Protect At All Costs (END)

By an_ssky

15K 2.1K 3.5K

C A M P U S S T O R Y *** "Kamu cowok, kan? Aku nggak pernah kenal kaum kamu. Tepatnya, nggak kenal makna sal... More

p r a k a t a
a b o u t
prolog
01_alleged trouble
02_(don't) care about
03_touch
04_unidentified
05_toes and arguing
06_unsee scenery
08_anxiety ring
09_wrong way to interact with you
10_silly perspectives and thoughts
11_memory caller
12_space and squeeze
13_like a rain
14_with you, again
15_a rush of blood
16_thank you in silence
17_hated stare
18_with you, always
19_belief
20_closer
21_falling for you
22_words to believe
23_his existence
24_she and her past
25_stay stay stay
26_apology
27_people come and go, so you do
28_night of confession
29_she's the present
30_his world is hers
epilog
extra chapter
1.1_you're not alone
1.2_such a hard time
1.3_he want, but he can't
1.4_messed up
1.5_choices
1.6_turning point [END]

07_hard-to-get approval

343 63 211
By an_ssky

Sambil dengerin lagunya, deh. Promise you, it'll be better.

Mengejar seseorang yang berlari kencang, bukankah rasanya serupa menggapai serbuk dandelion yang beterbangan? Entah kamu akan menyerah, atau angin yang berpasrah menyerahkannya kepadamu.

***

Sepanjang hidupnya di dunia, Isy tidak pernah sekali pun menyambangi dokter hewan. Satu hal yang menjadi penyebab utama adalah tentang imunitas Isy yang tidak kebal terhadap bulu binatang. Bahkan dia tidak pernah memelihara binatang, sebab kucing tetangga yang tidak sengaja masuk rumah saja sudah memberikan efek alergi. Baru kali ini Isy merawat kucing, meski sebatas memberikan makan setiap pagi dan sore.

Akan tetapi, kenyataan itu tidak membuatnya menyerah terhadap pengalaman pertama yang akan dia dapati, yakni membawa seekor kucing ke sebuah vet hasil rekomendasi sang ibu. Kini, tepat seusai kelas, Isy bergegas menuju pos satpam yang berada di gerbang fakultas, guna mengambil pet carrier yang dititipkannya seusai memarkirkan motor tadi pagi. Dia tidak ingin membuang banyak waktu, karena setelah ini dia memiliki tugas di FISIP Heroes. Satu lagi. Ketergesaannya juga sengaja dilakukan agar dia tidak perlu bertemu dengan Jaza. Meski sepertinya, lelaki itu juga akan sibuk saat ini, mengingat terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaan FISIP Heroes.

Baguslah, batinnya. Menghadapi lelaki itu melalui pesan singkat saja dia sudah malas, apalagi harus mendebatnya secara langsung? Menyita waktu saja.

Isy menggelengkan kepala, kala ingatannya sampai pada pesan Jaza yang dia abaikan, tentang permintaan lelaki itu untuk menunggunya sampai jam sepuluh dan kemudian pergi ke vet bersama. Bukannya tidak mau membalas, tetapi melakukannya pun akan percuma. Sebab, satu hal yang bisa Isy sampaikan adalah penolakan yang tentu saja akan berbuah panjang. Oh, karena persoalan kucing ini, Isy bahkan belum sempat membahas perihal koordinator mata kuliah yang diampu Prof. Agus.

Kakinya sampai tepat di depan pos satpam, dan Isy memilih mengakhiri pemikiran di kepala. Dia membuka masker, sebelum mengungkapkan salam yang langsung diberi sambutan oleh Pak Deri--satpam fakultas yang sudah lama dikenal gadis itu.

"Mau ngambil tempat kucingnya, ya?" Lelaki paruh baya yang tengah duduk sembari membetulkan senter itu bangkit setelah mendapat anggukan dari Isy.

"Makasih, ya, Pak udah mau direpotin." Isy berucap kala Pak Deri masih menunduk, mengambil benda yang menjadi objek perhatian mereka.

Tak berselang lama, lelaki itu bangkit, menyerahkan pet carrier kepada Isy. "Halah, kayak sama siapa aja, to. Wis, ndak usah nggak enakan kalau sama Bapak."

Isy tertawa kecil, tidak membantah. Namun, tangannya bergerak meletakkan pet carrier yang diterimanya beberapa saat lalu ke tanah, untuk kemudian meraih tote bag dan mengambil sesuatu dari sana. Kala tujuan itu tercapai, Isy menyodorkan paper bag kecil kepada Pak Deri.

"Ini ibu saya bawain makanan. Buat Pak Deri, ya."

Uluran itu diterima. "Kebiasaan Mbak Isy, repot-repot."

"Nggak repot, Pak Deri. Tadi pagi saya lupa mau ngasihnya, buru-buru. Maaf, ya, Pak, jadinya udah dingin."

"Loh, wong dikasih aja saya udah alhamdulillah. Masakannya selalu enak ini, Mbak."

Keduanya terkekeh. Meski tidak setiap hari, tetapi Isy memang sering membawakan makanan untuk Pak Deri. Mungkin itu juga yang membuat tidak adanya drama penolakan, karena Isy sudah terlebih dahulu terbiasa "memaksa" Pak Deri menerima pemberiannya.

"Kalau gitu, saya duluan, ya, Pak. Sekali lagi makasih udah mau dititipin."

Pak Deri tersenyum, mengacungkan jempol. "Sip. Padahal bisa minta saya saja yang bawa ke dokter loh, Mbak."

Isy mengernyit saat penuturan itu terdengar. Kalau tidak salah ingat, Isy tidak mengatakan niatnya kepada Pak Deri. Meski setelahnya, gadis itu segera mengusir pemikiran di kepala. Kemarin lusa, Pak Deri melihat Isy yang khawatir dengan kondisi scabies kucing, dan pet carrier sudah cukup menjadi fakta pendukung kesimpulan Pak Deri. Maka, gadis itu memilih menjawab, "Nggak apa-apa. Pak Deri kan kerja juga. Ya sudah, duluan, ya, Pak."

Pak Deri menggelengkan kepala. "Yo wis, hati-hati, ya, Mbak"

Isy tersenyum mengiakan, lalu bergerak menjauh. Namun, belum panjang jarak yang dia tempuh, seruan namanya terdengar.

"Mbak Isy mau ke dokternya sekarang?" Itu suara Pak Deri.

Isy menoleh. "Iya, Pak. Kenapa?"

"Waduh." Samar, suara itu yang didengar Isy. Namun, jarak mereka yang tidak begitu dekat membuat gadis itu urung menanggapi, memilih menunggu perkataan selanjutnya. "Ora opo-opo. Ati-ati, ya, Mbak."

Isy mengangguk, sembari mengacungkan jempolnya sebelum berbalik dan berlalu. Kadang, saat bersama Pak Deri, Isy merasakan kehadiran seorang ayah yang senantiasa memperhatikan putrinya. Gadis itu tersenyum, bersyukur meski hanya Pak Deri satu-satunya lelaki asing yang membuatnya nyaman dan tidak keberatan untuk menjalin interaksi.

***

Isy mau menyerah saja rasanya, mendapati usaha yang sejak tadi dia lakukan sama sekali tidak membuahkan hasil. Carrier pet yang seharusnya sudah diisi oleh makhluk mungil, sampai sekarang masih kosong. Padahal bermenit-menit sudah berlalu sejak dia sampai di belakang gedung Sosiologi. Entah berapa kali pula dia harus menahan gatal di langit-langit mulut, serta bersin yang berulang kali datang, padahal sudah ada masker yang menempel di wajahnya.

Lihatlah. Kucing yang seharusnya dia bawa, justru tengah bersembunyi di celah sempit tumpukan kursi yang tidak terpakai, membuat gadis itu frustrasi sendiri. Tangannya terulur, dengan dry food di atasnya. Itu adalah usaha yang lahir setelah dia susah payah memberanikan diri. Sebab, sudah pasti, jika kucing itu bergerak mendekat dan menggapai tangan Isy, gadis itu akan bergerak mundur dengan cepat. Pada dasarnya, Isy tidak takut kucing. Akan tetapi, alerginya membuat gadis itu secara otomatis terlalu waspada.

Benar saja. Kala kucing itu dengan tergesa menerjang Isy, gadis itu menghampurkan dry food ke tanah. Badannya bergerak mundur dengan pekikan kecil yang dicipta.

Namun, keterkejutan itu tidak ada apa-apanya dibandingkan apa yang hadir saat suara dehaman dan langkah kaki menyambangi telinga. Isy memekik kecil, disusul tawa kecil yang seolah tidak peduli dengan deru jantungnya yang menggila.

Isy mendongak, lalu melirik kesal. Perlahan, dia menetralkan irama jantung, bersamaan dengan Jaza--sumber suara yang mengejutkannya--yang bergerak mendekat ke arah kucing yang sibuk mengunyah makanannya. Seperti de javu. Isy melihat pemandangan yang sama dalam rentang waktu yang sama sekali tidak lama. Begitu pun dengan rasa yang bersemayam, yakni sebuah kekesalan.

"Bisa nggak, sih, nggak usah ngagetin?" ujar Isy dengan ketus, seraya berdiri dan mengadukan kedua tangan untuk mengusir kotor yang menempel di sana. 

Sedang yang diajak bicara sama sekali tidak menanggapi, sibuk memainkan bulu kucing di depannya. Isy mendengkus. Namun, baru saja dia hendak memprotes, Jaza sudah lebih dulu bergerak. Lelaki itu berdiri dan membalikkan tubuhnya hingga menghadap ke arah Isy.

"Kan udah dibilang, bareng aja." Jaza berkata tanpa berhenti mengelus kucing di pelukan.

Ya, Isy tidak didengarkan. Lelaki itu justru menyinggung hal lain. Maka, Isy mengikutinya saja. "Aku nggak ada bilang setuju."

Kalau saja tidak peduli dengan kepantasan, Isy sudah bergerak memukul kepala Jaza dengan keras. Sebab, bukannya menanggapi, lelaki itu justru bergerak melewati Isy, membuat sang gadis membolakan mata kesal. Dipejamkannya mata dengan rapat, lalu menghadapkan diri ke titik ke mana Jaza pergi. Dalam hati, dia sedang berpikir harus melayangkan protes seperti apa kalau Jaza membawa pergi kucing itu.

Akan tetapi, dugaannya salah. Sedetik setelah tubuhnya berbalik, dia mendapati Jaza yang tengah berjongkok dan memasukkan kucing ke dalam pet carrier. Lelaki itu kemudian berdiri dan menyodorkannya ke arah Isy.

"Nih."

Isy menerima uluran itu, membuat tangannya kini menggenggam handle pet carrier. Mau tidak mau, meski tidak akan menarik label menyebalkan di belakang nama Jaza, gadis itu harus berterima kasih. 

"Makasih," katanya, yang diangguki oleh Jaza. 

Kemudian, sang lelaki menggerakkan kaki ke depan. Bukan itu yang menjadi fokus Isy, melainkan kata yang diungkapkan Jaza bersamaan dengan pergerakannya.

"Yuk." Begitu ajak sang lelaki.

Isy hanya diam, dengan kening yang mencipta kernyitan. Mungkin, karena tidak merasakan gerakan di sebelahnya, Jaza yang sudah bergerak beberapa langkah, kembali menoleh. 

"Ayo, Isy. Kita nanti siang tugas, kan. Biar nggak kelamaan." Isy dapat melihat raut santai Jaza, seolah tidak ada yang salah dari perkataannya.

Isy menatap lelaki itu tidak habis pikir. "Ayo ngapain?"

"Ke vet."

Sungguh, raut tidak-ada-yang-salah milik Jaza, mampu membuat Isy mengembuskan napas kesal. "Aku pergi sendiri."

"Nanti nggak bisa keluarinnya. Udah, bareng aja." Lelaki itu tidak mau menyerah.

Kalau saja ada sesuatu yang berperan menghitung, sepertinya dia bosan menampah bilangan untuk menghitung berapa kali Isy memutar bola mata dalam kurun waktu yang tak lama. "Di sana ada dokternya, and of course I can ask for their help."

"But, I'm already in front of you to provide assistance. Bareng aja, biar sekalian nanti berangkat ke desa binaan. Kita belum sempet berangkat ke sana bareng juga, kan."

Sepertinya, ini puncak rasa kesal Isy. Dia tidak berkata-kata, melainkan langsung menyerahkan benda di tangannya kepada Jaza, membuat lelaki itu mengernyit.

"Kalau gitu, kamu aja," katanya tegas. Namun, ulurannya tak kunjung bersambut.

"Berdua." Itu respons Jaza, dengan membiarkan tangan Isy menggantung di udara.

"Aku aja, atau kamu aja. Poinnya bawa kucing ini ke vet, jadi terserah, tapi nggak dengan ke sana bareng. That's the end of our discussion." Meski sebenarnya, Isy lebih menganggap dialog mereka sebagai perdebatan, bukan diskusi.

Keduanya kemudian diam. Isy dengan tangan yang belum dia tarik, dan Jaza yang memandangi tangan gadis itu. Sampai akhirnya, sang lelaki memecah hening di antara mereka. "Oke, oke. You can go alone. Sorry."

Tanpa menjawab, Isy menarik tangannya dan bergerak melewati Jaza, meninggalkan lelaki itu di belakang sana. Isy pergi dengan tegas, sama sekali tidak berniat menoleh. Meski hatinya sibuk merutuk, tentang mengapa lelaki itu senang mencipta dialog panjang saat hasilnya tidak jauh dari sebuah penolakan. Menyebalkan sekali.

Suara kesalnya mungkin juga tersalur hingga ke pijakan kaki yang tegas menyapa bumi. Tanpa tahu, bahwa di belakang sana seseorang yang menjadi penyebabnya itu tengah memandangi punggung Isy. Mungkin, dia sedang dibelenggu ketidaktahuan tentang gadis yang telah lama menarik perhatian. Mungkin juga sedang bertanya. Memperoleh sepatah iya darinya, memang sebegini sulitnya, ya?

Ketemu lagi sama Jaza dan Isy. Hope you enjoy, yaa.

AN, bersama serbuk kebimbangan.

April 7, 2022.

Continue Reading

You'll Also Like

217K 13.7K 20
"Nggak mungkin setiap orang meluangkan waktunya 24/7 untuk seseorang, Andira. Kamu jangan mimpi." Kata-kata itulah yang justru membuat seorang Andira...
2.3M 73.1K 17
Sebagian sudah diunpublish Link ebook di google play : https://play.google.com/store/books/details?id=uA5QDwAAQBAJ Pesona pria itu mengacaukan indran...
27.9K 4.8K 13
"Tahu apa yang paling nggak pasti di dunia ini?" "Perasaan manusia." • Ini kisah tentang aku; alunan musik blues dan ambisi yang meradang. Ini kisah...
2.9K 749 38
Nilam tidak menyukai laki-laki jamet alias 'jajal metal' yang suka berpakaian dan punya gaya berbicara aneh serta menongkrong dan mengobrol berkepanj...