HI KANAR UPDATE LAGI
Gimana puasanya?
Paling fav, sama takjil apa?
...
08228129*****
Happy birth day, Heav.
You're still mine.
Heaven berdecih kala membaca pesan dari nomor tak dikenal. Pikirnya pasti fans fanatik yang melakukan itu, pasalnya setiap tahun dihari ulang tahunnya selalu begitu, hanya saja bedanya ini pesan.
Biasanya sih parsel.
Malas menanggapi, dia pun mengabaikan dan memilih menanam kebucinan. Ke siapa lagi kalau bukan ke Mutia.
"Siapa yang chat kamu?"
"Gak tau." Sambil mengedikan bahunya, malas malasan menjawab.
"Kok nggak tahu, coba Mutia lihat sini."
"Nggak percayaan bener sama suami."
" Ya udah, percaya."
Dan langsung dibalas dengan senyum tertahan dari cowok sengklek itu.
Sambil menatap kearah pantai, cowok itu akhirnya duduk di samping istrinya. Menonton teman temannya yang sibuk bermain volly dan kejar kejaran tidak jelas, dan tentunya masih ada yang adu bacot kekayaan.
Apa lagi Shaka dan Vivian, sudah mirip sekali dengan suku pedalaman. Mana dorong dorongan lesung.
"Komuknya gitu bener sih, Kak. Masalah Arnold sama Bang Darren udah clear kan?"
"Mana ada clear, Ya. Yang ada makin jadi. Barusan gue denger bacotan mereka aja tambah pusing, susah emang punya temen orang kaya," keluhnya makin depresot.
Bagaimana tidak pusing, kedua temannya adu kekayaan tidak ada habis habisnya. Sampai katanya, pengin battle sertifikat bumi. Apa nggak dengung, telinga yang mendengarkannya.
"Punya temen kaya kok malah ngeluh, aneh kamu ini. Harusnya seneng tuh, kaya Kak Shaka."
Heaven yang selesai menyedot susu kota berwarna hijau pun hanya melirik sekilas, kemudian melepas kaosnya. Memperlihatkan perut berkotak enam yang menjadi pegangan favoritnya kala...
"Cakep kan gue?" tanyanya yang hanya di tanggapi cebikan dalam dibibir tipis istrinya.
"Nggak bisa banget gitu, pakai baju lamaan dikit. Bentar bentar dilepas. Cape yang beresinnya ngerti."
"Ck, gerah Yang. Metabolisme gue bagus, apalagi pas deket istri."
"Alesan."
"Hahahhaha, emang."
"Ya."
"Malu Kak. Ini gazebo, nggak usah kaya gitu ih." Perempuan hamil itu perutnya, jauhkan lah dari sifat papanya. Amin.
"Gue nyebur bentar boleh nggak?" ijin cowok sableng itu sambil mendusel-ndusel, seperti biasanya.
"Mutia juga ikut, di bibir pantai dibolehin ya?"
"Nggak boleh sayang, ga boleh."
"Kenapa, kamu juga boleh. Masa aku ngga boleh."
"Gara gara di prank mereka, gue jadi sering mimpi lo tenggelam tahu nggak!" Benar, tadi malam saja, Heaven gak berani tidur karena takut mimpi Mutia hanyut ke laut, alhasil begadang sambil olahraga malam.
Alesan banget lah.
"Yaaahh, cuma mimpi kan. Gak mungkin lah aku tenggelam."
"Nurut sayang, nurut. Makin nurut makin berpahala."
"Iya, udah. Iya Kak Heaven sayang..."
Dengan puas Heaven lantas mencuri ciuman singkat di kening." Makin ketar ketir gue."
"Kenapa?"
"Ga tahu, tiap hari gue makin mikir keras, Ya'."
"Kenapa, apasih yang kamu pikirin? Coba obrolin ke aku, siapa tahu aku bisa bantu, walaupun ga banyak." Ucapan itu lantas ditanggapi serius, dia kemudian mengusap pelan wajah tegas yang baru saja duduk dihadapannya.
"Mana bisa dibantu." Heaven pun menggeleng lemah, tangannya mengangkup pipi yang makin terlihat tembam. Gemas ingin sekali menggigit.
"Kok begitu? Masalahnya gede banget atau gimana?"
"Iya gede banget." Cowok itu meyakinkan.
"Astagfirullah, terus-"
"Masalahnya kamu makin cantik, bikin jantungku bermasalah."
Astaga, dikiranya serius. Dasar cowok tukang ngalus.
Ucapan itu pun mendapat helaan napas pasrah dari sang istri. Kang modus, apa saja bisa jadi bahan perbucinan.
"Aku kira punya beban masalah yang berat kak. Lain kali jangan bikin orang takut kenapa. Nggak tahu aku kalau takut kehilangan mu apa?"
"Anjir, malah balik ngalus sih Yang," balasnya kesenangan. Lalu menggigit pundak perempuan itu gemas, saking gemasnya sampai membekas kemerahan. Eh bukan digigit, disedot yang benar.
"Kamu yang ngajarin."
"Hahahaha, bisaan."
•Heaven•
"Yang dimaksud, si Al itu ikan. Bukan cupang biasa lo bikin di selangkangan si peti."
Bola mata Arnold seketika melebar, dasar teman sesat pikirnya. "Gue blacklist jadi temen!"
"Gue dukung Bang Darren, bismilah cicilan apartemen lunas."
"Temen gadungan! Bamsat lo." Arnold mewanti wanti Shaka yang lari bersama Vivian, tak memperdulikan bacotan Arnold dan Darren yang dari tadi berantem tidak jelas. Mereka malah semakin mengempori, emang Shaka susah sekali diajak kejalan yang benar. Sesad.
"Sori Ar, bang Darren lebih menggoda iman, ketimbang lo!" teriak teman laknatnya yang mendayung ketengah laut. Semoga tidak tenggelam nak.
"Happy banget lo ya, bikin gara gara sama orang," celetuk Vivian yang berada dibelakangnnya, ikut menggayung.
"Lo tahu, mereka yang bikin gue sekuat ini. Tanpa mereka, gue nggak bakal kaya sekarang."
"Gayaan, sok bener ngomongnya."
"Kapan lagi gue ngomong serius si Vi, kayanya sama lo doang," balas Shaka menoleh kebelakang.
"Gue, cuma mereka sama lo. Selain itu, gue iklas kalo Tuhan ambil."
"Ck, ortu-"
"Ortu gue? Dia kayanya udah lupa punya anak yang namanya Shaka," balas cowok itu makin lirih, tersenyum getir.
Mereka saling pandang, dan sialnya...
"Goblok, lesungnya kemasukan air!!"
•Heaven•
Setelah ponselnya berbunyi, Heaven yang sedang merengkuh Mutia pun perlahan diuraikan. Lalu tangannnya pelan pelan mengecek isi pesan itu. Cowok itu menghela napas pelan saat membacanya, ganggu kenyamanan orang banget.
Terpaksa ia harus bangun meninggalkan posisi nyamannya, dan beranjak dari ranjang.
"Harusnya lo nggak ngubungi gue malem malem kaya gini, bisa ketahuan bodoh." Heaven mengumpat, rasanya mengantuk tapi harus pergi.
Setelahnya bangkit ia bergegas menuju lemarinya, mengambil jaket kulit dan langsung memakainya. Tatapan tajam lelaki itu nyatanya tak lepas dari wajah Mutia yang tertidur pulas.
“Gue tinggal bentar Ya,” gumamnya seperti tidak rela.
Sebelum ia pergi ia pun menunduk, mendekatkan bibirnya ke kening perempuan yang tengah tidur menyamping. "Maafin gue ya sayang," bisiknya di dekat telinga, tangannya membenarkan rambut yang menutupi wajah ayu itu. Rasanya malas namun harus melawatkan setengah malamnya di luar,
Tanpa berpelukan dengan Mutia, malamnya hampa. Sial sayang banget.
Takut sang istri terusik, Heaven segera keluar kamar dengan langkah yang hati hati. Ia pun menutup pintu dengan gerakan pelan.
Oke, mungkin besok pagi Mutia ngambek karena bangun sang suami tidak di sampingnya. Heaven siap dengan konsekuensinya.
Sampai pintu tertutup kembali, perlahan mata bening itu membuka.
"Kamu nyembungiin apa dari aku Kak," lirihnya. Air matanya tiba tiba mengalir tanpa bisa ditahan.
Dia mengelus perutnya pelan. "Semoga papamu nggak lagi berniat ninggalin kita ya Nak," lirihnya kembali sesegukan
•Heaven•
Kaki Mutia seperti tidak bertulang saat membuka pesan dari nomor tidak dikenal, dengan kesusahan karena perut besarnya ia pun berusaha duduk di sofa.
"Nggak mungkin." Gelengan kepala menjelaskan kalau dia tidak mempercayai foto yang dilihatnya sekarang.
"Nggak mungkin Kak Heaven berbuat kaya gini, ini pasti salah. Dia pasti dijebak." Iya, begitulah cara Mutia menenangkan hatinya yang hancur. Foto itu, foto dimana Heaven tengah dipeluk oleh seorang wanita dan mereka berdua terlihat amat mesra.
Foto itu, terus terus dikirimkan. Terhitung lebih dari 5 foto yang bergantian masuk ke dalam ponselnya. Mutia ingin berteriak, menjerit ataupun histeris. Sayangnya lidahnya tiba tiba mendadak susah digerakkan. Tenaganya habis bahkan sebelum dia memakainya. Hanya air mata yang terus menurus keluar tanpa bisa ia cegah.
"Lo kenapa?" Vivian yang baru saja dari luar pun kaget melihat temanya menangis. Dahinya mengerut, bingung dengan apa yang sedang terjadi pada sahabatnya.
Layaknya orang linglung perempuan hamil itu pun kaget seketika. Sebelum berbicara, ia mengatur napasnya yang seolah habis di dalam paru parunya.
“Lo kenapa?”ulang cewek tomboy itu, mencengkram bahu Mutia. Tambah khawatir.
“Vi…”
“Iya.”
“APAAN. NGOMONG!!” tekannya tak sabar.
"Gue nggak percaya Kak Heaven berbuat kaya gini, sama jalang." Mutia munujukkan foto di ponsel yang digenggamnya. "Tapi kelihatan dia nggak nolak pelukan itu."
"Shit, suami lo?" Dengan raut kaget, cewek tomboi itu merebut ponsel Mutia.
"Gue yakin ini cuma jebakan Mutia, lo nggak boleh percaya gitu aja." Vivian yang sebenernya syok namun tetap menenangkan temannya. Kasian sekali wanita hamil itu.
"Nggak, kalau dia selingkuhin gue gimana Vi?"
"Gue nggak mau dia ninggalin gue, gue nggak mau dibuang. Gue nggak bisa tanpa dia. Gue nggak mau pisah sama dia!" tekannya lalu menangis pilu.
"Lo tenang, oke."
"Gak bisa, gue-"
"Nggak bakal, dia sebucin itu sama lo. Kalaupun foto ini ada benernya, dia punya alasan kenapa dia kaya gini."
"Gue harus gimana? Apa gue langsung tanya ke dia aja. Labrak dia?" tanya Mutia meminta pendapat.
"Nggak, lo mesti selidiki dulu. Lo harus tahu siapa jalang yang berani meluk suami lo kaya gini."
"Vi, bantuin gue. Gue takut dia ninggalin gue," tangannya mencengkram kuat kaos oblong Vivian, rasanya tidak tahu harus bagaimana sekarang. Hatinya hancur lebur melihat bukti foto itu.
"Biar gue selidikin, mana nomernya?"
"Temuin siapa ceweknya, biar gue hancurin badannya." Dengan gemetar dia pun menyeka air matanya. Tekatnya mengambil haknya pun menggebu. Heaven hanya miliknya utuh. Tidak terbagi sekalipun.
....
•Heaven•
“Kak, makan yuk?”
“Hmm.”
“Kamu kok sekarang makin cuek sama aku? Ada yang baru eum?” Mutia pun duduk di samping cowok yang tengah sibuk dengan ponselnya.
“Mana ada.”
Mutia tersenyum dengan terpaksa, kecurigaaanya semakin meningkat melihat gelagat aneh suaminya.
“Ya udah, makan sekarang, yuk?” mengalihkan pembicaraan ia pun berdiri menarik lengan berotot suaminya. Walaupun hatinya bergemuruh, mengingat kata Vivian untuk tidak gegabah mengambil tindakan. Dia harus pintar pintar mengulik informasi, salah salah Heaven malah pergi dari pelukannya dan memilih jalang itu.
“Penginnya makan kamu.” Seperti biasanya, si cowok sengklek itu malah makin nyeleneh.
“Ck, kamu yaa.” Mutia lalu memeluk tubuh kekar yang tengah menghadpanya.
“Sayang.”
“Emhh.”
“Gue ijin ke apart Shaka boleh, eum?”
“Mau ngapain kesana, kan tadi udah dari basecamp. Memang nggak ketemu Shaka.” Mutia menepis tangan kekar yang melingkar di perutnya, padahal belum lama Heaven pergi, baru pulang sudah mau pergi lagi."
Heaven tersenyum, gemas sekali melihat Mutia jadi super posesif.
“Cium dulu, sini.” Cowok sengklek itu menunjuk bibirnya.
“Ga-“
Belum selesai berbicara, Heaven sudah menguasai bibirnya. Mau bagaimana kalau sudah begini, terpaksa menikmati adalah pilihan yang tepat bukan.
“Enak nggak,”
“Nggak, jorok.”
“Ya kali ciuman Cuma tempelan bibir, nggak berasa si lah.”
“Ya tapi nggak pakai gigit segala, kan.” Mutia menyahut, dan Heaven malah puas melihat reaksi istrinya. Lagi lagi judesnya Mutia masih menjadi ekspresi paling favorit bagi cowok meresahkan itu.
“I love you more,” bisiknya, dan apa? Mutia hanya tersenyum simpul.
•Heaven•
Jalang siapa?
Siap di jadiin makanan maung apa!
Next komen 2k
Love komen 2k
Komen emot takjil 2k
....