Am I Antagonist?

Από luckybbgrl

2.6M 380K 21.2K

Ara adalah gadis penikmat novel yang selalu terbawa perasaan dengan apa saja yang ia baca. Sebuah novel berju... Περισσότερα

prolog
satu
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
sebelas
dua belas
tiga belas
empat belas
lima belas
bukan update! (revisi)
enam belas
tujuh belas
delapan belas
sembilan belas
dua puluh
dua puluh satu
dua puluh dua
dua puluh tiga
dua puluh empat
dua puluh lima
dua puluh enam
dua puluh tujuh
dua puluh delapan
dua puluh sembilan
tiga puluh
tiga puluh satu
tiga puluh dua
tiga puluh tiga
tiga puluh empat
tiga puluh lima
tiga puluh enam
tiga puluh tujuh
Tiga Puluh Delapan
tiga puluh sembilan
empat puluh satu
empat puluh dua
empat puluh tiga
empat puluh empat
empat puluh lima
empat puluh enam
empat puluh tujuh
empat puluh delapan
empat puluh sembilan
lima puluh
lima puluh satu

empat puluh

20.5K 2.3K 57
Από luckybbgrl

"Lo disuruh bokap ke rumah gue."

"APA?!"

Bara refleks menutup kupingnya dengan kedua tangan saat Rea berteriak dengan kencang di dalam mobil yang membuat suaranya terdengar sangat nyaring. Keduanya kini tengah berada di dalam mobil Bara yang masih terparkir di area parkiran sekolah, hendak pulang bersama setelah bel pulang berbunyi sekitar 20 menit yang lalu.

Ia tidak menyangka Rea akan seheboh ini saat mendengar permintaan Ayahnya beberapa hari yang lalu. Ia sengaja baru memberitahu Rea secara mendadak karena ia sendiri juga sedikit ragu atas permintaan Ayahnya.

"LO GILA, BAR?" Rea yang penampilannya sudah tidak serapi tadi pagi saat berangkat sekolah melotot ke arah Bara. Ia sampai berhenti mencari posisi duduk yang nyaman karena saking kagetnya dengan perkataan Bara.

"Jangan teriak, Bego. Suara lo lebih kenceng dari speaker tukang sayur komplek gue!" Bara mengerutkan keningnya samar karena kesal Rea terus berteriak di dalam mobil. Tidak masalah sebenarnya apabila ia ingin berteriak sekencang apa, memang kebiasaannya seperti itu. Tapi masalahnya adalah kondisi mereka berada di dalam mobil yang pastinya suara gadis itu terdengar sangat nyaring hingga memekakan telinganya.

"Gila, gila, gila. Lo gila, Bar!" seolah tak mengindahkan perkataan Bara yang mengejeknya, gadis itu terus saja mengumpati cowok itu. Rea yang awalnya menatap Bara tak percaya kini beralih menatap ke arah kaca depan mobil dan memilih menatapi kaca itu dengan tatapan kosong yang horror.

"Kok jadi gue sih? Bokap guelah. Orang yang ngajak Bokap gue," sahut Bara tidak terima. Cowok itu menatap Rea yang mematung dengan wajah terguncang, bibirnya sedikit terangkat geli melihat kelakuan konyol kekasihnya itu. Dengan lembut Bara menarik tubuh Rea agar menyender ke senderan, kemudian sedikit membungkuk ke arah Rea untuk meraih sabuk pengaman milik gadis itu dan memasangkannya agar kekasihnya yang cantik itu tidak lecet.

"Terus kenapa lo gak nolak?" tanya Rea setelah lama dia berdiam diri karena syok dan juga ketika mobil yang keduanya kendarai telah berbaur bersama kendaraan lain di jalan raya.

"Kata siapa gue gak nolak?" Bara menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan raya di depannya, fokus pada kegiatan menyetirnya.

"Jadi lo sempet nolak?" Rea menoleh menatap ke arah Bara dengan raut penasaran. Ada sedikit perasaan tidak terima saat tahu bahwa Bara menolak permintaan Ayahnya untuk membawanya ke rumah. Jika Bara menolak berarti dia sebenarnya tidak mau memperkenalkannya kepada Ayahnya, kan? Memangnya kenapa ia harus tidak mau? Karena Bara tidak sayang padanya dengan serius? Karena Bara malu memiliki pacar sepertinya? Atau karena apa?

"Enggak juga sih," Bara menyengir singkat sembari menoleh ke arah Rea. Jawaban cowok itu sedikit melegakannya dari pikiran-pikiran negatif yang secara tiba-tiba masuk di otaknya. Memang namanya perempuan, overthinking nomer satu.

"Emangnya kenapa Bokap lo tiba-tiba nyuruh gue ke rumah?" Rea menatap Bara yang tengah fokus menyetir.

"Enggak tau, katanya sih pengen kenalan sama lo," Bara menjawab sambil melirik sekilas ke arah Rea. Sedangkan Rea yang mendengar jawaban Bara menggangguk-angguk paham dengan mulut membentuk huruf 'o' sambil mengalihkan pandangannya ke arah depan.

"Katanya mau diajak ke makam nyokap juga," Rea refleks menoleh ke arah Bara mendengar kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut cowok itu. Mencoba memperhatikan raut wajah kekasihnya, siapa tahu ada raut sedih atau semacamnya di sana.

"Lo mau kan?" Rea langsung gelagapan saat Bara menoleh ke arahnya, ia mengalihkan wajahnya ke depan dan berusaha terlihat biasa saja sembari memasang wajah berpikir.

"Eumm, mau deh," Rea mengangguk sambil menoleh ke arah Bara sekilas.

"Bagus," setelah berucap dengan puas, Bara langsung fokus pada kegiatan menyetirnya lagi. Melanjutkan perjalanan keduanya untuk pulang.

••••

Rea menaburkan bunga ke atas gundukan tanah yang telah dirambati rumput hijau segar sembari melirik ke arah Bara. Tatapan kosong cowok itu terus terpaku pada batu nisan bertuliskan nama 'Friska Anindita Gunawan binti Hendra Gunawan'.

Rea beralih menatap ke arah Abian yang berada di samping anaknya. Tatapan pria itu terasa sangat berbeda dengan Bara, tatapan teduh dan sendu bercampur tatapan rasa bersalah entah mengapa sedikit membuat dadanya terasa sesak. Entah apa yang pria itu sesali, tapi raut menyesal terlihat jelas ditambah dengan matanya yang berkaca-kaca.

Rea akhirnya memilih menatap ke arah batu nisan yang ditatap kedua laki-laki di depannya.

Abian berdiri, mendekat ke arah batu nisan istrinya. Membungkuk, kemudian mengusap dengan sayang batu nisan itu sebentar, lalu tangannya beralih mengusap pundak anaknya.

"Ayo kita pulang," ucap Abian sambil menatap Rea dan menepuk sekali pundak anaknya sebelum melangkah menjauhi makam istrinya. Bara yang pundaknya ditepuk seolah dibuat sadar dari lamunannya, ia mendongak menatap Ayahnya kemudian berdiri dan melangkah.

Rea yang sedari tadi memperhatikan gelagat Bara merasa sedikit aneh. Tapi tanpa berpikir lebih jauh, ia segera berdiri dan mengikuti keduanya di belakang.

Sampai di parkiran, Abian menunggunya di samping pintu kemudi. Sedangkan Bara telah berada di dalam mobil, membuat sedikit perasaan kecewa menyusup ke hatinya lantaran Bara seolah tak lagi peduli padanya.

"Ayo, Rea. Masuk!" Rea tersenyum tipis dan mengangguk, kemudian duduk di jok belakang dengan tenang. Sesekali ia memperhatikan Bara yang duduk di jok penumpang bagian depan dengan raut kecewa.

Abian yang tanpa sengaja melihat ekspresi Rea dari spion depan sempat tertegun. Ia kemudian beralih menatap ke arah anaknya yang tampak bersender di senderan dengan mata tertutup. Anak sematawayangnya nampak sangat lesu.

Abian lantas mulai mengendarai mobilnya menjauhi tempat pemakaman umum dan menuju ke rumahnya.

"Kamu sama Bara sekelas ya, Rea?" suara Abian memecah keheningan yang tercipta semenjak ketiga manusia itu masuk ke dalam mobil. Pria itu juga sesekali menatap ke arah Rea melalui spion depan.

Rea yang awalnya fokus memperhatikan Bara dari belakang sedikit tersentak, sebelum akhirnya fokus dan menatap balik ke arah Ayah Bara melalui spion juga.

"Iya, Om," jawabnya sopan sembari menyunggingkan senyuman manis.

"Bara di sekolah gak nakal, kan?"

"Enggak kok, Om. Bara gak nakal," Rea menjawab sembari tersenyum lebar, menghilangkan raut wajah sedihnya. Takut takut jika Ayah Bara sadar akan suasana hatinya yang memburuk. Abian yang mendengarnya ikut tersenyum lebar, tatapannya sesekali masih melirik ke arah spion.

"Bagus deh. Dulu Bara waktu kecil nakal banget soalnya," Rea terkekeh pelan mendengar penuturan Abian. Gadis itu terus menyimak Abian yang asik menceritakan masa kecil Bara.

Bagaimana nakalnya Bara saat dilarang memakan permen. Bagaimana ia dan Bara berebut perhatian istrinya. Bagaimana Bara yang selalu berusaha mendusel di tengah-tengah ia dan istrinya. Dan bagaimana cerianya Bara saat masih kecil.

Dari cerita-cerita yang dilontarkan Abian, Rea bisa menyimpulkan bahwa Bara dulu adalah anak yang ceria. Berbeda sekali dengan ia yang sekarang, yang jauh lebih pendiam.

Masa pubertas laki-laki sepertinya memang kebanyakan seperti itu ya. Kakaknya ─ Andre, dulu juga seperti itu. Ia sangat nakal saat masih kecil, sering kali merebut apa yang tengah ia pegang dan membuatnya menangis. Ketika sudah besar, saat bersamanya memang tidak banyak berubah. Tapi lain halnya jika sudah bersama teman-temannya apalagi jika ada teman perempuannya. Ia akan menjadi laki-laki pendiam yang tampak keren meski di matanya tetap sama saja.

Sesampainya di rumah Bara, Abian langsung menyuruh putranya untuk berganti baju. Sedangkan Rea ia suruh untuk mencuci tangan dan kaki di kamar mandi khusus tamu.

Setelah Rea keluar dari kamar mandi ia memilih untuk kembali ke ruang tamu dan melihat-lihat ke setiap sudut. Rumah Bara terlihat rapi dan minimalis, furniture yang ada juga tidak terlalu banyak, begitu juga pigura foto yang dipasang. Membuat rumah Bara terkesan lebih kosong.

Matanya terfokus pada salah satu pigura foto yang berdiri di salah satu nakas bersandingan dengan vas bunga. Di sana terlihat Abian yang duduk di kursi abu-abu dengan setelan jas, serta Bara yang berdiri di belakangnya. Foto itu terlihat jelas sekali bahwa baru-baru ini diambil.

Puas memandangi pigura foto itu, Rea beralih memutar tubuhnya. Berusaha mencari pigura foto yang lain, untuk melihat bagaimana sosok Bara disaat sebelum ia kenal.

"Emang cuma ada foto itu di ruangan ini," suara berat Abian membuat Rea langsung membalikkan badannya menghadap ke arah pria berumur hampir 40 itu. Di sana, Abian baru saja datang dengan seorang perempuan separuh baya yang membawa nampan dengan 3 gelas jus jeruk.

"Oh, begitu ya, Om," Rea menjawab sambil tersenyum, kemudian mendekat ke arah Abian yang kini telah duduk di salah satu kursi single.

"Iya. Sebenernya sih banyak foto-foto Bara dari kecil sampe sekarang. Cuma, terpaksa om simpen di ruangan khusus," Rea mengangguk meski keningnya berkerut samar mendengar penuturan Abian yang seolah tau apa yang dia pikirkan.

"Kalau boleh tau, kenapa gitu, Om?" Rea bertanya dengan nada berhati-hati. Ia harus benar-benar menjaga kalimatnya di depan Ayah Bara. Tidak lucu kalau ia diputuskan Bara hanya karena Ayahnya tidak merestuinya setelah salah bicara.

Abian tersenyum lebar mendengar pertanyaan Rea. "Ayo, diminum dulu," pria itu mempersilahkan tamunya untuk minum terlebih dahulu sebelum ia menjawab pertanyaannya. Rea yang dipersilahkan, mengangguk singkat dan meminum salah satu jus jeruk yang disuguhkan.

"Dari Bara kecil, kebanyakan fotonya diambil sama Bundanya. Dulu setiap kali foto selalu dicuci dan dipasang," Rea mendengarkan dengan seksama sembari menaruh gelas jusnya yang sudah berkurang.

"Tapi semenjak Bundanya Bara meninggal. Bara selalu sakit kepala kalau melihat foto-foto yang ada wajah Bundanya," Rea makin mengerutkan keningnya, bingung dengan jawaban Abian.

"Kenapa gitu, Om?" Abian menggeleng pelan.

"Om juga kurang tau. Mungkin karena Bara masih belum sepenuhnya nerima kalau Bundanya udah gak ada. Kamu lihat sendiri tadi, kan?" Rea memutar otaknya, mencari tahu apa yang dimaksud oleh Abian.

"Oh. Iya, Om. Bara jadi lebih diem tadi."

"Iya, makanya itu. Kamu sedikit ngertiin Bara ya, kalau tiba-tiba jadi kayak tadi," Rea mengangguk. Perasaan kecewanya hilang, berganti rasa bersalah karena sempat berfikiran yang tidak-tidak.

"Mau lihat foto Bara sama Bundanya?" dengan senyuman yang tidak luntur, Abian menawari Rea untuk melihat foto-foto Bara karena sadar bahwa gadis itu penasaran akan sosok Bara.

Abian berdiri setelah mendapat jawaban berupa anggukan dari Rea. Memberi isyarat agar gadis itu mengikutinya, sebelum akhirnya berjalan masuk lebih jauh ke dalam rumah yang ditinggali oleh 2 orang beserta beberapa pembantu.

Selama keduanya berjalan tidak ada percakapan diantara mereka. Rea yang sibuk memperhatikan setiap sudut rumah Bara, sedangkan Abian sibuk dengan apa yang mengisi kepalanya.

"Itu ruangannya," Rea langsung fokus begitu mendengar suara Abian. Mengalihkan pandangannya yang sebelumnya sibuk menjelajah setiap sudut, menjadi tertuju ke arah dimana Abian menunjuk.

Di sana, pintu berwarna cokelat tua yang tampak tertutup rapat. Rea berdiri di depan pintu tersebut, menunggu Abian yang berhenti di depan bufet. Membuka salah satu laci kecil di sana dan mengambil sebuah kunci dari sana.

Rea diam, memperhatikan Abian yang tengah membuka pintu di depannya dengan kunci yang baru saja ia ambil. Setelah pintu itu terbuka, Abian mempersilahkannya masuk.

Begitu masuk, di setiap sudut ruangan hanya satu jenis benda yang ia lihat. yaitu pigura.

Dari mulai yang berukuran besar, sedang, kecil, yang digantung, yang disandarkan, dan bahkan ada pigura yang fotonya merupakan hasil lukisan.

Pigura besar yang isinya adalah lukisan, menjadi objek pertama yang menarik perhatiannya. Di dalam lukisan itu, tampak seorang perempuan yang terlihat masih muda duduk dengan anggun dan memangku seorang anak kecil yang tersenyum lebar. Di belakangnya berdiri seorang pria yang sedikit membungkuk sambil memegang pundak perempuan itu. Pria itu sangat mirip dengan pria yang tengah berada di ruangan yang sama dengannya, tetapi versi lebih muda.

Kepalanya lantas menoleh ke arah Abian, tidak disangka pria itu juga memperhatikan lukisan yang sama dengan tatapan sendu sebelum akhirnya balik menatap ke arahnya.

"Itu Bundanya Bara. Dilukis waktu Bara umur 2 tahun kalo gak salah," Rea diam mendengarnya, lebih memilih memperhatikan wajah pria itu yang tersenyum paksa.

Abian melangkah, menghampiri salah satu bufet yang penuh dengan pigura yang disenderkan berukuran sedang. Rea sambil mendekat, ikut memperhatikan pigura tersebut. Di sana, tampak Bara tengah tengah berlari di kejar Bundanya di padang rumput.

"Dulu, Friska sebahagia itu. Sebelum akhirnya jadi sosok yang berbeda 180 derajat karena Om yang bodoh," Rea mengerutkan keningnya mendengar nada bergetar dan raut bersalah Abian. Entah apa yang dimaksud pria itu, ia tidak ingin bertanya. Lebih baik tidak, jika memang pria itu tidak mau bercerita.

"Om selingkuh. Bundanya Bara tahu, dan kejiwaannya terganggu karena itu," Rea refleks melangkah mundur mendengarnya. Kalimat itu seolah mengingatkannya dengan nasib Rea yang tidak jauh berbeda.

"Enggak sampai dua tahun dirawat di rumah sakit jiwa. Istri Om meninggal dunia. Dan Om bener-bener menyesal pada saat itu," Abian bercerita sembari terus menatap ke arah pigura yang ia pegang.

Rea, tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

Ia tidak berani buka suara, menyuarakan kebingungan dan perasaannya yang campur aduk.

Ia sedikit tidak menyangka bahwa nasib keluarga Bara hampir sama dengan nasib keluarga Rea. Lalu apa? Ia mengajak Bara ke rumah sakit jiwa untuk menjenguk Ayahnya?

Entah bagaimana perasaan Bara saat itu. Ia benar-benar tidak bisa membayangkannya.

"Om tahu, mungkin ini terlalu cepat buat cerita ke kamu," Abian menaruh pigura di tangannya kembali, beralih menatap ke arah Rea dengan sendu.

"Tapi, tolong jaga Bara ya. Bara udah milih kamu, berarti bahagianya ada di kamu. Om udah gagal."

••••

Bara melangkah masuk ke dalam kamarnya, kemudian kembali menutup pintunya. Ia masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci kedua tangan dan kakinya, lalu keluar dari sana dan memilih untuk duduk di ranjangnya sebentar.

Perasaannya campur aduk. Lagi-lagi, perasaan yang tidak bisa ia simpulkan setiap kali teringat tentang Ibunya datang. Ia tidak pernah mengerti dengan apa yang terjadi padanya. Setiap kali ia berusaha menelaah perasaan ini, ingatan-ingatan acak yang dulu pernah ia dapatkan selalu muncul secara bersamaan. Seolah-olah masing-masing dari ingatan itu meminta untuk diingat, sampai membuat kepalanya pening.

Bara memilih merebahkan tubuhnya, memejamkan matanya sebentar. Ia lelah menahan pikirannya agar tidak berusaha untuk memahami perasaan yang campur aduk ini. Ia hanya tidak ingin kepalanya berdenyut serasa ingin pecah untuk kesekian kalinya.

"Utututu, sayangg. Jangan nangis," seorang perempuan dengan rambut acak-acakan itu tengah menggendong boneka, seolah-olah itu anaknya.

"DIBILANG JANGAN NANGIS. YA JANGAN NANGIS!" wajah senangnya yang tadi, sepersekian detik berubah menjadi raut marah. Tangannya memukul boneka itu berkali-kali sambil berteriak.

Pukk

Boneka itu dibuang, pandangannya menelusuri seluruh penjuru halaman rumah sakit jiwa tempatnya dirawat. Matanya membelalak saat melihat seorang pria menenteng bingkisan dan wanita yang sepertinya akan menjenguk pasien, tengah bergandengan tangan.

Kakinya yang tidak memakai alas apapun langsung melangkah cepat ke arah keduanya.

"Bunda!" seorang anak laki-laki berusaha 15 tahun memanggil Ibunya dengan raut wajah khawatir, dan bergegas mengikuti langkah Ibunya dengan kebingungan.

"KAMU SELINGKUH!" perempuan itu berteriak sambil mencengkram tangan sang pria yang bergandengan dengan Istrinya. Ia mendelik sambil makin mengeratkan cengkramannya.

Pria itu bingung, begitu juga Istrinya.

Refleks sang Istri melepaskan tautan tangannya. Sedangkan sang pria berusaha melepaskan tangannya yang dicengkram setelah menaruh bingkisan yang ia bawa di lantai.

"Bunda, tenang, Bun," anak kecil itu memegang tangan wanita yang ternyata adalah Ibunya. Berusaha menenangkan Ibunya yang tiba-tiba mengamuk.

"Ck. LEPASIN!" wanita itu menepis tangan anak laki-laki tersebut dengan kuat, hingga membuat anak itu terjatuh di lantai.

Seolah sadar apa yang ia perbuat, wanita itu menoleh menatap ke arah anak laki-laki yang baru saja jatuh karenanya. Raut wajah marahnya perlahan memudar, berganti wajah khawatir saat tatapan keduanya bertemu.

Wanita itu melepaskan cengkraman tangannya kepada pria yang tak dikenalnya itu. Fokusnya berganti pada anak laki-laki malang yang masih menatapnya sedih.

"Bara?" panggilnya pelan.

Anak laki-laki itu mengangguk pelan. "Iya, Bun. Ini Bara," jawabnya meyakinkan.

Wanita itu, Friska, langsung berlutut di lantai. Memeluk Bara yang mulai meneteskan air mata. Ia tidak sanggup melihat Ibunya yang dulu selalu ceria saat bermain bersamanya menjadi seperti ini.

Lama keduanya berpelukan, tiba-tiba Friska mendorong kencang tubuh Bara. Tatapannya menusuk, seolah-olah ia benar-benar benci kepadanya.

"KAMU!" Friska berteriak dengan kencang sambil menunjuk ke arah Bara. "KAMU ANAK PRIA BIADAB ITU!"

Bukk

Plakk

Plakk

Setelah berteriak lagi, Friska langsung melayangkan berbagai macam pukulan ke arah Bara. Anak itu hanya bisa pasrah dan berusaha melindungi tubuhnya dengan kedua tangannya.

Beruntung tak lama suster yang bertugas menjaga datang dan langsung berusaha menenangkan Friska. Suster itu tadi pergi meninggalkan Bara sendirian untuk mengambilkan Friska obat.

Biasanya Friska tidak mengamuk seperti itu jika tidak bertemu dengan Abian, suaminya. Suster itu berkali-kali meminta maaf pada Bara karena lalai akan tugasnya.

To be continue...

•••••

halo gaisss!!
setelah luamaa bgt ga update, akhirnya update jugaa
maaf bgt yaa, karena akhir" ini lusi lagi banyak urusan jadi ga bisa up meskipun sebenernya part ini udh selesai diketik😭

oh iya, panggilan ibu Bara lusi ganti bunda karena kurang cocok aja yang kemarin

so, enjoy!!

Συνέχεια Ανάγνωσης

Θα σας αρέσει επίσης

891K 74.4K 34
(𝐒𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐬𝐢 𝟏) 𝘊𝘰𝘷𝘦𝘳 𝘣𝘺 𝘸𝘪𝘥𝘺𝘢𝘸𝘢𝘵𝘪0506 ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴀʜᴜʟᴜ ᴀᴋᴜɴ ᴘᴏᴛᴀ ɪɴɪ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴍᴇɴᴅᴜᴋᴜɴɢ ᴊᴀʟᴀɴɴʏᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀ♥︎ ___...
1.9M 127K 70
Seorang dokter yang mencintai tenang dan senyap, juga tidak banyak bersuara, berbanding terbalik dengan apa yang harus dihadapinya. Flora Ivyolin yan...
233K 19.6K 25
••Alethea Andhira Gadis cantik yang memiliki kehidupan sederhana memiliki sifat rendah hati dan ramah. Sosoknya yang cantik tidak membuatnya memiliki...
542K 35K 62
Serena memiliki hobi yang aneh, gadis itu senang menghancurkan rumah tangga orang lain. Bagi Serena, menghancurkan rumah tangga orang lain adalah sua...