IMAMA AL-HAFIDZH

By triilyynaa

9.1M 958K 168K

[SUDAH TERBIT] Tersedia di Gramedia dan TBO + part lengkap Apakah kalian pernah menemukan seorang pemuda laki... More

⚠️ S P O I L E R ⚠️
01. IAH - Pacaran
02. IAH - Bertemu Seorang Pemuda
03. IAH - Kembali pulang ke Rumah
04. IAH - Imama Al-Hafidzh
05. IAH - Dijodohkan oleh sang Abi
06. IAH - Menikah
07. IAH - Malam Pernikahan
08. IAH - Rumah di dalam Hutan
09. IAH - Cerita dari Imama
10. IAH - Romantis Ala Rasulullah
11. IAH - Tentang Hisab Kelak
12. IAH - Cerita dari Alisha
13. IAH - Bertemu dengan Masa Lalu
14. IAH - Berhenti untuk Berharap
15. IAH - Dua Lelaki itu saling Kenal dekat
16. IAH - Sempurna itu cinta mereka
17. IAH - Kehilangan
18. IAH - Menyimpan Kecurigaan
19. IAH - Kewajiban Seorang Istri?
20. IAH - Tahajud Bersamamu
21. IAH - Romantis Ala Imama
22. IAH - Tiga Gadis SMA
23. IAH - Cinta atau Nafsu?
24. IAH - Kecewa dalam ketidakjujuran
25. IAH - Pengakuan sebenarnya
26. IAH - Dia adalah Raden
27. IAH - GUS DAN NING
28. IAH - Tentang Irama, Saudaranya.
29. IAH - Iqbal menjadi lebih baik
30. IAH - Pesantren Al-Hafizma
31. IAH - Uji Keimanan dari Hafizma untuk Imama
32. IAH - Cinta Mereka di Ndalem
33. IAH - Tentang Wanita Tarim
35. IAH - Perjanjian Hafizma dan Syarat Irama
36. IAH - Menikah Lagi
37. IAH - Rahasia yang berakibat salahpaham
38. IAH - Kerja Sama
39. IAH - Cinta sang Gadis
40. IAH - Kabar Palsu
41. IAH - Hanya Satu Wanita
42. IAH - Ngidam aneh
43. IAH - Kejadian di Pasar
44. IAH - Berita Bahagia
45. IAH - Mati sama-sama
46. IAH - Hijrahnya Ikara
47. IAH - Hidayah yang datang tiba-tiba
48. IAH - Perkelahian
49. IAH - Ima dan Ama
50. IAH - Mengingat Kembali
51. IAH - Berhati-hati untuk ke depannya
52. IAH - Ziarah ke Makam Bunda
53. IAH - Datangnya sosok Pria Asing
54. IAH - Fitnah diantara dua pihak
55. IAH - Salah paham yang kian Menjadi
56. IAH - Menyelesaikan Masalah dengan tenang
57. IAH - Sakit Demam
58. IAH - Terperangkap di Gudang
59. IAH - Kepergian Sang Nahkoda?
60. IAH - Kepulangan yang Abadi.
EXTRA PART + Pesan dan Kesan
ATHALLAH DAN HAFIZMA, PUBLISH.
IMAMA SEGERA TERBIT!
PRE-ORDER IMAMA AL-HAFIDZH

34. IAH - Iqbal putus

114K 11.5K 2K
By triilyynaa

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Jangan lupa, sholawat dulu.

اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ ، وَعَلَىٰ آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ۞
[Allahuma sholi ala Muhammad, wa ala ali Muhammad.]

¶¶¶

Maaf, dipart ini kita akan lebih fokus ke masa lalu Iqbal, anggota Hafizma.

Terima kasih✋

•••


Pukul 13.00 siang.

Selepas menghabiskan waktu bersama di dalam kamar. Imama dan Alisha kini pun telah keluar dari kamar mereka. Niatnya, Imama ingin izin untuk pergi ke Asrama Hafizma. Karena sudah dipastikan, Iqbal, Lelaki itu pasti sudah berada di dalam Asrama Hafizma dengan membawa pakaian mereka. Namun Imama meminta bahwa dia saja yang mengambilnya, Alisha tak perlu ikut.

"Nanti kalau Afizh udah pulang dari Asrama. Afizh bakal langsung pulang ke sini, kan?"

"Iya, Na."

"Ini 'kan Hari Senin, ya, Afizh? Kita juga udah puasa Ayyamul bidh kedua. Nah, karena sekitar dua bulan lagi Nana akan ada kelulusan. Nayyara tadi kabarin kalau Hari Rabu akan ada ujian. J-jadi, Rabu besok kita bisa pulang, nggak?" Alisha mengatakan dengan ragu. Karena ia paham bahwa Imama pasti mempunyai pikiran ingin terus tinggal di Ndalem ini.

"Bisa dong," jawab Imama. "Saya ajak kamu ke sini itu cuma mau memperkenalkan kamu sama keluarga saya, Na. Selebihnya untuk tinggal di mana, itu bisa kita pikirkan nanti setelah kamu lulus SMA." Imama menerangkan.

"Oh, jadi kita kapan pulang?"

"Besok... Gimana?"

Alisha mengangguk setuju.

"Terus, habis itu kita ke mana? Kita nggak ke mana-mana? Di sini aja?"

Mata Imama membulat saat mendengar pertanyaan kedua dari istrinya. Masalahnya, ia cukup merasa aneh saat Alisha malah mengajaknya untuk jalan-jalan. Bukan kah kemarin malam..

"Na.. Untuk hari ini kamu istirahat aja di kamar, emang kamu nggak capek, nggak sak-"

"Ih, Afizh! Nggak, nggak sakit. Na juga nggak capek. Udah, nggak usah bahas itu lagi, Na maluu tauu."

Alisha tahu ke mana arah pembahasan dari Imama barusan. Tak mau malu, ia pun segera memotong ucapan suaminya. Segera saja Imama kini terkekeh kecil saat melihat Alisha telah malu dengan menundukkan kepalanya dalam.

Lelaki itu mengelus pelan puncak kepala Alisha. "Berarti saya lembut, ya, tadi malam? Alhamdulillah kalau gitu.. Makasih, ya?"

"Nggak capek makasih mulu?"

Alisha heran kepada Imama yang sedari tadi tak henti-hentinya berterima kasih padanya. Bukan kah itu adalah kewajibannya? Jadi tak payah lagi untuk berterima kasih.

Imama terkekeh. "Saya nggak pernah capek untuk berterima kasih sama kamu, Na. Apalagi saat berterima kasih sama Allah. Bersama-Nya, saya nggak pernah absen menyebut nama kamu."

Untung saja saat ini Alisha masih menunduk. Jika tidak, ia pasti sudah ketahuan oleh Imama bahwa pipi miliknya sekarang sudah memerah bagai tomat. Ditambah saat ini Imama sudah mengubah gaya bicaranya.

"Ya udah, sana, gih."

"Ngusir nih?"

"Ih, bukan..."

Imama terkekeh. "Sebenarnya, Na.. Saya mau ajak kamu untuk keliling ke dalam Pesantren. Tapi saya takut kalau kamu bakal dilihat sama santri-santriwan. Soalnya, saya punya niat mau memperkenalkan kamu dari Asrama putra sampai Asrama putri. Tapi kembali lagi ke pasal satu. Saya urungkan karena nggak mau kamu akan ditatap sama mereka. Selain itu, saya juga ingin kembali ke pasal kedua. Ingin membawamu kepada mereka, dan memperkenalkan kamu bahwa kamu itu adalah perempuan saya. Bahwa sekarang, saya.. Mr. Imama Hafizh Al-Ayyubi, telah memiliki seorang Ning yang akan menjadi pendamping hidup saya dari dunia hingga akhirat. Dan mereka harus tau itu. Nggak boleh ada yang menyakiti kamu, atau pun mendekati saya lagi."

Penjelasan yang sedari tadi Alisha nanti untuk berakhir ke ujung pun akhirnya terwujudkan. Imama telah mengakhiri penjelasannya itu dengan tenang hingga membuat Alisha tak lagi bisa menahan tawanya.

"Ih, kok panjang banget sih.." Alisha terkekeh lagi.

"Tapi kamu paham?"

"Paham kok, paham."

"Duh, bahas apa ini? Ikutan dong..."

Imama dan Alisha yang saat ini berdiri di depan pintu kamar itu pun menoleh ke pintu kamar sebelah. Terlihat seorang perempuan tanpa memakai hijab dengan rambut sepinggang itu berdiri di depan pintu menghampiri mereka.

"Nggak bahas apa-apa kok..." Alisha menjawab dengan tersenyum.

Izara melirik ke Imama yang berada di sampingnya itu di mana tatapan lelaki itu begitu dalam saat menatap Alisha di depannya. Bermaksud menggoda, Izara pun menyenggol lengan Imama. "Cieee, yang udah nikah. Pergi sendirian, pulang berdua." Kemudian Izara cengengesan.

Imama menoleh ke Izara dengan tersenyum kecil. Di mana tangannya mulai mengacak rambut sang adiknya itu. "Kamu mau juga? Ima jodohin, ya?"

Mata Izara membulat. "IH, NGGAK! Jangan dong. Nggak suka tauu dijodohin gitu. Apalagi sama Anak Kyai sebelah."

Protes tak terima, wajah Izara yang tampak adem itu berubah menjadi kecut. Melihat itu pun Imama hanya mampu tergelak pelan. "Jadi pernah dilamar sama Anak Kyai sebelah?"

"Imaa! Nggak, Ish! Ayah itu yang ngancem kayak gitu. Masa gara-gara nggak sengaja Ara keluar rumah untuk angkat jemuran, tapi nggak pakai kaos kaki Ayah sampai ngancem gitu..." dumelnya mengadu akan kejadian sebenarnya kepada Imama.

"Oh, Ara masih terselamatkan sih. Daripada ketahuan Ima, gimana tuh?" suara Imama merendah seperti ingin mengerjai.

"Emang Ima bakal ngancem apa?" balas Izara dengan mendekat berbisik ke telinga Imama.

"Keluarin dari kartu keluarga." Bisik Imama kembali.

Izara tersentak. "Ih, Ima! Kok jahat banget sih..."

Imama terkekeh. "Ya lagian Ara sih. Kenapa nggak mau dijodohin?"

Izara terdiam sebentar dengan mencerna setiap kalimat yang baru saja Imama ucapkan.

"Kenapa kamu?"

"Kok-bahasanya jadi agak enak didengar gitu, ya?"

Alisha terkekeh. "Iya, Ra. Biasanya formal banget, kan?"

"Nah! Iya, Mbak!" Izara menjentikkan jarinya semangat. "Biasanya dingin banget loh kayak kulkas 2000 pintu," lanjutnya.

Alisha mengangguk. "Benar banget, Ra. Pertama kali ketemu Alish, Afizh juga gitu."

"Nah, kan!"

Gelengan pelan terjadi saat Imama merasa obrolan mereka itu seperti merujuk pada gaya bicaranya. Formal salah, begini juga salah.

"Selalu salah."

"Emang iya!" seru Alisha dan Izara.

Imama terkekeh melihat kedua perempuan itu kembali kompak dan begitu serempak. Segera lelaki itu mengelus kepala Izara. "Menolak tua kamu, ya?"

Bagaimana tidak? Adiknya itu sudah memasuki kepala dua, tapi masih saja sikapnya seperti anak-anak. Usianya sudah mencapai dua puluh tahun, namun segala kepribadiannya begitu mirip dengan Alisha yang ingin memasuki delapan belas tahun.

Tak terima, Izara pun menjawab. "Enak aja tua. Masih ada imut-imutnya gini kayak Prilly Latuconsina. Iya nggak, Mbak?"

•••

Pertengkaran itu pun berakhir semenjak beberapa menit yang lalu. Saat ini pun, Imama langsung buru-buru datang ke Asrama Hafizma.

"Nah.. Tuh, Bal. Yang lo tunggu udah datang," kata salah satu pemuda, Zayndra.

Iqbal, lelaki yang tengah duduk bersandar di sofa sembari memetik gitar itu pun segera membenarkan duduknya. "Apa-apaan nih. Datang kok selesai zuhur."

Imama terkekeh kecil. "Afwan. Saya tahu hatimu selembut sutra, maka maafkan lah kelalaian saya."

Selesai mengucap itu, pelan-pelan Imama kini mengambil kantong plastik yang berada di samping Iqbal.

"Mana makasihnya?" tegur Iqbal.

"Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Sekaligus... Mendapat jodoh."

Iqbal menatap Imama dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Apa maksud dari Imama? Apa itu sebuah ejekan dengan lembut? Tapi tidak apa, yang penting dia itu sudah didoakan yang baik.

"Bismillah, adik lo."

"Terkecuali."

"Kalau jodoh?"

Imama terbungkam. Hal itu pun membuat Iqbal terkekeh pelan lalu kembali bersandar dengan memainkan gitarnya kembali.

"Tapi nggak kece, Bal!" sahut seseorang yang rebahan tak jauh dari sana.

Iqbal pun menoleh.

"Masa putus di minimarket! JHAHAA!!"

Tawa garing dari Zayndra saat ini tidak mendapat respon apa-apa dari Iqbal. Lelaki itu masih terdiam pada posisi yang sama. Wajah kesal pun ia tampakkan saat menatap Imama yang masih berdiri di depannya.

"Apa lihat-lihat?"

Imama menggeleng. "What? Siapa yang melihatmu? Saya hanya melihat kesalahan dalam dirimu."

Iqbal memutar bola matanya ke arah lain. Ucapan Imam membuat pikirannya langsung tertuju pada kejadian beberapa tahun yang lalu.

Flashback on..

Pukul 10.00 malam.

Iqbal kini menutup pintu kamarnya dengan begitu pelan agar tak terdengar oleh siapa pun. Mulai memakai jaket andalannya dengan memperhatikan sekitar ruangan. Seperti seorang maling yang takut ketahuan mencuri. Saat Iqbal ingin turun dari tangga, tiba-tiba saja ada yang berdeham. Alhasil membuat Iqbal terkejut bukan main.

"Mau ke mana?"

Iqbal meneguk ludahnya kasar saat menatap siapa yang telah berhasil mencegahnya itu.

"Em.. Eh, i-itu ke minimarket depan."

"Malam-malam?"

"I-iya."

Tak dapat dipungkiri bahwa saat ini Iqbal begitu gugup.

"Bisa besok kan, Kak?"

Itu Alisha. Ia kini berdiri di depan pintu kamarnya dengan bersedekap dada. Alisnya terangkat satu sebagai tanda tanya dengan tatapan penuh tak percaya.

"Nggak bisa, harus sekarang. Kak Iqbal nggak bisa tidur kalau nggak ada cemilan." Iqbal berusaha mencari alasan.

"Oh, ya? Bukannya mau ketemu sama kekasih Kak Iqbal itu, ya?"

•••

Tertangkap basah sudah. Iqbal saat ini telah berhasil keluar dari rumah setelah merayu-rayu adiknya itu untuk bungkam tak membongkar kepada Abi mereka. Saat ini pun, akhirnya lelaki telah sampai pada tujuannya.

Tepat di depan sebuah minimarket, Iqbal berhenti di sana sambil memperhatikan sekitarnya. Merasa handphonenya berdering di saku, segera saja ia mengambilnya.

Iraa gf.

Aku udh di kafe, Mas. Kmu di mana?

Iraaa, maaf. Sekarang aku ada di depan minimarket. Deket kok sama kafe. Kamu ke sini, ya?

Ih, nyebelin bgt.

Sorry, raa. Jangan ngambek dong, mau ya? Aku punya hadiah deh buat kamu.

Gak ah, siapa yg ngambek? Iya aku ke sana.
Takut bgt sama abimu itu.

Iqbal hanya membaca pesan itu tanpa membalas. Pesan terakhir dari Ikara itu sangat membuatnya ingin marah, tapi ia tak mampu menunjukkan amarah itu pada Ikara yang sekarang berstatus sebagai pacarnya.

Setelah beberapa menit Iqbal menunggu di sana, akhirnya pun seseorang yang sedari tadi ia nanti menghampirinya, senyuman pun ia ulas saat seorang perempuan itu langsung memeluk dirinya.

"Kangen! Kangen!" geram perempuan itu dengan suara yang ia imutkan di pelukan. Iqbal pun hanya tersenyum dengan membalas pelukan itu. Sesekali ia mencium aroma wangi dari tubuh perempuan itu dan mengelus puncak rambutnya.

"Kangen juga, maaf, ya?"

Balasan Iqbal membuat perempuan itu melepas pelukan dengan ekspresi yang begitu gemas jika dilihat.

"Nggak. Kamu nyebelin deh. Lagi sibuk, ya, Akhir-akhir ini? Sampai aku aja ajak ketemuan kamu nolak terus," kesal perempuan itu. Ikara.

"Bukan gitu, Ra. Aku kalau keluar harus bilang apa?"

"Iya biasa. Ketemu sama temen kamu itu, Ryal. Bilang nginep atau main game sama-sama."

"Udah berapa kali aku bohong kayak gitu? Nggak bisa, Ra. Aku nggak bisa bohongan Abi lagi. Hati aku sakit. Maklumin dong. Ini juga salah kamu yang nggak mau terima lamaran aku. Aku ajak ketemu Abi aja, kamu nolak terus."

"Aku masih kuliah."

"Itu aja terus."

Ikara mengepalkan kedua tangannya. Menatap kesal ke arah lelaki di depannya yang selalu membalas ucapannya. "Udah stop! Kita ketemu bukan untuk debat lagi kayak gini. Kangen! Itu aja."

Entah apa yang ada di pikiran Iqbal saat ini. Tangannya juga telah mengepal kuat. Rasa ingin mengungkapkan bahwa hubungan yang ia lakukan bersama Ikara selama ini itu salah. Tapi tidak bisa. Entah mengapa. Jika ia tidak mengikuti kemauan Ikara dengan menjalin hubungan seperti ini, sudah pasti ia akan kehilangan Ikara. Namun disisi lain, ada hati yang terikat dengan agama. Bahwa ia telah paham, yang dilakukan ini adalah suatu jalan kemaksiatan.

"Oke... Maaf."

Kalimat bodoh yang kembali Iqbal sesali kenapa baru saja ia ucapkan? Yang padahal niatnya tadi ingin mengucapkan untuk berhenti menjalankan hubungan ini. Namun yang keluar malah sebaliknya.

"Ini nggak romantis banget, di sini doang?" Ikara bersedekap dada. Jika dilihat dari pandangan Iqbal, pacarnya itu sangat cantik pada malam ini dengan gaun yang ia kenakan juga rambut yang perempuan itu urai sedikit menutupi wajahnya karena tertiup angin malam. Rasanya Iqbal terkesima saat melihatnya.

"Kamu cantik."

Lagi dan lagi, Iqbal mengucapkan kalimat yang sebenarnya tak ingin ia ucapkan. Entah siapa yang membuatnya mengucapkan kalimat itu.

"Lebih cantik lagi jika kamu memakai hijab, Ira...."

Deg.

Bukan Iqbal yang mengucapkan. Tapi seorang pemuda laki-laki yang saat ini menghampiri mereka berdua dan sekarang posisinya telah merangkul pundak Iqbal.

Sepasang kekasih itu pun terkejut akan kehadirannya. Sehingga membuat Ikara membenarkan berdirinya secepat mungkin.

"I-ima?"

"Ya, saya. Ada apa?"

"G-gus kok bisa di sini?" Iqbal memberanikan diri menatap lelaki yang merangkulnya itu. Iya, dia adalah Imama.

Imama pun melepas rangkulannya di mana tangannya berganti ia masukkan ke dalam saku celana. "Tidak ada. Saya hanya mengawasi adik saya yang keluar malam-malam dengan pakaian seperti ini. Bisa-bisa akan membawa pengaruh buruk bagi laki-laki yang melihatnya."

Imama menatap Ikara dari bawah sampai atas. Di mana membuat Iqbal pun mencoba menetralkan detak jantung yang sudah berdebar kencang. Ketahuan, ia ketahuan sudah.

"M-maaf, Imama. G-gue..."

Imama menepuk pundak Iqbal dua kali saat ia melihat lelaki itu begitu gugup menjelaskan padanya.

"Kau lelaki?"

"Ya."

"Jika kau ingin kusebut dengan seorang lelaki. Maka putuskan hubungan bodoh yang kau lakukan dengan adikku."

"Imama..."

"Saya katakan sekarang, Iqbal."

Iqbal terdiam. Dia bukannya takut, namun dia juga tersadar apa yang dia lakukan ini sebuah kesalahan. Disisi lain, tatapan matanya pun melirik ke arah Ikara yang mengisyaratkan untuk jangan melakukan apapun.

Iqbal membuang napasnya kasar, lalu menghadap ke arah Ikara.

"Kita putus."

Ikara terkesiap saat mendengar kalimat yang diucapkan oleh Iqbal barusan. Di mana hal itu pun membuat Imama berdeham kuat.

"Ulangi."

Semakin tersentak saat Iqbal mendengar Imama memintanya untuk mengulangi. "Lah, itu kan udah benar? Gue udah putus."

"Saya katakan, ulangi."

Iqbal pasrah menuruti. "Ira, kita putus. Kita akhiri hubungan yang salah ini. Tapi semoga aja bisa kita lanjutkan."

"Iqbal." Imama menegur.

"Ya, Ma. Ya Allah, gue harus gimana?"

"Yang benar."

"Iya tadi kan udah."

"Itu salah. Apa yang mau dilanjutkan?"

"Ya entar, nikah. Pas Ira udah lulus."

"Ulangi," kekeuh Imama.

Dengan penuh rasa emosi Iqbal pun membuang napas kasar. "Oke!" Iqbal kembali menatap Ikara.

"Ehm." Imama berdeham saat Iqbal ingin mengucapkan sesuatu.

"Apa lagi?"

"Tundukan pandanganmu."

Kesalahan lagi. Agar cepat selesai pun Iqbal menurut, ia menundukkan kepalanya.

"Raa, kita putus. Maafin, Mas. Demi menjaga kehormatanmu, dan menjaga ketaatanku, tolong kita akhiri hubungan haram ini. Tapi bukan berarti kita berakhir sampai di sini, Ra. Aku akan selalu cinta sama kamu, dan aku akan menikahi kamu kalau kamu udah lulus kuliah. Aku Janji, Ra. Aku mau halalin kamu-"

"Aku bukan Babi! Aku nggak haram!"

Ikara kesal. Ia memberanikan diri membuka suara dengan berteriak. Namun ternyata, ada yang menyahut teriakan Ikara itu.

"Yang haram bukan Babi doang, Ning! Hubungan Ning juga haram!"

"Nggak usah ikutan!"

Sontak Zayndra yang berdiri di samping mobil tak jauh dari sana pun langsung terkejut. Meski dalam hatinya ia sama sekali tak merasa bersalah dengan apa yang ia ucapkan barusan. karena itu memang itu benar. Namun, hanya saja ia masih menghargai Ikara sebagai Ning dari anak dan adik sang gurunya, Kyai Hafizh dan Imama.

"Ima apaan sih! Kok bisa ada di sini? Kenapa bawa mereka juga?"

"Karena saya mengikuti kamu dari rumah sampai kamu ke kafe dan menuju ke sini."

Penjelasan Imama pun membuat Ikara terdiam. Namun raut wajahnya masih dipenuhi dengan kekesalan. Kenapa bisa ia sampai lupa memastikan ada yang mengikutinya atau tidak? Tapi bagus, bukan, jadi tak perlu ia dan Iqbal bersembunyi-sembunyi lagi.

"Ulangi," pinta Imama pada Iqbal.

"Ih, Ima-"

"Diam, Ira." Imama menyela cepat di mana tatapannya masih mengarah pada Iqbal. "Lanjutkan."

"Ima, Ira nggak mau putus. Jangan gini dong, Imaa.."

"Kenapa, Ra? Katakan, siapa yang membuatmu jadi seperti ini? Siapa teman bergaulmu, hm?

Ikara terdiam. Hal itu pun membuat Imama menoleh kembali ke arah Iqbal. "Dan kamu, Iqbal. Apa yang kamu lakukan terhadap adikku? Mengajaknya ke jalan yang salah? Dan seperti ini maksudmu mencintai? Jika kamu tahu apa yang kalian lakukan ini salah, harusnya ada salah satu yang berani nekad untuk mengakhiri. Ada apa dengan dirimu? Jangan turuti keinginan dari nafsumu, karena kamu tidak akan puas dengan hasilnya. Sehingga pun bisa membuat setan akan merayumu lebih jauh dalam kemaksiatan kalian berdua tersebut."

"Tapi, Ma. Gue nggak bisa hidup tanpa Ira, Ma.. Faham, Ma..."

"Ya sudah, mati."

Lantang Imama ucapkan sontak membuat Iqbal terkejut. "Jika tidak bisa hidup tanpa adikku, setelah kalian akhiri ini, silahkan mati."

Menyelekit sekali.

"TENANG, BAL. KITA SEMUA BACAIN YASIN DEH BUAT LO KALAU MAU MATI!" Zayndra kembali bersuara dari seberang sana. "Kalau nggak bisa hidup tanpa pacar!"

"Itu kata-kata buaya nggak sih?! Kalau di sosial media gitu katanya!" timpal Bisma ikut berteriak.

Iqbal pun tak merespon apa-apa dari percakapan mereka. Ia hanya menghela napasnya untuk kembali menunduk menghadap Ikara.

"Maaf, Ira. Kita putus. Hapus nomor teleponku, atau nggak, aku akan block nomor kamu. Selain itu, aku nggak mau ketemu kamu lagi sampai kamu kasih kabar baik setelah kelulusan kamu. Segera mungkin aku akan bawa keluargaku ketemu sama ayah kamu."

"Emang kalian akan menikah?"

Kalimat singkat, namun membuat Iqbal mendongakkan kepala menatap Imama lagi. Apa maksudnya?

"Ma?"

"Ulangi," perintah Imama lagi.

Iqbal benar-benar akan frustasi kali ini. Ia pun mengacak-acak rambutnya dengan ekspresi kesal lalu kembali sedikit menunduk.

"Ra, kita putus. Kalau kita jodoh, kita pasti bisa sama-sama. Tapi dalam versi ikatan sah. Bukan kayak gini, maaf."

Berakhir sudah ucapan Iqbal itu. Tanda bahwa ia telah berhasil memutuskan hubungan yang salah selama ini. Tak kunjung ia mendengar lanjutan dari Imama, segera ia menatap lelaki itu.

"Gimana? Benar, nggak? Gue sekarang lelaki, kan?"

Mengingat bahwa tadi Imama mengatakan kalau ia tidak putus hubungan itu, maka Imama tak mau menyebutnya sebagai seorang laki-laki.

Imama pun mengangguk. "Boleh juga. Oke kalau begitu." Imama menepuk pundak Iqbal. "Kusebut kamu laki-laki."

Selesai mengucapkan itu, Imama menghadapkan dirinya ke arah Hafizma yang berkumpul di mobil tak jauh dari sana.

"Hafizma!?"

Seluruh Hafizma menoleh.

"KITA PARTY!"

"ALHAMDULILLAH...." Hafizma serempak saat mengucapkannya. Di mana Imama pun langsung menarik tangan Ikara menuju mobil dan pergi meninggalkan Iqbal yang masih berdiri di depan minimarket itu.

Iqbal yang masih tak mau itu terjadi, segera ia mengejar Imama dan Ikara. "Ma! Ma! Tunggu, Imama!"

Iqbal menarik lengan Imama. "Ma, please, Ma. Gua nggak bisa hidup tanpa Ira, Ma. Jangan pisahin gue, pleasee..."

Iqbal kini seperti orang bodoh yang kehilangan akal. Ia sangat memohon kepada Imama dengan sedikit berlutut di depan lelaki itu. Imama yang melihat itu pun langsung melihat sekitarnya, di mana banyak orang-orang yang berkeliaran di tempat itu.

"Iqbal, bangun, Bal. Jangan gila kamu."

"GUE UDAH GILA!"

Iqbal beranjak berdiri kembali dengan menatap Ikara. Saat Iqbal ingin mengambil tangan Ikara, namun dengan cepat Imama menarik perempuan itu pergi jauh dari Iqbal.

"IMAMA! GUS!!"

Nihil Iqbal berteriak seperti itu. Imama tak akan mau lagi mendengar apapun dari dirinya. Kembali ia mengacak rambutnya dengan frustasi. Mulai menatap kepergian Imama dan Hafizma yang sudah jauh. Tak lama pun, ia jatuh berlutut di sana.

"Ya Tuhan.. Hidup gue mau jadi apa kalau nggak ada Ira...."

Merasa ia punya malu karena banyak orang yang berjalan melewatinya itu menatapnya, segera saja ia meraih ponsel di saku celana. Mulai mencari nomor seseorang untuk ia hubungi.

"Yal, gue nginep di rumah lo, ya?"

"..."

"Lo nggak ada di rumah? Jadi sekarang lo di mana?"

"...."

"Oke, gue club."

Iqbal pun mengakhiri teleponnya bersama Ryal, lalu ia kembali beranjak berdiri. Raut wajahnya benar-benar berubah menjadi datar. Malam itu, adalah malam yang begitu hancur bagi dirinya.

Flashback off...


Tak bisa dipungkiri bahwa ada yang aneh dalam kejadian itu. Iqbal, lelaki itu punya niat begitu tinggi setelah masuk ke dalam club hanya untuk meminum minuman keras dan melakukan kemaksiatan di dalamnya. Bisa dibilang untuk menghibur kekacauannya di malam itu. Namun siapa sangka, ada sesuatu yang melindunginya untuk melakukan itu. Sehingga di club itu pun ia hanya duduk dan menikmati pemandangan di sana saja. Dibantu juga oleh Ryal, lelaki itu begitu melarangnya untuk berbuat aneh seperti yang dia lakukan. Karena Ryal memahami, Iqbal dari keluarga siapa. Seperti yang dikatakan Ryal waktu itu. Masih ingat agama, walau hilang akal sedikit karena cinta.

Saat ini, Iqbal membenarkan duduknya dan mulai merogoh saku kemeja dan mengambil satu permen untuk ia makan. Tanpa ia pedulikan, Imama kini menatap lelaki itu yang berani memakan permen di Asrama. Helaan napas keluar dari Imama sebelum ia menyorotkan matanya ke arah Hafizma yang asik pada aktivitasnya.

"Kalian semua puasa?"

Pertanyaan datar yang diberikan oleh Imama pun terdengar nyaris dalam ruangan itu. Seluruh Hafizma langsung menoleh ke arah Imama.

"PUASAAA DONG!"

Iqbal tertegun, matanya membulat saat mendengar seruan keenam Hafizma itu. Sontak membuatnya langsung membuang permen yang ia emut di mulut sedari tadi. Dirinya benar-benar lupa bahwa hari ini adalah hari puasa sunnah ayyamul bidh kedua. Dan sudah pasti para Hafizma sedang berpuasa semua.

Malu-malu, Iqbal mengangkat telunjuknya, membuat Imama dan Hafizma yang lain pun menatap ke arahnya.

"G-gue nggak puasa."

"Wah, Bal! Baru masuk ke Hafizma udah mulai masalah aja, ya! Nggak tertib banget lo!" Zayndra memanasi Iqbal. Yang padahal, ia hanya bergurau saja.

Iqbal pun menoleh. "Ya afwan. Gue beneran kok, mau niat puasa ayyamul bidh. Tapi Umi nggak bangunin!"

"Wah, Gus. Ayo hukum Iqbal, Gus!"

"SETUJU!"

Sorakan Bisma dan Zayn itu membuat Iqbal semakin terbelalak. Apa-apaan ini? Segera saja lelaki itu bangkit dari sofa.

"Eh apa-apaan sih! Malah suruh hukum gue. Nih, baru sehari jadi Hafizma aja udah mau main hukum-hukum. Apalagi selamanya!"

Bisa-bisa ia akan depresi karena tertekan oleh aturan Hafizma. Memang semua aturannya untuk kebaikan, tapi tak asik sekali jika dibuat aturan seperti ini. Mendengar keluhan Iqbal tadi, para Hafizma pun tergelak tawa. Hanya Imama saja lah yang tidak. Apalagi Iqbal, wajahnya kini berubah menjadi kesal saat mereka semua menertawakannya.

Imama mendekat ke Iqbal lalu menepuk pundak lelaki itu. "Tenang, ini hukumannya berbeda."

Iqbal menepis tangan Imama. "Eh, beneran nih? Mau main hukum-hukuman?!" Imama terdiam mendengarnya. "Yang benar aja, Ma. Hukuman beda apaan? Palingan juga sama, suruh ngaji pasti. Iya, kan?"

Hening.

"Ya udah, hukuman apaan? Hafalin surah? Hafalin kitab? Atau apa gue nggak terlalu ngerti, sebut...?"

"Duduk." Imama menekan pundak Iqbal. Di mana Iqbal pun langsung terduduk kembali di sofa. Sedangkan Imama, ia kini sedikit melangkah ke pertengahan di ruangan itu.

"HAFIZMA?"

Seluruh Hafizma menoleh.

Imama pun tersenyum. "Saya kembali. Saya kembali kepada kalian semua."

Mereka semua bersorak serempak ketika mendengat ucapan Imama barusan. Raut kebahagiaan terbit di wajah mereka semua, di mana Imama pun langsung menoleh ke arah Iqbal yang masih diam dengan wajah datarnya. Tak punya pilihan lain, Imama pun berjalan menghampiri Iqbal dan mengulurkan tangan kanannya pada lelaki itu yang masih diam terduduk di sofa.

"Apa?" heran Iqbal.

"Ikut kami."

"Ke?"

"MARKAS GANEZZA!" jawab Altharel kepada pertanyaan Iqbal.

Iqbal pun menoleh ke arah Altharel. "Hah? Buat apa?"

"SILATUHRAMI DONG. KITA KAN ANAK BAIK!" seru Zayndra.

Iqbal menerima uluran tangan Imama untuk bangkit. "Nggak, ah. Gue nggak mau ketemu sama mereka. Entar gue bakal diancam lagi suruh masuk ke geng mereka," kata Iqbal. Ia masih mengingat sekali dengan geng itu. Apalagi jika ia pernah dikejar oleh mereka, Ganezza. Sehingga ia bisa dipertemukan dengan Hafizma yang saat itu juga menolongnya dari kecelakaan.

"Ih, ya enggak lah, Bal. Lo kan sekarang udah Hafizma. Nggak mungkin mereka berani ngajak lo lagi," ujar Bisma.

"Itu benar, Bal. Ada kami." Hasbi menimpal untuk meyakini Iqbal.

"Terlalu banyak berpikir. TAKBIR!" Abhian mengangkat tangan kanannya ke atas seraya melangkah keluar Asrama.

"ALLAHUAKBAR."

Alhamdulillah..

CUMA MAU KASIH TAU, BENTAR LAGI KITA AKAN MENUJU KONFLIK😻💅

JANGAN LUPA FOLLOW INSTAGRAM AKUU : @triilyynaa
@imamahfzh
@kinanalish
@iqbal.kinan
@al.hafizma

SPAM NEXT DI SINI >

Kata-kata untuk...

IMAMA?

ABHIAN?

HASBI?

ALTHAREL?

BISMA?

ZAYNDRA?

IQBAL?

AKUU AKUU??


-23 juli 2022

Continue Reading

You'll Also Like

1.5K 184 14
Gak semua orang baik bisa dipercaya. Persahabatan yang awalnya biasa saja berubah ketika satu persatu misteri disekitar mereka terpecahkan. percint...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

6M 335K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
25K 4K 23
Savan Adinata jatuh cinta dengan Akselia Thihani yang membencinya karena ia murid Charlemagne. Untuk mendapatkan hati gadis itu, Savan rela pindah ke...
6K 505 33
Quotes islam di ambil dari tokoh" sahabat nabi