Protect At All Costs (END)

By an_ssky

15K 2.1K 3.5K

C A M P U S S T O R Y *** "Kamu cowok, kan? Aku nggak pernah kenal kaum kamu. Tepatnya, nggak kenal makna sal... More

p r a k a t a
a b o u t
prolog
02_(don't) care about
03_touch
04_unidentified
05_toes and arguing
06_unsee scenery
07_hard-to-get approval
08_anxiety ring
09_wrong way to interact with you
10_silly perspectives and thoughts
11_memory caller
12_space and squeeze
13_like a rain
14_with you, again
15_a rush of blood
16_thank you in silence
17_hated stare
18_with you, always
19_belief
20_closer
21_falling for you
22_words to believe
23_his existence
24_she and her past
25_stay stay stay
26_apology
27_people come and go, so you do
28_night of confession
29_she's the present
30_his world is hers
epilog
extra chapter
1.1_you're not alone
1.2_such a hard time
1.3_he want, but he can't
1.4_messed up
1.5_choices
1.6_turning point [END]

01_alleged trouble

985 119 361
By an_ssky

Hidupkah kamu, jika senyum tulus nan sayu bahkan didefinisikan penuh oleh masa lalu?

***

Tidak ada yang terlampau berisik sejak tadi, meski Isy sudah berdiam cukup lama di kursi tunggu salah satu dari sekian banyak lorong di gedung dekanat. Maklum, libur semester sudah menjelang. Tidak banyak yang akan dengan suka rela menghabiskan waktu di kampus. Isy pun akan memilih diam di rumah, jika tidak ada masalah pada salah satu mata kuliah di KRS-nya. Oh, juga jika tidak harus menghadiri rapat siang nanti.

Gadis itu menyandarkan punggung, memejamkan matanya dan membiarkan waktu bergulir tanpa harus terisi dengan hal lain. Alasannya berada di sini untuk urusan administratif perkuliahan di saat kata libur sudah tercetak di kalender akademik, adalah untuk cepat-cepat pergi dari bangku perkuliahan, melalui program semester pendek atau semester antara. Dia ingin semua beban SKS-nya segera terpenuhi, lalu bisa menyusun skripsi. Bukan karena Isy tidak suka belajar, masuk kelas, atau terlibat dalam organisasi kemahasiswaan. Akan tetapi, karena dia tahu bahwa ibunya sudah semakin bertambah usia, dan Isy tak ingin perempuan berharganya itu bekerja keras seorang diri lebih lama lagi.

Saraf-saraf rumit di kepala gadis itu bekerja mendalam, menjemput memori yang sudah lama tertinggal di belakang, tetapi tak jarang dari sanalah mimpi buruk datang. Mungkin, jika dia sedikit lebih kuat, ibunya tidak harus memulai karier dari bawah lagi, tidak harus mencari sampingan agar mereka bisa hidup berkecukupan. Kalau saja saat itu Isy sudah bertransformasi menjadi Isy yang sekarang, bisa jadi segalanya menjadi lebih mudah.

Akan tetapi, pikirannya segera dialihkan oleh suara selirih angin yang menyapa. Kelopaknya terbuka, membuat seberkas cahaya jatuh ke retina. Baru saja tubuhnya hendak membungkuk dan mengambil kertas yang terjatuh dari mapnya--sumber suara tadi--satu punggung bidang sudah lebih dulu menghalangi penglihatan. Gerakan Isy terhenti. 

Gadis itu dapat melihat kertasnya yang tengah ditelisik, tetapi tidak sedikit pun memiliki keinginan untuk segera merebut meski merasa keberatan dengan sikap lelaki di depannya. Bukankah lelaki itu tidak berhak membaca berkasnya? Terserahlah, tidak perlu dipikir pusing. Bukankah hidup akan jauh lebih mudah jika tidak terlalu memberikan orang lain pengaruh terhadap diri kita?

"Punya kamu?"

Pada akhirnya, tatapan mata mengintimidasi yang diberikan Isy bisa usai juga, setelah bertahan lama di sana. Entahlah, tampaknya seseorang di depannya ini terlalu bodoh untuk menyadari ketidaksabaran Isy untuk mendapatkan selembar kertas miliknya.

"Iya." Bahkan, seharusnya tidak perlu ada tanya di sana. Bukankah hanya Isy yang duduk di tempat tergeletaknya benda itu? Sungguh basa-basi sekali. Akan tetapi, kala lelaki yang tidak dikenalnya itu--atau mungkin terlalu tidak beruntung untuk diingat seorang Isy--menyerahkan kertas, sang gadis tetap melontarkan balasan verbal. "Thank you."

Isy mengembalikan cetakan KRS yang sudah dia print ke dalam map, bercampur dengan berkas lainnya. Dalam pikirannya, ada asumsi bahwa dia akan kembali berdiam dalam tunggu sendirian, seperti tadi. Akan tetapi, dugaannya salah kala lelaki yang baru saja terlibat dalam sekian detik hidupnya itu membuat pergerakan pada kursi panjang yang dia duduki.

Keberatan? Tentu saja. Akan tetapi, Isy tidak cukup bodoh untuk menyadari bahwa tempat ini bukanlah tempat pribadi. Setidaknya, lelaki itu tidak mengusik ruangnya saja sudah cukup. Akan tetapi, lagi-lagi, asumsi itu salah.  Dari samping, sebuah suara terdengar.

"Mau ngurus mata kuliah juga?" tanya sang lelaki.

Dari sudut mata, Isy dapat melihat leher lelaki itu dibawa menggerakkan kepala ke arahnya. Namun, Isy memilih pura-pura tidak tahu saja. Memilih sibuk dengan tote bag, mengambil ponsel meski tidak ada yang perlu dia lakukan terhadap benda itu. Sesingkat mungkin, Isy menjawab, "Iya."

"Mata kuliah apa?"

Isy sedikit merutuk pada ponsel yang tidak kunjung dia temukan. Dia tidak menghentikan gerak tangannya, sebab berharap hal itu akan membuat dialog dengan orang asing ini berhenti--kalau saja dia memiliki kepekaan bahwa Isy enggan diajak berbicara.

"Statistika Lanjutan." Pada akhirnya Isy menjawab, bertepatan dengan ponsel yang beralih ke genggaman. Matanya dapat melirik sedikit, dan mendapati lelaki dengan kemeja denim yang tidak dikancingkan itu mengangguk. Harapannya, ia akan puas sampai di sana, tetapi nyatanya tidak. Tanya kembali mengudara, membuat Isy harus menjawabnya.

"Prof. Agus, ya?"

Kali ini, Isy hanya mengangguk, serta berharap Prof. Agus segera memanggilnya untuk memasuki ruangan, seperti yang dijanjikan beliau tadi.

"Kebetulan, ya. Aku juga ke Prof. Agus, bedanya ini Akuntansi Manajerial."

Bukankah tidak ada yang bertanya?  Tentu saja hal itu tidak terlisankan. Meski malas diajak berdialog tanpa kepentingan, sekaligus oleh orang asing dan laki-laki, tetapi Isy tidak buta akan sopan santun. Walaupun kali ini dia hanya menanggapi dengan anggukan beberapa kali, sembari fokus pada ponselnya. Layar ponsel yang sengaja diatur ke pencahayaan paling rendah, sudah pasti tidak akan memberikan celah bagi lelaki di sampingnya untuk mengetahui bahwa tidak ada hal penting yang dilakukan Isy saat ini.

"Oh, iya. Kamu jurusan apa?" Lelaki itu kembali bertanya. Memang apa pentingnya, sih, menanyakan hal-hal semacam ini? Orang-orang di masa lalu mengetahui banyak hal tentang Isy, tetapi pada akhirnya justru dijadikannya bom penyerang. Isy tidak sebodoh itu untuk memberikan celah serupa kepada orang baru, meski hal umum sekali pun. Sebab tak ada yang tahu, informasi apa yang paling menyakitkan dan tajam jika dijadikan pedang.

Untung saja, ada satu suara berat yang memanggil nama Isy.

"Mbak yang mau urus mata kuliah."

Isy segera berdiri, ketika Prof. Agus berkata dari celah pintu ruangan yang dia buka. "Iya saya, Prof," responsnya cepat, sembari mengulas senyum tipis.

Yang tidak Isy sadari, lelaki di belakangnya juga ikut berdiri, dan Prof. Agus membawa pandangannya ke arah lelaki itu.

"Loh, Jaza juga, ya? Akuntansi Manajerial, ya, Nang?" Kalimat itu terlontar dari lisan Prof. Agus, membuat Isy melirik sedikit ke samping, tepat kala sang lelaki berpindah ke sana.

"Iya, Prof."

"Ya udah, bareng aja sama Mbak-nya."

Tampaknya, lelaki itu mengangguki, sehingga Prof. Agus segera masuk ke ruangan. Isy menghela napas, kemudian berjalan masuk dengan sang lelaki di belakangnya. Tak ada pilihan lain yang bisa diambil Isy kecuali mengikuti alur, duduk di depan Prof. Agus dengan seorang lagi lelaki di sampingnya, mendengarkan dua orang itu berbincang seolah hubungannya memang sudah dekat dari lama.

Oh, namanya Jaza, pikir Isy. Prof. Agus yang tidak terkenal akrab dengan mahasiswa, bahkan berinteraksi dekat dengan Jaza. Sudah pasti lelaki itu bukan mahasiswa tak terlihat seperti Isy. Populer, sepertinya. Karena ingatan Isy pun perlahan mengakui bahwa wajah Jaza tidak begitu asing di matanya.

Bukan hal yang perlu diambil pusing. Isy tak peduli, kecuali tentang perspektif bahwa tipe lelaki seperti ini tentu saja sangat amat tidak cocok dengan dia yang sekarang. Namun, sepertinya Isy terlalu asyik menelisik kepalanya sendiri, mengusir bosan karena tak paham arah pembicaraan. Hingga tanpa disadari, seperti tadi, satu kertas melucur bebas dan mendarat di ujung kakinya.

Gadis itu segera menunduk, berniat mengambil kertas yang sudah membuatnya melakukan aktivitas yang sama kurang dari lima menit belakangan. Bedanya, kali ini dia tidak mengurungkan niat, karena tidak ada yang ikut campur dengan ucapannya.

Namun, lagi-lagi. Melalui gerbang kertas yang sama, dugaan gadis itu salah. Tetap ada interupsi dari orang yang sama, yang membuatnya beralih dari bawah sana padahal kertas yang terjatuh itu belum berpindah ke tangan. Membuatnya menghentikan gerak untuk beberapa saat, dan justru memandangi punggung tangan yang berada tepat di depannya, membatasi tubuh dengan ujung meja. Punggung tangan milik seseorang yang saat ini sama sekali tidak mengalihkan mata dari Prof. Agus, tidak pula menghentikan perbincangannya. Punggung tangan milik Jaza.

Lelaki itu ... terlalu ikut campur, dan Isy jelas tidak menyukai hal itu. Populer dan gemar campur tangan di urusan orang lain adalah kombinasi sempurna yang membuat Isy tidak perlu berpikir dua kali untuk menjauh sejauh-jauhnya.

Akan tetapi, yang tidak gadis itu tahu, sepertinya kertas yang menjadi pembuka interaksi di antara mereka, bukanlah sekadar kertas biasa. Melainkan sebuah kertas yang tengah menuliskan skenario melalui bekas sentuhan dua tangan berbeda di atasnya. Sebab kini, selang beberapa jam usai raga Isy berpisah dari eksistensi Jaza, netra gadis itu justru menemukan bayangan itu lagi. Isy harus mendengar suara yang tadi tidak ingin dia persilakan merasuki pendengaran.

Di depan sana, di dalam luasnya ruang sekretariat BEM, Jaza mengedarkan pandangan sembari bersila. Lelaki yang kini hanya terbalut kaus hitam itu memandangi kerumunan di hadapan sebelum mengulas senyum dan memulai rapat pertama FISIP Heroes, yang akan menjadi program tempat Isy bergabung sebulan lebih ke depan.

Mereka akan bertemu lagi, bahkan untuk waktu yang cukup lama. Atau mungkin lebih lama dari kata cukup itu. 

***

G L O S A R I U M

Semester antara atau semester pendek = Merupakan semester yang diadakan di antara semester genap dan ganjil setiap tahunnya. Semester antara memiliki dua tujuan, yakni perbaikan indeks prestasi dan akselerasi atau percepatan mata kuliah. Mahasiswa dapat mengulang mata kuliah dengan nilai dianggap kurang (biasanya syarat mengulang adalah mata kuliah dengan nilai maksimal C), atau bisa juga mengambil mata kuliah yang akan dibuka di semester selanjutnya untuk mempercepat masa studi. Program ini merupakan otoritas kampus, sehingga tidak selalu ada di semua perguruan tinggi. 

KRS atau Kartu Rencana Studi = Mencantumkan daftar mata kuliah dan SKS yang akan diikuti.

SKS atau Satuan Kredit Semester = Beban studi pada mata kuliah yang bisa berbeda-beda bergantung bobotnya. Untuk merampungkan studi strata satu (S1), SKS yang harus dipenuhi adalah 144 SKS.

AN, bersama pergulatan di kepala.

March 15, 2022.

Continue Reading

You'll Also Like

68.7K 18.6K 42
[novel] • telah tamat pada 10/01/21 Gelora menyadari bahwa ketika jatuh cinta, otaknya memproduksi dopamin dalam jumlah berlebih yang membuatnya ingi...
From Us To Us By inda

General Fiction

86.7K 10.8K 60
[Completed] Suasana hati, kadang sebercanda itu. Detik ini kau tersenyum, detik kemudian kau menangis. Sama halnya dengan suatu hubungan yang kau jag...
4.8K 1.1K 33
"Aku tidak suka gadis bodoh." Adam dan Naira yang kini beranjak dewasa dan memasuki masa-masa indah selama di SMA. Menjalani kehidupan dari masa rema...
2.9K 749 38
Nilam tidak menyukai laki-laki jamet alias 'jajal metal' yang suka berpakaian dan punya gaya berbicara aneh serta menongkrong dan mengobrol berkepanj...