|✔| Kedua

By aksara_salara

245K 26.3K 3.1K

Ketika anak pertama merasa memiliki beban karena selalu di tuntut untuk menjadi yang terbaik, anak bungsu men... More

Lembar 1
Lembar 2
Lembar 3
Lembar 4
Lembar 5
Lembar 6
Lembar 7
Lembar 8
Lembar 9
Lembar 10
Lembar 11
Lembar 12
Lembar 13
Lembar 14
Lembar 15
Lembar 17
Lembar 18
Lembar 19
Lembar 20
Lembar 21
Lembar 22
Lembar 23 [END]
Lembar 24; Kenangan Semu

Lembar 16

8.8K 1K 210
By aksara_salara

"Sa, lo yakin?"

Daksa, yang tengah menatap jauh ke depan, seketika menoleh ke belakang kala mendengar pertanyaan dari salah seorang pria. Menatap sejenak, Daksa lantas menjawab, "Yakin. Dan lo harus berhasil."

"Sampai dia mati?"

"Jangan. Renggut salah satu sumber hidupnya. Biar dia tau rasanya hidup dengan rasa tersiksa."

Pria tadi mengangguk. Meraih jaket kulit yang di sampirkan disandaran kursi, lalu melirik ke arah anak buahnya. Melihat tatapan dari sang ketua, tiga pria lainnya mengangguk lalu mengikuti pria tadi keluar dari ruangan.

"Maafin gue." gumam Daksa menatap lekat punggung pria-pria tadi.

Di balik heningnya ruang rawat Jenggala, ada Andika dan seorang dokter yang tengah mengobrol di luar ruangan. Hari ini Jenggala akan pulang dari rumah sakit, namun sebelum itu, Andika ingin konsultasi terlebih dahulu tentang kondisi sang putra.

"Semua baik-baik saja, Pak. Tidak ada yang perlu di khawatirkan." ucap sang dokter kepada Andika.

Ucapan tersebut berhasil membuat Andika tersenyum tipis dan bernafas lega. Setelah mengucapkan terimakasih, Andika masuk ke dalam ruangan dan melihat Jenggala duduk di tepi ranjang dengan kaki menjuntai ke bawah.

Tangan besar Andika mengusap pucuk kepala sang putra. Di balas senyuman oleh Jenggala. "Hari ini kita pulang. Tapi pulang ke rumah Papa, kamu nggak keberatan, 'kan?" tanya Andika hati-hati.

"Nggak keberatan sama sekali. Justru, tadi aku malah mau tanya, Papa akan antar aku ke mana."

Ada gambaran senyum miris di bibir Andika. Namun begitu tipisnya, sampai Jenggala tidak akan menyadarinya. "Ayo, Nak." Dengan perlahan, Andika merangkul tubuh kurus itu, dan keduanya berjalan keluar.

Sampai di dalam mobil, Jenggala tak berhenti tersenyum. Menatap wajah Andika sesering mungkin, seolah menyadarkan dirinya sendiri, bahwa semua ini nyata.

Merasa diperhatikan terus menerus, Andika mengulurkan satu tangannya untuk membelai lengan Jenggala yang tertutup jaket kebesaran miliknya. "Kenapa, sih? Ada yang aneh sama wajah Papa?"

"Enggak." Jenggala tersenyum, kemudian melanjutkan, "Papa ganteng banget. Aku nggak tau kalau Papa bakal seganteng ini."

Pernyataan Jenggala barusan berhasil membuat Andika mengudarakan tawa. "Bisa aja kamu. Kamu juga ganteng, kan anaknya Papa."

"Iya. Tapi nggak seganteng Papa."

"Masa, sih?"

"Beneran."

Lagi, Andika tertawa. "Oke, oke, makasih ya Nak."

"Sama-sama. Oiya, Pa, boleh mampir ke minimarket dulu nggak?"

"Boleh, dong. Kamu mau beli apa? Biar Papa aja yang turun." Andika kemudian menepikan mobilnya di tepi jalan, bersebrangan dengan minimarket.

"Aku nggak bawa perlengkapan mandi. Papa nggak keberatan beliin aku itu?"

"Oh iya, Papa lupa nyiapin itu. Yaudah, Papa turun dulu. Kamu tunggu disini aja. Ada yang mau dibeli lagi?"

"Enggak, itu aja. Makasih ya, Pa."

Ucapan Jenggala hanya dibalas senyuman oleh Andika. Begitu Andika turun dan mulai masuk ke dalam minimarket, Jenggala menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Membuang pandangan ke arah jalan.

Belum ada beberapa detik, Jenggala dikejutkan dengan segerombolan pria yang berhenti di samping mobil. Bukan hanya itu, pria-pria itu juga mengetuk jendela mobil.

Jenggala berdecak kesal, ingin menghubungi papanya, namun ia tidak memiliki nomor pria itu. Alhasil Jenggala kini mulai menurunkan kaca mobil.

"Turun lo bocah!" kata pria itu.

"Mau apa kalian?!"

"Turun gue bilang!"

Lalu dengan tiba-tiba, pintu sudah terbuka entah bagaimana caranya. Kaca mobil pun pecah di bagian belakang dan samping kanan.

Lengan Jenggala di tarik dengan kasar oleh pria itu sampai membuat Jenggala meringis. Mencoba memberontak, walau pun hasilnya pasti sia-sia. Kini Jenggala hanya bisa berdoa, semoga seseorang lewat dan menolongnya.

"Lepaskan anak saya!!!"

Teriakan seseorang membuat pria-pria itu semakin mengerubungi Jenggala. Sosok Andika berdiri di sana, menatap pria-pria itu dengan nyalang.

"Lepaskan anak saya, brengsek! Kalian mau apa?!"

"Bawa dia!" Salah seorang pria memerintah pada yang lain untuk segera membawa Jenggala. Sedangkan kini tersisa sekitar tiga orang yang siap melawan Andika.

Keberuntungan seolah tak berpihak pada sepasang ayah dan anak itu. Nyatanya, jalanan tampak sepi tanpa seorang pun yang melintas.

Posisi Jenggala dan Andika sudah tertamat jauh. Andika menatap panik ke arah putranya yang sudah mustahil untuk ia jangkau. Sedangkan tiga pria ini masih melakukan serangan.

Jenggala memberontak. Berusaha melepas cekalan pria yang kini memegang lengannya dengan erat.

Pria-pria yang membawa Jenggala, dan Jenggala kini posisinya berada di tengah jalan. Dengan Jenggala yang masih berusaha melepaskan cekalan mereka.

"Diam bocah!" Karena kesal, salah seorang dari mereka membentak Jenggala.

"Lepasin gue!"

"Jangan harap!"

"Siapa yang nyuruh kalian?"

"Lu nggak perlu tau!"

"Orang itu Daksa. Iya, 'kan?"

Sontak, pria-pria itu terdiam. Tak lagi menahan perlawanan dari Jenggala. Tatapan Jenggala mengabur seiring dengan kedua matanya yang berkaca-kaca.

"Bos, lepasin tuh anak!"

Terkejut karena di teriaki oleh salah satu anak buahnya, pria itu sontak mendorong Jenggala sampai tejatuh. Bersamaan dengan itu, suara klason mobil menggema panjang.

"Jenggala!!!"

◖◖◖

"Mura, udah denger kabar belum?" tanya Olivia sedikit berbisik.

Sahmura menoleh sekilas pada gadis di sampingnya. "Belum. Memang kabar apa?"

"Barusan rame banget bahas tentang kecelakaan di perempatan alun-alun, di gang yang agak masuk itu."

"Kok bisa? Bukannya jalan itu selalu sepi?"

"Nah makanya! Korbannya anak SMA sih denger-denger. Kasian banget." ucap Olivia. Wajah gadis itu sedikit murung setelah menyelesaikan kata-katanya.

"Iya kasian." Hanya itu tanggapan yang diberikan oleh Sahmura. Bel kemudian berbunyi, membuat Olivia terpekik senang karena akhirnya jam istirahat tiba.

Gadis itu hendak menyeret Sahmura ke kantin, sebelum ponsel cowok itu berbunyi. Sahmura agak berjalan sedikit menjauh dari Olivia sembari menempelkan ponselnya ke daun telinga.

Olivia diam, menyaksikan bagaimana punggung Sahmura perlahan tegang. Bahkan Olivia terkejut, saat bagaimana ponsel Sahmura terjatuh begitu saja.

"Mura, lo kenapa?!" Buru-buru Olivia mendekat, menahan bahu Sahmura di bantu Anggara, teman sekelas mereka yang posisinya tidak jauh dengan Sahmura.

"Lo kenapa?" tanya Anggara penasaran.

"Mura," Lagi Olivia memanggil Sahmura dengan lirih.

Dengan pandangan kosong ke depan, Sahmura bersuara lirih. "Liv ... korban kecelakaan itu .. korban itu ... Jenggala."

◖◖◖

"Nggak becus! Anda nggak becus menjaga Jenggala!"

Teriakan Nuraga menggema di lorong rumah sakit. Setelah puas melayangkan pukulan bertubi-tubi pada Andika, kini Nuraga melontarkan makian.

Sedangkan Dayita menangis terisak bersimpuh di depan pintu UGD. Tangannya meraba pintu itu, seolah ini mendorongnya terbuka, dan melihat keadaan Jenggala.

Andika menunduk dalam-dalam. "Maaf," cicitnya. Lidahnya cukup kelu untuk membalas semua perkataan Nuraga. Karena apa yang Nuraga katakan benar, ia tidak becus. Tidak becus menjaga permata hatinya.

Nuraga akhirnya melepas cengkramannya. Pria itu terduduk di kursi tunggu, lalu perlahan mulai menangis keras. Ia belum pernah setakut ini, belum pernah berada di situasi ini.

Ketiga orang dewasa itu diam dengan tangis mereka masing-masing. Bahkan saat suara langkah kaki yang mendekat pun, tak membuat mereka lantas menoleh.

Sahmura mengepalkan tangan. Menatap ketiga orang itu bergantian. Ada sesak yang merajam di dalam dadanya.

"Makasih karena udah jadi kakak gue, Bang."

"Asal lo tau, gue merasa jadi manusia paling beruntung karena pernah kenal lo."

"Sorry, kalau kehadiran gue merusak semuanya."

Kepala Sahmura menunduk. Menatap lantai rumah sakit yang kini ia pijak. Hubungannya dengan Jenggala belum baik-baik saja. Ia bahkan belum meminta maaf pada adiknya itu.

Masih banyak pembicaraan yang harusnya mereka lakukan. Dan masih banyak permintaan maaf yang seharusnya ia tuturkan.

Tangan Sahmura semakin mengepal. Bahkan rasa-rasanya, kuku-kukunya bisa menancap di telapak tangannya, saat bagaimana dokter keluar dan memberi tahu kondisi adiknya.

"Maaf, saya menyesal harus mengatakan ini. Kemungkinan besar, pasien akan mengalami kebutaan. Luka di bagian kepala cukup serius, belum lagi mengenai saraf matanya. Saya benar-benar menyesal karena harus menyampaikan ini."

Lalu setelah dokter mulai melangkah pergi, suara yang bisa Sahmura tangkap hanya suara jerit pilu dari mamanya. Hanya bagaimana saat papanya dan pria yang berstatus sebagai ayah kandung Jenggala itu saling menggeram marah.

Air matanya perlahan meleleh. Semesta telah merenggut satu cahaya yang dimiliki Jenggala.





Maaf, ya, kalau bab ini agak gimana gitu. Tapi semoga kalian suka. Tetep jaga kesehatan, dan bahagia selalu kalian.

Sampai ketemu dilain waktu. Byeeee

Dunia khayalan,
17 Mei 2022

Continue Reading

You'll Also Like

589K 27.9K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
321K 19.2K 36
JANGAN LUPA FOLLOW... *** *Gue gak seikhlas itu, Gue cuma belajar menerima sesuatu yang gak bisa gue ubah* Ini gue, Antariksa Putra Clovis. Pemimpin...
2.7M 136K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...
1.1M 45.5K 51
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...