ASAVELLA [TERBIT] ✓

jerukminii द्वारा

8.2M 601K 47.9K

Aku terlalu bahagia mengisi hari-harinya. Sampai aku lupa, bukan aku pengisi hatinya. ••••• Cover by pinteres... अधिक

Asavella 🍁
Asavella 🍁2
Asavella 🍁3
Asavella 🍁4 +
Asavella 🍁5
Asavella 🍁6
Asavella 🍁7
Asavella 🍁8
Asavella 🍁9
Asavella 🍁10
Asavella 🍁11
Asavella 🍁12
Asavella 🍁13
Asavella 🍁14
Asavella 🍁15
Asavella 🍁16
Asavella 🍁17
Asavella 🍁18
Asavella 🍁19
Asavella 🍁20
Asavella 🍁21
Asavella 🍁22
Asavella 🍁23
Asavella 🍁24
Asavella 🍁25
Asavella 🍁26
Asavella 🍁27
Asavella 🍁28
Asavella 🍁29
Asavella 🍁30
Asavella 🍁32
Asavella 🍁33
Asavella 🍁34
Asavella 🍁35
Asavella 🍁36
Asavella 🍁37
Asavella 🍁38
Asavella 🍁39
Asavella 🍁40
Asavella 🍁41
Asavella 🍁42
Asavella 🍁43
Asavella 🍁44
Asavella 🍁45
Asavella 🍁46
Asavella 🍁 47
Asavella 🍁48
Asavella 🍁49
Asavella 🍁50
Asavella 🍁51
Asavella 🍁52
Asavella 🍁53
Asavella 🍁54
Asavella 🍁55
Asavella 🍁56
Asavella 🍁57
Asavella 🍁58
Asavella 🍁59
Asavella 🍁60
Asavella 🍁61
Asavella 🍁62
Asavella 🍁63
Asavella 🍁64
Asavella 🍁65
Asavella 🍁66
Asavella 🍁67
Asavella 🍁68 pt.1
Asavella 🍁 68 pt.2
Asavella 🍁69 pt.1
Asavella 🍁 69 pt.2
Asavella 🍁70 (A)
Asavella ending?
ENDING ASAVELLA
EPILOG
ARKHAN : AKU JUGA PERNAH BAHAGIA
VOTE COVER ASAVELLA
OPEN PRE ORDER ASAVELLA

Asavella 🍁31

88.5K 7.8K 425
jerukminii द्वारा

Sosok Asavella bergegas masuk ke kamar dengan sempoyongan—diikuti darah yang meninggalkan jejak pada tiap lantai dan anakan tangga.

Bukannya api yang menyulut tubuhnya padam justru semakin berkobar ketika melihat pemandangan sosok gadis yang tengah memangku seekor kucing membuat kedua netra Asa membulat lebar.

“Masih hidup juga lo, rupanya,” lirih Jysa sembari memekik leher kucing yang kini meronta-ronta.

“Sialan! Lo ngapain di sini!! Taruh kucing gue!”

“Gausah heboh, gue enggak ngebunuh kucing lo. Cuma buat dia enggak bernapas.”

Jysa melihat saudarinya yang sudah tidak bisa dianggap baik-baik saja. Dengan santai Jysa meletakkan Beebee di lantai—merajut beberapa langkah dengan tangan yang menggenggam kotak medis.

“Obati dulu luka lo, baru ngesewot. Udah sekarat, gausah banyak gaya. Sini.” Jysa menarik lengan Asa dengan lembut, tetapi secepat kilat gadis tersebut memberontak dan mendorong tubuh Jysa hingga tersungkur.

“Gue sekarat juga karena lo, bangsat!! Anjing lo! Selain buat gue sekarat Lo mau buat sekarat kucing gue! Pergi, sebelum gue patahin tulang ekor lo!”

Alis Jysa naik ke atas satu. “Kalau gue enggak mau?”

“Lo bilang apa?” Asa menyuruh gadis yang merajut langkah untuk bisa dekatnya mengulang dialog tersebut.

“Lo tuli? Oh? Lo cacat cuma sepele kening bocor, dagu sobek, terus tiba-tiba tuli? Budek? Aneh.”

“Persetan!!”

Plak!!

Ucapan Jysa berhasil memancing amarah Asa. Benar-benar membuat gadis itu terpancing untuk menampar pipi Jysa.

Tapi, bukan berarti itu membuat Jysa kapok. Ia tersenyum. Tidak dengan matanya yang berkaca-kaca.

“Lo budek? Gue harus ngulang, bukan? Denger baik-baik, adek gue tercinta. Gue enggak mau pergi dari kamar ini. Mulai detik ini, kamar lo milik gue dan lo,” Jysa menunjuk kasar wajah Asa. “Tidur di kamar gue.”

Asa berdecak—mengusap wajah kasar dan kemudian membuang wajah sejenak. Bagaimana rahang Asa mengeras di dalam sana saat menahan rasa ingin membunuh gadis bodoh di hadapannya.

“Gue bingung mau bicara pakai bahasa apalagi sama lo! Ini kamar gue dan lo ngeklaim jadi kamar lo!”

“Gue cuma ngeklaim kamar lo! Sementara lo! Lo ngerebut Brian dari gue! Lo buat hubungan gue hancur!! Semurahan itukah lo, Asavella?”

“Gue enggak murahan, bangsat!” Asa meraih kasar rambut Jysa dan menarik sekuat mungkin hingga membuat gadis itu merintih—menjerit kesakitan.

“KALIAN BERDUA APA-APAAN! ACA!!” Bara yang datang akibat mendengar kegaduhan dua putrinya segera melerai. Ia mendorong dan membuat tubuh Asa tersungkur.

“DEWASA! DIA KAKAK KAMU! KAMU MAU BUNUH DIA LAGI!!”

Suara bentakan itu tak lain tertuju untuk Asavella. Menyudutkan tanpa mencari tahu siapa yang membuat kegaduhan.

Jelas itu mendapatkan reaksi dari raut wajah Asa yang rasanya sudah tidak betah dengan situasi ini. Bagaimana kedua tangannya mengepal untuk menahan amarahnya. Jantungnya berpacu dua kali lebih cepat dari biasa. Air mata juga menetes namun tidak sederas biasanya.

“Mampus,” lirih Jysa yang kemudian duduk pada ranjang kasur milik Asa dengan tangan yang dilipat santai di bawah dada.

Bara kini menatap putri sulungnya dengan lembut. Membuang napas pelan sebelum berucap.

“Kak, kembali ke kamar kamu.”

Mendengar itu membuat netra Jysa tersorot membesar dengan alis mengerut.

“Pah, hari ini kamar Aca milik Ica. Ica menginginkan kamar, Aca. Salah?”

“Ica masih minta kamar loh, belom kek papah yang meminta nyawa anak sendiri. Salah? Iyah?”

Drama apalagi ini? Muak mendengar suara Jysa, Asa memutuskan bersuara.

“Okey! Lo gamau pergi? Biar gue yang pergi!!” celetuk Asa yang kemudian beranjak berdiri. Keluar dari kamar dan menutup pintu begitu keras.

Meninggalkan dua orang yang menatap diam.

Bara memutar malas kedua bola matanya. “Papah bilang, kembali ke kamar kamu Jysa,” tekannya secara menahan emosi.

“Lihat, adek kamu pergi.”

“Dia cuma pergi, pah. Belum mati,” tukas Jysa penuh dalam ketika berbicara. "Dan enggak usah sok perhatian ke dia. Dia sudah mati rasa sama papah."

Ia kemudian ia mencoba mendekat pada titik Bara berdiri. Mensejajarkan mulutnya dengan telinga Bara, meskipun ia harus berjinjit. Dan kemudian berbisik pelan air matanya menetes.

“Matikan dan hapus semua, pah. Selain tujuan utama  papah, aku sudah menemukan bukti lain di sini.”

 
ฅ^•ﻌ•^ฅ

Jeritan melengking di tengah gemuruhnya petir yang beradu dengan derasnya hujan dan tak lupa angin badai yang menerpa hebat menjadi saksi, di mana kali ini sosok gadis bersimpuh darah menangis—menjerit keras.


“Akhh!” jeritnya terdengar pilu dan petir berusaha menutup dengan dentuman keras di atas awan hitam.


“SAKIT TUHANNN!!” jeritnya sekali lagi dan badai semakin kencang membuat satu dua pohon muda tumbang di sekitaran jalanan.

Seakan alam dan isinya merasakan pedih dan ngilu dari jeritan sosok gadis yang tidak punya rumah untuk berteduh.

Dia menangis dengan suara keras dan menjerit kesal. Air matanya tidak terlihat, sebab, hujan berhasil berjatuhan menutupi untuk tak seorang pun menyaksikan pilu yang siapapun tidak akan sanggup terjadi pada dirinya.

“Lihat, anak perempuan itu menjerit karena mentalnya dirusak oleh keadaan di mana tidak ada rumah yang nyaman untuk pulang,” gumam seseorang yang memandang dengan payung sebagai tempat teduh.

Mengamati sosok gadis yang kini memukul-mukul aspal  hingga membuat luka sendiri pada jemari-jemarinya.

“Aku menyebutnya hujan yang berteduh di bawah hujan.”

“Dia kehilangan seluruh kebahagiaan, dan dia juga kehilangan dirinya sendiri.” finish laki-laki itu yang kemudian membuang batang dari permen dan melanjut langkah pergi.

Kembali pada sosok Asa yang terus menjerit pilu.

Ia berusaha berdiri menatap langit malam. Bagaimana ia melihat hanya satu sorot lampu jalanan yang meneranginya. Ia tidak memiliki rasa takut jikalau ada binatang buas atau beracun yang menyerang, ataupun … sekaligus segerombol pembunuh untuk membuatnya tewas.

“Kenapa tumbuh menjadi dewasa se-menyakitkan ini? Kenapa?” tanyanya yang kemudian berjongkok. Memeluk lututnya dan melihat bagaimana telapak kakinya tidak beralas sepatu ataupun sandal.

Bajunya basah kuyup. Tak peduli ponsel di dalam sakunya rusak atau tidak.

Asa mengangguk paham. Memilih menyilangkan kedua tangannya di mana telapak tangan kiri berada di pundak kanan begitupun sebaliknya.

“Tuhan, jika kehadiran sosok diriku menjadi derita orang sekitar, tolong biarkan aku pulang bertemu dengan mu kembali kepelukan mu! Tolong dengarkan ciptaan mu ini yang rapuh tanpa ada tempat teduh.”

Ucapan itu sungguh sederhana tapi memiliki arti mendalam. Dari suara yang gemetar dan memohon penuh tulus menjadikan isyarat ia ingin didengarkan untuk sekali dalam hidup yang sudah hancur.

“Langit,” suara lirih itu menyapa di gemericik hujan.

Asa mendengar suara itu. ia mendongak dan menemukan sosok laki-laki dengan genggaman payung di tangan kanan.

“Bi ...,” lirih Asa mengusap matanya yang penuh air hujan dan juga air mata. Pandangannya sedikit buram. Memastikan jikalau laki-laki itu adalah Brian Claudius.

"Lo di sini? Lo tau dari mana?"

Brian tersenyum tipis. "Hujan sudah abadi di namamu. Jika langitu sudah turun hujan. Itu tandanya, Asavella Skyarainy sedang tidak baik-baik saja."

“Lagi marah ke Tuhan, ya?” Laki-laki itu semakin mendekat mengarahkan payung ke arah tubuh Asa. Supaya hujan berhenti mengenai tubuh pucat yang sudah menggigil penuh.

“Enggak takut hantu?” Kali ini Brian tidak ingin bertanya kenapa nangis atau mengatakan ayo pulang atau semua akan baik-baik saja. Sebab, pertanyaan itu mulai sekarang harus ia hindari. Itu akan membuat Asa semakin terluka.

Dan sekarang laki-laki itu ikut berjongkok dan membuat satu payung menjadi tempat teduhnya juga.

Ya … walaupun ia juga sudah basah kuyup juga.

Asa menggeleng dan tersenyum. “Bukankah manusia yang lebih menakutkan dan paling menyeramkan?”

“Mereka saling menyakiti tanpa henti.”

“Mereka ngomong dengan mudah tanpa tahu itu melukai atau tidak. Dendam mereka begitu abadi. Mereka buta akan dosa dan belas kasihan.”

“Mereka membunuh dengan sebegitu mudah melalui serangkai kata, membunuh dengan terang-terangan dan menyiksa batin yang begitu mendalam.”

“Contoh papah ku,” lirih Asavella seraya menarik napas begitu dalam dan menghembuskan pelan dari mulut.

“Papah kandung ku saja bisa menyakiti ku dengan mudah apalagi kamu dan orang sekitarku.”

Ucapan itu menerbitkan senyum paksa pada ukiran wajah Asa ketika menatap sendu sosok Brian. Yang kini meraih tubuhnya—membawa dalam dekapan yang justru membuat Asa kesulitan meraih oksigen udara.

"Sekarang aku udah mati rasa, enggak ada lagi kata meraih sesuatu ataupun memikirkan siapapun. Sebab, aku saja, tidak bisa memikirkan diriku sendiri."

“Serapuh ini gue ya, Bi.”

“Hari ini, gue kalah,  dengan diri gue sendiri,” lirih Asa yang merasakan punggungnya diusap-usap lembut oleh Brian.

"Sstt...." Brian menepuk-nepuk lembut puncak kepala Asa.

"Langit."

"Dengerin jeruk lo ini."

“Kalah, bukan berarti berakhir,” bisik lembut Brian pada rungu kiri asa dan kemudian menenggelamkan wajah gadis itu pada pundaknya.

“Nangis yang kenceng. Gapapa kok. Nyerah gapapa. Capek gapapa. Puk-puk,” gumam Brian menepuk-nepuk puncak kepala Asa dengan lembut dua kali.

"Tapi, jangan pergi, ya."

"Kita belum sama-sama bahagia. Sampai tua dan punya anak, hehe."

"Udah gapapa, nangis aja. Puk-puk." Sekali lagi Brian menepuk lembut puncak kepala Asa.

Tangisan itu pecah beradu dengan mencengkeram kaos putih laki-laki yang memberikan sandaran. Ia menenggelamkan wajahnya pada leher kanan Brian. Menangis—menjerit diiringi hujan yang semakin deras.

Brian memendarkan pelukan. Menghadap ke arah lain dan meraih tangan Asa.

“Naik,” titah Brian sembari menepuk-nepuk punggungnya.

Asa yang terlihat lemah tak berdaya—masih berusaha untuk bisa beranjak berdiri dan naik pada punggung Brian. Dan terlihat jelas, kini Asa berada pada gendongan belakang.

Laki-laki itu menahan beban di belakang—ia meringis menahan nyeri tapi mencoba menetralkan seolah-olah ia kuat dengan beban Asa yang ia rasa, tidak terlalu berat.

Tangan Asa melingkar pada leher Brian. Di sisi lain, kepalanya menyandar pada samping kiri. Menatap dekat sosok Brian dengan mata yang mulai buram. Darah dari kepala dan dagu kini justru membuat bercak pada leher dan kaos hitam putih.

“Bian …,” panggil Asa begitu lembut. Dengan dua sorot mata yang sayu menatap indahnya dua netra sabit laki-laki yang di mana terlihat cantik mengalahkan matanya.

Laki-laki yang dipanggil tersenyum lembut. Melirik sekilas bagaimana gadis itu memandangi begitu dalam penuh arti di setiap langkah tanpa teduhan payung.

Ya. mereka meninggalkan payungnya begitu saya.

“Bian …,” panggil yang makin lirih.

“Iyah, langit?” balas Brian yang bagaimana ia bisa merasakan detak jantungnya bertaut cepat melebihi detak jantung normal. Perasaan tidak enak muncul tapi tidak tahu apa, dan ia tidak bisa mendeskripsikan.

“Maaf ya, bajunya darah semua,” lirih Asa yang kini pandangannya terlihat aneh.

“Bian, kok ada tiga?”

Pandangan kabur Asa membuat diri Brian seolah-olah terbelah menjadi tiga bagian yang begitu abstrak. Asa berusaha mengusap matanya pelan. Tapi masih ada.

“Aku cuma satu, Langit. Langit terlalu capek, ya? Bobok, aja.”

"Sekarang, kamu manggil langit terus, ya, tapi aku suka."

“Boleh bobok, ya? Tapi, Asa takut enggak bangun,” sambungnya.

“Sa, jangan bilang gitu …, candaan itu enggak lucu,” mohon laki-laki itu di man kepalanya menoleh ke samping dan mendapati senyum dan mendapati kelopak mata indah itu akan segera tertutup.

"Besok, kalau aku enggak bangun dan dinyatakan sudah tidak di dunia lagi oleh siapapun. Tolong, datang kepemakaman ku ya, Bi."

"Gapapa kok sedih. Tapi jangan nangis, ya. Sebab, tanganku udah terlipat diam. Jangan peluk peti ku, ya."

"Karena aku enggak bisa membalas pelukanmu. Cukup doain yang terbaik buat aku."

Omongan itu semakin melantur dan membuat Brian berdecak. "Sa, udah. Jangan bilang gitu. Bobok boleh. Tapi, enggak boleh enggak bangun."

“Asa bobok dulu ya, Bian.”

Deg!

Detik itu juga jantung Brian seakan berhenti begitupun dengan langkahnya. Kedua kakinya juga bergetar hebat ketika kedua tangan pucat tak melingkar lagi dan bagaimana kepala Asa juga menunduk lemah.

“Asa,” panggil Brian pelan memastikan. Tapi tidak ada respon.

“Langit.”

Sekali lagi tidak ada respon dari pemilik nama. Bahkan dari punggungnya ia tidak merasakan detak jantung Asa begitu napas yang tidak menerpa hangat lehernya.

ฅ^•ﻌ•^ฅ

Next?

Makasih yang udah baca sampai sini.

Jangan lupa buat vote dan komentarnya😭💔

पढ़ना जारी रखें

आपको ये भी पसंदे आएँगी

Aku Kamu Dan Dia It'sMeSellll द्वारा

किशोर उपन्यास

1.3K 1K 22
"Aku mencintainya, tapi aku juga menyayangi orang lain." -All "Don't expect too much, manusia itu gampang berubah." -Sya "Jangan merasa penting dalam...
6.5M 694K 93
[SUDAH TERBIT + PART MASIH LENGKAP] "Ck! Gue bakal bikin lo nggak betah!" "Dan gue bakal tetep jagain lo." "Gue nggak bakal nurut sama lo, wlee!" ...
176K 15.4K 38
Aku berhasil menulisnya ... Menulis kisahmu yang sangat sedih dan pilu ... Menulis semua diksi indah yang keluar dari mulutmu ... Menulis semua rasa...
THE BLOCKADE (TERBIT) Partikel__Atom द्वारा

रहस्य / थ्रिलर

720K 63K 45
Diterbitkan oleh Penerbit LovRinz (Pemesanan di Shopee Penerbit.LovRinzOfficial) *** "Jangan percaya kepada siapa pun. Semua bisa membahayakan nyawam...