Tergenggam dalam Nyaris | ✓

By Crowdstroia

146K 17.9K 1.6K

Gautama Farhandi adalah pengacara untuk organisasi bisnis pasar gelap bernama "Balwana". Suatu hari, dia mene... More

PEMBUKA
1 || and, she eats
2 || and, she wakes (1)
4 || and, he discloses
5 || and, she fought (1)
6 || and, she fought (2)
7 || and, he accepts (1)
8 || and, he accepts (2)
9 || and, he looks
10 || and, she took his hands
11 || and, they take pictures
12 || and, they take pictures (2)
13 || and, they visit their house
14 || and, they clean their pool
15 || and, she helps him doing plank
16 || and, they eat dinner together
17 || and, she goes with her friend
18 || and, she swims
19 || and, she meets the neighbors
20 || and, they go to a party
21 || and, they attend their daily meeting
22 || and, they confess [END]

3 || and, she wakes (2)

6.3K 1K 39
By Crowdstroia

| 3 |

and, she wakes



Kehadiran Bening diminta setelah sarapan. Katanya, 'Mas Tama' yang meminta. Rushia merujuk kepada sosok pria tinggi berkacamata yang tadi malam dia temui. Dia akan ditanya-tanyai dan diberi kontrak untuk tutup mulut. Anika dan Bells akan menemaninya, sedangkan Rushia harus pergi untuk menemui atasan. Bening agak menyayangkan kepergian Rushia, sebab gadis pirang itulah yang membuatnya merasa lebih nyaman berada di sini.

"Mari," ujar pemuda bertindik yang tadi malam dia temui di rumah Nicholas. Tangannya menahan pintu ruang karaoke terbuka. Seingat Bening, nama pemuda itu adalah Linggar.

Bening masuk dan melihat lagi pria berkacamata yang dia temui kemarin. Pria dengan tinggi menjulang dalam ruangan. Bahkan Bening yang selalu merasa tinggi pun harus mendengak untuk melihat wajah pria itu.

Tama menoleh dan berdiri. Setelah Anika dan Bells duduk, pria itu justru melangkah ke arah Bening dan mendadak berhenti. Seperti terlupa atau baru terpikirkan sesuatu. Matanya menatap Bening sekilas sebelum dialihkan.

"Kenapa, Mas?" tanya Bells, melongok dari sofa. "Mukanya kayak kelupaan sesuatu gitu."

"Oh, bukan apa-apa." Dia melirik sekilas ke arah Bening. Wajahnya terlihat ganjil sebelum dia kembali ke tempatnya tadi duduk. "Mereka jadi pada pulang hari ini?"

"Sebagian iya. Sebagian lagi masih mikir harus ke mana," jawab Anika. Dia menepuk dudukan sofa sambil menatap Bening, mengajak Bening duduk di sebelahnya. "Ah, ya, Bening, kenalkan ini Tama. Dia yang bertanggung jawab buat mengeluarkan kamu dan yang lain dari rumah Nicholas kemarin."

Bening tak yakin apa dia harus berterima kasih, sebab dia tahu orang-orang ini bukan datang untuk menyelamatkan korban; mereka hanya ingin membuat perhitungan dengan Nicholas, dan para korbannya sudah 'sewajarnya' ikut diselamatkan dan dilepas. Jadi Bening hanya menatap saja.

Pria itu tak bergeming. Dia menahan tatapan Bening dan berkata, "Kamu kelihatan lebih baik sekarang. Tadi malam kamu kayak kambing yang lama nggak mandi."

Bells dan Anika memelotot. Bening hanya terdiam. Anika menegur, "Tama! That's not a way to talk to a lady!"

"Sekarang udah mandi, kan? Ada air hangat di sini."

Anika lanjut mengomeli pria itu. Sedangkan Tama tak terlihat merasa bersalah. Dan anehnya, Bening tak merasa sakit hati. Jadi dia bersuara, "Iya, saya sudah mandi."

Semua terdiam. Anika menarik napas dan menghelanya. "Jangan bicara aneh-aneh lagi, Tama."

Tama tak membalas. Dia memandang Bening sambil menyatukan jemari di atas pangkuan. "Kamu punya keluarga, saudara, atau teman yang bisa kamu datangi untuk pulang?"

Dia punya, tapi perkara kembali adalah hal yang agak rumit. Jadi Bening bertanya balik, "Ap-apa kalian cuma menangkap Nicholas?"

"Kami juga menangkap para penjaga di sana. Ada apa?"

Bening menautkan alis, terlihat lebih khawatir. Dia sejenak lupa apa yang harus dilakukan. Disekap dua tahun membuatnya agak lupa bahwa dia sebenarnya adalah manusia normal yang memiliki suara dan bisa mengambil keputusan sendiri. Dia harus memikirkan ini baik-baik. Dan dalam jangka waktu dari dia sarapan hingga dia masuk ruangan ini, Bening sudah menyadari kenyataan yang menimpanya. "S-saya nggak mau berbicara lebih jauh kalau kalian nggak bisa menjamin keamanan saya."

Mereka semua terdiam, dan tertegun. Ini terasa sebagai langkah yang sangat jauh untuk seseorang yang lama disekap tanpa bisa berhubungan dengan dunia luar.

"Keamanan seperti apa yang kamu butuhkan?" tanya Tama.

"Perlindungan dan tempat tinggal. Saya ... saya masih mau hidup."

"Itu bukan hal yang sulit." Tama terlihat tenang. "Saya bisa kasih kamu unit apartemen untuk ditinggali, tapi apa kamu lebih nyaman untuk nggak tinggal sendirian?"

Bening agak kaget karena pria itu lebih peka dari yang dia duga. "I-iya. Kalau bisa ... ada orang lain, tapi bukan orang yang sepenuhnya asing. Mungkin ... sama Rushia?"

"Oh. Setahu saya, Rushia tinggal sama pacarnya. Tapi nanti bisa ditanya lagi, siapa tahu mereka nggak keberatan."

"Kamu bisa tinggal sama aku," usul Bells dengan santai. "Aku tinggal di rumah sama adik-adikku, kalau kamu nggak keberatan."

"Atau di apartemenku juga bisa," imbuh Anika. "Tapi, saya sering pergi-pergi sih. Jadi mungkin kamu bakal sering sendirian."

Tama punya ide, tapi dia agak enggan mengusulkannya. "Kamu bisa tinggal di kosan sama anak-anak yang lain. Tapi, kebanyakan dari mereka adalah cowok. Kelakuan mereka kayak binatang, tapi mereka nggak akan menyentuh kamu."

"Jangan!" Anika langsung menyergah. Kemudian dia tersadar sesuatu dan menatap Bening. "Kecuali ... kalau Bening memang mau tinggal di situ?"

Bening menggeleng-geleng kencang. "Ng-nggak mau."

Sekilas, raut lega muncul di wajah Tama. "Yah, nggak perlu terburu juga. Kamu bisa lihat-lihat dulu gimana kondisi kalau tinggal di masing-masing tempat yang kami usulkan. Untuk sementara, kamu bisa tinggal di sini."

Bening mengangguk kikuk. "T-terima kasih. Apa jadinya ... kalian bisa menjamin perlindungan untuk saya?"

Tama menatap Bells. Dan tanpa disuruh, gadis berambut ombre itu keluar dan kembali dengan sebuah tas. Dia membukanya dan mengeluarkan sebuah dokumen dan pulpen di atas meja.

Tama menulis untuk beberapa saat. Sedangkan Anika dan Bells mengajak Bening berdiskusi masalah tempat tinggal.

"Silakan dibaca dulu," ujar Tama, menyerahkan dokumen yang tadi dia isi. "Di situ tertera kontrak yang kamu minta. Kamu butuh informasi dari kamu, dan sebagai gantinya, kami bakal memberi perlindungan dan tempat tinggal yang aman. Tapi, perlu diketahui bahwa kelompok kami ini bukan organisasi sosial, jadi kamu tetap harus cari uang sendiri untuk biaya makan dan kebutuhan lainnya."

"Oh, saya bisa kerja. Bening lalu teringat sesuatu. "B-bukan kerja jadi PSK! Dan bukan jadi lady court... Saya bisa kerja yang lain, yang ... yang bukan kayak gitu."

"Nggak ada yang minta kamu untuk jadi wanita penghibur." Pria itu mempelajarinya sambil bersedekap. Tatapannya kalkulatif. "Kamu bisa ngerjain apa?"

"Pe-pembukuan." Itu jawaban yang mudah, dia mempelajarinya saat kuliah. "Saya juga bisa bahasa Inggris. Atau kalau butuh yang lain, saya pasti bisa belajar."

"Pembukuan? Kamu pernah kerja jadi akuntan?"

"Bukan kerja. Kuliah, tapi...." Bening mengerjap, dadanya terasa berat mengingat ini, mengingat segala mimpi dan kehidupan yang direnggut dalam sekejap. "Tapi, kemudian ada Nicholas."

"Ah." Tama bergumam. "Maaf, tapi berapa usiamu sekarang?"

"Dua puluh lima."

"Berarti, kamu disekap pas usia dua puluh tiga?"

"Iya, waktu tahun terakhir kuliah, harusnya saya urus skripsi saya, tapi ... ada Nicholas."

Tama menunduk. "Saya turut berduka atas kemalangan yang kamu alami. Tapi, saya tetap harus tahu informasi tentang Nicholas dan teman-temannya dari kamu."

"S-saya paham." Bening membaca surat kontrak yang diberikan Tama. Isinya sederhana, dan semua sesuai apa yang dia minta. Bening hanya sedikit penasaran dengan lambang tikus dan akar serta berbagai aturan lain yang cukup detail. "Apa saya butuh pasukan? Letnan sama Komandan ini maksudnya apa?"

"Saya bakal jelaskan dengan singkat," balas Tama. "Komandan adalah pemimpin kelompok ini, jumlahnya ada tiga dan saya adalah salah satunya. Letnan adalah jabatan di bawah Komandan, contohnya adalah Rushia, Bells, dan Linggar. Karena kamu mungkin udah lihat sendiri gimana Rushia dan Linggar menangkap Nicholas dan menghajar semua penjaganya, kamu pasti bisa mengira-ngira seberapa kuat mereka. Seberapa kuat pasukan yang akan diminta untuk menjaga kamu akan bergantung sama informasi yang akan kamu berikan."

Bening menatap Tama, lalu Bells, lalu menatap kontraknya lagi. "Kalian sangat terstruktur ya... kelompok Balwana?"

Meski sedikit, sudut bibir Tama naik. Dia terlihat bangga. "Apa ada pertanyaan lagi?"

"Mungkin, kamu yang mau bertanya?" Bening meraih pulpen untuk menandatangani kontrak. "Katamu, kamu butuh informasi."

"Iya. Apa maksud kamu dengan kami cuma menangkap Nicholas?"

"Saya tahu kalian sudah menangkap Nicholas dan semua penjaganya. Tapi, apa kalian udah menangkap orang yang kerja sama dengan Nicholas?" Bening mengulum bibirnya ke dalam mulut. "S-saya nggak bisa balik kalau mereka masih berkeliaran. Kalau mereka tahu Nicholas ditangkap, mereka pasti udah sembunyi sekarang."

Jika ada perubahan emosi dalam diri Tama, pria itu tak menunjukkannya. "Jadi ... kamu memang tahu bahwa ada orang-orang yang kerja sama dengan Nicholas?"

Bening menelan ludah. "Beberapa, iya."

"Pernah ketemu?"

"Iya, Nicholas pernah ajak mereka ke rumah. Dia tunduk sama orang-orang ini."

"Ingat wajah dan nama mereka?"

"Sebagian wajah ingat. Tapi kalau nama, cuma sebagian."

"Apa mereka tahu muka kamu?"

Bening mengernyit. "Saya kurang tahu. Saya cuma pernah melihat mereka sekilas dari jendela, dan dengar suara mereka ngobrol dari kamar sebelah. Tapi, saya nggak tahu apakah Nicholas pernah nunjukkin foto saya ke mereka atau enggak di luar itu."

"Begitu ya." Tama terlihat berpikir keras. "Kapan terakhir kali kamu ketemu mereka?"

Kernyitan Bening muncul lagi ketika dia mengingat-ingat. "Mungkin, dua atau tiga bulan lalu. Saya lupa persisnya kapan. Tapi saya ingat, saat itu Nicholas diancam."

"Diancam gimana?"

"Kalau dia nggak segera menyelesaikan permintaan dari orang-orang itu, mereka bakal putus kontrak dan nggak akan ada yang bisa lindungin Nicholas."

Jemari Tama mengetuk lengan sofa. "Apa kamu tahu apa permintaan orang-orang ini ke Nicholas?"

"Maaf." Bening menggeleng.

Tama menarik napas, lalu mengembuskannya dengan kencang. "Kalau gitu mohon maaf, Bening. Sepertinya kami nggak bisa membiarkan kamu keluar dulu tanpa ada orang yang jagain kamu. Begitu mereka tahu Nicholas ditangkap bukan sama polisi, kemungkinan besar kamu akan jadi target kalau mereka tahu kamu berkeliaran bebas."

"Iya, memang itu juga yang saya pikirkan." Bening menyerahkan dokumennya.

Tama melihat dokumen yang sudah ditandantangani dan menyerahkan lembaran yang harus disimpan Bening. "Kamu simpan ini. Sementara untuk masalah pekerjaan, nanti Mami Anika yang bakal pilihin sesuai keahlianmu."

"Terima kasih."

Pria itu berdiri, lalu mengulurkan tangan kepada Bening untuk berjabatan. Tangannya terlapis oleh sarung tangan kulit berwarna cokelat, sama seperti kemarin malam.

Bening ikut berdiri, tapi dia lama mengamati tangan yang terulur itu.

Tama pun berdeham. "Tangan saya kasar. Jadi, mungkin akan lebih nyaman buatmu kalau saya tetap pakai sarung tangan."

"T-tapi ...tangan saya ... juga kasar." Matanya kembali menatap Tama di balik bulu matanya. "Apa ... itu juga bikin kamu nggak nyaman?"

Tama sedikit tertegun. Kemudian dia mengangkat tangan, melepas kain yang menutupinya. Kulit dengan bekas luka bakar mewarnai sekujur tangan pria itu. Bekas lukanya pun masih ada yang tersembunyi di balik lengan kemeja. Lalu dia mengulurkan tangan lagi.

Bening menjabat tangan di depannya. Kulit tangan pria itu terasa kasar dan kapalan, tapi panas, bukan sekadar hangat. Rasanya seperti sedang menjabat tangan orang yang sedang demam. "K-kamu sakit?" tanya Bening dengan khawatir. Kepalanya mendongak. Tangannya masih terasa kecil dan tenggelam dengan ukuran tangan Tama yang besar.

Pria itu menawarkan senyum tipis. "Saya nggak sakit. Suhu tubuh saya memang segini normalnya." Tama mengayunkan tangan mereka dengan mantap sebelum melepasnya. "Senang bekerja sama dengan kamu."

Bening mengangguk. Tama lalu pamit kepada Anika dan yang lain. Mereka mengikuti pria itu keluar sampai lobi.

Lobi Rocket Pop lengang. Cahaya matahari terasa lebih hangat di sini, memancar di balik pintu utama dan dinding berbahan kaca transparan. Di luar pun, beberapa toko sedang dalam persiapan untuk dibuka. Ada gerobak penjual siomay lewat, tapi belum ada kendaraan melintas di depan tempat karaoke ini. Dan setelah melihat semuanya, Bening merasa sesak karena dia ternyata bisa keluar, bisa jalan-jalan, bisa saja jajan sendiri jika dia punya uang—dia akan bekerja, mungkin dia akan diuji dulu oleh Mami Anika sesuai keahlian. Tapi untuk sekarang ini, dia ingin meresapi sedikit kebebasan setelah lama tidak merasakannya.

Langkah kakinya mendekat ke atah kaca. Matanya terpejam menikmati kehangatan cahaya pagi. Angin bertiup dari pintu yang terbuka, menyapu wajah dan anak-anak rambut. Mungkin Tama tadi keluar. Bening masih terdiam menikmati udara bebas. Rasanya nyaman. Suasana ini menghangatkan hatinya, membuat Bening melesak oleh rasa bahagia karena dia sudah bebas. Dia sudah bisa keluar dari tempat ini dan berjalan-jalan tanpa harus dikekang, walau mungkin tetap harus ditemani orang lain sesuai kontraknya dengan Tama.

Bening tak sadar tersenyum dan membuka mata, mendapati Tama sedang berdiri di luar dan memandangnya. Pria itu tak melihatnya dengan aneh, juga bukan dengan tatapan bernafsu seksual yang melihatnya seolah dia adalah boneka seks. Tama hanya menatapnya tanpa mengalihkan pandangan selama beberapa detik, tatapannya lekat, lalu dia memutuskan pandangan ketika suara klakson dari taksi terdengar.

Pria itu segera memasuki taksi tersebut. Dan kendaraan itu membawanya pergi meninggalkan Rocket Pop.

Itu adalah kali terakhir Bening melihat Tama hingga satu tahun kemudian.

[ ].

1,8k words
4/4/2022

Continue Reading

You'll Also Like

3.4M 35.9K 31
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
23.9K 2.8K 13
Di tengah keluarga yang memiliki nama cukup tersohor, keberadaan Libby dianggap seperti benalu tak berarti. Segala hal yang dilakukannya selalu dibat...
1.5K 116 43
"INI GRUP YANG NGASIH NAMA SIAPA SI?! ALAY BANGET GANTI!!" - Jihoon "Gue Kick ya lo klo banyak protes" - Eric
16.1K 815 11
Who wants to live side by side with the past? Tidak ada. Namun apa yang terjadi jika garis takdir justru mempertemukan ia kembali dengan seseorang da...