Into The Light (Seungwoo X We...

By primasantono

3.7K 439 112

*COMPLETED* Wendi yang telah memasuki umur mendekati kepala 3, sejatinya tidak peduli ketika teman-temannya s... More

Into the Mirror
Prolog
1. Light
2. Blank
3. Begin Again
4. Remember Me
5. Your Smile and You
6. Stay With Me
7. I'm Here For You
8. Fever
9. When We Were Close
10. White Night
11. While The Memory Fall A Sleep
12. Timeline
13. Want Me
14. Slow Goodbye
15. Please
16. LL (Love + Love)
17. Sweet Travel
18. Petal
20. Child
21. So Bad
22. Here I Am
23. Time of Sorrow
24. Like Water
25. In Love
26. We Loved Each Other
27. You are Mine
28. Howling

19. I'm Still Loving You

91 13 6
By primasantono

Sebenarnya setelah sarapan sekaligus makan siang nasi ulam hasil rekomendasi Shila (yang ternyata memang enak banget menurut Sakti), tadinya Sakti ingin langsung beranjak pulang. Celakanya, gadis itu tidak sengaja menumpahkan minuman jeruk hangatnya ke celana Sakti. Alhasil Sakti harus menetap sementara dahulu di apartemen gadis itu sembari menunggu celananya kering dicuci.

Sakti berusaha keras menolak, namun kalau ia memaksa pergi ke mall dengan keadaan celana basah sepertinya juga bukan ide yang baik. Jadi ia nurut saja ketika Shila menawarkannya untuk memakai celana training milik Shila yang size-nya terlalu besar itu, hasil dari endorse sebelumnya.

"Kan... untung pas ya," seru Shila begitu Sakti keluar dari toilet dan memasang wajah senewen.

"Aku bakal trauma dulu sementara waktu sama jeruk anget kayaknya," sahut Sakti dengan wajah yang pura-pura menekuk ke arah gadis itu. Shila hanya tertawa sambil menekan tombol di mesin cuci otomatisnya.

"Lupa nawarin minum, mau minum apa? sahut gadis itu sambil beranjak berdiri menuju dapur. Sakti hanya mengangkat bahu.

"Apa aja asal bukan jeruk anget,"

"Nyindir? Ada banyak pilihan nih,"

"Waw sejak kapan seorang Shila main di dapur?" sahut Sakti mengikuti langkah gadis itu ke dapur kecil miliknya.

Gadis itu hanya tersenyum sambil mengambil alat hand drip coffee miliknya. "Lupa ya aku punya sertifikat barista?"

Sakti mengangguk-angguk cepat, "Okay, okay, bikinin aku apa aja deh,"

Shila hanya tersenyum sambil mulai serius meracik kopi di dapur kecilnya itu. Sakti kemudian duduk di salah satu kursi meja makan yang berhadapan dapur kecil itu sambil jari-jemarinya mulai memainkan bunga pajangan di tengah meja. Suasana berubah menjadi sedikit canggung begitu keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Hanya ada suara Shilla yang sedang memainkan alat penghancur biji kopi di tangannya.

"Cowok itu juga suka kopi kan?"

Tiba-tiba saja kata itu meluncur dari bibir Sakti tanpa permisi. Membuat Shila terdiam sejenak.

"Gimana kabar dia sekarang?"

"Kabarnya baik,"

Sakti mengangguk-angguk lemah, tahu bahwa pertanyaan ini cukup bodoh untuk sekedar berbasa-basi. Shila tampak fokus dengan kegiatannya sendiri, sementara Sakti berusaha bersikap biasa saja. Walau jauh dalam hatinya, ia masih dongkol akan mulutnya sendiri yang tidak tahu situasi.

"Aku memang belajar kopi karena dia suka cerita soal itu pas kuliah. Sampai dia bermimpi punya kafe sendiri. Tiba-tiba aja terlintas ide di kepala, kenapa aku nggak belajar aja? Toh dikit-dikit aku tahu soal kopi," lanjut Shila tanpa beban, cukup membuat Sakti kaget dengan reaksi gadis itu.

"Pas dia nggak datang lagi, aku malah makin ingin belajar hal ini lebih dalam. Kalau-kalau dia kembali dan melihatku sudah pintar, siapa tahu hatinya luluh lagi,"

Shila mulai melangkahkan kakinya ke arah meja makan, tempat Sakti duduk termangu menatapnya, "Tapi ... dia nggak kembali. Kami bertemu lagi, tapi ternyata bukan kopi lagi sumber bahagianya," ucap Shila sambil menaruh secangkir kopi yang harumnya langsung tertangkap oleh indra penciuman Sakti.

"Tapi ... sekarang begitu aku udah dewasa gini, baru sadar juga sih. Emang di hatinya udah ada orang lain dari dulu. Bodohnya aku juga baru sadar sekarang,"

Sakti tersenyum tipis sambil menerima cangkir dengan aroma yang semerbak dan memanjakan indra penciuman dan indra pengecapnya itu. Ia tersenyum puas, "Buah dari rasa pahit di hati kamu justru jadi enak begini,"

"Maksud kamu karma yang aku jalanin, manis gitu menurut kamu?" celetuk Shila sedikit tersinggung,membuat Sakti dengan cepat tertawa meralat.

"Bukan. Maksudku nggak selalu kepahitan di hidup ujungnya tetap pahit kan?"

Shila mengangguk perlahan, "Kadang kalau inget itu, aku juga selalu ngerasa bersalah sama kamu, Sakti. Aku pikir 'Oh ini mungkin yang Sakti rasain waktu aku pergi dan mungkin Tuhan ingin aku rasain itu juga sekarang'."

Sakti meletakkan cangkir yang tinggal tersisa setengah isinya itu di meja lalu menunduk sambil ujung jarinya perlahan memainkan pinggiran cangkir itu. Merenung.

"Emang kalau bisa balik ke masa lalu, kamu bakal balik ke aku?" tiba-tiba saja Sakti celetuk seperti itu, dengan kepala yang masih menunduk.

Ia berargumen sendiri dalam pikirannya, ia akan tetap bingung dengan apapun yang Shila katakan selanjutnya. Ia memang terluka, tapi luka itu membawanya untuk bisa fokus sekolah lagi, menemukan pekerjaan yang ia sukai, serta menemukan Wendi.

Buah dari pahitnya rasa sakit juga berakhir manis untuknya.

"Kalau kamu?"

"Kebiasaan deh, malah balik nanya,"

"Apapun jawabannya, aku tetap salah sama kamu soalnya," sahut Shila melemah.

"Hmmm ... aku rasa aku bakal tetap sama. Bakal lepasin kamu. Toh, yang terpenting saat di situasi itu kan bahagiamu dulu yang kupikirin,"

Shila tiba-tiba kini menatap lelaki disampingnya itu, namun kemudian menunduk lagi, "Kamu nggak pernah berubah. Bukannya mikirin kebahagiaan sendiri dulu malah mikirin orang lain,"

Sakti hanya menghela napas dan diam-diam menunduk lagi, membuat Shila gemas sendiri.

"Kenapa kamu nggak marah? Kalau kamu marah mungkin aku bakal bersikap berbeda, merasa kamu butuhin, merasa kamu pertahanin. Tapi kamu nggak bilang apa-apa dan tahu-tahu pergi sekolah lagi,"

"Karena aku sayang kamu, La," ucap Saktu sehabis menguyup habis kopi buatan Shila itu, "Tapi aku bukan bahagiamu lagi saat itu. Makanya aku lepas biar kamu bisa bebas dan bahagia sama dia,"

Sakti akhirnya berdiri, mengambil cangkir kosongnya dan membawanya ke wastafel. Tangannya gemetar saat mengambil spons basah lalu memberinya sedikit sabun. Ia kemudian mencuci gelasnya sendiri sambil tetap menunduk.

Situasi ini membingungkan baginya, sesuatu yang sudah ia tutup rapat terbuka kembali di waktu yang tidak tepat. Hening kini melingkupi mereka, hanya ada suara gemericik air dari wastafel dan suara dari gerakan mendecit spons yang membersihkan cangkir.

"Katanya kamu punya pacar kan? Kalau pacar kamu juga begitu lagi, apa kamu juga bakal lepasin dia?"

"Iya," jawab Sakti mantap, sambil tangannya meniriskan air dari cangkir yang basah, "Buat apa hidup mengemis cinta kayak gitu. Aku nggak mau,"

Sakti kemudian mengambil lap kering tepat disamping wastafel, mengeringkan tangannya yang basah sambil membetulkan kacamata yang melorot. Iya menatap Shila yang kini menatapnya dengan pandangan sayu, sebelum akhirnya gadis itu memalingkan wajahnya.

"Aku pulang ya La, celanaku kamu kirim aja lewat ekspedisi nggak apa-apa. Aku beli aja di mall sebelah. Thank you buat kopinya,"

Mobil Seno memasuki wilayah termacet di Kasablanka. Wendi sendiri menerima pesan dari Sakti yang menunggunya di mall besar daerah itu yang juga menjadi sumber kemacetan ini. Jalanan begitu padat merayap hingga Seno ikut kesal dan memaki beberapa pengguna jalan yang sembarangan membawa kendaraan. Wendi yang sejak tadi diam akhirnya menyerah.

"Seno, udah nggak apa-apa aku turun di pom bensin depan aja biar kamu juga nggak usah muter."

"Yah Wen, terus gimana?"

"Tinggal nyebrang jembatan aja daripada effort banget puter balik lagi. Tuh lihat sendiri deh macetnya parah banget," jawab Wendi sambil menunjukkan arah berlawanan yang sama macetnya.

Seno menghela napas sambil akhirnya menyerah juga. Ia membelokkan setirnya ke arah pom bensin yang berada persis tepat di sebrang mall megah itu.

"Thank you. Kamu tinggal lurus ke Kuningan terus ke apartemen. Iya kan?"

Seno mengangguk perlahan sambil memperhatikan Wendi yang mulai berberes. Begitu gadis itu hendak keluar, Seno dengan cepat menahan lengan kanan gadis itu perlahan. Wendi terdiam lalu menatap Seno dengan cepat.

"Hmmm? Kenapa?"

"Kamu beneran serius sama cowok itu?"

Wendi menelan ludahnya. Tubuhnya yang tadinya sudah bersiap mau keluar, kini terduduk lagi. Ia menghela napas sambil menatap Seno lagi.

"Seno,"

"Kalau kamu beneran serius sama dia, aku lepas kamu. Tapi janji setelah itu, kamu jangan goyah lagi. Karena kalau kamu goyah, aku nggak akan lepasin kamu lagi,"

Wendi menghela napasnya lebih berat lagi. Tangannya yang sejak tadi digenggam pria itu akhirnya berusaha ia bebaskan. Ia menatap ke arah luar, mencoba memusatkan perhatiannya pada hal lain, bukan lelaki disampingnya itu. Sejenak ia memejamkan mata, mencoba berusaha untuk tenang dan meredakan degupan jantungnya yang semakin kencang.

"Bersama dia, aku bisa bangun pertahananku lagi dari yang terus menerus berharap kamu suka sama aku balik, Sen," ujarnya akhirnya setelah agak lama berpikir.

"Sekarang aku tanya, memangnya kamu beneran suka sama aku? Atau kamu cuma nggak rela sahabat kamu yang biasanya nempel terus sama kamu, ngurusin kamu, tiba-tiba harus sama cowok lain? Coba kamu juga pastiin perasaan kamu dulu,"

Seno tertegun mendengar hal itu. Ia menundukkan wajahnya sambil berusaha menguasai diri. Ia ikut terdiam, ia telah lama berpikir soal ini, tapi nyatanya kalau ia memang tidak serius soal perasaannya, ia pasti sudah menyerah sejak lama.

Tapi kini ia bertahan, menunggu, jauh di lubuk hatinya ia ingin merengkuh gadis itu dan menjadikannya satu-satunya miliknya.

"Lagipula banyak orang bilang, sekali seumur hidup kita bakal ketemu sama soulmate yang benar-benar cocok sama kita, tapi nggak pernah bisa jadi pasangan hidup kita," ujar Wendi perlahan, masih sambil memejamkan matanya dan berusaha bernapas dengan berat.

"Mungkin itu takdir kita, Sen." ujar Wendi mantap sambil tersenyum pahit ke arah lelaki itu.

Dengan cepat Wendi membuka pintu dan berjalan cepat meninggalkan Seno yang masih memandangnya dengan tatapan menerawang. Tangan Seno terkulai, kepalanya ia antuk-antukkan ke arah setir dengan frustasi. Kalau saja keberaniannya cukup, kakinya mungkin kini sudah berlari menembus keramaian dan akan ia tarik gadis itu ke pelukannya dan mencegahnya untuk bertemu dengan lelaki lain di seberang.

Namun, egonya mengatakan tidak. Ia sudah pernah kehilangan Wendi karena kesalahannya sendiri, maka seharusnya sekarang ia akan baik-baik saja jika gadis itu tidak akan kembali padanya karena sudah bisa move on darinya setelah bertahun-tahun sakit hati karena pengharapan.

Sakti menunggunya di salah satu restoran Pasta terkenal di mall besar itu. Restonya tidak terlalu ramai jika dibandingkan dengan resto lain yang dipenuhi oleh remaja tanggung yang sedang merayakan malam minggu bersama dengan orang terkasih mereka.

Wendi perlahan berjalan mendekat, sudah mempersiapkan diri jika lelaki itu menunggunya sambil tersenyum kecut.

Namun perkiraan Wendi salah, lelaki iti justru menunggunya dengan ekspresi wajah biasa. Tidak terlalu senang tapi juga tidak terlalu marah. Justru kini Wendi yang mendadak merasa bersalah.

"Udah lama?"

"Belum. Capek ya? Pesen dulu aja. Aku ke toilet dulu ya, pesenin aku Vongole aja,"

Tepat setelah Sakti pamit ke toilet, hp yang lelaki itu taruh di mejanya berbunyi, tanda ada telepon masuk.

Ma cherié.

Itu yang tertulis disana.

Wendi tahu jelas, Sakti pintar Bahasa Prancis karena ayahnya yang seorang dosen itu pernah bersekolah disana dan Sakti pun lahir disana.

Wendi tahu jelas artinya apa, oleh karena itu ia mengangkat telepon itu, walau ia tahu ini pasti tidak sopan. Toh Wendi hanya berusaha membantu karena teleponnya berdering terus, takut mengganggu pengunjung lain yang mulai ikut gelisah sambil menatap ke arah mereka.

Wendi akhirnya mengangkat telepon itu dengan perasaan yang berkecamuk di hatinya.

"Sakti, kamu dimana? Ini dompet kamu ketinggalan di apartemen aku,"

Wendi menelan ludahnya. Suara manis gadis itu, begitu merdu namun membuat batinnya teriris-iris. Ia masih terdiam ketika suara gadis itu masih bergema di telinganya, menunggunya memberi jawaban.

Ia tahu jelas ini suara siapa.

"Ini ... Shila ya?"

Tak ada jawaban disana, sepertinya gadis di seberang telepon itu pun sedikit terkejut.

"Maaf ... ini pacarnya Sakti? Maaf banget ya saya ganggu ..."

"You just need to answer. Are you Shila?"

Tak ada jawaban lagi. Air mata Wendi kepalang menetes, tak sanggup lagi ia tahan.

Terdengar suara langkah sepatu mendatanginya, Wendi menatap lelaki itu sambil memperlihatkan layar hp lelaki itu.

"Your 'cherie' is on the call, mending kamu samperin ke apartnya,"

"Wen?" sahut Sakti dengan wajah sedikit panik begitu melihat layar hpnya menampakkan nama itu. Ia dengan cepat menatap Wendi.

"Wen, ini bukan kayak yang kamu pikir--"

"Sakti, dia nunggu kamu di apartnya. Mendingan kamu temuin dia aja dulu," sahut Wendi sambil mulai mengambil tasnya kembali. Tangan Sakti menahannya, dengan tatapan gelisah pria itu menatap Wendi yang matanya sudah berkaca-kaca.

"Nggak, Wen, dengerin aku dulu,"

"Selesaiin dulu, urusan kamu sama mantan kamu Shila itu. Kalau nggak, kamu nggak akan bisa maju kemana-mana, Sakti!" ucapan Wendi yang menggertak itu membuat beberapa pengunjung di restoran kini menatap mereka berdua seakan mereka berdua adalah tontonan drama gratisan.

Wendi tak tahan lagi, dengan cepat ia bergegas keluar dari resto itu dengan tangan yang gemetar. Sakti dengan kaki panjangnya berhasil menyusul, namun Wendi tetap bergeming dan tidak mau menghentikan langkahnya.

Mereka sudah sampai di area terbuka diluar mall, dengan tangan Sakti yang kini terulur menahan tangan gadis itu.

"Wendi kamu jangan lari dulu please tatap aku sekarang,"

Wendi berusaha menghindari kontak mata dengan pria di depannya itu. Bahkan keteduhan mata Sakti yang biasanya membuat Wendi luluh, kini tak mampu merobohkan sorot mata gadis itu. Gadis itu teguh, tetap berusaha menghilangkan perasaannya di tengah huru-hara ini.

"Kamu ... kamu tahu dari mana soal Shila?"

Wendi masih tidak bergeming. Ia menahan air matanya jatuh lagi di sudut matanya.

"Wen, please. Dari Wisnu ya? Apa teman kamu si Seno itu?"

Wendi menghirup napas kuat-kuat, ada getar di suaranya keluar tanpa ia sadari, "Aku nggak sengaja dengar Wisnu ngobrol sama Ibu. Aku pikir, 'Oh, kamu ketemu mantan, it's okay, itu masa lalu kamu'. Tapi pas Wisnu menyebut nama Shila, aku marah. Marah banget sampai aku nggak sadar telpon Juna dan marahin dia karena dia adalah orang yang harusnya paling tahu tentang semua ini,"

Sakti memandangnya tidak mengerti. Why? Kenapa Wendi bisa semarah itu mendengar nama Shila?

"Kenapa? Kenapa kamu semarah itu pas nama Shila disebut?"

"Gila, hidup aku tuh kenapa muter-muter di cewek itu sih ..." jawab Wendi dengan suara terbata-terbata karena sambil terus sesenggukan.

Sakti mengerjapkan matanya, masih kaget dengan ucapan Wendi barusan. Wendi tahu soal Shila? Dari siapa?

"Gila ya, cewek itu udah dua kali disukain oleh cowok yang kusuka. Kamu ... juga Seno,"

Kalau ini sinetron fantasi, pasti sudah ada petir menggelegar di sekitar Sakti. Dihadapannya, Wendi lebih kacau lagi. Ia terduduk sekarang dengan tatapan kosong.

"M-maksud kamu ..."

"Okay fine, aku udah pernah ditinggal Seno buat cewek itu, jadi sekarang nggak apa. Sakti, go ahead. Mungkin di jaman Majapahit, leluhurku pernah ada salah sama leluhur Shila ...."

"Kamu jangan ngaco Wendi, jelasin dulu apa maksud kamu--"

"AKU NGGAK NGACO! AKU BENCI SITUASI INI!" Wendi akhirnya meledak, "Ma Cherie?? Bahkan kamu namain kontak aku cuma 'Wendi Rnd Eagle'. JUST WENDI!"

Notes from Prima.

Yok puasa-puasa ngomel yok! Hehehehe. Makasiihh sudah bersedia membaca sampai saat ini :)

Continue Reading

You'll Also Like

21.8K 3.3K 18
Dokter bedah berpengalaman sekalipun, tidak akan pernah mau membelah dada orang yang dicintainya sendiri. -Son Seungwan Karena aku percaya kamu bisa...
786K 3.4K 12
Hts dengan om-om? bukan hanya sekedar chatan pada malam hari, namun mereka sampai tinggal bersama tanpa ada hubungan yang jelas. 🔛🔝 my storys by m...
2.4M 109K 47
⚠️ Jangan menormalisasi kekerasan di kehidupan nyata. _______ Luna Nanda Bintang. Gadis itu harus mendapatkan tekanan dari seniornya di kampus. Xavie...
80.9K 1.5K 4
Cuma meminjam cast Baekhyun dan Hera. Because I'm BaekHera lovers. Silahkan bagi yang mau baca cerita gaje ini.. I lop yu pul 😄😄 Ini karya pertama...