Tergenggam dalam Nyaris | ✓

By Crowdstroia

146K 17.9K 1.6K

Gautama Farhandi adalah pengacara untuk organisasi bisnis pasar gelap bernama "Balwana". Suatu hari, dia mene... More

PEMBUKA
1 || and, she eats
2 || and, she wakes (1)
3 || and, she wakes (2)
5 || and, she fought (1)
6 || and, she fought (2)
7 || and, he accepts (1)
8 || and, he accepts (2)
9 || and, he looks
10 || and, she took his hands
11 || and, they take pictures
12 || and, they take pictures (2)
13 || and, they visit their house
14 || and, they clean their pool
15 || and, she helps him doing plank
16 || and, they eat dinner together
17 || and, she goes with her friend
18 || and, she swims
19 || and, she meets the neighbors
20 || and, they go to a party
21 || and, they attend their daily meeting
22 || and, they confess [END]

4 || and, he discloses

7.8K 953 172
By Crowdstroia

TRIGGER WARNING: penyiksaan dengan deskripsi cukup detail, penyiksaan seksual hingga berdarah, spoiler Sarhad yang nggak ada di Wattpad

============



| 4 |

and, he discloses



SEJAK berangkat dari rumahnya ke Rocket Pop, Tama berniat langsung pulang setelah urusannya selesai. Namun, pertemuan di sana membuat Tama merasa harus mengeluarkan isi pikiran ganjilnya kepada seseorang. Dan dia tahu betul siapa dan di mana orang yang bisa dia ajak bicara.

Fasad markas Balwana dari luar masih tetap sama dari bertahun-tahun lalu Tama menginjakkan kaki di sana. Berupa gedung lama dengan cat pudar dan besi-besi berkarat, berlokasi jauh di pinggiran kota, ada kubah kaca di atap gedung. Masih ada kendaraan melintas, tapi jarang ada yang berhenti di depan gedung lama ini. Dulu lebih parah, karena belum tersentuh infrastruktur dan jalan rayanya belum diaspal, hampir tak ada orang melewati area ini. Ditambah lagi, tak ada tempat hiburan ramai seperti mal atau bioskop. Meski di sisi lain, sekarang itu jadi kelebihan tempat ini, jadi memberi keleluasaan bagi para anggota Balwana.

Begitu masuk, Tama disambut oleh resepsionis yang menunduk. Dia tak perlu menyebutkan apa urusannya di sini. Resepsionis hanya bertanya kepada anggota tingkat bawah. Namun, bukan berarti resepsionis itu takkan melakukan formalitas, "Ada yang bisa saya bantu, Mas Tama?"

"Ezki ada di mana?" Sebenarnya Tama sudah memiliki tebakan, tapi dia cuma mau memastikan. "Rumah kaca?"

"Iya, betul. Dia ada di lantai teratas."

"Thanks." Tama berjalan ke arah lift. Beberapa anggota menunduk saat melihatnya lewat. Tama mengangguk dengan sapaan mereka, serta menjawab pertanyaan tentang urusannya di sini.

Setelah melewati beberapa koridor, Tama berada di depan pintu besi berlapis dengan sensor samping sebagai kunci masuk. Orang yang ingin Tama temui berada di balik pintu ini. Tama meletakkan tangan di layar sensor, dan pintu terbuka menunjukkan taman luas dengan kubah kaca tinggi. Banyak tanaman merambat ke atas dan berukuran besar. Sekarang pukul sebelas siang. Matahari sudah mulai terik dan panas menyengat isi rumah kaca. Namun, Tama sudah terbiasa dengan panas. Dia melangkah ke sebuah meja kerja di balik semua tanaman besar itu. Seseorang bertubuh tinggi mengenakan celemek berkebun terlihat sedang memotong daun dengan hati-hati.

"Ezki," sapa Tama.

Jehezkiel Tamboa menoleh, lalu tersenyum. Wajahnya senantiasa terlihat rupawan, bagai sosok indah dalam lukisan yang dihaturkan nyanyian oleh bangsa-bangsa yang sudah punah. Rambut dan bulu matanya keemasan, matanya sebiru laut dalam, dan kulit gelapnya seperti dicelup satin. Warna-warna ganjil dan tidak natural dimiliki manusia, tapi dia datang dengan semua hal ganjil itu sebab itu semua adalah miliknya, alamiah dari lahir. Walau Tama tak yakin Ezki terlahir dengan 'normal'.

"Iya, Tama," balas pria itu, suara semerdu nyanyian. "Lama nggak bertemu. Gimana kabarmu?"

"Baik." Tama bersandar di salah satu pilar besar yang menyokong kubah. "Saya abis ketemu orang."

"Hm? Perempuan atau laki-laki?"

"Perempuan."

"Ah, dia pasti cantik kalau kamu sampai datangin saya cuma untuk membicarakan dia."

Tama sejenak termenung. Teringat sosok Bening yang dia lihat saat dia menunggu taksi. Dia ingat saat cahaya pagi menyapu kulit Bening yang bersih dan halus, rambut hitamnya jatuh seperti tirai sutra, bulu mata lentik membingkai matanya yang sayu, hidungnya kecil dan mancung, bibir penuhnya sewarna kelopak mawar. Wajah Bening adalah wajah yang dengan keelokan yang menyakitkan, bagai bidadari yang merenggut jantung manusia.

Dan Tama pun teringat pada bekas kemerahan di pergelangan tangan dan leher perempuan itu.

Dia menarik napas. Teringat sudah memiliki agenda sendiri dengan Nicholas disertai hukuman yang layak. Namun, barangkali tak ada hukuman yang cukup layak dijalani oleh seseorang seperti Nicholas, terutama jika Tama yakin betul bahwa Nicholas tak menyesali perbuatannya. "Saya bukan mau bicara tentang kecantikan. Saya mencium aroma asing dari perempuan itu, tapi anak Balwana yang lain nggak mencium aroma yang sama. Saya nggak tahu apa aroma ini."

"Bisa jabarkan aromanya dengan detail?"

Lagi, Tama terpejam dan menarik napas. Mengingat resapan aroma tubuh Bening yang halus dan membuai, seperti selendang lembut yang wangi, mengikatnya dan mengajaknya mendekat hingga tubuh mereka menyatu. "Kayak aroma kulit dan keringat, tapi nggak bau dan nggak kecut. Manis, tapi bukan manis kayak gula atau permen atau buah. Lebih seperti tanaman rambat—ivy? Atau bukan. Tapi manis, semakin dekat semakin pekat aromanya. Rasanya ... agak memabukkan dengan cara yang menyenangkan."

Pinset besar yang dipegang Ezki jatuh ke nampan besi. Pria bermata samudra itu mengerjap dan terkejut. "Astaga."

"Apa?"

Ezki tertawa, lalu menepuk tangannya dengan senang. "Selamat, Tama, kamu baru saja ketemu belahan jiwamu."

"Hah?" Bulu kuduk Tama berdiri. Dia butuh waktu untuk mencerna ucapan Ezki. Istilah 'belahan jiwa' yang keluar dari mulut Ezki bukanlah belahan jiwa yang mengawang-awang, yang dibuat seperti ada kekuatan supranatural menyatukan mereka demi takdir. Belahan jiwa yang dimaksud Ezki itu lebih solid, karena topik ini sudah pernah disampaikan dari awal Tama masuk Balwana. Terkait dengan mutasi genetik yang dia terima, indra-indranya makin tajam, lebih selektif, dan lebih sensitif terhadap satu manusia yang secara biokimiawi dianggap sangat teramat cocok dengannya—dengan tubuhnya.

Tapi, dia dan para petinggi Balwana dulu tidak terlalu menanggapi hal ini. Belum tentu juga mereka bertemu 'belahan jiwa' mereka dalam hidup yang singkat sebagai mutan.

Melihat wajah Tama yang masih syok, Ezki pun jadi terheran. "Masa kamu nggak sadar? Dia itu belahan jiwa kamu. Yang kamu cium itu feromon dia. Anak-anak Balwana yang lain nggak bisa mencium aromanya karena perempuan itu adalah belahan jiwa kamu, bukan mereka."

Tama masih sulit memercayai ini. "Itu ... aroma yang saya cium dari belahan jiwa saya?"

"Iya. Itu feromon dia. Kamu sensitif sama feromon dia, makanya kamu sampai kayak gitu."

Tama mengernyit. "Dia beneran belahan jiwa saya?"

"Iya, bukankah buktinya udah jelas?"

"Rasanya kayak ketertarikan fisik biasa."

"Biasa?" Ezki mengulang dengan skeptis. Matanya memandangi tanaman di depan yang sedang dia teliti. Tama tak tahu apa tanaman itu, tapi sepertinya itu tanaman hasil rekayasa genetik seperti banyak tanaman lainnya dalam rumah kaca ini. "Kamu yakin itu ketertarikan fisik biasa?"

"Selain dari fisik menarik, kepribadian baik, dan aroma yang memang memikat, saya nggak menemukan keistimewaan lain. Ini sama aja kayak ketertarikan yang saya rasain ke orang lain."

"Kenapa kamu nggak berpikir bahwa itu sendiri sudah istimewa, Tama?" Ezki mencari-cari sesuatu dari kotak perkakas. "Nggak pernah kan kamu mengalami ketertarikan dengan aroma memikat seperti ini?"

"Aromanya iya, tapi untuk selebihnya, saya udah pernah merasakannya dengan orang lain." Tama mengangkat bahu. "Saya pikir pertama ketemu belahan jiwa bakal terasa lebih ... entahlah, semacam jatuh cinta pada pandangan pertama?"

"Memangnya itu bukan jatuh cinta?"

"Bukan. Itu cuma ketertarikan fisik yang biasa, dan apresiasi karena kepribadiannya baik. Jatuh cinta nggak mungkin semudah itu."

Ezki tertawa dan menggeleng. "Jatuh cinta itu selalu mudah, Tama. Kamu cuma perlu beberapa detik melihat orang itu, dan otak akan mengirimkan sinyal bahwa kamu jatuh cinta. Manusia bisa jatuh cinta ke beberapa orang dalam satu waktu. Tapi, kalian manusia suka menyulitkan diri dengan berbagai istilah. Ya hanya sukalah, hanya naksirlah, hanya kagumlah, hany ketertarikan fisiklah. Padahal itu semua adalah cinta." Ezki meliriknya dan menyeringai. "Jatuh cinta itu mudah. Yang sulit itu senantiasa mencintai dan setia ke satu orang saja. Manusia sering keliru mengira jatuh cinta dan setia itu adalah satu hal yang sama."

Tama tersenyum. "Itu benar. Tapi, semua penggolongan itu bukan berarti nggak berguna. Justru biar bisa setia, harusnya dari awal manusia dapat membedakan mana orang yang tepat untuk dijadikan pasangan lewat pengelompokan perasaan cinta itu."

Ezki tersenyum. "Seperti yang bisa diharapkan dari mutan Meliora. Kalian memang mahkluk yang sangat setia."

Tama menarik napas. Pengetahuan ini tak membuatnya lega. "Apa ada anak Balwana selain saya yang udah ketemu belahan jiwanya?"

"Sejauh ini, belum ada yang melapor ke saya. Baru kamu aja."

"Hm." Tama bergumam. Dia merasa urusannya di sini sudah selesai. "Kalau gitu saya pamit, Ezki."

"Iya, hati-hati." Ezki melambai. "Oh! Apa kamu dan belahan jiwamu mau langsung punya anak?"

Tama menatap dengan wajah horor. "Kami baru sekali ketemu."

"Terus apa masalahnya? Dia kan belahan jiwa kamu."

Tama tahu bahwa Ezki tak memahami bagaimana manusia berhubungan dengan normal. Pembicaraan ini tak berguna untuk dilanjutkan. "Tolong rahasiakan pembicaraan ini dari siapa pun."

Kemudian Tama keluar. Langkahnya pun mengarah ke tujuan selanjutnya: penjara bawah tanah Balwana.


***


Markas rubanah Balwana masih sama. Aroma logam dan suhu dingin selalu menyapa saat dia masuk. Tama dan sebagian petinggi Balwana sudah mengusulkan untuk memperbaharui sistem ventilasinya. Namun, kas Balwana lebih mau difokuskan untuk pembangunan hal lain.

Tama melewati pintu besi berlapis yang membawanya pada sel tahanan khusus. Masing-masing sel terisolasi sendiri, jadi tahanan tak bisa bicara satu sama lain. Karena ini sel tahanan khusus, jumlah selnya tidaklah banyak. Tama turun ke sel tabung besar yang menahan Nicholas. Tapi sudah ada orang lain yang sedang mengunjungi tahanan itu.

Gadis berambut keriting mengembang berdiri di depan sel. Kepalanya menoleh dengan senyum jenaka di bibir merahnya. "Wah, Dek Tamtam ternyata berkunjung juga."

Tama menyipit. Dia geli sekali dengan panggilan itu. Tapi, dia tak bisa memarahi gadis ini. Tidak ketika kekuatan dan jabatan gadis itu berada di atas Tama. "Tolong jangan panggil saya kayak gitu, Kak Nana."

Tatyana, sang Komandan Pertama Balwana mengangkat kedua alis. "Lho, kan itu memang panggilanmu dari kamu sekolah."

"Cuma Kak Nana yang manggil saya kayak gitu."

"Nggak cuma aku lho? Braga juga."

"Ya, kalian berdua sama aja." Tama memandang tubuh bugil Nicholas dalam sel tabung, terlihat sedang pingsan berdiri, tangannya ditahan dengan borgol yang tergantung ke besi di langit-langit tabung selnya. Seluruh kulitnya yang terekspos menunjukkan bekas cambukan. Darah pun menetes dari belahan pantat, dan mesin dildo yang bekerja sudah berhenti. "Dia pingsan?"

"Yep, makanya dari tadi aku cuma ngelihatin aja. Dia pingsan karena digempur mulu sama dildo di pantatnya?"

"Sepertinya begitu."

"Hmm, aku nggak nyangka sel penyiksaan Balwana bakal sengeri ini. Atau, apa penyiksaan ini belum apa-apa?" Tatyana meliriknya. "Aku nanya berhubung kamu turut yang merancang sel ini."

Tama menarik napas. Menunjukkan kekejaman bukanlah hal yang membanggakan untuknya. Namun, kekejaman dibutuhkan untuk menegaskan hukuman. "Penyiksaaannya bisa lebih dari ini. Sekarang bangunin aja Nicholas kalau Kak Nana mau langsung tanya-tanya. Tinggal tekan tombol kejut listrik di sini." Dia menekan sebuah tombol biru di sisi pintu tabung sel. Tubuh Nicholas terlihat bergetar hebat. "Apa Kak Nana butuh privasi? Saya bisa keluar dulu."

"Kamu aja yang tanya-tanya." Tatyana memberikan dua lembar foto. "Coba tanya apa dia kenal orang-orang di situ."

Tama mengangguk, lalu meraih masker dan memakainya sebelum masuk ke dalam tabung sel. Aroma darah, keringat, dan urin segera tercium. Namun ada aroma lain yang dia kenal. Aroma pekat yang mirip pemutih dan telur busuk. Dia pun mendengus. "So you came, Nicholas?"

Pria yang terborgol itu hanya melirik. Wajahnya penuh luka lebam. Matanya merah, seperti lama tak tidur. Tama memang memasang simulasi penyiksaan selama enam belas jam per hari, dan tahanan diberi waktu istirahat delapan jam untuk tidur, makan, dan buang kakus. Hasil yang dia harapkan tak kurang dari ini.

Nicholas mengerang. "Apa mau lo?"

"Cuma mau dapat jawaban aja atas pertanyaan kemarin. Saya harap kamu udah berubah pikiran dan bersedia bekerja sama untuk buka mulut."

"Hah!" Nicholas mendengus. "Setelah apa yang udah lo lakuin ke gue? Lihat apa yang lo lakuin! Pantat gue masih berdarah dari kemarin! Dan lo harap gue mau buka mulut?"

Tama mengangkat alis, terlihat terkejut. "Setelah apa yang kami lakukan ke kamu?" Dia pun mendekat. "Apa kamu nggak mikir gimana perasaan para korban yang kamu sekap dan perkosa di rumahmu? Kamu bahkan menyekap perempuan dua tahun, dan bisa jadi lebih lama kalau Balwana nggak menangkap kamu duluan."

Nicholas mendengus. "Oh, jadi lo mau ngebales gue? Berlagak jadi pahlawan lo?"

"Pahlawan?" tanya Tama dengan nada ironis. "Nggak ada pahlawan yang melakukan kekejaman kayak gini, Nicholas. Kami menyiksa kamu bukan demi jadi pahlawan, tapi karena kami butuh informasi, dan kamu nggak bisa diajak kerja sama dengan cara halus." Tama menatap dingin. "Sementara untuk balas dendamnya, kamu agak benar."

"Ha, lo nggak akan dapetin apa yang lo mau." Nicholas menggeleng. "Gue nggak tahu apa-apa."

"Tapi pasti kamu tahu sesuatu." Tama melirik kaca, tahu bahwa Tatyana sedang mendengar dan mengamati. Dia menunjukkan foto pertama ke depan Nicholas. "Ada wajah yang kamu kenal?"

"Enggak."

"Lihat lagi."

Nicholas terdiam, dia mengamati lagi foto tersebut. Dia kembali menggeleng.

Tama memberi foto kedua. Kali ini, Nicholas mengangkat alis dan membalas, "Yang pojok kanan, gue pernah ketemu di suatu party."

Pertanyaan-pertanyaan lain pun terlontar. Nicholas menjawab sesuai yang dia ingat. Tama berharap semoga jawaban ini sedikit memberi informasi berguna kepada Tatyana.

"Good." Tama mengangguk. "Kalau kamu nurut begini kan jadi lebih lancar. Kamu bahkan nggak perlu disiksa dengan dildo itu selama belasan jam."

Nicholas menggertakkan gigi. "Sekarang apa? Apa lo bakal ngelepasin gue?"

"Tentu enggak. Tapi, seenggaknya kamu bisa bebas dari mesin dildo itu seharian." Tama menyimpan lagi foto tadi ke dalam saku celana. "Lagian, sebenarnya perlakuan dari kami nggak beda jauh sama perlakuanmu ke orang-orang yang kamu sekap."

Nicholas mendengus dengan tawa ironis. "Lo bawa ke mana cewek-cewek itu? Lo pake sendiri? Apa lo jadiin pelacur?"

Karena informasi itu lebih aman jika tidak diberitahu, Tama pun menjawab, "Itu bukan urusanmu."

Nicholas terkekeh. "Ah, berarti lo udah lihat semua ceweknya, kan? Udah lihat si Bening juga? Dia yang paling cantik, nggak mungkin lo lewatin gitu aja. Memang dia kayak boneka mati sih, tapi teteknya gede. Mungkin cocok kalau lo mau bercinta sama sex doll hidup."

Tama menarik napas dan menghitung sampai sepuluh. Ternyata pengambilan keputusan untuk berbaik hati kepada Nicholas bukan keputusan bijak.

"Terlepas dari segala yang menimpa kamu, saya senang melihat kamu masih semangat hidup. Artinya kamu bisa bertahan lama di sini," ujar Tama, melepas sarung tangannya. Satu tangan mencengkeram lengan Nicholas agar tak ke mana-mana, sementara yang lain dibawa ke selangkangan Nicholas.

Sang tahanan spontan berusaha menjauh. Bulu kuduknya berdiri melihat mata Tama; sorotnya gelap dan menyesap bagai lubang hitam. Telapak tangan Tama mengeluarkan panas hingga api muncul. Dia mendekatkan api itu ke penis Nicholas hingga pria itu menjerit. Aroma daging terbakar menguar dan berasap.

"AAKH!" seru Nicholas, merasakan kulit luarnya melepuh hingga matanya memanas. "Stop! Fuck you, AARGH! FUCK! Stop it, it hurts, you freak!" jerit Nicholas sambil berusaha menghindar. Tapi tidak mungkin karena Tama menahan lengannya. Jeritan Nicholas melengking kencang ketika Tama membesarkan apinya. "STOP! STOP, PLEASE, I BEG YOU! PLEASE, GUE BAKAL LAKUIN APA PUN!"

Tama berhenti. Bau daging hangus masih menguar. Nicholas meringis kencang hingga air mata menetes. Jika tangannya tidak diborgol dengan rantai gantung, Nicholas pasti sudah tak bisa berdiri sekarang.

"Bahkan di saat-saat seperti ini, you still has the audacity to say something stupid. Saya agak terkesan." Tama mengusap tangan sebelum memasang sarungnya lagi.

Nicholas mendengus dengan seringai. "Ternyata itu bener? Bahwa kalian emang bukan manusia normal?" Dia tertawa pelan dengan agak terbatuk. "Ha, nggak bakal ada orang berkuasa yang mau melihat mutan kayak kalian berkeliaran bebas kayak gini. Kalian semua pasti bakal hancur, tinggal hitung waktu aja."

"Now, now, it's funny." Tama kembali menarik sarung tangan hingga pas dan nyaman. "Apa karena kamu nggak bisa menang lawan kami, jadinya kamu cari orang lain sebagai bentuk ancaman? Kelihatannya kayak tindakan menyedihkan, bukan begitu?" Tama berjalan ke arah pintu keluar. "Saya kasih waktu dua hari. Kalau saat itu kamu nggak punya informasi lain yang berguna untuk disampaikan, lebih baik lidahmu dipotong aja."

Di luar sel tabung, Tatyana mengamati sambil bersedekap. Tama melepas masker dan membuangnya sambil menunggu perempuan itu berbicara, tapi Tatyana tak berkata apa pun.

Tama mengembalikan foto-fotonya. "Suara kami tadi kedengaran di sini kan?"

Tatyana menerima foto-foto dari Tama. "Iya."

"Apa info dari Nicholas membantu?"

"Nggak terlalu sih. Tapi kuhargai usahanya. Makasih, Tamtam." Tatyana hanya terkekeh melihat pria itu memutar bola mata. "Ah, kamu udah terima file yang kukasih, kan?"

"Udah."

"Apa kamu keberatan sama tugasnya?"

"Enggak." Tama terdiam. "Tapi, saya ngerasa ... banyak dokumen sangat penting yang nggak seharusnya saya lihat. Apa Snow juga dikasih yang kayak gitu?"

"Iya, bener. Aku mau kamu sama Snowy sama-sama bisa menghadapi klien penting."

Tama agak bergidik. Dari seluruh orang di dunia, mungkin hanya perempuan ini yang berani memanggil Snow dengan panggilan imut. Snow pun cuma bisa menggeram tiap dipanggil begitu. "Buat apa? Kak Nana mau ngerjain saya sama Snow?"

Tatyana tertawa dan mengibas tangan. "Bukanlah. Aku mau kalian ngerti dan bisa ngerjain sendiri. Emang udah seharusnya begitu."

"Apa ini?" Tama mengangkat satu alis. "Kak Nana ngomong kayak bakal meninggal besok aja."

"Who knows?" Tatyana mengangkat bahu. "Siapa tahu aku mati lebih dulu."

"Baik mati karena usia atau percobaan pembunuhan, rasanya nggak mungkin." Tama bahkan tak bisa membayangkan itu. Tatyana adalah mutan yang lebih kuat daripada dirinya dan Snow. "Kalau Kak Nana mati, Balwana pasti hancur. Kalau Komandan terkuat bisa ditumbangkan, berarti yang lain lebih mudah kalah."

"Kalau kerja sama, kalian nggak akan kalah kok." Tatyana melempar senyum. "Pastiin aja kalau kalian nggak akan tercerai-berai entah apa pun masalahnya."

Tama hanya bergumam menanggapi. Saat itu, dia jelas tak memprediksi bahwa Tatyana akan pergi meninggalkan Balwana tiga bulan kemudian.

[ ].

2,6k words
11/04/2022



A/N

Berhubung tokohnya banyak, gue gambar tokoh-tokoh utama dan para tokoh sampingannya biar gampang diinget. 




Continue Reading

You'll Also Like

4.7K 657 7
Bagi Kaia, dia tahu di dunia ini dia paling menyukai baking. Ah, dan tentu saja Tyaga. Dia bahkan ingin menikahinya. ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ Sedang bagi Tyaga, dia ha...
380K 55.6K 39
"What could be more painful than a broken heart?" "Fall madly in love..." He wants to be in love, whereas she doesn't want to know what it's like to...
397K 51.1K 40
Shimika Bowers once stated, "Do they love you or the mask you put on every day?" Smiles, warmth, and kindness are all traits that both of them must e...
672K 119K 51
Mereka bagai bintang yang terang. Gemerlap dan menyilaukan. Namanya di elu-elukan sedemikian besar, popularitasnya meledak hingga sampai pada tahap d...