan tubuh yang bergetar hebat, dapat Yeonjun dengar bagaimana takutnya kelinci manisnya itu padanya saat ini.

"Maaf hiks maaf... yeonjun hiks... sakit hiks"

Yeonjun terdiam di tempat, tangan kanannya yang hendak menyentuh Soobin mengambang di udara, tak bergerak sedikit pun kala lirihan lemah itu terdengar memasuki telinganya.

Ada sesuatu di dalam sana, sesuatu yang terasa di remas kuat hingga membuatnya merasa sakit yang begitu hebat.

Ia tak suka mendengar kelinci manisnya menangis, lirihan lemah itu terlalu menyayat hatinya yang sendari dulu membantu.

Tak ada pergerakan untuk beberapa waktu, hingga suara isakan itu melemah dengan sang empunya yang mulai kehilangan kesadaran, telak membuat Yeonjun bergerak cepat memberikan pertolongan pertama pada luka yang terus menerus mengeluarkan darah segar, yang membasahi seprai yang sebelumnya putih tanpa corak.

Soobin bisa melihatnya walau samar, bagaimana raut khawatir yang kini menyelimuti wajah tampan yang selalu datar itu, membuatnya menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman tipis di wajah pucatnya.

Ia masih terus berusaha mempertahankan kesadarannya yang menipis, menikmati bagaimana rasa sakit yang berasal dari pahanya menusuk begitu dalam.

Hingga sebuah kata membuatnya tersenyum bersamaan dengan kegelapan yang menarik dirinya telak.

"Bertahanlah"

***

Hari ini langit terlihat begitu gelap akan awan hitam yang menutupi seluruh penjuru kota, membawa hawa dingin juga perasaan waswas akan datangnya badai yang tidak di inginkan.

Aktivitas di luar ruangan sedikit berkurang karnanya. Orang-orang lebih memilih berada di dalam rumah masing-masing bersama orang-orang terkasih atau pun sendiri, mengantisipasi datangnya badai kala mereka beraktivitas di luar.

Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore kala sebuah Lamborghini Huracan milik seorang pemuda berhenti di depan bangunan yang kosong, terparkir begitu apik di samping Lamborghini Aventador yang telah menunggu sejak tadi.

Seorang pemuda tampan turun dari mobil seharga selangit itu, raut wajahnya tampak datar tanpa ekspresinya yang berarti, terlihat begitu dingin dengan aura dominasi yang menguar kuat.

Pemuda itu melangkah masuk, menyusuri bangunan yang tampak begitu gelap juga kotor dengan debu yang bertebaran di setiap tempat.

Sepasang kaki jenjang itu melangkah menaiki tangga dengan tenang, tak begitu peduli akan penerangan ruangan yang hanya berasal dari jendela juga pintu yang terbuka.

Ia berjalan menuju sebuah pintu yang tertutup rapat, membukanya dengan tangan kanan hingga menampilkan sebuah ruang terbuka tanpa pembatas di pinggir.

Sepasang mata tajam itu melirik seorang pemuda lain yang berada di tempat itu, berdiri membelakanginya dengan kedua tangan yang di masukkan ke dalam kantung jaket yang dikenakannya.

Ada keheningan yang berlangsung, hingga pemuda di depannya membuka suara setelah keterdiamannya beberapa saat.

"Kau melewati batasanmu dude"

Suara bariton itu terdengar mengudara, menyuarakan ketidaksukaannya pada sosok pemuda di belakangnya yang tak menampilkan raut wajah apa pun.

Tetap datar dengan rahang tegasnya yang mengatup rapat, tak menyangka jika hari ini akan tiba begitu cepat dari perkiraannya.

"Aku tidak" sangkalnya kemudian.

Tidak merasa melanggar apa pun yang di katakan pemuda di depannya itu.

Ia hanya melakukan apa yang harus ia lakukan, memperlakukan apa yang berarti untuknya seperti seharusnya.

"Kau iya"

Pemuda berambut pirang itu berbecak malas, membantah telak pemuda berambut hitam di belakangnya yang tak mengeluarkan suara apa pun.

Kembali diam seperti sebelumnya, sebelum perdebatan ini terjadi.

"Aku menitipkannya padamu untuk kau jaga, bukan untuk kau nikmati atau pun sakiti"

Pemuda itu berbalik, menatap penuh pada lawan bicaranya yang berdiri diam tanpa rasa takut sedikit pun, terlihat tidak peduli akan bercak darah yang begitu kontras di wajah tampannya.

Lagi, hening menyelimuti keduanya.

Tak ada yang membuka mulut untuk beberapa waktu, keduanya masih tetap diam dengan tatapan tajam yang di lemparkan untuk masing-masing.

Saling mengintimidasi lewat tatapan masing-masing.

"Dia kekasihku"

"Mantan"

Pemuda itu tak dapat menjawab lagi, dirinya hanya bisa diam dengan tangan terkepal juga rahang yang mengatup rapat.

Bibirnya keluh untuk menjawab ucapan pemuda di depannya yang terasa begitu menusuk, membuatnya kehabisan kata-kata untuk di ucapkan sebagai bentuk perlawanan.

Sedang pemuda pirang itu tersenyum miring melihat keterdiaman lawan bicaranya, tau dengan pasti jika ucapannya barusan memukul telak sasarannya hingga tidak berkutik.

Perlahan namun pasti, pemuda itu melangkah mendekat, bergerak layaknya predator yang mendekati mangsa incaranya.

"Seharusnya kau sadar, sejak awal semua ini terjadi, kau sudah kalah telak dariku" ucapnya kemudian memberhentikan langkahnya tepat di depan pemuda itu.

Jelaga hitamnya saling bertukar tatap dengan hazel pemuda itu, saling menatap datar dengan semilir angin yang berhembus menerbangkan rambut keduanya.

Pemuda pirang itu menarik sudut bibirnya ke atas, menciptakan seutas senyum miring dengan kepala yang sedikit mendekat untuk mengatakan apa yang sendari tadi tertahan di pangkal lidahnya.

"Dia milikku, sampai kapan pun itu tidak akan berubah, dan sekeras apa pun kau mencoba, kau akan tetap kalah dariku dude"

Ia menjauhkan kembali kepalanya, menepuk dua kali bahu pemuda di depannya sebelum melangkah pergi, meninggalkan lawan bicaranya yang semakin mengepalkan kedua tangannya hingga melukai telapak tangan sendiri.

'Sialan'

BRAK

Pemuda berambut hitam itu menendang kasar sebuah box kayu yang ada di dekatnya, melampiaskan amarah yang menggebu-gebu di dadanya pada barang tak berdosa.

BUGH

BUGH

BUGH

Ia memukuli pilar bangunan melampiaskan amarahnya, membiarkan begitu saja luka yang mulai menghiasi tangan kanannya hingga meninggalkan bercak darah disana.

"Brengsek, akan ku buat kau menerima balasan atas penghinaanmu ini Wycliff" desisnya penuh amarah.

Sedang di bawah sana, pemuda pirang itu terkekeh pelan, menertawakan pemuda di atas sana yang tengah melampiaskan amarah pada barang-barang tak berdosa.

Ah, ia puas sekali hari ini.

Melihat bagaimana luapan amarah yang terkumpul di sepasang hazel itu, membuat dirinya sedikit tergelitik untuk memancingnya hingga meluap.

Bocah tengik itu benar-benar hiburan tersendiri untuknya. Ia jadi tidak sabar melihat apa yang akan di lakukan bocah itu untuk membalasnya nanti.

Tapi apa pun itu, ia yakin hal itu akan semenyenangkan sekarang.

"Aku tidak sabar menunggu pembalasanmu sepupu" ucapnya sembari melangkah masuk ke dalam mobil dan menjalankan mobilnya pergi meninggalkan tempat itu.




























"Wycliff dan William, siapa yang akan keluar sebagai pemenang?"

Seorang pemuda mengetuk-ngetuk lantai yang dirinya pijaki, terlihat berpikir serius dengan dahi yang mengerut samar.

Ia sudah ada disini sejak lama, menyaksikan bagaimana panasnya perseteruan kedua sepupu itu dari tempatnya berada.

Seutas senyum miring terpatri di bibir tebalnya, merasa begitu terhibur akan tontonan menarik yang baru saja dirinya saksikan.

Tidak sia-sia ia menyempatkan datang kemari jika akan mendapat hiburan yang menyenangkan seperti ini, ternyata peperangan yang sebenarnya akan terjadi sebentar lagi.

Dirinya jadi tidak sabar menyaksikan hal itu nanti.

"Siapa pun yang menang semuanya akan tetap berakhir sama"

Pemuda itu meregangkan tubuhnya yang terasa kaku, meluruskan sejenak kedua kaki jenjangnya yang sendari tadi tertekuk sebab berjongkok untuk waktu yang lumayan lama.

Ia berdiam diri sejenak, sebelum bangkit berdiri dan menepuk-nepuk pakaiannya yang kotor oleh debu.

Sepasang mata tajam itu menatap sejenak pemuda yang baru saja keluar dari gedung, memberikan tatapan datar tanpa minat sebelum berbalik pergi meninggalkan keheningan yang kembali tercipta.

"Karna sejatinya kemenangan yang sesungguhnya adalah milik Jazziel" gumamnya kemudian.

***

Soobin menghela nafas untuk ke sekian kalinya, merasa begitu bosan sebab tak dapat keluar dari mansion dengan alasan apa pun.

Pemuda manis itu butuh menghirup udara bebas juga berjemur dan berjalan-jalan sore untuk kesehatan tubuhnya.

Rasa-rasanya ia sudah seperti Vampire sejak 4 bulan yang lalu, tak dapat keluar dari mansion sekuat apa pun dirinya berusaha.

Bahkan hanya untuk membuat jus di dapur pun dirinya tidak di perbolehkan.

Hari-harinya hanya di isi dengan istirahat, makan, atau mengurus Yeonjun sebagai rutinitas harian. Selebihnya? Tidak ada.

Entah apa yang dipikirkan pemuda gila itu, yang Soobin tau dirinya sangat ingin memukul pemuda bermarga Kim itu dengan tangannya sendiri.

"Memikirkan apa?"

Pertanyaan dengan intonasi datar itu datang mengagetkan Soobin yang tengah melamun.

Pemuda Choi refleks menoleh hingga membuatnya menjatuhkan buah strawberry yang tengah ia makan di atas pangkuannya.

"A-anu... tidak ada" jawabnya kikuk.

Tangan kanannya mengambil kembali strawberry yang jatuh di atas pangkuannya, menaruhnya di atas piring yang telah tandas isinya.

Yeonjun tak memberi reaksi apa pun, pemuda tampan itu melangkah mendekati Soobin yang gugup di tempatnya. Terlihat dari bagaimana kedua bola mata itu bergerak gelisah tak mau menatap dirinya yang berdiri menjulang di samping pemuda manis itu.

"Berhenti memikirkan hal yang tidak penting Soobin"

Yeonjun mendudukkan dirinya di samping Soobin yang mengangguk patuh, mengiyakan ucapan pemuda tampan itu dari pada menimbulkan masalah tidak berguna.

Kelinci manis kesayangan Yeonjun itu tengah malas mencari masalah.

Sepasang mata tajam itu menatap lurus ke objek yang selama beberapa bulan ini menarik perhatiannya, tangan kanannya menyentuh perlahan tonjolan yang mulai menampakan dirinya dengan malu-malu itu, terkesan hati-hati seolah menyentuh permata yang rapuh.

Soobin sempat terkejut kala mendapat sentuhan tanpa peringatan itu, kedua mata bulatnya mengerjap beberapa kali, mencoba menetralisir rasa terkejutnya dengan perlahan.

"Apa... dia baik-baik saja?" Tanya Yeonjun dengan mata yang menatap fokus mainan barunya itu.

Si manis memiringkan kepalanya bingung, dahinya mengernyit samar pertanda sang empunya tengah dilanda kebingungan atas pertanyaan yang Yeonjun lontarkan.

"Apa?" Tanyanya balik.

Raut wajah kebingungan pemuda itu terlihat lucu saat ini, di tambah dengan kedua pipi berisi itu yang terlihat memerah yang menambah kesan manis pada putra bungsu keluarga Choi ini.

Entah kenapa Soobin merasa dirinya sedikit Loading akhir-akhir ini, bukan bodoh hanya saja ia jadi sedikit lama memproses sesuatu, contohnya saja sekarang.

Pemuda Choi ini meringis kala menyadari arah pembicaraan mereka saat ini, pemuda Kim itu menatap datar dirinya dengan tangan yang tak berhenti mengusap sesuatu yang menjadi kebiasaannya akhir-akhir ini.

"Oh itu... em anu dia baik-baik saja" balas Soobin dengan tangan kanannya yang menggaruk pipi.

Hal itu tak luput dari penglihatan Yeonjun, pemuda Kim itu tak ambil pusing akan tingkah Soobin yang terlihat kikuk itu.

Ia tengah sibuk dengan mainan barunya yang terlihat menggemaskan itu, tidak lembut juga tidak terlalu keras.

Itu membuat Yeonjun berpikir jika saja mainan barunya itu bisa di lepas, Yeonjun akan dengan senang hati membawanya kemana-mana. Tapi sayang, jika dia melakukan hal itu, ia bisa saja kehilangan mainannya juga kelinci kesayangannya ini.

Dan Yeonjun tak ingin hal itu terjadi.

"Tidur dan bangun, makan siang"

Yeonjun mengusap sekilas kepala Soobin sebelum beranjak pergi meninggalkan kamar si manis yang kembali sunyi.

Sedang di dalam sana, pemuda Choi itu mengerjap beberapa kali, masih memproses ucapan Yeonjun yang kembali membuat dirinya dilanda kebingungan, hingga membuat kerutan yang begitu kentara di dahi si manis yang tengah berpikir serius. Masih mencoba memahami arti ucapan pemuda itu padanya.

"Ah sudahlah" pasrahnya kemudian.

Ia menyerah untuk memahami ucapan pemuda gila itu tadi, otaknya tengah tidak berpihak padanya saat ini. Entah kemana kepintarannya selama ini, semuanya seperti di telan oleh bumi saja.

Lebih baik ia tidur saja saat ini, dari pada membuat kepalanya pusing akan hal yang membingungkan pikirannya.

























Jika boleh jujur, ada begitu banyak alasan yang membuat Jeno Zachery melepaskan Nana J. Stewart dari genggamannya.

Pemuda itu tak punya pilihan lain selain menyakiti untuk melepaskan, meninggalkan luka yang mungkin membekas dalam pada sang mantan kekasih yang sekarang tak sudi bahkan untuk menatapnya.

Ia tak akan marah, tak pula mencoba memperbaiki apa yang telah rusak sebab sebuah alasan yang membuatnya tak dapat berkutik.

Zachery muda ini hanya dapat melihat sang mantan kekasih yang kini tengah tertawa lepas bersama sang sepupu di taman kampus, saling melempar candaan dengan raut wajah bahagia yang menghiasi wajah rupawan itu.

Berat memang, namun lebih baik dirinya menyakiti sekarang dari pada si manis itu tau alasan di balik semua sikapnya.

"Jeno~" Suara rengekan manja itu mengalihkan perhatikan Jeno kepada seorang gadis di sampingnya.

Ah, gadis ini. Si cantik yang sekarang menjabat sebagai kekasihnya saat ini.

Ia tak memberi respon apa pun, tak pula menyingkirkan lengan Dariela yang dengan lancang memeluk lengannya.

Pemuda itu bersikap netral, lebih ketidakpeduli akan segala tingkah gadis itu selama dia tidak merugikan dirinya atau pun orang-orang terdekatnya.

Zachery muda ini masih membutuhkan Dariela sebagai kekasihnya.

"Ayo main malam ini, aku merindukanmu daddy"

Juga penghangat ranjangnya.

"Apartemen" jawabnya singkat sebelum melangkah pergi meninggalkan Dariela yang tersenyum lebar di belakang sana.

Ia melirik sekilas Nana yang juga menatap ke arahnya saat ini, lengkap dengan Mark yang melemparkan tatapan datar tanpa minat seperti biasa.

Axello muda itu tak pernah tertarik padanya barang sedikit pun, padahal sepupunya begitu mengilai dirinya hingga lebih memilihnya dari pada mantan kekasihnya yang begitu di agung-agungkan itu.

"Kamu kalah Nana" ucapnya tanpa suara, terlihat begitu mengejek dengan seringaian yang terlampir di wajah cantiknya.

Gadis itu melangkah pergi, merasa begitu puas akan kemenangan yang terasa begitu menyenangkan baginya.

Ternyata begini rasanya mengalahkan putra tunggal keluarga Stewart itu.

Dariela merasa kepuasan yang begitu hebat tengah melandanya setelah berhasil merebut Zachery dari pelukan mantan sahabatnya itu, apalagi melihat raut wajahnya yang begitu sendu kala melihat mereka bersama, Dariela rasa ia benar-benar bahagia.

Jika tau rasanya begini, sudah sejak lama ia merebut Jeno dari Nana dulu.

"Bahagia atas rebutanmu itu heh?" Sebuah suara menginterupsi Dariela yang tengah tersenyum puas.

Gadis cantik itu menghentikan langkahnya untuk melihat siapa halnya orang yang mengatakan hal tidak menyenangkan itu padanya.

Ia memutar bola matanya malas kala mendapati seorang pemuda tampan dengan tas ransel yang tersampir di bahu kanannya, tengah berdiri memandang dirinya dari balik kaca mata itu.

Terlihat begitu tampan dengan pakaian kasual juga sebuah kalung berliontin salip yang menambah kadar ketampanan pemuda itu.

Dia sahabat dari Nana J. Stewart, Mark Axello dan Jeno Zachery, si tampan berdarah campuran Amerika-Korea, anak tunggal keluarga Jazlan.

Jeffrey Jazlan.

"Ck, apa urusanmu Jeffrey?" Ucapnya dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada.

Jujur saja, Dariela paling malas berurusan dengan pemuda satu ini. Dia bukan sembarang orang, sama halnya dengan ketiga sahabatnya, hanya saja untuk yang satu ini, hanya orang bodoh yang akan berurusan dengannya dan Dariela tidak mau dirinya repot.

Dirinya sudah bertindak tidak peduli, selalu mengabaikan kehadiran pemuda itu setiap kali mereka bertemu atau pun berada di satu ruang yang sama.

Dariela hanya tidak ingin berurusan dengan yang satu itu.

"Kau menyakiti sahabatku"

Selain berbahaya pemuda ini juga irit bicara, Dariela ingat tidak pernah melihat Jeno atau pun Mark berbicara lebih dari 5 kata dengan pemuda ini.

Hanya dengan Nana, Jeffrey Jazlan berbicara lebih dari 5 kata dan tersenyum tanpa beban.

Stewart muda itu membawa pengaruh yang besar.

"Aku hanya menyakiti satu dan membuat satunya lagi bahagia, lagi pula Nana punya kau dan Mark di sampingnya" balas Dariela sebelum berjalan pergi meninggalkan Jeffrey yang menatap dalam diam kepergian gadis itu.

Jazlan muda itu menghela nafas, memperhatikan penampilan gadis yang kini berstatus kekasih Jeno itu di depan sana.

Ck, penampilannya bahkan seperti pelacur haus belaian. Jeffrey tidak tau jika selera sahabatnya itu begitu rendah seperti itu, jauh sekali dengan Nana yang begitu anggun.

Memang gadis itu memiliki bentuk tubuh yang bagus, dengan dada juga bokong yang berisi, tapi jika di bandingkan dengan Nana, Dariela kalah telak dari segi mana pun.

Pemuda itu menghela nafas panjang, memilih berbalik pergi dari sana sembari bergumam sesuatu yang hanya dirinya dengar.

Ia sudah pernah memperingatkan, namun jika gadis itu tak mendengarkan, itu bukan lagi urusannya.

"Nikmati waktumu sebelum malaikat maut menjemputmu Dariela"





























Seperti yang Dariela inginkan, keduanya menghabiskan waktu bersama di apartemen milik Jeno dalam waktu yang lama, saling berbagi kenikmatan dengan peluh yang membasahi tubuh keduanya.

Cuaca seolah mendukung pergumulan panas yang tengah terjadi di atas ranjang, terlihat begitu gelap dengan angin juga petir yang muncul bersamaan dengan hujan yang turun membasahi kota.

Sesekali guntur terdengar menggelegar di luar sana, mengagetkan banyak orang dengan suaranya yang begitu keras.

Suara desahan dan geraman memenuhi kamar yang kedap suara dengan penerangan yang berasal dari cela gorden yang terbuka, terlihat begitu erotis kala sang pemuda menghentakkan pinggulnya kasar saat puncak kenikmatannya datang.

Pemuda itu, Jeno Zachery, mengeluarkan kejantanannya dari liang hangat Dariela, membiarkan begitu saja sang kekasih yang tergeletak mengenaskan dengan kissmark yang memenuhi leher hingga dada besarnya.

Ia tak mengatakan apa pun, hanya diam dengan tatapan datar sedang kedua tangannya bergerak menaikkan kembali zipper celananya yang sebelumnya terbuka.

Hazel matanya bergulir, memperhatikan Dariela yang terbaring begitu hina di atas ranjang, persis sama dengan jalang yang saring di pakainya sebelum dirinya bersama Nana dulu.

Ah, ia jadi merindukan mantan kekasihnya itu, bagaimana kejantanannya yang begitu di manjakan di dalam lubang hangat Nana kala mereka bercinta hingga pagi menjelang.

Terasa begitu nikmat juga menyenangkan dalam waktu yang sama. Jeno jadi ingin merasakannya lagi.

"Jeno~ aku tidak bisa jika melakukannya lagi" rengek Dariela yang tak di gubris oleh Jeno.

Pemuda itu hanya menatap datar, semakin datar kala dirinya menyuarakan suaranya yang seolah mengganggu Zachery muda itu yang tengah sibuk dengan pikirannya sendiri.

Gadis itu menelan kasar salivanya, menatap tepat pada gundukan yang kini terlihat jelas dari balik celana. Sepertinya sesuatu di baliknya tengah terbangun kembali.

Zachery muda itu berdecak malas, tak membalas atau pun menganggapi rengekan Dariela yang terdengar memuakan di telinganya.

Jeno melangkah mendekati sofa yang ada di dalam kamar, duduk dengan santai di sana dan menuangkan Wine ke dalam gelas berisi es batu.

Pemuda itu terlihat begitu menggoda dengan rambut berantakan juga kancing kemeja yang terbuka menampakkan dada juga perut terlatihnya, tanpa sadar membuat Dariela bergerak mendekati sang kekasih kala Jeno menggerakkan tangan memintanya mendekat.

"Duduk" titahnya kemudian.

Memerintahkan sang kekasih agar duduk di pangkuannya tanpa bantahan sedikit pun.

Dariela menurutinya, gadis itu duduk di pangkuan Jeno tanpa banyak bicara.

Kedua lengannya merangkul longgar di leher sang kekasih dengan tubuh telanjangnya yang terpampang begitu jelas.

Ck, gadis ini bahkan tidak punya malu sedikit pun.

"Bermain lagi huh?"

Dariela tersenyum menggoda, jari telunjuknya membentuk pola abstrak di dada bidang sang kekasih, bergerak menggoda dengan pinggul yang bergerak menggesek milik Jeno yang terbungkus kain.

Sedang pemuda itu berdehem singkat, tangan kanannya bergerak menahan pinggang sang kekasih yang terus bergerak di atasnya. Sedikit menekan agar sensasi hangat itu semakin terasa.

Ia membiarkannya, membiarkan Dariela berbuat semaunya saat ini, membiarkan gadis itu menunggangi dirinya hingga ia puas.

Setidaknya ini yang ia bisa lakukan sebagai kekasih yang baik, sebelum darah busuk itu tumpah mengotori kamarnya.

"Ahh Jeno~~ anhh ahh nikmat" racau Dariela yang semakin semangat bergerak menunggangi kekasihnya dengan kedua tangan yang memainkan dadanya sendiri, menambah kenikmatan yang ia terima hingga membuatnya hilang akal.

Gadis cantik meraih rahang Jeno, membawa kekasih tampannya dalam ciuman memabukkan dengan pinggul yang semakin bergerak cepat.

Sebentar lagi dirinya sampai, hanya sedikit lagi dan-

"Good bye bicth"

Dor

Selongsong peluruh meluncur halus melubangi kepala Dariela yang terdiam kaku dengan mata melotot, tak bergerak sedikit pun hingga Jeno mendorong kasar tubuh tak bernyawa itu dari atas tubuhnya.

Pemuda tampan itu melanjutkan kembali apa yang belum tuntas dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya meletakkan asal pistol di atas sofa.

Ia akan menghubungi seseorang untuk mengurus Dariela nanti, yang terpenting sekarang adalah menuntaskan apa yang belum gadis itu tuntaskan tadi.

"Ahh" desahnya nikmat kala berhasil menuntaskan urusannya yang tertunda.

Zachery muda itu merapikan kembali pakaiannya, membersihkan sisa-sisa pelepasannya dengan tisu yang ada di atas meja.

Sepasang hazel itu melirik tanpa minat Dariela yang terkapar kaku di lantai dengan darah yang mengalir deras dari kepala gadis itu, membuat sebuah genangan merah di lantai kamarnya yang dingin.

Tatapannya beralih pada sebuah lukisan yang tergantung indah di dinding kamar, tampak begitu cantik dengan goresan warna yang begitu pas juga bingkai lukisan yang di ukir indah.

Satu-satunya peninggalan Nana yang sampai sekarang tak pernah berpindah posisi sejak terakhir kali di letakkan.

Ia menatap lurus lukisan itu, menelusuri kembali kenangan yang ada di dalamnya dengan seutas senyum manis yang tersemat di wajah tampannya.

Nananya memang begitu luar biasa.

Sosok yang begitu pantas untuk di rebutkan banyak orang.

Pemuda tampan ini meraih kembali gelas Wine yang sempat ia abaikan di atas meja, meneguk hingga tandas dan menaruh kembali di atas meja dengan kasar.

Zachery muda ini tersenyum miring, menatap begitu tajam lukisan indah di depan sana dengan sepasang mata hazelnya yang menyorot penuh.

"Tunggu hingga waktu itu datang baby, dan setelah tak akan aku biarkan siapa pun menyentuhmu lagi"











Tbc.

Kalau begitu aku pamit mau kabur lagi, nyelesai in yang lain juga, sekalian inget inget 2 part prince yang hilang kemarin

Salam manis T.

Fortsett å les

You'll Also Like

412K 33.2K 64
"ketika perjalanan berlayar mencari perhentian yang tepat telah menemukan dermaga tempatnya berlabuh💫"
86.8K 10.4K 34
'benci bisa jadi cinta loh, cantik' 'apaan, diem lu' 'aduh, malu malu ih si geulis' 'gue laki ya, jangan main cantik-cantik lu' 'tapi lu emang cantik...
760K 36.5K 39
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...
275K 23.5K 35
"I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian yang mulanya sederhana...