IMAMA AL-HAFIDZH

By triilyynaa

9M 953K 167K

[SUDAH TERBIT] Tersedia di Gramedia dan TBO + part lengkap Apakah kalian pernah menemukan seorang pemuda laki... More

⚠️ S P O I L E R ⚠️
01. IAH - Pacaran
02. IAH - Bertemu Seorang Pemuda
03. IAH - Kembali pulang ke Rumah
04. IAH - Imama Al-Hafidzh
05. IAH - Dijodohkan oleh sang Abi
06. IAH - Menikah
07. IAH - Malam Pernikahan
08. IAH - Rumah di dalam Hutan
09. IAH - Cerita dari Imama
10. IAH - Romantis Ala Rasulullah
11. IAH - Tentang Hisab Kelak
12. IAH - Cerita dari Alisha
13. IAH - Bertemu dengan Masa Lalu
14. IAH - Berhenti untuk Berharap
15. IAH - Dua Lelaki itu saling Kenal dekat
16. IAH - Sempurna itu cinta mereka
17. IAH - Kehilangan
18. IAH - Menyimpan Kecurigaan
19. IAH - Kewajiban Seorang Istri?
20. IAH - Tahajud Bersamamu
21. IAH - Romantis Ala Imama
22. IAH - Tiga Gadis SMA
23. IAH - Cinta atau Nafsu?
24. IAH - Kecewa dalam ketidakjujuran
25. IAH - Pengakuan sebenarnya
26. IAH - Dia adalah Raden
27. IAH - GUS DAN NING
28. IAH - Tentang Irama, Saudaranya.
29. IAH - Iqbal menjadi lebih baik
30. IAH - Pesantren Al-Hafizma
31. IAH - Uji Keimanan dari Hafizma untuk Imama
32. IAH - Cinta Mereka di Ndalem
33. IAH - Tentang Wanita Tarim
34. IAH - Iqbal putus
35. IAH - Perjanjian Hafizma dan Syarat Irama
36. IAH - Menikah Lagi
37. IAH - Rahasia yang berakibat salahpaham
38. IAH - Kerja Sama
39. IAH - Cinta sang Gadis
40. IAH - Kabar Palsu
41. IAH - Hanya Satu Wanita
42. IAH - Ngidam aneh
43. IAH - Kejadian di Pasar
44. IAH - Berita Bahagia
45. IAH - Mati sama-sama
46. IAH - Hijrahnya Ikara
47. IAH - Hidayah yang datang tiba-tiba
48. IAH - Perkelahian
49. IAH - Ima dan Ama
50. IAH - Mengingat Kembali
52. IAH - Ziarah ke Makam Bunda
53. IAH - Datangnya sosok Pria Asing
54. IAH - Fitnah diantara dua pihak
55. IAH - Salah paham yang kian Menjadi
56. IAH - Menyelesaikan Masalah dengan tenang
57. IAH - Sakit Demam
58. IAH - Terperangkap di Gudang
59. IAH - Kepergian Sang Nahkoda?
60. IAH - Kepulangan yang Abadi.
EXTRA PART + Pesan dan Kesan
ATHALLAH DAN HAFIZMA, PUBLISH.
IMAMA SEGERA TERBIT!
PRE-ORDER IMAMA AL-HAFIDZH

51. IAH - Berhati-hati untuk ke depannya

73.7K 9.2K 1.3K
By triilyynaa

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

۞اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ ، وَعَلَىٰ آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ۞
[Allahuma sholi ala sayyidina Muhammad, wa ala ali sayyidina Muhammad.]


•••


Pukul 09.00 Pagi.

Alisha kini membawa kedua sahabatnya itu masuk ke dalam rumahnya. Ia istirahatkan mereka di sofa kecil yang berada di ruang tamunya. "Kalian mau dibikinin apa? Nanti Alish bikinin," tawar Alisha ikut duduk bersama sahabatnya.

"Eh, nggak, Al. Enggak usah buat apa-apa. Ibu hamil nggak boleh banyak gerak! Apalagi sampai ngerepotin kamu, udah gak usah. Ntar kalau pengen apa-apa, kita bisa lakuin sendiri. Iya, kan, Tim?"

"Iya," senyum tipis muncul dari bibir Fatim.

"Ih, nggak ngerepotin kok. Kan kalian tamu Alish, jadi Alish harus kasih hidangan. Maaf, ya. Nggak ada apa-apa, soalnya semuanya yang ada di sini itu puasa."

Mata Nayyara membulat. "Eh, k-kamu puasa, ya, Al?"

Alisha mengangguk. Membuat Nayyara dan Fatim tersentak melihat anggukan dari Alisha. Segera Alisha terkekeh melihat ekspresi sahabatnya yang begitu tampak terkejut. "Ini Alish yang mau sendiri kok. Suami Alish juga masih izinin Alish ikut puasa. Alish yang maksa untuk ikut. Soalnya gabut dan sayang kalau nggak ikut puasa walaupun sunnah...."

Nayyara tersenyum tipis, "Tapi kan, Al. Senin kemarin kan kamu cerita sama kami kalau kamu batal puasa karena masuk rumah sakit. Sedangkan ini hari kamis, kok kamu malah puasa, Al?"

Mendengar pertanyaan yang sedikit sulit dipahami oleh Alisha, Alisha pun mengernyit. "Maksudnya kayak gimana?"

"Kamu kan nggak puasa senin, Al. Tapi kok ikut puasa kamisnya?" Fatim membantu mengulang pertanyaan dari Nayyara.

Baru mengerti, Alisha terkekeh. "Oh, maksud kalian itu... kalau di Hari Senin nggak puasa, jadi Hari Kamis juga nggak boleh puasa? Gitu, ya? Kalian salah," Alisha menjeda sejenak. "Memang, namanya itu dinamakan puasa Senin Kamis. Tapi puasa ini itu boleh loh, dilakukan pada Hari Senin aja atau Hari Kamis aja. Namun, kalau dilakukan dua-duanya itu jauh lebih baik dari pada satu aja. Jadi nggak masalah kalau cuma puasa di Hari Senin atau Hari Kamis doang."

Nayyara dan Fatim ber-oh paham. Mereka mengangguk mengerti akan penjelasan dari Alisha kepada mereka. "Aaa makasih ilmunya, Al. Tapi, Al... kamu kok giat banget sih, ngerjain puasa Senin Kamis ini? Emang banyak manfaatnya, ya?"

"Banyak. Terutama, kita bisa terhindar dari godaan setan dan hawa nafsu, menambah amalan, juga ada di dalam hadist riwayat At-Tirmidzi, Rasulullah itu bersabda ; segala amal perbuatan manusia pada hari Senin dan Kamis akan diperiksa oleh Malaikat, karena itu, aku senang ketika amal perbuatanku diperiksa, aku dalam kondisi berpuasa," ucap Alisha menjelaskan salah satu hadist dan manfaat berpuasa Senin dan Kamis.

"Puasa Senin dan Kamis juga termasuk puasa yang paling banyak dilaksanakan atau dirutinkan sama Rasulullah, loh. Jadi, Alish udah kebiasaan aja puasa Senin Kamis. Eh, ternyata di pertemukan sama suami yang rajin puasa Senin Kamis," kekeh Alisha mengingat suaminya, Imama.

Nayyara bertepuk tangan sekali. "Tuh, kan. Kebanyakan perempuan yang baik pasti untuk laki-laki yang baik juga. Kira-kira kalau kelakuanku begini jodohku kayak gimana, ya?"

"Pencabut nyawa, mungkin?" celetuk Fatim.

"Ih, jangan dong. Amalku masih kurang banget untuk dibawa. Bentar-bentar, impianku jadi hafizah Qur'an aja belum terkabul," panik Nayyara mengipasi wajahnya sendiri.

"Tuh, nyadar kamu, Nay. Kayak gini mau dapat cowok soleh. Liat cowok yang good looking di kampus aja langsung noleh," sindir Fatim.

"Ih! Nggak, ya!" amuk Nayyara.

Alisha terkekeh melihat kedua sahabatnya lalu bertanya, "Kalian kuliah?"

Nayyara menoleh, lalu tersenyum dengan menganggukkan kepala. "Iya, Al. Kamu nggak mau lanjut kuliah?"

"Suami Alish sih, udah izinin kalau Alish boleh lanjut pendidikan. Tapi Afizh juga bilang, kalau Afizh akan selalu dukung minat apa yang Alish mau. Jadi, Alish nolak deh."

"Kok... dibolehin nolak?"

Alisha menggeleng. Ia juga tak mengerti kenapa tak ingin melanjutkan pendidikan. "Nggak apa-apa, mau belajar jadi istri yang selalu ada aja. Lagi pula Alish nggak yakin, bisa fokus kuli-"

Tok.. Tok...

Sontak ketiga perempuan itu menoleh ke arah pintu yang seperti di ketuk. Alisha pun langsung izin kepada kedua sahabatnya untuk membuka pintu rumah sejenak. Karena sepertinya tak punya waktu untuk memakai cadar, Alisha pun mengambil kotak masker yang berada di meja dan mengambil satu untuk ia pakai lalu beranjak bangun membuka pintu.

"Iya, sebentar...."

Ketika sudah terbuka, tampaklah seorang pemuda yang saat ini tersenyum kecil kepada Alisha. Sedikit ia menoleh menatap sekitar ruang tamu, lalu menatap kembali ke Alisha. "Mbak? Ima ada di rumah, nggak?"

Ternyata Irama. Lelaki yang dengan mengenakan jaket hitam ala preman itu pun seperti berucap lemah lembut pada Alisha. Alisha menggeleng pelan sebagai jawaban utama, lalu menjawab, "Em... nggak ada. Soalnya tadi pulang sebentar ngambil berkas gitu di kamar terus izin pergi lagi mau ke kantor asrama," ucap Alisha sekaligus mengingat saat Imama datang dengan memberitahu bahwa Arya pernah tinggal di pesantren ini.

Irama pun mengangguk paham. "Oh... gitu, ya, Mbak? Yaudah kalau gitu. Maaf Ama ganggu. Ama izin pergi dulu."

Baru membalikkan badan, tiba-tiba ia tak jadi melangkah pergi dari tempat itu saat mendengar ucapan salam dari Alisha. "Assalamualaikum..."

Irama berputar balik. "Eh? Iya lupa. Maaf, Mbak. Waalaikumussalam..." lalu Irama berlari pergi meninggalkan rumah Alisha.

Alisha pun terkekeh dengan menggelengkan kepalanya kecil, ia menutup pintunya lagi seraya melepas maskernya. Berjalan menghampiri kedua sahabatnya kembali. Saat Alisha sudah duduk bersama mereka, Nayyara bertanya, "Al? Itu siapa? Adik ipar kamu?"

Alisha mengangguk. "Iya, umurnya lebih tua dari Alish. Katanya sih 22 tahun, sama kayak Afizh," jelas Alisha.

Mata Nayyara terbelalak. "Hah? Beneran, Al? Kok bisa sih, umur udah tua kayak om-om gitu, tapi masih mirip banget sama remaja 17 tahunan seusia kita gini. Mana ganteng lagi."

"Tuh, kan. Ganteng! Nggak jaga pandangan ya, kamu?" tuduh Fatim pada Nayyara.

"Ih! enak aja. Nuduh lagi, kan?! Aku jaga pandangan, ya. Cuma tadi kayak pandangan pertama aja jadi sulit untuk dihindari. Daripada menyebabkan pandangan kedua, jadi terus tatap orangnya aja sampai pergi."

"Astaghfirullahaladzim....," Fatim mengelus dadanya dengan begitu tak menyangka, sedangkan Alisha hanya mampu terkekeh kecil dengan menggeleng pelan.

Nayyara tak memedulikan ekspresi dari kedua sahabatnya itu. Ia kini sudah beranjak berdiri dari sofa. "Al? Aku mau numpang ke kamar mandi. Kamar mandinya di mana, ya?"

"Oh, di ujung dapur sana," Alisha menunjuk ke arah ujung dapur. Sehingga membuat Nayyara tersenyum dan mengangguk paham. Segera ia izin untuk pamit ke kamar mandi sebentar meninggalkan Alisha dan Fatim yang berada di sana.

Tak lama, Fatim kini mendekat ke Alisha dan duduk di sofa sebelah Alisha. Fatim menyentuh tangan perempuan itu. Ia berlirih, "Al? Aku minta maaf, ya. Sama kamu...."

Kerutan di dahi Alisha tampak. Ia bingung dengan apa yang dilakukan oleh Fatim. Kenapa tiba-tiba meminta maaf?

"Minta maaf? Buat apa?"

"S-soal waktu itu...." Fatim menjeda sejenak untuk membuang napas pelan. "Maaf, Al. Udah hampir benci sama kamu. Sebenarnya, aku nggak mau kehilangan Arya, Al. Kehilangan Arya itu adalah suatu hal yang menurut aku nggak akan pernah terjadi. Karena... aku cinta sama Arya."

Deg

Tentu terkejut saat Alisha mendengar pernyataan terakhir dari Fatim. Cinta? Jadi Fatim selama ini...

"Tapi kamu dengerin aku dulu, Al." Fatim mencoba menggenggam erat kedua tangan Alisha. "Itu udah lama. Semenjak aku tau kalau Arya itu suka sama kamu, aku memilih berhenti dan relain dia buat kamu. Aku memang nggak suka caranya saat dia ajak kamu pacaran waktu itu. Malah aku tuh berusaha kasih saran ke Arya untuk dia itu langsung nikahin kamu. Tapi nyatanya salah, saat kamu nolak, aku lebih sadar lagi kalau segitu cintanya Arya sama kamu sampai dia mau masuk ke pesantren untuk bisa diterima sama kamu. Al? Jujur waktu Arya pergi, aku hampir pengen nyalahin semuanya ke kamu. Kamu dicintai oleh orang yang aku cintai. Kamu tau seberapa kecewanya Arya pas pulang ke rumah dan lihat kalau kamu udah nikah? Itu bikin dia drop dan ngerasa dia nggak pantas lagi untuk bertahan di dunia ini. Karena kamu udah jadi milik orang lain."

"Tim..."

"Dan aku hilang waktu itu memang sengaja. Aku cuma mau nenangin diri dulu. Tapi ternyata waktu itu kepalaku pusing banget dan sampai nggak nyadar kalau aku berdiri di tengah jalan raya. Otomatis aku ketabrak sama mobil. Habis itu aku nggak ingat apa-apa lagi karena yang aku ingat, aku ada di rumah sakit, terus ada cowok yang rawat aku dan bawa aku ke rumahnya. Katanya dia mau bertanggungjawab karena udah nabrak aku dan bikin aku hilang ingatan sementara. Di sana aku dianggap sebagai keluarga, mereka manggil aku dengan sebutan putri awalnya. Sampai akhirnya hari demi hari satu persatu dari siapa aku, aku ingat. Aku jelasin siapa aku dan dari mana sama mereka. Aku ingat siapa aku, aku ingat kenapa dan apa yang terjadi. Tapi aku nggak mau pulang dulu, karena aku masih ngerasa kecewa saat mengingat tentang kamu waktu itu," jelas Fatim.

"Dan aku kaget... pas denger ternyata suami kamu itu adalah orang yang disukai sama adik dari cowok yang nabrak aku," ungkap Fatim lagi yang membuat Alisha tersentak mendongak menatap Fatim. Fatim pun melanjutkan, "Dan dengan bodohnya aku waktu itu... aku kasih tau semuanya kalau kamu adalah istri dari orang yang dia sukai. Sampai akhirnya aku kasih semua akun sosial mediamu dan nomor telepon milik kamu. Aku ingat semuanya. Sampai dia pernah ngajak aku kerja sama untuk buat suami kamu jadi milik dia... tapi aku nolak. Karena setelah aku berpikir lagi.... you are my best friend. Kamu satu sahabat yang buat aku belajar tentang banyak hal, termasuk agama. Dan nggak mungkin hanya karena Arya yang udah ikhlas nerima kamu sama orang lain, aku malah pengen hancurin kamu sama suami kamu karena udah rebut kamu dari Arya. Aku nggak bisa lakuin itu, Al...." air mata Fatim semakin mengalir di wajahnya, hingga di detik kemudian, Fatim langsung memeluk Alisha dengan erat.

Alisha pun menerima pelukan itu dengan linangan air mata yang sudah jatuh membasahi pipinya. Ia memejamkan mata dengan berbisik, "Nggak apa-apa, Tim. Nggak apa-apa, kok. Alish tau kondisi kamu waktu itu kayak gimana. Udah, ya? Nggak usah nangis, kita kan sahabat...."

Fatim semakin mengeratkan pelukan. Lagi dan lagi ia dibuat kagum dengan perkataan Alisha yang sangat gampang menerimanya. "Semudah itu, Al?"

"Iya, Tim. Yang penting kamu udah nggak kecewa lagi dan mau cerita semuanya sama Alish. Itu udah cukup lebih baik buat Alish...."

Fatim terharu, ia kini melepaskan pelukannya dengan mengusap air mata miliknya. Lantas berujar, "Tapi, Al. Kamu harus hati-hati sekarang."

"Hati-hati?"

"Iya. Mbak Devvy... dia masih dendam sama kamu, Al. Aku tau sifat dia kayak gimana. Dia nggak akan pernah berhenti sebelum dia dapatin sesuatu itu. Al, dia orangnya itu keras kepalaaaaa banget. Nggak gampang untuk menyerah. Dan dia itu naksir sama Kak Imam udah lama loh. Dia nggak terima kalau ternyata orang yang dia sukai itu udah nikah. Dan itu bahaya buat kamu yang sebagai istrinya, Al."

•••


Irama saat ini memerhatikan Imama yang sedang berada di ruang kantor asrama dengan pengurus pesantren termasuk beberapa Ustaz juga ada Abhian, Hasbi serta Kyai Hafizh. Merasa kepo, Irama pun mengintip apa yang mereka lakukan dari jendela. Hingga tingkah anehnya itu membuat beberapa santri menegurnya.

"Gus?"

Irama tersentak. "Eh buset... ngagetin aja kalian, ya? Nggak punya sopan santun atau bagaimana? Ucap salam dulu gitu, main kagetin aja. Dikira ini ada acara uang kaget apa? Untung kalau pada bawa uang, lah ini malah pada gendongin kitab," cibir Irama menatap sinis ke arah dua santriwan yang menghampirinya.

"Eh.. Afwan, Gus. Assalamualaikum... Kami hanya menegur apa yang Gus lakukan di sini..." ujar salah satu santriwan itu sopan pada Irama.

Irama berdecak. "Ya ngintip lah! Btw, waalaikumussalam.. Emang nggak lihat kalau gue ngintip dari jendela?" cetusnya menjawab.

"Afwan, Gus. Tapi yang Gus lakukan tadi adalah salah satu Suul adab-"

"Iya-iya, gue tau! Nggak usah ceramah di sini, udah sana pergi," usir Irama pada mereka. Sontak mereka pun tak berani lagi melawan dan mengangguk setuju untuk pergi meninggalkan Irama.

Irama menggeleng-gelengkan kepalanya heran melihat kepergian mereka. Tak lama pun ia kembali menatap ke jendela. Lalu bergumam, "Tuh mereka lagi ngomongin apaan, sih? Apa jangan-jangan ngomong soal warisan? Eh, nggak mungkin! Atau mungkin mau serahin pesantren ini sama Ima, ya? Eh, Tapi ngapain juga gue nebak-nebak? Bukan urusan gue juga. Lagian mana ngerti gue tentang urusan yang berkaitan pesantren agama gini," Irama menyorotkan matanya menatap sekeliling asrama.

Tiba-tiba ada yang berdeham tepat di depan pintu ruangan. Membuat Irama tersentak dan menoleh ke sumber suara. Terlihat, Imama sudah berdiri dengan bersedekap dada menyandar di dinding pintu.

"Sedang apa?"

Irama menggeleng cepat. "Nggak. Nggak ngapa-ngapain. Cuma keliling asrama doang. Nggak boleh?"

"Boleh banget malah," lantas Imama menatap jam tangannya. "Sekalian kita bisa mengerjakan salat dzuhur berjamaah di masjid? Bukan begitu?" tatapan Imama kembali menatap Irama.

•••

Salat zuhur berjemaah pun telah selesai dilaksanakan. Semua jemaah juga sudah bubar dari masjid. Kini yang berada di masjid hanya ada Imama dan Irama. Imama sengaja izin untuk berdua saja bersama Irama di masjid.

"Apa yang kamu rasakan setelah salat?"

Pertanyaan Imama, langsung membuat Irama mengernyitkan dahi. Ia menggeleng, "Biasa aja. Maksudnya gimana?"

"Salat... itu harusnya memberikan rasa syahdu dan haru kepada kita karena diberi kesempatan untuk berkomunikasi dan bermunajat kepada Allah. Kalau bukan itu rasa itu yang timbul, coba dicek lagi... Tadi kamu salat karena apa?"

Irama menggeleng pelan. "Karena apa? Ya karena mau salat, lah. Kalau nggak dipaksa sama Ima dan tinggal di pesantren ini, Ama gak akan salat. Nggak ngerasa apa-apa juga, biasa saja."

Sangat gampang Irama menjelaskan, tapi jawabannya membuat Imama menggelengkan kepalanya. "Jadi, kamu tidak ada merasakan apapun di dalam salat? Atau memang sujudmu yang terlalu terburu-buru?"

Irama terdiam saat mendengar itu. Lalu Imama pun melanjutkan, "Coba saya tanya, sudah berapa banyak salat yang kamu tinggal?"

"Lupa," santainya menjawab.

Imama membuang napasnya kasar. Sungguh, benarkah sudah sejauh ini adiknya itu lupa akan ibadahnya sendiri?

"Coba jawab, salat dalam sehari... ada berapa rakaat?" tanya Imama lagi.

Sebelum Irama menjawab, ia kini mengangkat jari-jari tangannya seperti ingin menghitung sesuatu. "Isya... ada empat, subuh... dua? Bener, nggak?"

Imama terkekeh kecil saat Irama malah melempar balik pertanyaan. "Semuanya ada 17 rakaat. Dua rakaat subuh, empat rakaat zuhur, empat rakaat ashar, tiga rakaat magrib, dan empat rakaat isya."

"Nah! Tuh udah dijawab. Pintar banget, Ima!" Irama menjentikkan jari.

Imama tersenyum tipis, "Terus... sudah berapa sujud yang kamu tinggal dalam sehari?"

Pertanyaan yang lagi dan lagi membuat Irama ingin mengantuk. Huh, bolehkah dirinya izin bolos dalam pelajaran agama ini? Rasanya ingin ia berlari dan menaiki motornya lalu mencari hiburan di luar sana. Sudah tak tahan lagi, tanpa disengaja ia menguap dengan mengeluarkan suara di depan Imama.

Sontak Imama menggeleng-gelengkan kepalanya. "Astagfirullahaladzim... Ama, menguap itu adalah dari setan. Maka jika kamu menguap, hendaklah sebisa mungkin ditahan atau menutup mulutmu dengan telapak tangan. Jangan sampai mengeluarkan suara, yang nantinya akan membuat setan tertawa."

"Namanya ngantuk. Siang-siang gini mah kebiasaan tidur, Ima. Ini malah bahas kayak gini, ngantuk jadinya, kan?" protes Irama.

Helaan napas keluar dari Imama. "Sekarang jawab pertanyaan saya tadi. Sudah berapa sujud yang kamu tinggalkan?"

"Lupa. Selain lupa juga kayaknya malas ngitung saking banyaknya," ketus Irama menjawab.

Imama menganggukan saja. Lalu kembali memberi pertanyaan lagi, "Kamu tau, apa sebabnya Iblis di usir dari surga?"

Irama mengangguk. "Taulah. Karena dia nggak mau sujud sama Nabi Adam, kan? Dia menolak perintah Allah untuk sujud sama Nabi Adam. Karena Iblis merasa, kalau dia lebih baik dari Nabi Adam."

"Benar," Imama berucap bangga. "Iblis di usir dari surga karena dia menolak perintah Allah untuk sujud satu kali kepada Nabi Adam. Lalu bagaimana dengan dirimu, yang meninggalkan 34 sujud dalam satu hari kepada Allah, Tuhan-nya Nabi Adam?"

Tersentuh hari Irama saat mendengar kalimat tamparan dari lelaki itu. Sontak ia menundukkan kepala dengan mengingat dosa yang ia lakukan.

Imama pun melanjutkan, "Apa yang membuatmu enggan bersujud kepada-Nya? Apa yang membuatmu enggan berbicara dengan-Nya? Dan apa yang membuatmu enggan melaksanakan segala perintah-Nya? Jantungmu masih berdetak, kamu masih diberi napas, kamu masih mempunyai mata untuk melihat, kamu masih mempunyai telinga untuk mendengar, kamu masih mempunyai kedua tangan dan kedua kaki. Itu semua masih ada dan masih berjalan atas kehendak-Nya atas kasih sayang-Nya, lalu kenapa kamu enggan untuk berterima kasih kepada-Nya? Pernahkah saat kamu meninggalkan satu panggilan dari Allah yang di laungkan saat azan? Allah memanggilmu untuk segera menemui-Nya. Berjumpa dengan-Nya. Tapi kamu malah acuh seolah tidak memedulikan panggilan itu. Asik menikmati kehidupan dunia yang sementara dibandingkan kehidupan akhirat yang abadi. Lalu setelah kamu mengacuhkan itu, adakah Allah marah dengan mencabut nyawamu dalam keadaan kamu masih bermaksiat? Adakah Allah hilangkan penglihatanmu, hilangkan suaramu, hilangkan pendengaranmu dan membuat kedua tangan dan kedua kakimu cacat?"

Deg

Irama sontak mendongakkan kepalanya untuk menatap Imama yang sudah menatapnya dengan tatapan pekat.

"Sekali saja untuk bersyukur atas nikmat Allah yang selalu Allah beri sama kamu. Dan sekali saja lihat ke bawah, betapa banyaknya yang ingin berada di posisimu. Cukup hentikan melihat ke atas, yang membuatmu terus merasa iri dan dengki kepada mereka yang hanya mementingkan dunia fana ini. Saya tanya sama kamu, kapan terakhir kamu sakit? Apa hidupmu selama meninggalkan sujud itu diiringi dengan kebahagiaan? Selalu?" Imama tersenyum tipis dengan menggelengkan kepalanya pelan. "Mari berkenalan dengan istidraj. Dan sadar bahwa Allah sudah tak ingin memedulikan kamu lagi."

Lantas Imama pun bangkit dari duduknya dan ingin pergi meninggalkan Irama di dalam masjid itu. Namun belum selangkah berjalan, Irama menolehkan kepalanya ke belakang dan bergegas berteriak, "Tapi tadi Ama sudah bersujud?"

Hening langsung menghampiri keduanya, yang tak lama Imama langsung membalikkan tubuhnya menghadap Irama lagi. Di mana ia lihat, Irama sudah menitiskan buliran airmata. Apakah lelaki itu sudah menyadari akan dosanya?

"Itu karena Allah telah memberi jalan hidayah kepadamu. Maka bertaubatlah," senyum tipis dari Imama langsung terbit saat menyadari Irama telah menangis karena mengingat dosanya.

¶¶¶

Alhamdulillah, maaf ya part ini nggak ada rolamanya dulu...

Duh, lyy jadi takut kira-kiraa apa yang dibilang sama Fatim benar atau nggak, ya? Apakah Devvy akan kembali dengan mencari masalah untuk mengacaukan keluarga Imama Al-Hafidzh?

Kira-kita kalau Irama taubat nih, apakah dia akan merebut Alisha dari Imama? Ataukah Irama akan tetap menjadi jahat dan kembali menghancurkan karir dakwah yang Imama jalankan disuatu hari.... stop, jangan suudzon, mari pantau part selanjutnya.

Tenang-tenang, akan baik-baik saja. Coba spam dzikirnya dulu.

SPAM SUBHANALLAH >

SPAM ALHAMDULILLAH >

SPAM ALLAHUAKBAR >


-06 Oktober 2022

Continue Reading

You'll Also Like

44.4K 519 10
WARNING BUKAN UNTUK ORANG YANG BARU PUTUS WOKEEEEEEEEE
1K 102 3
Seorang pengacara dituntut untuk melakukan segala sesuatu berasaskan hukum yang ada, baik itu di lingkungan kerja, ruang sidang maupun dalam lingkup...
298K 22.9K 13
High rank: #24 in SPIRITUAL (03/04/2017) #37 in SPIRITUAL (16/03/2017) #40 in SPIRITUAL (15/03/2017) #45 in SPIRITUAL (03/03/2017) #51 in SPIRITUAL...
350 84 11
Kisah seorang wanita yang di hasut dengan sosok makhluk misterius, hampir saja dirinya tidak selamat waktu itu. Namun, berhasil selamat berkat pertol...