ASAVELLA [TERBIT] ✓

By jerukminii

9.2M 663K 52.4K

Aku terlalu bahagia mengisi hari-harinya. Sampai aku lupa, bukan aku pengisi hatinya. ••••• Cover by pinteres... More

Asavella 🍁
Asavella 🍁2
Asavella 🍁3
Asavella 🍁4 +
Asavella 🍁5
Asavella 🍁6
Asavella 🍁7
Asavella 🍁8
Asavella 🍁9
Asavella 🍁10
Asavella 🍁11
Asavella 🍁12
Asavella 🍁13
Asavella 🍁14
Asavella 🍁15
Asavella 🍁16
Asavella 🍁17
Asavella 🍁18
Asavella 🍁19
Asavella 🍁20
Asavella 🍁21
Asavella 🍁22
Asavella 🍁23
Asavella 🍁24
Asavella 🍁25
Asavella 🍁26
Asavella 🍁27
Asavella 🍁28
Asavella 🍁29
Asavella 🍁30
Asavella 🍁31
Asavella 🍁32
Asavella 🍁33
Asavella 🍁34
Asavella 🍁35
Asavella 🍁37
Asavella 🍁38
Asavella 🍁39
Asavella 🍁40
Asavella 🍁41
Asavella 🍁42
Asavella 🍁43
Asavella 🍁44
Asavella 🍁45
Asavella 🍁46
Asavella 🍁 47
Asavella 🍁48
Asavella 🍁49
Asavella 🍁50
Asavella 🍁51
Asavella 🍁52
Asavella 🍁53
Asavella 🍁54
Asavella 🍁55
Asavella 🍁56
Asavella 🍁57
Asavella 🍁58
Asavella 🍁59
Asavella 🍁60
Asavella 🍁61
Asavella 🍁62
Asavella 🍁63
Asavella 🍁64
Asavella 🍁65
Asavella 🍁66
Asavella 🍁67
Asavella 🍁68 pt.1
Asavella 🍁 68 pt.2
Asavella 🍁69 pt.1
Asavella 🍁 69 pt.2
Asavella 🍁70 (A)
Asavella ending?
ENDING ASAVELLA
EPILOG
ARKHAN : AKU JUGA PERNAH BAHAGIA
VOTE COVER ASAVELLA
OPEN PRE ORDER ASAVELLA
ASAVELLA 2: BALLERINA BERDARAH

Asavella 🍁36

90.7K 7.8K 1.2K
By jerukminii

"Tapi mamah gamau kamu terluka lagi. Cuma ini yang mamah bisa, kamu di sini lima belas menit lagi, ya. Mamah masih kangen. Dan mamah bakalan telepon wali kelasmu."

"Aku juga cinta kamu, sayang. Mamah pasti sembuh. Hati-hati, ya."

"Dan sekarang mamah udah bener-bener sembuh..."

Bagaimana dirinya tersenyum lebar mengelus puncak kepala Kuntira. Terlalu lama menerbitkan senyum sampai lupa air mata ikut tumpah untuk mengekspresikan suasana hatinya.

Bagaimana juga terlihat ibu dan anak ini sama-sama memakai pakaian berwarna putih yang begitu cantik dan bersih. Sorot mata Asa turun ke bawah. Dengan tangan yang kini memilih mengusap perlahan wajah sosok wanita yang baru saja memberi kasih sayang kepadanya.

"Mamah hari ini cantik. Alangkah baiknya, kalo bangun. Pasti lebih cantik."

"Tidurnya terlalu lama sampai lupa untuk bangun."

Suara itu memohon untuk sang wanita yang terpejam tidur terlalu pulas. Tangan yang terhias dengan sapu tangan putih berpita. Serta beberapa bunga mawar putih yang berada pada tangannya di mana, seolah-olah wanita itu tidur dengan menggenggam sembilan bunga cantik.

"Ca, peti mamah harus ditutup," lirih Jysa menginterupsi seraya memegang pundak sang saudari.

"Mamah kamu bangga liat kamu, Langit," lirih Brian yang kini menguatkan sosok gadis yang sekarang memendarkan senyumannya dan menekuk dua ujung itu ke bawah.

Jysa memeluk Asa dari samping. Sesekali mengecup puncak kepala saudarinya. Ia meredupkan rasa benci kepada saudarinya untuk beberapa hari ini.

"Mamah harus segera dikremasi, Ca. Kita udah nunda pemakaman tiga hari cuma buat kamu. Tolong, lepasin mamah, ya. Kasihan mamah," mohon Jysa yang begitu rapuh. Mengingat bagaimana ketika ia mendengar kematian mamahnya.

"Kenapa enggak gue aja yang di posisi ini. Andai gue tau, lima belas menit itu permintaan terakhir mamah, gue enggak akan pulang, kak. Lo mana tau perasaan gue. Kemarin, baru aja gue dapet yang namanya kasih sayang dan cinta seorang ibu, tapi kenapa? Tuhan merenggut seusai gue ngerasainnya?" Hati Asavella benar-benar mencelos untuk mengungkap apa yang ada dipikirannya.

"Gue enggak akan pernah merasakan kehilangan, sebab yang sering bertamu selalu penderitaan dan luka dan bukan kebahagiaan."

"Kalo aja diberi kesempatan, gue, bakalan tuker kematian mamah dengan kematian gue! Sebenci-bencinya gue sama mamah, anak mana yang kuat melihat kematian malaikatnya pergi begitu aja!"

Brian yang mendengar refleks langsung menarik tubuh Asavella ke dalam pelukannya. Berulang kali ia menepuk-nepuk punggung si gadis untuk lebih tenang. Sementara Jysa? Gadis itu tidak ada tempat sandaran. Tetapi, sebuah uluran tangan menarik tubuh Jysa, Riri memberikannya untuk gadis itu. Tangisan malah pecah tak karuan.

Ia terisak keras dalam pelukan Riri.

Barangkali Bara hadir, itu yang diharapkan kedua putrinya. Tapi, pria itu tidak hadir dalam duka yang menyelimuti kedua putrinya. Seharusnya ia hadir untuk memberi kekuatan dan ketabahan kepada kedua putrinya yang benar-benar rapuh.

Beberapa petugas langsung menutup peti itu. Jeritan pilu dua gadis yang spontan mengetahui berusaha menahan supaya tangan mereka bisa menyentuh wajah Kuntira Diana Putri untuk terakhir kali.

"Mah! Enggak mah!!! Enggak!!! Jangan ditutup!!!" teriak pilu dua gadis itu secara bersamaan.

"Ssst ...," Brian dengan sigap menarik tubuh Asa sementara Riri yang menarik kembali tubuh Jysa untuk kembali dalam pelukan mereka.

"Udah. Udah, Langit ....." Laki-laki itu mengecup puncak kepala Asavella berulang kali dan menyembunyikan wajahnya pada tengkuk leher Asavella.

Di sisi lain terlihat jelas, ada sosok Mutiara yang turut hadir membungkam bibirnya. Bagaimana histeris kedua gadis di dalam sana ketika peti mulai tertutup rapat. Ia kemudian memeluk wanita yang merupakan sosok ibunya.

"Mih, apa kita juga pelaku?"

Wanita berambut pendek itu menggeleng. "Enggak sayang, kamu bukan pelaku. Tapi mamih. Maaf, sayang. Ulah mamih kamu memikul beban dosa mamih. Tapi, Cuma ini cara satu-satunya biar kamu bahagia, bisa sekolah dan merasakan kasih sayang seorang ayah."

"Tapi gadis di dalam sana yang bernama Vella, dia tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah. Ara udah ngerenggut."

ฅ^•ﻌ•^ฅ

Asa dengan kuat membawa abu sang mamah yang di mana kini dalam pelukannya dengan berlayar menggunakan kapal. Sementara Jysa, gadis itu bersandar pada pundak Riri—Bunda Brian. Gadis itu mengusap-usap pigura besar yang ada di dekapannya yang di mana memperlihatkan foto Kuntira.

Semua yang hadir melihat Asa yang menggunakan gaun terusan putih mirip dengan Kuntira pakai dalam pigura. Kuntira memakai di kala masih hidup dan Asavella memakainya kembali untuk terakhir kali untuk menabur abu Kuntira pada lautan Biru.

Kini kapal berjalan pada laut ancol di mana kapal sudah berada pada tengah-tengah laut. Asavella dan Jysa berdiri. Brian yang membawa sekarung bunga mengikuti dari belakang bersama Riri. Jysa dan Mutiara bersampingan mengikuti langkah Asa. Sementara Bara dan Istri sirihnya hanya berdiri diam memperhatikan proses pelarungan abu Kuntira.

Asa Lebih dulu mengambil Abu Kuntira dan menaburkan perlahan pada perairan lautan. Kini diikuti oleh saudarinya-Jysa.

"Bunga terakhir di laut lepas dan selamat bahagia dengan abadi, mah."

"Baik-baik di nirwana, sering-sering dateng di mimpi Aca, sebagai ibu dan anak yang sudah berdamai."

Asa bisa melihat abu itu tinggal segenggam. Ia menunduk sejenak. Dan kemudian menoleh ke belakang. Ia bisa menemukan sosok Bara yang hadir saat di dermaga. Pria paruh baya itu diam dengan ponselnya saja. Memainkan ponsel tanpa melihat kondisi dan situasi sedari tadi.

Asa membalik tubuh dan merajut langkah pelan. Brian yang mengetahui kemudian bertanya.

"Kemana, Sa?"

Sontak Jysa dan Mutiara yang mendengar suara laki-laki itu menoleh-mengikuti pandangan Brian yang tersorot di mana Asa berdiri di titik Bara terdiam.

Asa menyodorkan kain putih ke arah Bara di mana kain putih itu tersisa segenggam abu milik mendiang istrinya.

Bara tak acuh, ia hanya fokus dengan benda pipih di mana ia juga memakai kaca mata hitam. Ia mengabaikan sosok gadis yang berdiri di hadapannya. Dengan refleks sosok wanita di samping bara memegang bahu Bara.

"Mas," panggil wanita yang kini asa telisik dari atas ke bawah. Bibir merah pekat dengan dress panjang berwarna hitam. Tak lupa sentuhan sulam alis serta make up yang begitu tebal.

Bara menoleh ke samping tepat suara itu memanggil namanya. "Iya, sayang?"

Asa mengernyit tak percaya-sekilas memejam mata. Ia merasa geli ketika Bara mengucap kata bodoh yang jarang sekali terucap untuk Kuntira selama ini. Ingin sekali membuang ludah di wajah Bara-tapi kondisi dan situasi tidak mendukung.

Bara mengikuti bola mata wanita di sampingnya yang memandang dalam satu arah. Pria paruh baya itu dan tangannya terulur untuk menurunkan sedikit kaca mata hitamnya.

"Ada apa?" monolog Bara dengan suara khasnya yang begitu husky itu terlontar untuk Asa.

"Apa kamu menginterogasi saya? Atas kematian Kuntira ibumu yang mendadak?"

"Dia istrimu," tekan Asa samar. "Lihat, istrimu, menjadi abu. Apa hati kecil papah sebagai seorang suami tidak bergerak untuk ikut melepas abu wanita malang ini?"

Bara mengangkat dagu. Ia terlihat arogan dengan senyuman tipisnya. "Dia hidup merepotkan saya, bahkan kematiannya juga. Dia sama seperti mu, Aca. Cacat. Terlahir dengan mental yang lemah seperti orang gila."

"Gue enggak peduli lo ngomong apa tentang gue. Setidaknya kehadiran papah di sini sedikit berguna. Beri penghormatan terakhir kepada mamah. Udah!" terka Asa mengingatkan Bara yang selalu membuang waktu.

Bara terdiam membuat hening yang begitu lama. Tatapannya fokus pada lautan biru yang luas. Dan kini, ia membungkuk sedikit untuk mensejajarkan tingginya dengan sang buah hati. Bibirnya ia dekatkan dengan rungu kanan Asa.

"Baik."

"Saya akan memberi penghormatan untuk terakhir kali kepada istri tercinta saya. Bahkan, saya jujur, saya juga merasa kehilangan.

"Tapi dengarkan saya, saya bukan pelaku kematian Kuntira yang mendadak, Asavella," ujar Bara sembari memandang tiga remaja dari balik kaca mata hitamnya yang tengah menatapnya.

"Saya mungkin jahat. Tapi, apa gunanya saya membunuh istri saya? Saya membelinya begitu mahal," sambungnya samar. Memastikan yang mendengar hanya anak bungsunya.

"Mulai-lah membuka mata mu, Asavella. Pelakunya orang terdekatmu. Tidak perlu jauh-jauh. Dia orang yang kamu kenal dan sekarang dekat denganmu."

Asa mengerutkan alisnya. Ia di kondisi seperti ini Asavella dibuat tertekan batin dan tempurung yang harus bekerja keras. Apa? Apa maksud Bara?

"Kuntira mati, karena dicekik seseorang, bukan karena tabung oksigen yang kosong. Saya melihat pelaku itu, tapi saya memilih diam. Sebab, jika saya yang bertindak, kamu akan menyangkal semuanya."

"Ini juga menjadi alasan kenapa Kuntira lebih baik dikremasi dibandingkan dimakamkan dalam tanah."

Bara menepuk lembut pundak kanan Asa dan kemudian berucap kembali.

"Dan satu syarat untukmu jika kamu ingin saya memberitahu siapa sosok itu."

"Apa syarat itu, pah?" balas Asa begitu antusias.

Bara meletakkan kedua tangannya pada rungu kanan Asa untuk menutupi birainya yang seakan ia tengah berbisik tanpa siapapun mendengar.

"Jadilah model dewasa."

Sementara di sisi lain. Di kapal yang berbeda, terlihat laki-laki berhoodie yang di dampingi sosok pria muda berjas hitam.

Senyuman begitu manis. Tangannya terulur untuk menabur kelopak bunga mawar pada lautan lepas. Seolah ia memberi penghormatan pada seseorang untuk terakhir kali.

Ia mengawasi kapal yang ditumpangi Asa dan yang lain. Tak lama, kapal itu memilih menjauh dan pergi jauh dari kapal yang ia pantau.

"Nak, cukup sampai sini."

Laki-laki itu tersenyum. "Kenapa? Aku hanya membantu Ibu Asa tertidur, paman. Aku hanya mencekik dan menutup wajahnya dengan bantal. Apa aku salah? Aku mencintai Asavella. Itu sebabnya aku mengurangi lukanya."

Pria muda itu berdecak. Mengacak-ngacak rambutnya frustrasi. "Caramu salah. Jelas salah! Itu ibu Asa, nak. Bukan musuh Asa!!"

"TAPI DIA JUGA YANG MEMBUAT ASA MENDERITA SEUMUR HIDUP!" tanggap laki-laki itu menaikkan oktaf dan mendorong tubuh pamannya.

Pria itu geram. "Tapi cara kamu itu loh, salah buat bantu, Asa."

"Caramu tidak manusiawi."

"Kenapa kita berbicara soal manusiawi atau tidak? Mereka lebih tidak manusiawi. Memberi luka tanpa jeda."

"Caraku sudah benar. Jika Asavella sendiri enggan mengirim penjahat pada sel penjara, maka tugas ku, mengirimnya pada Tuhan."

"Dia langit ku," lirihnya yang kemudian menurunkan pandangannya.

Pria itu menutup wajah seusai mendapat ucapan keponakannya. Ia mengusap wajah dan mulai berkata. "Selain menjadi penguntit. Kamu juga benar-benar gila."

"Karena aku mencintainya."

"Semua hanya aku lakukan karena cinta. Aku mencintainya. Sangat."

ฅ^•ﻌ•^ฅ

Next? Boomnext🧡

Aman kan part ini?

Coba komen, kalian baca jam berapa?

Makasih yang udah singgah sejenak untuk bertamu di cerita ini.

🍊🧡ILYSM🧡🍊

Continue Reading

You'll Also Like

7.3K 110 200
Seseorang bertanya padaku "Bagaimana dia?" aku menjawab " apanya? " " sifatnya " " aku menyukainya, apa lagi? " " Lagipula dia memang typeku. " "...
173K 4.7K 71
Ini hanyalah kumpulan kata-kata dari Fiersa Besari dari buku nya yaitu "garis waktu" Selamat berbaper ria. :)
2.5K 123 12
Fisikawan Amerika kelahiran Jerman, Albert Einstein (1879-1955) telah merubah dunia fisika. Ia menjadi amat terkenal karena teori relativitas-nya.
643 277 7
"Aku mencintai dia tetapi dia mencintai yang lain, sedangkan aku dicintai orang lain" -Mutiara Putri Cantika- _________________ haii, sini-sini mampi...