ASAVELLA [TERBIT] ✓

By jerukminii

9.3M 663K 52.4K

Aku terlalu bahagia mengisi hari-harinya. Sampai aku lupa, bukan aku pengisi hatinya. ••••• Cover by pinteres... More

Asavella 🍁
Asavella 🍁2
Asavella 🍁3
Asavella 🍁4 +
Asavella 🍁5
Asavella 🍁6
Asavella 🍁7
Asavella 🍁8
Asavella 🍁9
Asavella 🍁10
Asavella 🍁11
Asavella 🍁12
Asavella 🍁13
Asavella 🍁14
Asavella 🍁15
Asavella 🍁16
Asavella 🍁17
Asavella 🍁18
Asavella 🍁19
Asavella 🍁20
Asavella 🍁21
Asavella 🍁22
Asavella 🍁23
Asavella 🍁24
Asavella 🍁25
Asavella 🍁26
Asavella 🍁27
Asavella 🍁28
Asavella 🍁29
Asavella 🍁30
Asavella 🍁31
Asavella 🍁32
Asavella 🍁33
Asavella 🍁34
Asavella 🍁36
Asavella 🍁37
Asavella 🍁38
Asavella 🍁39
Asavella 🍁40
Asavella 🍁41
Asavella 🍁42
Asavella 🍁43
Asavella 🍁44
Asavella 🍁45
Asavella 🍁46
Asavella 🍁 47
Asavella 🍁48
Asavella 🍁49
Asavella 🍁50
Asavella 🍁51
Asavella 🍁52
Asavella 🍁53
Asavella 🍁54
Asavella 🍁55
Asavella 🍁56
Asavella 🍁57
Asavella 🍁58
Asavella 🍁59
Asavella 🍁60
Asavella 🍁61
Asavella 🍁62
Asavella 🍁63
Asavella 🍁64
Asavella 🍁65
Asavella 🍁66
Asavella 🍁67
Asavella 🍁68 pt.1
Asavella 🍁 68 pt.2
Asavella 🍁69 pt.1
Asavella 🍁 69 pt.2
Asavella 🍁70 (A)
Asavella ending?
ENDING ASAVELLA
EPILOG
ARKHAN : AKU JUGA PERNAH BAHAGIA
VOTE COVER ASAVELLA
OPEN PRE ORDER ASAVELLA
ASAVELLA 2: BALLERINA BERDARAH

Asavella 🍁35

96.9K 8.1K 178
By jerukminii

Mengingat sebuah luka adalah satu kesalahan yang berakibat fatal tak lain tak bukan—membenci.

Gadis itu merajut berulang kali langkah dengan cepat dengan kepala menoleh ke kanan ataupun ke kiri secara bergantian. Mencari ruang ICU yang di dalam sana ada sosok wanita yang tengah tertidur terlalu lama.

Kesialannya, ia sempat berjumpa dengan sosok perawat yang baru saja keluar dan menghentikan langkahnya  dikala lebih dekat dengan pintu ICU.

“Maaf, sekarang bukan jam kunjung menemui pasien,” info perawat yang menggenggam erat lengan Asa.

Asa diam menjijit sejenak untuk menelisik ruang ICU yang di mana—di bagian pintu ada kaca persegi panjang berbentuk vertikal yang bisa melihat dalam dari ICU tersebut.

Ia menelisik setengah bagian saja yang di mana hanya terlihat pasien berusia satu abad. Tidak menemukan sosok wanita yang ingin sekali Asa temui.

“Mamah,” panggil Asa samar ketika berusaha menelisik masij memastikan di sana ada mamahnya.

“Mah, Anakmu pulang mah, mamah di mana?” sambungnya dengan air mata menetes. Sensitif sekali hatinya jika masalah seperti ini.

“Mah, anakmu pulang, maaf pergi terlalu jauh,” cicitnya kali ini seraya mengusap air mata. Ia tidak ingin menangis di hadapan sosok yang menantikan kehadirannya.

Perawat yang justru larut dalam suara anak gadis ini langsung meraih pinggang Asa dan membawanya pergi dengan sopan. Mengajak duduk pada sebuah bangku yang tak jauh dari sana.

“Cari siapa di sini? Di sini hanya orang-orang tua. Usianya kurang lebih 80-98 tahun. Tidak ada wanita usia muda di sini,” jelas perawat itu sembari membenarkan rambut Asa.

Perawat itu juga bisa melihat jika gadis ini baru saja lepas infus. Di sisi lain, dagunya tertutup oleh kapas yang diberi pelekat handsaplast dan di bagian kening juga. Kelopak mata indah juga masih menampilkan warna biru keunguan yang menghitam.

“Baru keluar dari rumah sakit, ya?” Perawat tersebut bertanya dan mengusap lembut punggung gadis itu dan merasakan di balik hoodie tebal itu ada perban yang tengah membalut tubuhnya.

Asa mengangguk.

“Kamu cari siapa? Saya perawat di sini dan masuk shift pagi. Barangkali, kamu berminat memberitahu namanya, aku akan membantu mu. Siapa nama mamah kamu?”

“Kuntira Diana Putri,” balas Asa samar.

Perawat tersebut mengerutkan alis. Seperti mengenali nama pasien yang baru saja disebut. Perawat yang usianya 27 tahun itu mulai beranjak berdiri—mengulurkan tangan kepada Asa.

“Ikut saya,” titahnya.

000

Lorong yang begitu panjang kini dilewati Asavella bersama perawat. Menuju ke sebuah tempat di mana kurang lebih sosok wanita yang ingin sekali Asa temui.

“Mamah kamu merupakan pasien sini, kurang lebih tiga tahun. Saya mengenalnya, karena saya yang menemani beliau.”

“Tiga tahun?” tanya Asa sedikit memiringkan kepala ke kanan. Pandangannya turun menatap tiap langkah. Tempurungnya bekerja begitu hebat memikirkan satu kata yang di mana sekali Asa sendiri tidak memahami.

Itu waktu yang lama bukan?

“Nama saya, Rea. Tiga tahun lalu, saya merupakan perawat baru yang langsung diberi dua sekaligus menjaga dua orang yang berbeda usia. Tidak menjaga saja, melayani dan membantu di tengah jam perjanjian. Sebab, di sisi lainz saya juga membantu dokter-dokter lain,” dongengnya pada tiap bangsal-bangsal rumah sakit.

“Salah satunya, beliau. Beliau, selalu berkunjung ke dokter psikiater dan saya selalu menemaninya."

"Kadang, beliau memilih dirawat di sini seminggu atau dua minggu empat kali untuk terapi psikolog dan tekanan darah yang tinggi. Dan juga lambung yang sudah kronis. Dulu … Beliau pernah saya tanya? Anaknya tahu soal ini? Katanya, enggak. Kalau bisa jangan sampai tahu. Gamau mereka sedih. Hidup kedua putrinya udah begitu menyedihkan karena beliau juga.”

Asa menarik napas begitu berat, ia sekarang mengetahui sisi tertutupnya sosok wanita yang jarang pulang. Asa menggigit bibir bawah begitu erat.

“Beliau juga bilang, kalau beliau secara enggak sengaja marah ke anak bungsunya, karena ini kondisi mentalnya tidak stabil. Katanya, kedua anaknya cantik-cantik. Apalagi yang bungsu. Tubuhnya begitu cantik sampai Tuhan tidak mengizinkan orang-orang melihatnya, itu sebabnya si bungsu sering terluka. Dan luka itu, dari beliau atau suami beliau.”

“Satu lagi, beliau bilang. Anaknya yang bungsu begitu mirip dengannya. Cantik, hatinya selembut permen kapas, senyumannya semanis gula. Dan  mata bulatnya tak kalah indah dengan bulan purnama."

"Serta kantong mata yang membuat wajahnya begitu lebih terukir sempurna. Dia ... Asavella Skyrainy.”

Mendengar itu Asa langsung menutup mulut berharap ia tidak menjerit dalam kondisi seperti ini. Situasi yang tidak memungkinkan tengah merundung Asa. Terasa sangat berdosa dengan apa yang berada benaknya. Tempurungnya sering mengingat betapa bencinya dia kepada sang mamah.

“Sudah sampai.” Perawat bernama Rea mengajak Asa tepat pada ruangan dengan sebuah kode bilik berbentuk persegi yang menampilkan angka ‘99A’.

Rea mulai memegang gagang pintu dan membukanya perlahan. Ia juga masuk setengah pintu. Dan Asa mendengar suara wanita di dalam yang menyambut.

“Rea? Udah waktunya jam makan, ya?” Suara itu membuat Asa memundurkan langkah. Rasanya ia malu bertemu wanita yang masih terdengar suaranya saja.

“Iya. Tapi saya tidak membawa makanan. Nanti saya ambil dulu, Bu.” Rea tersenyum lembut yang terlontar untuk wanita di dalam. Dan sesekali melirik lembut Asa.

“Bu, bukankah ibu pernah membicarakan dua sosok gadis yang istimewa kepada saya?” Pertanyaan itu tiba-tiba terlontar. Tapi dengan lembut dan anggun wanita di sana tengah tersenyum.

“Kenapa, Re? Kamu ingin mengenal anak saya? Bukankah ..., waktu itu pernah bertemu yang sulung?”

“Iya. Tapi saya sudah bertemu juga dengan yang bungsu. Dia sangat cantik.”

“Aca? Asavella? Bertemu di mana? Saya mencarinya, saya harap dia baik-baik saja. Apa anak saya yang masih kecil itu baik-baik saja, Re? Kamu bertemu di mana? Saya harap dia tidak bersama papahnya. Saya takut papahnya akan membuatnya semakin terluka.”

Suara itu memecahkan tangisan tanpa suara. Tenggorokan Asa begitu sakit menahan suara untuk tidak menggema.

Rea tersenyum. “Dia akan baik-baik saja kalau mendapatkan pelukan dari ibu. Dia di sini. Dia tersesat ketika mencari ruang di mana tempatnya mengadu tengah sakit.”

Kaki Asa bergetar ketika merajut beberapa langkah tanpa suara. Ia sesekali mengintip dan hanya memperlihat rambut dan mata sembab dari tepi pintu. Tentu saja, wanita yang tertidur di atas brankar langsung mengenali.

Senyuman terbit dari birai ibunya membuat Asa memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan dan perawat bernama Rea memilih menutup ruangan—meninggalkan mereka berdua.

Asa membungkam bibirnya kembali. Menggigit dinding pipi bagian dalam dengan sekuat mungkin. Melihat bagaimana sosok wanita yang jarang tidak berada di rumah dan kelabu untuk Asa sudah tidak berdaya di atas brankar rumah sakit.

Hidungnya terpasang selang dan ada layar kecil yang memperlihatkan detak jantung.

“Hai sayang, apa kabar kamu?” Suara yang menyapa itu justru membuat langkah Asa tanpa basa-basi lari dan memeluk erat sosok wanita yang hanya bisa tidur dengan tubuh lemahnya.

"Maafin mamah ya, gabisa masak buat kamu. Kalau mamah sembuh sekarang, mamah masakin. Mau apa?"

Anak perempuan itu menangis terisak-isak. Tangisan itu semakin keras beradu dengan suara alat pendeteksi detak jantung. Sementara sosok wanita yang mendapat pelukan memejam mata. Merasakan hangat dengan senyuman terbit begitu lega serta air mata yang jatuh pelan pada bantalan.

Isakan samar terdengar pada rungu Kuntira di mana mengingat pertama kali ia mendengar tangisan pertama Asavella waktu bayi seusai terlahir di usia kandungan tujuh bulan. Dan kini, usia anaknya sudah 17 tahun dan tangisan itu masih sama.

“Putri cantik mamah jangan pergi jauh-jauh lagi, ya,” lirihnya yang disambut anggukan cepat sosok Asa yang sudah sesak sekali. Bagian tenggorokannya benar-benar tercekat itu menimbulkan rasa begit sakit.

“Udah makan, sayang?”

Asa mengangguk memilih berdusta padahal ia baru juga keluar dari rumah sakit dan harusnya sekarang juga jam makannya, tetapi gadis ini berusaha untuk tidak melihatkan jika ia tengah menahan lapar.

Asa memilih memendarkan pelukan dan memilih duduk pada kursi yang berada di samping brankar Kuntira.

“Kata kakak, mamah di ICU. Kata Suster Rea, Mamah sakit udah lama. Tapi, kenapa, mamah boong. Mamah sering bilang pergi ke sana kemari, mamah belanja ke sana ke sini sebenarnya cuma buat nutupin rasa sakit mamah, kenapa mamah boongin, Aca? Kenapa mah?”

Wanita itu hanya bisa tersenyum serta berusaha mengusap air mata sang gadis. “Mamah rasa, mamah enggak perlu libatin ini ke anak-anak mamah. Tapi, mamah udah sembuh sekarang, bahkan hari ini mamah bakalan pulang sama kamu. Karena, lihat anak mamah di sini udah buat mamah merasa enggak perlu obat-obatan.”

Lihat, bagaimana sosok wanita itu meyakinkan anak bungsunya dengan begitu sempurna.

“Kamu itu anak istimewa yang luar biasa, sayang,” ucap Kuntira yang tak lepas untuk mengusap pipi anaknya.

“Kelahiran mu sudah istimewa, tapi mamah, membuatmu seakan usang,” lanjutnya dengan senyum tipis. “Kamu enggak lemah, sayang. Kamu bukan gadis yang mudah baperan atau mudah ditindas. Kamu anak kuat, sayang.”

“Maafin mamah, ya, nak. Mamah enggak bisa jadi ibu yang baik buat kamu dan kakak kamu. Maafin masa lalu mamah yang begitu pelik hingga kamu yang terkena imbasnya juga. Mamah sayang kamu, nak.” Tangan Kuntira yang sedari tadi mengusap pipi turun dan meraih kedua tangan hangat anak gadisnya.

“Lawan orang-orang tersebut jika itu perlu. Tidak perlu melihat lawan itu orang terdekat ataupun bukan. Hukum mereka atau pergi jauh dan tinggalkan mereka. Kamu paham, sayang?”

Asa mengangguk paham. Ia menurunkan pandangannya. Memikirkan sesuatu, tentang Bara yang menikah sirih diam-diam. Benar-benar keluarganya tak seharmonis kisah cerita yang sering ia baca.

Air mata Asa jatuh lepas yang sudah tak bisa ia kendalikan.

“Hey, anak mamah, kenapa nangis? Sini cerita. Kenapa?”

Asa dengan cepat menatap atap langit ruangan tersebut. Menepis cepat dan memperlihatkan senyum paksa dengan pandangan turun mendapat wajah sang mamah.

“Aca enggak apa-apa.”

“Mamah kenal kamu, sayang. Jantung mamah setengah di kamu. Insting mamah soal kamu sama kakak kamu itu kuat. Kenapa? Coba cerita?”

"Masalah sekolah? Gapapa, kalau mau pindah, gapapa gaharus ranking satu. Gapapa kok, gaharus kelas efektif unggul."

Asa menggeleng. "Enggak mah, Asa suka sekolah di sana," dustanya yang begitu lebih sempurna.

Kuntira tersenyum tipis. Mengetahui jikalau Asa berdusta untuk tidak memberi beban. Anak ini terlalu tertutup.

"Kita enggak pernah gini kurang lebih 10 tahun lebih, Iyah 'kan? Waktu mamah enggak banyak mungkin sekarang, tapi, kalo adek cerita gapapa."

Asa menggeleng. Sesak sekali dadanya. Ia bahkan berulang kali mengambil napas dengan cara membuka mulut.

“Eng-enggak, mah. Aca bener-beneran gapapa. Aca cuma kangen aja sama mamah.”

Tidak perlu dihitung lagi berapa Asavella membual.

“Kangen? Kan mamah sekarang di hadapanmu, sayang. Kamu beneran gapapa? Jangan dipendam lagi ya sayang, nanti jadi penyakit kek mamah. Kalau ada apa-apa cerita ke mamah, ya, sekarang.”

Asa mengangguk dua kali. “Pasti.”

“Soal kakak kamu … kalian semakin jauh sekarang. Perbaiki hubungan kamu sama kakak kamu, ya. Dia butuh kamu, vuma kamu tau sendiri, kakak kamu orangnya gimana?”

Asa mengangguk kembali dan memeluk lembut tangan Kuntira untuk dibuat sandaran. Ia sejenak memejam. Ia tidak berani mengatakan soal Bara. Ingin sekali Asa mengenyahkan pikiran ini. Ingin juga tidak ingin tahu soal ini. Sebab ini, membuatnya terjebak dalam dilema dan memperdalam luka.

“Kapan mamah pulang?” tanya Asa mengecup sekilas tangan sang mamah.

Wanita itu tersenyum tipis. “Hari ini. Nanti, mamah minta dokter buat suruh mamah dirawat di rumah aja. Mamah pengen dirawat anak mamah. Karena anak-anak mamah sudah menjadi obat penyembuh paling indah.”

Asa tersenyum. Rasa seperti ini yang ia ingin dari dulu.

“Ca, kalau di rumah enggak ada makanan, pulang ke rumah Bunda Riri, ya. Mamah udah bilang, kok.”

Asa mengerutkan alis. “Kenapa? Kan ada Bi Mimin.”

“Bi Mimin dipecat papah dua hari lalu, kakak kamu bilang sendiri.”

Bagaimana sosok Bara benar-benar melampaui batas. Asa sesekali melihat jam dinding yang bisa di kata sudah satu jam di sini.

“Mah, Aca pulang dulu, ya. Mau siapin buku buat sekolah, besok Aca harus sekolah. Nanti kalau udah, Aca ke sini lagi aja. Gamau ke Bunda Riri maunya sama mamah.”

“Kenapa sekolah? Tubuhmu masih belum sembuh total, ‘kan? Mamah izinin ke kepala sekolah sama wali kelas kamu aja, ya?”

Asa menggeleng. “Jangan mah, jangan. Gamau papah lukai mamah kalau papah tau ini.”

“Tapi mamah gamau kamu terluka lagi. Cuma ini yang mamah bisa, kamu di sini lima belas menit lagi, ya. Mamah masih kangen. Dan mamah bakalan telepon wali kelas mu.”

“Mah …” Asa menggeleng. Asa lebih baik terluka ia masih muda dan ia bisa kapan saja melawan Bara dengan kedua tangannya. Ia tidak ingin membuat orang lain harus melindunginya dan merasakan luka karenanya.

“Yaudah, hati-hati, ya. Kabari mamah kalau ada apa-apa.” Sebenarnya Kuntira tidak ingin melepas begitu saja dan mengiyakan. Tapi hanya itu yang ia bisa lakukan hari ini.

Asa beranjak berdiri. Membungkuk sedikit dan mengecup kening, pipi, hidung dan bibir mamahnya secara bergantian pada tiap bagian.

“Aku cinta mamah. Cepat sembuh.”

“Aku juga cinta kamu, sayang. Mamah pasti sembuh. Hati-hati, ya.”

ฅ^•ﻌ•^ฅ

Next? Next nggak? Gimana Part iniii??

Komen dan votenya🧡🧡🧡

Coba tokoh siapa yang menjadi tanda tanya yang jahat?

Komen-komen biar seru tebak-tebakannya.

🍊Ilysm🍊





Continue Reading

You'll Also Like

1.6K 643 26
"𝚓𝚒𝚔𝚊𝚕𝚊𝚞 𝚕𝚞𝚔𝚊𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚊𝚔 𝚖𝚊𝚞 𝚋𝚎𝚛𝚍𝚊𝚖𝚊𝚒 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚠𝚊𝚔𝚝𝚞 𝚖𝚊𝚔𝚊 𝚋𝚒𝚊𝚛𝚔𝚊𝚗𝚕𝚊𝚑 𝚕𝚞𝚔𝚊 𝚒𝚝𝚞 𝚖𝚎𝚗𝚢𝚊𝚝𝚞 𝚍...
173K 4.7K 71
Ini hanyalah kumpulan kata-kata dari Fiersa Besari dari buku nya yaitu "garis waktu" Selamat berbaper ria. :)
2.8K 1.6K 11
Seseorang pernah berkata, katanya, jatuh cinta itu karena terbiasa, namun bagi Kala, jatuh cinta itu bukan karena terbiasa, melainkan karena seseoran...
7.6M 172K 26
[SUDAH DINOVELKAN DAN SUDAH TERSEDIA DI GRAMEDIA SELURUH INDONESIA] [Complete story✔] [Highest rank : #5 in Teenfiction] ●●● "Gue tau gue bodoh, dan...