BERTEDUH

By amellidong

61K 10.5K 1K

Perahu penuh lubang itu pada akhirnya berhasil bersauh. Sepasang jiwa yang penuh dengan luka itu pada akhirny... More

Berteduh
1. CUKUP SEPERTI INI
2. JANGAN TERULANG LAGI
3. HANYA AKU
4. APA LAGI INI?
5. AKU AKAN TETAP DI SINI
6. GEMURUH YANG DATANG
7. AKU DIAM TAK BICARA
8. SESUATU YANG KAU SEMBUNYIKAN
9. MERASA BERSALAH
10. KAU YANG KUBUTUHKAN
11. KITA PERNAH DI SINI SEBELUMNYA
12. PANTASKAH KITA?
13. KHAYALAN SAJA?
14. KITA TAK KEMANA-MANA
15. KEPUTUSASAAN YANG NYATA
17. BADAI YANG MENERJANG
18. DI SAMPINGKU, SELAMANYA
19. MENGUATKAN GENGGAMAN
20. UNTUK BISA BERSAMA
21. BERTEDUH

16. MASA DEPAN YANG FANA

2.3K 427 85
By amellidong

Potongan daging yang terendam kuah hitam hangat nan beraroma sedap di hadapan Aira tak membuat selera makannya bertambah dari tadi. Justru sebaliknya, ia harus menahan napas tiap kali mengunyah dan menelan setiap sendokan, agar tak semakin membuatnya mual karena aroma rempah yang menguar.

Alhasil, belum sampai makanan di dalam mangkok tandas, Aira menggeser porselen putih itu ke samping sebagai ungkapan 'cukup, aku tak tahan lagi'.

"Nggak enak, ya?"

Aira menggeleng. Tombak yang sedari tadi menunggunya makan, menatapnya dengan sorot bertanya-tanya. Wajar, karena rawon adalah salsh satu makanan kesukaan Aira.

"Mau makan yang lain?"

"Nggak, Tombak. Cukup. Aku kenyang."

Tombak terdiam sesaat, sebelum meraih mangkok tersebut dan berjalan menuju konter cuci piring. Tak lama kemudian, segelas air mineral ia letakkan di hadapan Aira.

"Jadi bagaimana?" tanya Aira.

"Minum dulu." Pria itu kembali duduk di kursinya.

Dengan segera Aira menghabiskan isi gelas di hadapannya. "Aku siap," ucapnya setelah bersendawa.

Senyum geli Tombak pun terbit. Ia mengusap bekas air yang menetes di dagu istrinya. "Apapun yang kamu dengar nanti, tolong cerna baik-baik. Akan kuceritakan semuanya."

Aira mengangguk sekali.

"Almarhum Bosku memiliki tiga orang anak. Dua laki-laki, dan Andrea si bungsu."

Sorot mata serius Aira sedikit nampak tak berminat karena mendengar Tombak menyebut nama Andrea sejak di awal cerita.

"Saat dalam keadaan kritis karena serangan misterius di rumahnya, beliau berpesan agar aku menggantikannya sebagai pemimpin organisasi untuk sementara. Namun kemudian beliau meninggal, dan aku masih menggantikan tugas beliau setelah itu."

"Kenapa harus kamu? Dia punya tiga orang anak dan banyak anak buah, kan?" Aira tak bisa mengontrol nada bicaranya yang jelas terdengar kesal.

"Hanya dua, karena Andrea tak bisa dimasukkan dalam hitungan. Sejak kecil, Andrea tak pernah dilibatkan dalam urusan organisaai." Tombak menarik napas sebelum melanjutkan. "Kenapa aku? Karena beliau mempercayaiku. Beliau memohon padaku, dan aku merasa berhutang budi."

Tombak meremas lembut tangan Aira yang berada di atas meja. "Kita tidak akan sampai di titik ini jika beliau tak menyelamatkan kita."

Tiba-tiba Aira nampak murung karena secuil rasa bersalah yang berkelebat di hatinya.

"Organisasi sepenuhnya di bawah kepemimpinanku setelah beliau meninggal. Semua berjalan lancar pada awalnya, namun mulai tak kondusif saat kedua kakak Andrea ternyata mengincar posisiku. Mereka menggila."

"Apa mereka berusaha menyakiti kamu?"

Sorot khawatir yang terpancar di mata lembut Aira berhasil melemahkan diri Tombak. Pria itu tersenyum, berusaha tak membuat khawatir istrinya.

"Mereka tak tahu dengan siapa mereka mencari masalah."

Aira menghela napas lega dan mengusap punggung tangan suaminya. "Aku mohon kamu selalu berhati-hati."

Tombak mengangguk, lalu menunduk. "Aku ingin kita selalu bersama."

Keheningan menyelimuti meja makan itu untuk beberapa saat.

"Kamu harus pergi lagi, ya?" Aira memecah keheningan dengan pertanyaan getirnya.

"Gembul menyarankan aku untuk bersembunyi hingga keadaan menjadi kondusif. Aku nggak mau melibatkan kamu dalam hal ini."

Aira merasa sedikit kesusahan menarik napas untuk mengisi rongga dadanya. "Berarti kita harus berpisah?"

Puluhan detik berlalu dengan keheningan Tombak. Pria itu hanya menatap Aira, dan menyampaikan rasa sakit lewat tatapan kedua matanya. Hingga Aira berjalan mendekat dan mendekap kepalanya, Tombak masih tak kuasa membuka suara.

"Apa kita nggak bisa melewati ini bersama?" Kedua tangan Aira mengusap kepala Tombak yang bersandar di perutnya.

"Selamanya aku nggak akan bisa memaafkan diriku sendiri kalau kamu kembali terluka karena aku, Ra."

"Begitu, ya?"

"Maaf."

Aira menggeleng. Cukup kencang hingga membuat air matanya menetes. "Kita pasti bisa melewatinya."

Tombak menarik Aira, dan membawa perempuan itu dalam pangkuannya. Dengan segenap hati ia memeluk Aira, menyembunyikan raut kesedihan yang begitu mendalam di pundak istrinya.

.

.

.

Maafkan aku juga, Tombak ...

***

Hujan yang belum sepenuhnya reda hingga malam hari, membuat suhu kota dingin itu lebih rendah dari biasanya. Gembul menikmati ini. Dengan sebatang rokok di bibirnya, ia menikmati udara dingin yang jarang ia rasakan di ibu kota.

Gembul menyandarkan punggung polosnya di kursi rotan teras. Pikirannya mencari tahu jawaban atas lepasnya kontrol dirinya beberapa jam yang lalu saat bersama Andrea. Berbagai jenis perasaan menghujamnya tanpa ampun. Ada perasaan bahagia mendapat sambutan dari perempuan yang sekarang menghuni hatinya itu. Pada akhirnya, ia tahu bahwa Andrea juga menginginkannya. Namun di sisi lain, mendengar isi hati perempuan itu sesungguhnya membuat ia merasa tak berdaya.

'Gue nggak mau berakhir seperti Nyokap gue, Bang. Gue benci kalian semua.'

Jelas. Andrea tak ingin menjalani kisah bersama dengannya.

Pintu kamar terbuka. Gembul mendapati Andrea yang hanya berbalut selimut, tengah menatapnya seraya menutup pintu. "Baru bangun?" tanyanya.

"Gue kira lo udah pergi." Suara Andrea terdengar sedikit serak.

"Ya enggak, dong." Gembul mematikan rokok dan berjalan mendekat. "Lagian lo kan belum makan."

Andrea hanya menatap Gembul saat mengulurkan tangan dan merapikan rambut cokelat terangnya yang nampak kusut karena tak dikeringkan.

"Gue masak nasi goreng." Gembul menyudahi kegiatan dan berjalan ke dapur. "Kalau lo mau makan, gue ceplokin telur dulu."

"Ceplokin. Gue laper," ucap Andrea seraya duduk di kursi makan.

Saat Gembul berkutat di depan kompor, ia mendengar suara bersin di belakangnya.

"Kan?" Tatapan peringatan Gembul nampak tak main-main. "Ini akibatnya kalau lo milih hujan-hujanan."

Di meja makan, Andrea nampak acuh dan hanya menarik ingus yang terasa membasahi hidungnya.

"Sono pakai jaket, Ndre! Lo juga ngapain sih keluar kamar pakai selimut doang? Dingin tau!"

"Males."

Sepiring nasi goreng berwarna putih pucat dan telur mata sapi hangat tersaji di hadapan Andrea.

"Gue nggak tahu di mana saos sama kecapnya. Putihan nggak apa-apa, kan?"

Andrea menahan lengan Gembul saat akan pergi. "Mau ke mana?"

"Ambilin jaket buat lo."

"Sini aja." Andrea menarik Gembul agar duduk di sampingnya. "Temenin gue makan."

Gembul hendak protes, namun urung karena melihat anak rambut pendek Andrea yang terus turun saat perempuan itu menyendok makanan. Alhasil, ia pun duduk dan menggantikan tangan kiri Andrea yang menahan rambut.

Senyum Andrea tersungging tipis karena ia bisa makan dengan bebas.

"Enak, kan?" tanya Gembul.

"Lebih enak buatan Delvi."

Kedua mata Gembul melotot tak terima. Andrea tertawa tertahan, lalu bersin berkali-kali hingga membuat hidungnya memerah seketika.

"Kualat lo!"

Andrea terus bersin hingga melepas sendok untuk menutup hidungnya.

Gembul menyentuh kening Andrea. "Di mana lo nyimpen obat?"

Telunjuk Andrea mengarah ke lemari kayu di sudut dapur.

Di antara berbagai macam obat yang Gembul pilah, ia menemukan satu obat generik berwarna kuning. "Cuma ada ini," ucapnya seraya meletakkan obat tersebut dan segelas air mineral di atas meja.

Andrea meminum obat tersebut, lalu mendorong piringnya ke depan. "Gue lanjutin kalau bersin gue reda," ucapnya yang disusul dengan bersin penutup.

"Awas lo kalau hujan-hujanan lagi!"

Hanya ada sahutan suara berisik Andrea yang mengeluarkan ingus.

"Denger, Ndre?"

Kedua lengan Andrea terulur ke arah Gembul. "Dingin! Buruan sini!"

Gembul mematung sejenak, sebelum Andrea nampak tak sabar dan menariknya mendekat. Perempuan berambut cokelat terang itu memeluknya, mencari kehangatan dan kenyamanan di dada bidang Gembul yang terbuka.

"Astaga, Andrea. Kalah main gue sama lo."

.

.

"Gue nggak tahu lo punya tato."

Gembul menatap puncak kepala Andrea yang bersandar di cerukan lehernya. Saat ini mereka tengah duduk di sofa ruang tamu, berpelukan menatap sisa tetes air hujan di dari atap rumah.

"Dari dulu kali. Lo sih, sibuk merhatiin Tombak," sahut Gembul.

Andrea mendengkus. Telunjuknya masih bergerak mengikuti pola tato di dada Gembul. "Kaya' lo merhatiin gue dari dulu aja."

"Gue merhatiin lo, kok. Buktinya gue tahu penyakit lo apa aj- argh..." Gembul melotot menatap Andrea yang baru saha mencubit dadanya.

"Bilang penyakit-penyakit lagi, beneran gue gampar lo, Bang."

Bukannya takut, Gembul malah terkekeh menatap raut ketus Andrea. "Sorry, Cantik."

"Dih!"

Kekehan Gembul berubah menjadi tawa.

"Besok lo pergi, ya?"

"Hm..." Gembul berusaha nampak tenang kala menjawabnya. "Besok gue tugas."

Andrea menguap lebar-lebar dan meregangkan otot tubuh. "Kalau mau pergi, pergi aja. Nggak usah pamit gue," ucapnya seraya melepaskan diri dari lilitan selimut.

"Lo tidur sini." Andrea membiarkan tubuh telanjangnya berdiri di hadapan Gembul yang tak berekspresi. "Gue nggak punya banyak selimut, pakai ini aja."

Masih tak ada tanggapan dari Gembul yang menerima selimut pemberian Andrea. Hingga sampai perempuan itu masuk ke dalam kamar, tak ada satu kata pun yang terucap dari bibirnya.

***

"Butuh bantuan?"

Tombak mengangkat kepala dari lembaran kertas dan laptop yang ada di depannya. Nampak Aira yang berdiri di sampingnya tengah menguncir rambut. "Nggak perlu. Sudah selesai," jawabnya.

"Dari semalam kamu ngerjain itu?" tanya Aira seraya berjalan membuka pintu yang menghubungkan dapur dengan halaman belakang. Udara segarnya pagi seketika menyeruak masuk ke dalam.

"Pak Herman butuh data ini secepatnya."

Aira menghentikan gelas berisi air mineral yang akan menyentuh bibirnya. "Tapi kamu menyempatkan tidur, kan?"

Senyum Tombak terukir tipis. Ia tahu istrinya kini mulai kembali seperti sedia kala. "Tidur. Pagi ini aku cuma final check."

Tak ada pertanyaan dari Aira lagi karena perempuan itu mengangguk dan mulai minum.

Tombak menutup laptopnya, lalu berjalan ke arah dapur. "Mau teh?" tanyanya seraya mengisi teko.

Aira menggeleng tegas. "Mau bonceng aku ke bukit?"

Ekspresi Tombak nampak datar saat menatap Aira. "Sepagi ini?"

"Hm." Aira mengangguk. "Mau sekalian sarapan di sana?"

Kedua mata Tombak sedikit menyipit.

"Kalau nggak mau ya udah. Nggak apa-apa."

Tombak meraih lengan Aira yang hendak berjalan melewatinya. "Aku kan belum kasih jawaban."

Aira kesusahan menghindari tatapan suaminya. "Lama," ucapnya lirih.

Tawa Tombak mengalun renyah di dapur yang tenang itu. Ia mengecup gemas pipi Aira, lalu berjalan ke ruang tamu. "Cuci muka kamu dulu. Cantik tapi belekan juga percuma."

Bibir Aira terbuka, seiring perginya Tombak dari pandangannya.

***

Gembul tak ingin menuruti perkataan Andrea.

Di depan kamar perempuan itu, Gembul berdiri memantapkan hati untuk masuk dan berpamitan. Secangkir air lemon di tangannya mulai tak mengeluarkan uap hangat. Ia tak boleh membuang waktu lebih lama lagi karena harus bergegas.

Andrea nampak masih terlelap saat Gembul membuka pintu. Gembul sedikit lega, karena saat ini perempuan berambut sebahu itu sudah mengenakan baju.

"Nih anak, hobi banget tidur tengkurap," ucap Gembul saat meletakkan cangkir di atas nakas.

Gembul berlutut di samping ranjang, menatap wajah lugu Andrea yang jarang ia jumpai saat perempuan itu membuka mata. "Ndre," panggilnya.

Melihat rambut Andrea yang menutupi area wajah, Gembul pun menyelipkannya ke belakang telinga perempuan itu. "Andrea," panggilnya lagi.

Perlahan, kedua mata Andrea terbuka. Kedua alis perempuan itu menaut saat menyesuaikan cahaya yang ia terima.

"Gue pamit."

Sebuah bantal mendarat di kepala Gembul tiba-tiba. Andrea pun memunggungi Gembul dan berusaha melanjutkan tidurnya.

"Ada yang mau gue tanyain sebelum pergi." Suara Gembul jelas terdengar ragu.

Tak ada sahutan dari Andrea.

"Sebenarnya lo mau kita bersama nggak, sih?"

"Nggak," sahut Andrea cepat, bahkan sebelum Gembul mengatupkan bibirnya.

Gembul terhenyak, merasakan lamat-lamat sensasi tusukan tak berwujud yang menghunus dadanya. Tubuhnya lemas seketika, sedangkan tenggorokannya terasa menyempit hingga membuatnya kesulitan menghirup udara. Ia hanya bisa terdiam selama beberapa saat.

"Oke," ucap Gembul pada akhirnya.

Kaki Gembul tak sekuat biasanya saat berdiri. Berkali-kali ia bergantian menatap cangkir di atas nakas dan punggung Andrea.

"Gue buatin air lemon hangat."

"Pergi."

Seluruh organ pernapasan Gembul seolah tersekat dari berbagai sisi. Ia pun hanya bisa mengangguk, menoleh Andrea untuk yang terakhir kali, lalu menguatkan kaki untuk melangkah pergi.

***

Berkali-kali, Delvi menghela napas berat setelah mengunci layar ponselnya. Di teras rumah Tombak, ia duduk menunggu siapapun untuk muncul di hadapannya saat ini. Hatinya berkecamuk sejak kemarin. Ia tak bisa menghubungi Andrea, namun hatinya melarang keras dirinya untuk datang begitu saja ke rumah perempuan itu.

Delvi tak ingin gegabah, dan berakhir merusak semuanya.

Sayup-sayup suara orang terdengar di telinga Delvi. Tak lama kemudian, dua orang berboncengan sepeda nampak memasuki halaman.

"Mas Delvi?" Aira turun dari boncengan dan berjalan menuju teras. "Nunggu dari tadi?"

"Baru sepuluh menit." Delvi memberikan sebuah kotak makanan berwarna cokelat muda. "Ada macaroni schotel panggang di dalamnya."

"Wah, terima kasih."

"Kalian dari mana?" Kali ini Delvi menoleh Tombak. "Mesra banget boncengan sepeda pagi-pagi,"

"Bukit," jawab Tombak seraya mengangkat tas kain dari keranjang sepeda.

Benak Delvi seketika bertanya, haruskah ia bertanya langsung kepada Tombak?

"Masuk, Mas," ucap Aira setelah membuka pintu.

.

.

Delvi menatap secangkir teh hangat yang baru saja diletakkan Aira di hadapannya.

"Udah sarapan, Mas?"

"Udah kok, Ra." Delvi lalu memperhatikan Tombak yang sedang mencuci beberapa kotak makan.

Aira yang menyadari hal tersebut, menanyakan maksud kedatangan Delvi begitu saja. "Mas Delvi ada perlu dengan Tombak?"

Karena mendengar namanya disebut, Tombak menghentikan kegiatan dan membalik badan.

"Oh, em ... bukan masalah penting sih sebenarnya. Mau tanya sesuatu," jawab Delvi.

"Tanya apa?" Kali ini Tombak turut bersuara.

Delvi menatap Tombak dan Aira bergantian, sebelum memantapkan diri untuk bertanya. "Kalian tahu nggak, Andrea punya hubungan apa sama Gembul?"

Kedua bola mata Aira sedikit melebar, sedangkan Tombak hanya menghela napas pelan.

"Kenapa, Del?" tanya Tombak tenang.

"Ada hubungan, ya?"

Tombak menghela napas lagi, kali ini sedikit lebih berat. "Setahuku mereka nggak berkomitmen satu sama lain."

"Oh, gitu."

"Ada apa, Mas? Kenapa tiba-tiba tanya itu?" tanya Aira penuh hati-hati.

Delvi menggeleng, lalu menggaruk pelipisnya kikuk. "Cuma mau memastikan. Takut salah langkah aja."

Aira menatap Delvi lembut. "Kenapa nggak tanya Andrea langsung, Mas?"

Senyum lemah Delvi terukir. "Rasanya aku belum siap dengar sesuatu yang bisa jadi akan menyakiti hatiku, Ra."

.

.

.

Di atas tempat tidur, Tombak memperhatikan Aira yang sedang menyisir rambut di depan meja rias kamar mereka. Entah perasaannya saja, atau memang tulang pipi istrinya itu terlihat sedikit lebih menonjol ke atas hingga membuat kedua mata lembutnya tampak lebih kecil. Tombak lebih memilih tatanan deskripsi kalimat tersebut di dalam kepalanya, alih-alih dengan gamblang menyebut istrinya terlihat lebih gendut.

"Besok aku berangkat jam sembilan." Aira melirik suaminya yang sedari tadi memperhatikannya diam-diam.

"Hm." Tombak mengangguk. "Ku antar."

Aira meletakkan sisir, dan mulai memakai vitamin rambut.

"Kamu yakin mau nemenin Delvi ke rumah Andrea?" tanya Tombak.

"Kenapa memangnya?"

"Yakin mau melibatkan diri di antara mereka?"

"Aku cuma mau bantu Mas Delvi, kok. Lagian kita bertiga memang punya rencana mau tempat refleksi."

Berat rasanya bagi Tombak mengungkapkan fakta sesungguhnya. "Gembul suka Andrea, Ra," ucapnya kemudian.

Aira menatap Tombak sepenuhnya. "Itu feeling kamu aja, kan?"

Tombak menggeleng pelan.

"Ya ... " Aira jelas nampak bingung memilih kata-kata. "Ya aku kan ... aku cuma mau bantu Mas Delvi karena dia udah curhat ke aku."

Tak ada tanggapan dari Tombak.

"Walaupun Mas Gembul dekat dengan kita, aku nggak pernah dapat cerita langsung dari dia."

"Jadi harus nunggu dia cerita baru kamu bantu?"

Aira nampak panik, lalu menggeleng cepat. "Bu-bukan begitu! Kan ... kan Mas Delvi dulu yang cerita ke aku, j-jadi aku harus bantu Mas Delvi dulu."

Bagi Tombak, pemandangan di hadapannya sungguh menggemaskan. "Tapi Gembul suka Andrea lebih lama," godanya lagi.

Bibir Aira bungkam. Hanya kedua mata dan kerut di keningnya yang menunjukkan kepanikan.

Tombak tertawa, lalu menarik Aira agar duduk di ranjang bersamanya. "Kamu jangan sok ketus gini. Nggak cocok."

"Aku nggak sok ketus."

"Dari pagi kamu ketus sama aku."

"..."

"Masih kesel ya sama aku?"

Aira memalingkan muka, lalu merangkak menuju sisi ranjang satunya.

Tombak memperhatikan tingkah Aira dengan sabar, lalu mematikan lampu nakas, dan turut membaringkan diri seperti yang dilakukan istrinya. "Aira?" panggilnya.

"Hm?"

"Kupeluk, ya?"

"..."

"Boleh?"

Aira menghela napas berat, lalu mengubah posisi menghadap Tombak. "Boleh," ucapnya lirih.

Senyum Tombak terbit. Tanpa menunggu lama, ia pun merengkuh tubuh Aira untuk ia dekap di dadanya.

***

"Aira, ini sudah jam sembilan lebih lima belas menit."

"Sebentar."

Tak lama kemudian, terdengar derap kaki tegesa dari arah kamar. Tombak yang duduk di sofa ruang tamu, menoleh kehadiran Aira di sana.

"Warna lipstick ini cocok, nggak? Nggak terlalu gelap, kan? Wajahku nggak kelihatan judes, kan?"

Tombak sedikit ternganga. Tak menyangka akan mendapat pertanyaan itu pagi ini.

"Tombak?"

"Cocok. Cantik." Tombak berdiri. "Udah siap?"

"Tunggu, aku mau pakai blush on," ucap Aira seraya kembali ke kamar.

Tombak menghela napas, lalu tersenyum tipis. Kegemasan Aira nyatanya tak berhenti pada kemarin malam, di mana perempuan itu memintanya untuk memeluk lebih erat lagi.

.

.

Namun sepertinya, kebahgiaan sederhana yang dirasakan Tombak harus kembali diuji dengan telepon rumahnya yang tak henti-hentinya berdering di saat ia dan Aira sudah berangkat pergi.

.

.

.

BERSAMBUNG

.

.

.

Dahlah, enjoy aja

.

.

.

Cantik, Mbak Aira. Beneran ❤

.

.

Sampai nih orang cuma bisa senyam-senyum mulu 😌

Continue Reading

You'll Also Like

3.8M 55.6K 32
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
1.1M 47.8K 37
Mereka teman baik, tapi suatu kejadian menimpa keduanya membuat Raka harus menikahi Anya mau tidak mau, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas apa ya...
2.6M 39.6K 51
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
398K 22.1K 29
Mature Content ❗❗❗ Lima tahun seorang Kaia habiskan hidupnya sebagai pekerja malam di Las Vegas. Bukan tanpa alasan, ayahnya sendiri menjualnya kepad...