Redamancy [JAEYONG]

By fieanggraa

3.2K 447 180

"Yoonoh berarti sekali ya bagimu? Meski dia sudah tidak ada tapi kenapa dia tetap membuatku iri Taeyongie?" W... More

00.1 ; Taeyong
00.2 ; Jaehyun
00.4 ; Jaehyun
00.5 ; Taeyong
00.6 ; Taeyong
00.7 ; Jaehyun
00.8 ; Jaehyun
00.9 ; Yoonoh

00.3 ; Jaehyun

300 55 29
By fieanggraa

Seoul, 22 Januari 2020

Aku menyayangkan hari ini hariku dimulai dengan helaan napas berat yang kukeluarkan, entah mengapa aku merasa ini sangat berat, padahal aku hanya tinggal menemui keluargaku saja. Kutatap bayanganku pada cermin, kemeja navy dengan balutan jas hitam sudah melekat ditubuhku dengan celana bahan hitam.

Kemarin aku sampai di Seoul saat subuh, tetapi aku memilih untuk tak pulang dulu ke rumah dan malah menyewa hotel, nyatanya persiapan diriku kemarin, saat malam terakhir aku di Amsterdam masih belum cukup. Katakan saja aku payah, maka aku akan mengakuinya.

Dan sekarang apa?

Baiklah, tenang Jung...kau hanya perlu melangkah keluar dari hotel, memesan taxi kemudian pulang ke habitat aslimu.

Arghh...sial rasanya kenapa jauh lebih sulit dari pada saat aku sidang kuliah pendidikan terakhirku dulu..

Pada akhirnya si Jung payah ini melangkahkan kakinya keluar hotel dengan penuh keraguan dan keengganan.

.

Hingga beberapa menit perjalanan sampai juga aku di tempat tujuan. Rumah mewah yang menjadi saksi aku diperlakukan tidak adil oleh keluargaku sendiri beberapa tahun silam. Maaf saja aku masih mengungkit, karena seperti yang kukatakan sebelumnya rasa sakit hati masih mengiringi setiap langkahku, dan sejujurnya itu membuat diriku sedikit trauma. Memang benar, aku payah. Pantas sejak dulu ayah dan ibumu tak pernah berada dipihakmu Jae, bahkan untuk membanggakan anaknya di depan teman sejawatnya, ibu dan ayah lebih memilih Yoonoh untuk dibanggakan dibandingkan dirimu.

Sepertinya mereka sudah berkumpul, mungkin acara makan malamnya juga sudah dimulai. Aku lupa mengatakan aku datang memang seminggu sebelum acara pernikahannya berlangsung, Yoonoh menyuruhku datang hari ini agar aku ikut makan malam sekalian berkenalan dengan calon kakak iparku.

Aku melangkah ragu, ketika ingin kuketuk pintu utama, justru pintu itu terbuka lebih dulu menampilkan wajah terkejut bibi Nam, dengan mata yang berkaca-kaca. Mungkin merindukan si kecil pembuat onar yang kini sudah beranjak dewasa, berdiri dengan gagahnya dihadapannya. Aku tersenyum lembut padanya, beliau langsung membuka lebar kedua tangannya menyambutku dengan pelukan hangat layaknya seorang ibu yang telah lama menanti kedatangan putranya.

Aku tak pernah mendapatkan hal itu dari ibu, mungkin Yoonoh sering, bahkan jika aku tidak kembali lagi selamanya orang tuaku tak akan pernah masalah dengan hal itu. Baik lupakan sejenak.

Aku ingin menikmati dulu masa-masa pelepasan rinduku dengan wanita tua yang sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri. Sejak dulu bibi Nam memang selalu bersedia mengulurkan tangannya mengurusku, ketika kedua orang tuaku sudah lelah dan tidak mau lagi menghadap kepala sekolah, ketika aku membuat masalah di sekolah, maka bibi Nam lah yang menggantikan, dan aku akan pulang dengan wejangan panjang lebar darinya. Bahkan untuk menampung segala keluh kesah, segala sakitku bibi Nam bersedia melakukannya.

Boleh dibilang beliau adalah orang yang sangat berpengaruh di masa laluku, aku bertahan berkat bibi Nam yang selalu menyemangatiku tanpa harus aku mengemis perhatiannya.

“Selamat datang kembali, nak,” katanya dengan lembut setelah pelukan kami terlepas, ia mengusap helai dark brownku penuh kasih sayang.

“Terimakasih bibi, senang melihat bibi baik-baik saja.”

“Bibi juga senang melihatmu sehat, sekarang kau sudah bertambah dewasa dan tampan,” pujinya, aku hanya tersenyum tipis. Setelahnya Bibi Nam kembali membuka suara,

“Nak, semuanya sudah berkumpul. Tuan muda Yoonoh, sudah menantimu.”

Aku tidak terkejut mengetahui bahwa hanya Yoonoh yang mengharapkan kehadiranku. Aku tersenyum, berusaha menyembunyikan kekecewaan yang mungkin bisa bibi Nam tangkap dari kedua irisku. Ia mengusap lenganku dengan lembut, kedua legamnya menatapku seolah memberi pengertian kepadaku bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Aku melangkah sendiri menuju ruang makan, bibi Nam izin pergi ke ruangan lain tadi. Alhasil aku yahh..aku harus menghadapi ini sendiri, memang seharusnya begitu.

Dari tempatku berdiri aku bisa melihat tiga orang yang sangat kukenal, tentu saja itu adalah ayah, ibu dan Yoonoh, dan satu orang lagi....cantik

Di tertawa dengan anggunnya, lelaki cantik itu seketika menoleh, menubrukkan iris kelamnya pada iris kecokelatan milikku. Aku terhenyak untuk beberapa saat, menyelam pada binar hitam yang menenangkan itu. Setelah kulihat, aku tau mengapa Yoonoh jatuh hati padanya...dia cantik.

Kutangkap ia sepertinya sedikit terkejut dengan kehadiranku, sesaat setelah itu ia menunduk memutus kontak mata kami. Aku menghela napas, dan melanjutkan jalan. Suara pantofelku menggema, saat itu pula mereka semua baru menyadari kehadiranku. Yoonoh tersenyum tipis padaku, tetapi aku tidak berniat membalasnya sedikitpun, tidak setelah menemukan tatapan sinis yang dilayangkan ayah padaku, juga ibu dengan tatapan sulit diartikan.

“Masih ingat pulang rupanya kau Jung Jaehyun?” pertanyaan sarkas itu dilayangkan, bahkan saat aku belum menyentuh kursi.

“Mengapa tidak sekalian saja kau tinggal disana selamanya Jung?”

Niatku begitu ayah. Namun, putra kesayanganmu mengundangku, kalau saja aku sudah tidak ingat bahwa dia masih saudara kembarku mungkin aku juga tak akan memenuhi permintaannya.

Semuanya hening, dan aku harus membiarkan diriku menjadi pusat perhatian termasuk lelaki cantik yang ku tebak adalah calon kakak iparku, dia menatapku tetapi aku tidak tau apa artinya tatapan sendu itu.

Aku menghela napas, aku sudah terbiasa dengan ini. Dan ini tidak ada apa-apanya. Inginku balas tetapi sepertinya itu tak akan berguna.

“Sudah ayah, aku yang mengundang Jaehyun kesini. Ini masa-masa terpentingku, jadi kupikir adikku harus berada disini bersama kita,” kata Yoonoh menengahi.

Bagus setidaknya masih ada yang menganggapku meski aku sebenarnya tak berharap. Apalagi ibu yang sedari tadi hanya diam, tidak ada pembelaan atau minimal pelukan hangat untuk menyambutku yang sejujurnya jauh di dalam hatiku, aku mengharapkannya, atau minimalnya lagi ucapan 'selamat datang' saja.

Ah..begini ternyata cara penyambutan mereka untuk putra bungsu di rumah ini.

“Duduk Jae, selamat datang. Ah, perkenalkan ini Lee Taeyong calon istriku. Dan Taeyongie maaf atas ketidaknyamananmu ya, ini adikku yang pernah kuceritakan padamu.” Dia melempar senyum manis padaku, sesaat aku terpanah alih-alih memikirkan ucapan ayah yang sedikit menusuk. Dia mengulurkan tangannya padaku tanpa ragu, tatapan sendu itu berubah menjadi hangat yang menyambutku.

Yoonoh, aku ingin jujur....milikmu sempurna. Dia cantik sekali.

“Hai Jae, aku Lee Taeyong, Yoonoh pernah bercerita tentangmu. Dan aku senang kau mau datang malam ini,” katanya begitu ramah, aku tersadar dari acara lamunanku yang menatapnya lamat-lamat, segera aku berdehem kecil untuk mengalihkan rasa gugupku, kemudian kujabat tangan halusnya, tak lupa senyum tipis, meski moodku sudah berantakan. Rasanya tidak adil kalau lelaki manis yang tidak tau apa-apa dihadapanku ini, ikut terkena sasaran sikap dinginku akibat moodku yang terlanjur kacau.

Akhirnya makan malam berjalan lancar dengan diselingi canda tawa hangat, tentu aku yang hanya menjadi pendengar yang baik disana. Ayah dan ibu tak sekalipun menanyakan keadaan atau bahkan kehidupanku selama di Amsterdam, mereka hanya menghiraukan prestasi Yoonoh selama ini, sesekali membicarakan rencana pernikahan, kemudian membanggakan segala kesempurnaan saudara kembarku itu dihadapan Taeyong yang sesekali menatapku dengan tatapan rrr...iba? Atau mungkin khawatir? Entahlah apa aku salah tangkap, tetapi Taeyong memang sesekali menatapku, ia akan tersenyum samar ketika irisnya bertubrukan denganku.

Bisa dibilang satu-satunya orang yang menghiraukan keberadaanku disana hanyalah Lee Taeyong. Meski ia tak mengajakku berbicara secara langsung.

Hhh...apa harus seperti ini, dihadapan orang asing pun aku masih terlihat menyedihkan.

Seharusnya kutolak saja permintaan Yoonoh waktu itu. Tapi bodohnya aku tetap datang, meski tau keberadaanku tak akan berarti apapun untuk mereka.

.

*Normal pov

Acara makan malam telah usai, mereka memutuskan untuk berkumpul terlebih dahulu di ruang keluarga kecuali Jaehyun. Pemilik lesung pipi itu memilih mengasingkan diri di dapur, dengan sekaleng soda ia duduk di dekat pantry dapur.

Untuk apa juga ia disana, pikirnya. Pun tak ada yang bersedia mengajaknya berbicara, bahkan oknum yang membuatnya berada disini pun tidak berusaha membuatnya ikut berbaur dengan keluarga mereka. Diam-diam Jaehyun merasa tertohok dengan kenyataan itu, bagaimanapun juga ia masih seorang anak yang berharap diperhatikan orang tuanya, keluarganya, masih berharap disambut hangat. Bahkan jika hanya pertanyaan basa-basipun sejujurnya Jaehyun tidak akan masalah dengan itu, malah akan sangat bersyukur.

Memang seharusnya Jaehyun tidak pernah berharap lebih, keputusannya pergi dan menetap di Amsterdam beberapa tahun silam jelas membuat hubungan mereka semakin merenggang. Memang apa yang Jaehyun harapkan? Penyesalan kedua orang tuanya kah?

Jaehyun cukup tau diri untuk itu.

Jarak antara ruang keluarga dengan dapur memang tidak terlalu dekat, tetapi lelaki tampan itu bisa mendengar dengan jelas tawa dari empat orang yang menggema, juga obrolan mereka yang tanpa sadar membuat telinganya panas.

“Dimana Jaehyun, Yoon?”

“Dibelakang mungkin, entahlah.”

“Kenapa dia tidak bergabung kesini? Apa dia tak menyukai keberadaanku?”

“Abaikan saja Yongie, anak itu memang tidak tau sopan santun sejak dulu, tidak bisa diandalkan, berbeda sekali dengan calon suamimu.”

“Benar sayang, lagipula suka ataupun tidak Jaehyun padamu itu tidak akan berpengaruh, kau akan tetap menjadi bagian dari keluarga Jung. Tidak usah pikirkan anak itu dia tak penting, Yongie.”

Jaehyun meremat kaleng minumannya mendengar obrolan yang telak mengiris hatinya.

Benar, ia memang tidak tau sopan santun, tidak bisa diandalkan. Seharusnya Jaehyun bisa mengontrol hati dan emosinya sehingga dapat bergabung disana, tapi nyatanya ia tidak bisa.

Orang tua itu berbicara tanpa filter seolah Jaehyun ini bukan darah daging mereka.

Benar, Jaehyun memang tidak sepenting itu.

.

Disisi lain, Lee Taeyong dapat melihat punggung lebar calon adik iparnya yang duduk membelakangi mereka di dekat meja pantry, memandangnya dengan tatapan khawatir. Khawatir, Taeyong takut Jaehyun mendengar jawaban sang ayah dan ibu, tidak bisa ia pungkiri bahwa jawaban atas pertanyaannya tadi terdengar sedikit kejam.

Tidak ada yang menyadari kalau Iris cantik itu perlahan berubah menyendu, merasa bersalah pada Jaehyun. Seharusnya ia tak menanyakan keberadaan Jaehyun dan alasan lelaki itu tidak bergabung bersama. Ia menyesal karena tau jawaban menyakitkan yang tak pernah ia duga keluar begitu saja dari mulut ibu dan ayah kekasihnya.

Yoonoh pernah bercerita tentang Jaehyun. Tentang Jaehyun yang selalu mendapat perlakuan berbeda dari kedua orang tua mereka, tetapi Taeyong tak tau jika separah ini. Yoonoh berkata juga dirinya tak bisa melakukan apapun untuk Jaehyun karena lelaki itu selalu menolak hal apapun yang bersumber darinya.

Taeyong tak mengerti detailnya, karena Yoonoh tidak bercerita lengkap. Namun, secara garis besar Taeyong tau. Pun malam ini telah memperjelas kondisi hubungan antara calon adik ipar dan calon mertuanya. Tetapi, antara Jaehyun dengan Yoonoh..entahlah Taeyong masih meraba.

Yang jelas Taeyong tau Jaehyun tersakiti disini, tetapi bukan salah Yoonoh juga.

“Ibu, ayah, Yoonoh sepertinya aku butuh air mineral, boleh aku ambil dibelakang?” tanya Taeyong, memotong sebentar obrolan orang tua dengan putra sulungnya itu.

“Tentu nak, atau mau ibu ambilkan?”

“Ah, tidak perlu bu, biar aku sendiri saja.”

“Baiklah, anggap saja rumah sendiri ya nak.” Taeyong tersenyum dan mengangguk, ia pun beranjak dari sofa tetapi sebelum benar-benar pergi lengannya ditahan oleh Yoonoh, yang membuat lelaki cantik itu menoleh.

“Ingin aku antarkan, sayang?” tawarnya. Taeyong menggeleng seraya berkata, “tidak, kau lanjutkan saja obrolan dengan ibu dan ayah ya, aku hanya sebentar.” Dengan begitu Yoonoh mengangguk paham, sementara Taeyong berjalan ke arah dapur.

Sebenarnya ia tak benar-benar ingin minum, itu hanya alibi untuk melihat Jaehyun. Sedikit khawatir dengan perasaan lelaki tampan itu, mungkin ia juga akan memberanikan diri mengajaknya sedikit mengobrol.

Taeyong berjalan ke arah lemari es, ia tersenyum hangat ketika Jaehyun menyadari kehadirannya dan menoleh ke arahnya, dan bertambah lebar saat Jaehyun ternyata membalas senyumannya. Lelaki cantik itu, mengambil botol mineral kemudian menuangkan isinya ke dalam gelas, setelah mengembalikan botol ke tempat asalnya ia memilih untuk duduk di samping Jaehyun, berjarak satu kursi.

Hening di antara mereka, Jaehyun yang sibuk memutar kaleng di tangannya dengan pikirannya yang melayang entah kemana, juga Taeyong yang sesekali meminum air mineralnya. Kalau boleh berterus terang, Taeyong jadi gugup sendiri berada di samping Jaehyun, padahal ia sendiri yang tadi bersikeras mengajak lelaki itu berbincang.

ekhem..kau mau?” tawar Jaehyun pada akhirnya, menyodorkan kaleng minumannya pada Taeyong.

Lelaki cantik itu menatap kaleng dan Jaehyun bergantian dengan mata yang mengerjap beberapa kali. Jaehyun yang menyadari itu gelagapan sendiri.

“T-tentu saja bukan bekasku, kau boleh ambil di lemari pendingin itu. Sebenarnya itu punya Yoonoh, tapi kupikir dia tak akan masalah jika adik dan calon istrinya yang minum,” ucap Jaehyun dengan kekehan diakhir. Taeyong yang menyadari itu sontak ikut terkekeh, mungkin Jaehyun salah paham, padahal ia hanya terkejut saja atas tawaran Jaehyun.

Ia tersenyum, Jaehyun rupanya tak seburuk itu. Ia pikir Jaehyun akan bersikap dingin padanya, tetapi justru lelaki itulah yang mencairkan suasana diantara mereka.

“Terimakasih, air mineral saja cukup untukku,” balas Taeyong, Jaehyun bergumam dan mengangguk saja.

“Disini kau tidak perlu merasa menjadi orang lain, apapun yang ingin kau makan atau minum tinggal ambil saja. Ibu dan ayah sangat menyukaimu, meski belum menjadi menantu mereka akan memperlakukanmu seperti anak sendiri dan memperlakukan anak sendiri seperti orang asing, tenang saja.” Tentu saja kata bercetak miring itu hanya Jaehyun ucapkan dalam hati. 

Namun, Taeyong terlampau peka dengan kalimat bernada lirih itu, bagaimana tatapan kosong itu mengarah pada meja pantry, dan wajah muram yang tak berhasil lelaki tampan itu tutupi dengan senyum tampannya. Taeyong jelas tau bahwa Jaehyun merasa sedih karena merasa terasingkan di rumahnya sendiri.

Diam-diam si cantik itu menghela napas, ingin sekali menyuarakan pendapatnya, ia ingin mengatakan kepada ibu dan ayah Jung bahwa Jaehyun juga membutuhkan mereka, tetapi kemudian ia sadar bahwa ia hanya orang asing walaupun nyatanya sudah dianggap anak sendiri di keluarga Jung.

“Hm..mereka memang begitu baik padaku, menganggap aku anak mereka bahkan saat pertama kali Yoonoh datang membawaku kemari.”

Jaehyun hanya tersenyum miris mendengarnya. Ia mengangguk sekilas, sedikit bersyukur Taeyong diterima dengan baik oleh ibu dan ayahnya.

Ia jadi berpikir, bagaimana jika
Ia yang bersanding dengan Taeyong, apakah Taeyong masih akan disambut baik oleh orang tuanya?

Jaehyun tertawa dalam hati atas pemikiran konyolnya itu.

Keduanya kembali hening, sebelum pertanyaan Taeyong meluncur membuat darah Jaehyun berdesir, untuk sesaat hatinya merasa hangat dan....terharu,

“Jaehyun bagaimana kehidupanmu di Amsterdam? Jaehyun apa kabar?”

Jaehyun yang semula menunduk mulai mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah Taeyong. Entah Taeyong sadar atau tidak yang jelas iris kecokelatan itu bergetar dengan binar haru. Ini pertanyaan yang sedari tadi ia harapkan dari keluarganya, tetapi tak kunjung mendapatkannya.

Kemudian Taeyong datang kepadanya dengan suka rela mau mengajaknya berbicara, bahkan menanyakan sesuatu yang tak ia dapat dari keluarganya. Pertanyaan yang seolah-olah mereka sudah mengenal untuk waktu yang lama.

Jaehyun tau ia berlebihan. Namun, untuk orang yang begitu mendaba perhatian dari orang sekitarnya yang tak kunjung ia dapat, ini suatu hal yang begitu mengharukan. Bisa saja Jaehyun menangis saat ini juga karena merasa begitu terharu.

“Taeyong..” yang dipanggil menoleh, dan menatap teduh lengkap dengan senyum yang begitu menyejukkan.

“Hm?”

Aku tidak baik. Disana berat sekali rasanya. Aku baik Taeyong, aku bahagia disana.”

Mengapa kau bohong Jaehyun?

Tbc

Jujur, susah banget ngegambarin perasaan Jaehyun dan Taeyong disini, rasanya rada beda sama ekspektasi 😫 tapi semoga ke kalian nyampe ya.

Yuk, jangan lupa vote dan komen okee💚✨

🐾fie

Continue Reading

You'll Also Like

300K 23.4K 101
Kita temenan karena tetanggaan juga, gue kenal dia udah dari dia masih dalem perut bundanya
218K 19.7K 33
"I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian yang mulanya sederhana...
114K 16K 82
Di suatu semesta lain, Adel dan Oniel adalah Kakak Beradik yang dibesarkan di panti asuhan, sampai suatu kejadian memaksa mereka untuk menjadi pelind...
55.6K 5.1K 14
[FOLLOW SEBELUM BACA] Brothership, Harsh words, Skinship‼️ ❥Sequel Dream House ❥NOT BXB ⚠️ ❥Baca Dream House terlebih dahulu🐾 Satu atap yang mempe...