Tergenggam dalam Nyaris | ✓

By Crowdstroia

146K 17.9K 1.6K

Gautama Farhandi adalah pengacara untuk organisasi bisnis pasar gelap bernama "Balwana". Suatu hari, dia mene... More

PEMBUKA
1 || and, she eats
3 || and, she wakes (2)
4 || and, he discloses
5 || and, she fought (1)
6 || and, she fought (2)
7 || and, he accepts (1)
8 || and, he accepts (2)
9 || and, he looks
10 || and, she took his hands
11 || and, they take pictures
12 || and, they take pictures (2)
13 || and, they visit their house
14 || and, they clean their pool
15 || and, she helps him doing plank
16 || and, they eat dinner together
17 || and, she goes with her friend
18 || and, she swims
19 || and, she meets the neighbors
20 || and, they go to a party
21 || and, they attend their daily meeting
22 || and, they confess [END]

2 || and, she wakes (1)

6.6K 1K 22
By Crowdstroia

| 2 |

and, she wakes



BENING terbangun sendirian di sebuah kasur. Badannya agak pegal, tapi di satu sisi terasa lebih baik dibanding seminggu belakangan. Namun, suasana asing ini perlahan menyadarkannya. Dia tidak sedang berada di rumah Nicholas.

Tubuhnya menegang saat dia beranjak duduk. Mata mengawasi benda apa pun di ruangan yang gelap ini. Cahaya dari lampu kecil memberi sedikit penerangan. Bening berdiri, merasakan dinginnya lantai marmer. Langkahnya melaju ke tirai yang ada di situ untuk membukanya.

Terik cahaya pagi membuatnya silau. Dia menyipit dan memandangi lapangan parkir yang berada di balik jendela. Matanya mengerjap, memerhatikan tempat ini baik-baik.

Tadi malam dia dibawa orang-orang, dibawa masuk ke mobil dan dimandikan. Dia enggan bicara karena tak ingin ucapannya justru membuatnya terjebak pada situasi yang lebih buruk. Nicholas bisa menyiksanya hanya karena salah ucap. Tak ada jaminan bahwa orang-orang asing ini takkan melakukan hal yang sama.

Bening menarik napas, lalu meraba-raba bajunya. Dia memakai kaus kelabu kebesaran dan celana training panjang. Tak ada bra yang sesuai ukurannya, jadi dia hanya pakai tank-top di balik kaus. Bening tak bermasalah dengan itu. Dia tak pernah pakai bra sejak disekap Nicholas. Pria itu hanya memberinya bra dengan ukuran yang masih terasa kesempitan untuk Bening. Bening tahu, mencari bra yang ukurannya pas dengan payudaranya memang tidak mudah, biasanya tak ada di pasar atau toko swalayan besar, harus beli di toko dalaman wanita yang agak mahal, dan dia tahu Nicholas menganggap itu sangat merepotkan. Bening pun tak memiliki banyak pilihan berhubung dia bukan siapa-siapa dalam rumah Nicholas.

Pintu terketuk beberapa kali, ada jeda, lalu diketuk lagi. Bening hanya diam. Dia sejak kemarin hanya mengikuti ucapan orang-orang ini karena dia tak tahu harus pergi ke mana. Orang-orang ini, entah siapa pun mereka, jelas jauh lebih kuat dibanding para penjaga Nicholas. Jika dari rumah Nicholas saja Bening selalu gagal untuk kabur, dia sudah pasti gagal juga jika mencoba kabur dari orang-orang ini. Mungkin lebih baik jika dia mengisi energi dulu sebelum memikirkan rencana pergi, tak peduli meski rencananya akan gagal lagi atau tidak.

Suara ketukan berhenti, tapi disusul dengan kenop pintu yang terputar. Bening pun baru sadar dia tak mengunci pintu. Sudah lama sekali sejak kali terakhir dia bisa mengunci pintu kamarnya sendiri—dia tak pernah diberi wewenang untuk memiliki kunci pintu mana pun oleh Nicholas. Terlalu lama disekap Nicholas mungkin membuatnya lupa bahwa tak semua orang mau menguncinya dari luar ruangan.

Daun pintu terbuka dan sesosok wanita cantik masuk. Rambutnya cokelat panjang dan tergerai indah. Tampilannya seperti wanita pekerja kantoran modis. Mata wanita itu membeliak melihat sosok Bening yang sudah berdiri. Dia menyalakan lampu utama dan mematikan lampu meja. "Bening?" panggilnya dengan senyum. "Ternyata kamu udah bangun. Untunglah." Wanita itu adalah salah satu perempuan yang tadi malam memandikannya. Bening ingat dia dipanggil sebagai 'Mami' oleh gadis pirang yang mengeluarkannya dari ruang kurungan Nicholas.

"Ini, maaf karena kemarin nggak ada bra yang pas. Sekarang saya udah bawain yang sesuai ukuranmu kok," ujar si 'Mami' sambil menyerahkan sebuah tas tenteng.

Bening menatap wanita itu, lalu mengeluarkan isi tas. Ada beberapa potong bra berukuran besar. Bening meraih dan mencocokan dengan tubuhnya. Dia mengerjap. Ternyata memang pas. Dia pun membuka baju untuk memasang bra itu dengan benar.

Setelah terpasang, Bening mengerjap-ngerjap lagi. Entah mengapa dadanya terasa sesak. Tak pernah terbayang dalam pikirannya bahwa dia akan sesenang itu mendapat bra.

"Bening?" panggil sang Mami lagi. "Kamu nggak apa-apa? Apa ada yang salah?"

Bening hanya menggeleng. Dia mengerjap-ngerjap dan baru sadar air matanya keluar. Kemudian dia tertawa. Ini benar-benar bodoh. Bagaimana bisa dia menangis senang hanya karena mendapat bra? Cuma bra saja. Bukan hal besar. Ini hanya barang yang jadi keperluan dasar perempuan. Harusnya dia tak perlu menangis.

Sang Mami sudah berada di sampingnya dan mengulurkan kotak tisu. Bening menarik sehelai untuk menyeka air mata. Perlahan dia mulai memahami betapa menyedihkannya situasi ini.

Harusnya semua perempuan bisa memiliki akses untuk mendapat keperluan dasar mereka sebagai perempuan. Harusnya dia punya hak untuk mendapatkan akses tersebut. Harusnya orang lain memahami dan tak memaksanya memakai dalaman yang membuatnya tidak nyaman. Namun Nicholas merenggut kebebasannya hingga dia bahkan tak memiliki akses untuk mendapatkan keperluan dasarnya sebagai perempuan. Dua tahun terakhir Bening hanya punya pilihan antara bra kesempitan atau tak memakainya sama sekali. Situasinya begitu menyedihkan hingga Bening tak bisa tidak tertawa.

Air matanya sedikit keluar ketika dia tertawa. Bening menyeka lagi dan menormalkan raut wajah. Dia segera memakai baju. Anika mengawasi dengan tenang.

Bening tak tahu apa intensi orang-orang ini. Namun, mereka tak terlihat ingin menyakitinya. Setidaknya untuk sekarang. Jadi Bening memberanikan diri untuk bersuara, "Kalian ... siapa?"

Anika membeliak oleh suara Bening, terkejut karena Bening akhirnya mau bersuara. Dia tersenyum senang dan perlahan mendekat. "Nama saya Anika. Orang-orang sering manggil saya 'Mami'. Kami itu ... semacam kelompok yang bermusuhan dengan pihak Nicholas. Kami nggak niat buat menahan kamu dan korban lain di sini. Kalau kamu punya keluarga buat pulang, kami bisa bantu buat pulangin kamu. Tapi ...." Anika mengalihkan pandangan, terlihat agak berat mengatakan ini, "Tapi, kamu harus tutup mulut masalah Nicholas, nggak bisa lapor polisi."

Bening mengeraskan rahang. "Setelah apa yang dia lakuin ke saya dan yang lain?"

Anika menarik napas dan mengangguk dengan berat. "Iya."

"Apa alasannya?"

Anika kembali mengisi oksigen ke paru-paru. "Kami ini bukan aparat keamanan negara. Apa yang kelompok kami lakuin di rumah Nicholas itu sebenarnya dilarang; penggeledahan cuma boleh dilakukan pihak aparat dengan surat izin dari atasannya. Walau biasanya kami lolos dari sangkaan, tetap jauh lebih baik untuk nggak berurusan sama polisi."

Bening mulai memahami situasinya. Dia diselamatkan bukan oleh aparat atau orang baik.

Dia diselamatkan oleh sekelompok orang yang memiliki kepentingan, yang bersedia melakukan hal ilegal untuk mencapai kepentingan mereka.

Orang-orang yang mungkin tak beda jauh dari Nicholas.

Bening mengalihkan pandangan. Menyadari posisinya sekarang. Dengan kejelasan seperti ini, dia bisa lebih tahu bagaimana harus bersikap. "Terus ... apa mau kalian?"

"Seperti yang tadi udah saya bilang, kami cuma mau bantu kamu dan korban lain, tapi harus tutup mulut masalah Nicholas," ujar Anika dengan senyum tipis. "Kalau kamu tahu nomor telepon atau alamat keluargamu, kami bisa bantu pulangin kamu mereka. Korban yang lain udah pada ngomong, dan bakal pergi balik ke keluarga masing-masing sehabis sarapan."

Bening menyipit. "Apa ... kalian percaya kami nggak akan lapor polisi setelah kami dilepas?"

"Kalian harus menandatangani kontrak tutup mulut dulu sebelum kalian pulang."

Bening setidaknya sudah menduga bahwa dia tidak mungkin dibebaskan begitu saja. Namun kontrak ini agak mengkhawatirkan. "Ap-apa isi kontraknya?"

"Kamu bisa lihat sendiri nanti habis sarapan." Anika berdiri dari kasur. "Sekarang, mungkin kamu mau ke kamar mandi atau siap-siap dulu sebelum keluar?"


***


Lokasi yang menjadi tempat sarapan bersama adalah bar yang menyatu dengan tempat pijat ini. Letak bar ada di lantai satu, sedangkan kamar-kamar pijat tadi ada di lantai tiga. Mereka melewati lantai dua dengan lift dan Bening sempat bertanya untuk minta sedikit penjelasan.

"Lantai dua itu untuk karaoke yang lebih privat," hanya itu penjelasan dari Anika. Mereka melewati koridor dengan pintu-pintu berlapis kulit sintetis berwarna-warni, menutupi ruang-ruang karaoke. Keramik lantainya terlihat baru saja diganti. Masih ada sisa lantai yang masih berupa semen di beberapa ujung ruangan.

Bar yang mereka datangi tidak terlalu luas, tapi cukup untuk menampung beberapa belas orang di dalam. Bening menangkap benyak perempuan yang dia kenal dari rumah Nicholas sedang berkumpul di sini. Mereka terlihat baik-baik saja dan bahkan sudah bisa tertawa bersama orang asing—yang setelah dilihat lagi, sebenarnya tak seasing itu.

Orang tersebut adalah lelaki bertindik telinga yang mengeluarkannya dari rumah Nicholas. Di sebelah lelaki itu, ada Rushia, si gadis pirang yang menemaninya tidur dan selalu membantunya. Mereka semua berhenti mengobrol saat melihat Bening dan Anika masuk. Wajah mereka terlihat kaget.

Rushia hampir melompat dari bangku untuk mendatangi Bening. Matanya berbinar penuh harap. Dia tersenyum dan menawarkan Bening untuk duduk di sofa kafe yang saling memunggungi dan menempel. "Kami udah pesan bubur ayam buat sarapan. Kamu nggak apa-apa kan kalau makan itu?"

Bening mengangguk. "Nggak apa-apa."

Terdengar suara terkesiap para perempuan. Bening pun baru sadar. Selain kepada Anika tadi, saat inilah kali pertama dia bersuara di depan orang-orang ini di rumah Nicholas.

Rushia tersenyum. Dia duduk di sebelah Bening. "Kamu mau minum apa?"

"A-air putih aja." Bening melihat sudah ada gelas kosong di depannya. Dia mengambil dan menuangkan air sendiri.

Suara langkah yang memasuki bar mengalihkan perhatian mereka. Perempuan tinggi berparas cantik datang membawa dua kantung plastik berisi bubur ayam. Rambutnya dicat ombre dari krem ke warna ungu. Penampilannya terlihat terlalu berkelas untuk dianggap sebagai pelayan atau bawahan orang-orang ini. Hingga saat Rushia menyapanya dan mereka saling berbincang, asumsi Bening terkonfirmasi bahwa perempuan asing itu memang memiliki jabatan yang setara dengan Rushia.

Kedua perempuan itu membagi-bagikan makanan ke tiap meja. Bening mendapat meja bersama Anika, bisa diisi empat orang dengan sofa empuk yang saling berhadapan.

"Namamu siapa?" tanya perempuan tinggi berambut ombre tadi. Dia ikut duduk di meja mereka bersama Rushia. Dia mengulurkan tangan dan senyum. "Aku Bells."

Bening agak kikuk menerima uluran tangan itu. "S-saya Bening."

"Ah." Bells mengangkat alisnya yang tebal tapi berekor pendek. "Rushia udah cerita tentang kamu." Dia memberi senyum tenang. "Kamu udah berjuang keras untuk bisa bertahan selama ini. Pasti kamu lelah banget. Jadi makan yang banyak ya. Kalau mau nambah, tinggal bilang aja."

Bening membuka mulut, lalu mengatupkannya lagi. Matanya memandangi bubur ayam yang masih hangat. Ada sesuatu yang menggerakkan hatinya. Suasana terasa sangat normal. Ada suara bising dari obrolan orang-orang di dalam bar, semua sarapan bubur ayam, membicarakan berbagai hal, ada suara iklan TV atas meja bar yang dinyalakan, dan yang paling berbeda: tak ada tatapan lapar dari para lelaki yang ingin memerkosanya, atau hanya melihatnya sebagai benda pemuas nafsu. Kesadaran ini masih dicerna oleh Bening hingga bubur ayamnya mulai mendingin.

"Kamu nggak suka bubur ayam?" tanya Rushia dengan khawatir. "Kalau nggak suka, mau makan apa jadinya?"

"E-enggak." Bening mengerjap. Dia meraih plastik bungkus kuah kuning dan membukanya. "Aku suka kok."

"Hm. Makanlah. Ini bubur enak lho. Sebelum jam delapan pagi biasanya udah ludes."

Bening hanya tersenyum kecil, tapi merasa sedikit bersemangat untuk mencoba. Dia mengaduk buburnya dan menyendok. Pada suapan pertama, dia pun tertegun. Tangannya menutupi mulut selagi dia mengunyah dan menelan. "Ini enak."

"Iya kan?!" Wajah Rushia senang, terlihat antusias. "Gue sama Bells tadi antre lama banget, tapi emang rasanya sesuai sama perjuangannya, ya kan?"

Bening lagi-lagi tersenyum dan mengangguk. Mereka pun melanjutkan makan sampai habis. Dan saat makan, Bening baru sadar bahwa tadilah kali pertama dia tersenyum senang setelah sekian lama.

[ ].

1,7k words
03/04/2022

Continue Reading

You'll Also Like

23.8K 2.8K 13
Di tengah keluarga yang memiliki nama cukup tersohor, keberadaan Libby dianggap seperti benalu tak berarti. Segala hal yang dilakukannya selalu dibat...
1.9M 72.3K 60
"Kenapa semua orang selalu ngebandingin aku sama Radith? Aku tau penampilanku emang jadul, cupu, beda seratus depalan puluh derajat sama Radith yang...
672K 118K 51
Mereka bagai bintang yang terang. Gemerlap dan menyilaukan. Namanya di elu-elukan sedemikian besar, popularitasnya meledak hingga sampai pada tahap d...
4.7K 657 7
Bagi Kaia, dia tahu di dunia ini dia paling menyukai baking. Ah, dan tentu saja Tyaga. Dia bahkan ingin menikahinya. ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ Sedang bagi Tyaga, dia ha...