|✔| Kedua

By aksara_salara

245K 26.3K 3.1K

Ketika anak pertama merasa memiliki beban karena selalu di tuntut untuk menjadi yang terbaik, anak bungsu men... More

Lembar 1
Lembar 2
Lembar 3
Lembar 4
Lembar 5
Lembar 6
Lembar 7
Lembar 8
Lembar 9
Lembar 10
Lembar 11
Lembar 12
Lembar 13
Lembar 14
Lembar 15
Lembar 16
Lembar 18
Lembar 19
Lembar 20
Lembar 21
Lembar 22
Lembar 23 [END]
Lembar 24; Kenangan Semu

Lembar 17

8.3K 1K 99
By aksara_salara

Setelah memaksa Sahmura dan kedua orang tuanya untuk pulang, kini Sena masuk ke dalam ruang rawat Jenggala. Jenggala baru dipindahkan tadi pagi, pukul tujuh. Di dalam ruangan, Andika masih setia duduk di samping putranya, menggenggam tangan kurus itu erat-erat.

Di sofa, Tama mengisyaratkan Sena dengan tatapan mata. Sena menarik napas sejenak, lantas mendekati Andika.

"Om."

Panggilan lirih Sena membuat Andika menoleh. "Ada apa, Sen?"

"Om, ini sudah siang, bahkan hampir sore, dari pagi Om belum makan. Sekarang makan dulu, ya, Om? Biar Sena yang jagain Jenggala."

Andika reflek memusatkan kembali tatapannya ke arah Jenggala. Menatap wajah pucat itu. "Bagaimana Om bisa makan enak, sedangkan di sini, Jenggala baru saja kehilangan cahaya nya? Bagaimana bisa Om hidup dengan bahagia setelah ini, Sena?"

Tangan Sena mengusap bahu tegap Andika yang saat ini terlihat sangat rapuh. "Om, cahaya Jenggala nggak sepenuhnya hilang. Om adalah salah satu cahaya nya Jenggala. Selagi Om masih ada di sini, Jenggala nggak akan pernah kehilangan cahaya nya."

"Bertahun-tahun, Om mengabaikan dia. Sengaja melupakan dia diingatan. Sekarang saat dia bisa melihat wajah Om, Tuhan tak mengijinkan Jenggala terlalu lama menatap wajah pria brengsek ini. Ini salah Om, tapi kenapa Tuhan menghukum Jenggala?"

Mati-matian Sena menahan sesak di dada. Tama yang menjadi pendengar hanya merenung, seraya menatap kosong ke arah lantai yang di pijak.

"Sena ... bisakah Om mengganti mata Jenggala dengan kedua mata Om?"

Suara Andika tercekat. Lelehan air mata kembali jatuh, membuat pria itu terlihat makin rapuh.

Sena membuang pandangan. Tak sanggup menatap wajah pria di depannya ini lama-lama. Suara dan pertanyaan Andika berhasil membuat Sena kehilangan semua kalimatnya.

"Sena jawab! Bisakah Om menggantikan posisi Jenggala? Biar Om saja yang merasakan kegelapan, biar Om yang kehilangan cahaya dunia, asal bukan Jenggala. Bisakah ... Sena?"

Suara Andika terus mengalun memenuhi setiap sudut ruangan. Tak kunjung menemukan jawaban, Andika menjatuhkan kepalanya di samping lengan Jenggala. Mengubur isak tangisnya di sana. Meredam semua emosi yang sejak tadi meletup di dalam dada.

◖◖◖

"Ma, hari ini Daksa tidur di rumah Antonio ya?"

Dayita tersentak, dan segera kembali ke dunia nyata saat bahunya di tepuk oleh Daksa. "Eh, gimana, Nak? Maaf, Mama nggak dengar kamu bicara apa."

"Nanti aku tidur di rumah Antonio." kata Daksa yang mengulangi pagi ucapannya.

"Memang ada apa, kok sampai tidur di sana?"

"Ada tugas, Ma. Kemungkinan ngerjainnya juga lama. Jadi daripada bolak-balik, kan lebih enak tidur di sana sekalian."

Dayita menganggukkan kepala. "Boleh." Lantas wanita itu curi-curi pandang pada sang putra. "Kamu nggak mau jenguk Jenggala?"

Mendengar nama itu, sontak Daksa menegang tanpa sadar. Namun saat suara langkah kaki masuk di pendengaran, Daksa segera merubah raut wajahnya.

Sosok Nuraga berjalan mendekat. Melempar senyum tipis pada sang istri sebelum duduk di meja makan. Sejak kejadian itu, Nuraga banyak berubah. Pria itu tampak jauh lebih dingin dari biasanya.

Setelahnya, sosok Sahmura ikut bergabung. Suasana meja makan terasa dingin. Daksa yang sudah duduk di sebelah Sahmura, menatap anggota keluarganya satu per satu.

Wajah mereka tampak gelap dengan lingkaran sedih. Diam-diam, Daksa menghela napas panjang.

Sesi makan disudahi dengan Nuraga yang pergi lebih dulu. Diikuti dengan Sahmura kemudian Dayita. Di meja makan, hanya menyisakan Daksa yang terpaku menatap layar ponsel miliknya.

"Sial!" makinya dengan suara tertahan.

◖◖◖

"Lo semua bego! Gimana bisa ada saksi mata yang lihat kalian?!"

Sekitar enam pria di depan Daksa saling melirik satu sama lain. Bukan mereka takut pada Daksa, melainkan mereka hanya bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan anak muda di depan mereka ini.

Sedangkan pria yang menjabat sebagai ketua geng itu maju perlahan. "Kita juga nggak tau, Sa. Kayaknya yang menjadi saksi adalah kasir minimarket." ucapnya.

"Bodoh!" Daksa mengusap wajahnya kasar. "Kalau jejak kalian berhasil diketahui polisi, gue nggak akan ikut campur. Gue rasa, urusan kita sampai di sini aja."

Mendengar itu, banyak protes tak terima yang terlontar. "Nggak bisa gitu. Lo juga terlibat dalam masalah ini!" ucap salah seorang pria di sana.

"Gue udah bayar kalian mahal! Untuk urusan sama polisi, itu bukan urusan gue lagi!" Kini Daksa menatap sang ketua geng yang terdiam. "Awas aja kalau lo semua sampe berani nyebut nama gue, gue nggak akan segan-segan berbuat lebih ke kalian!"

Kemudian setelah mengatakan itu, Daksa membawanya langkahnya pergi. Meninggalkan pria-pria itu yang tengah menggeram marah.

Salah seorang pria mendekat, menepuk bahu sang ketua. "Bos, kita harus balas dendam. Kalau Daksa nggak mau bantu kita, kita harus kasih pelajaran ke dia."

"Gue setuju!!" sahut salah seorang pria lainnya.

Tak menjawab, sang ketua hanya menatap ke depan dengan pandangan datar. Namun diam-diam otaknya tengah merencanakan sesuatu.

◖◖◖

Tangan yang sejak tadi Andika genggam, kini bergerak lemah. Andika, Sena, dan Tama serta seorang dokter berdiri mengelilingi ranjang Jenggala.

Beberapa menit berselang, mulut tipis Jenggala bergerak di iringi dengan kepalanya yang bergerak lemah. Dokter yang memang menangani Jenggala sejak awal, buru-buru maju dan bertanya. "Jenggala, kamu bisa dengar saya?"

Butuh beberapa waktu untuk mendapat respon dari Jenggala. Bibir kering itu bergerak, mengucapkan bahwa ia mendengar suara sang dokter.

"Dokter, kenapa gelap?"

Pertanyaan yang dilontarkan Jenggala berhasil membuat Andika, Sena dan Tama diam seribu bahas. Euforia yang baru saja mereka dapatkan, kini lenyap tanpa sisa.

"Dokter?"

Suara lirih Jenggala membuat sang dokter menoleh sejenak pada Andika. Setelah mendapat anggukan samar, dokter tersebut berucap. "Jenggala, jika saya katakan ini, jangan pernah berpikir bahwa hidup kamu akan berakhir sekarang. Ada banyak cara yang bisa kita lakukan."

"Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?" Siapa pun tahu, nada kalimat yang Jenggala tuturkan menyimpan begitu banyak rasa kecewa.

"Kamu mengalami kebutaan, Jenggala."

Hening. Setelah dokter tersebut menjelaskan perihal kondisi matanya, Jenggala bungkam seribu bahasa. Andika bergerak meraih tangan yang lebih kecil darinya. Tangan rapuh yang hampir saja hilang dari genggaman.

"Nak ... ini Papa. Papa di sini."

Tak ada jawaban.

"Mungkin kamu kehilangan satu cahaya, tapi kamu masih punya Papa, Nak. Papa akan jadi mata buat kamu. Bukan cuma Papa, ada Sena dan juga Tama yang siap jadi mata buat kamu, Nak." Andika menggigit bibir bawahnya kuat-kuat.

"Pa, gelap. Gelap sekali, Pa. Jenggala takut ...,"

"Papa di sini, Jenggala nggak perlu takut." Tak peduli jika banyak kabel yang menghalangi pergerakan, Andika membawa tubuh sang putra ke dalam pelukan.

"Dia jahat, Pa ...,"

"Siapa? Siapa yang jahat, Nak?"

"Dia ...,"

Kalimat Jenggala berhenti di udara. Hanya terdengar isak tangis lirih yang kini Andika tangkap. Dadanya berdenyut. Sangat menyakitkan ternyata. Tangis putranya seolah membuatnya hancur saat ini juga.

"Sekarang ... apa Papa malu punya Jenggala?"

Buru-buru Andika menggelengkan kepala kuat-kuat. "Enggak! Papa nggak malu, nggak malu, Nak! Papa bangga, bangga karena punya kamu!"

"Jangan tinggalin Jenggala, sekarang Jenggala nggak punya apa-apa, Pa. Cahaya Jenggala hilang, Jenggala butuh seseorang untuk memberikan satu cahayanya. Dan cuma Papa yang Jenggala punya."

Mungkin ini definisi sakit yang sesungguhnya. Disaat anaknya terluka, Andika tidak bisa berbuat apa-apa. Maka hanya tangis yang bisa Andika berikan sebagai jawaban pada semesta. Bahwa kini, ia meminta kebahagiaan bagi putranya.

Hai, kalian apa kabar? Maaf, ya, baru bisa bawa Jenggala sekarang. Kalian rindu kah?

Oh iya, hari ini pasti capek ya? Ayo istirahat dulu. Tarik nafas, tenangin diri. Jangan lupa, yang paling penting, jangan lupa makasih ke diri sendiri yang sudah kuat hari ini. Kalian hebat bangett!!!

Percaya aja sama Tuhan, semua akan kembali baik-baik saja.

Terakhir, tetap jaga kesehatan dan bahagia selalu kalian. Byeeee♡

Dunia khayalan,
20 Mei 2022

Continue Reading

You'll Also Like

1M 16.9K 27
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
565K 43.6K 29
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens. "Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gu...
4.1M 319K 52
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
588K 27.8K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...