|✔| Kedua

By aksara_salara

264K 27.2K 3.2K

Ketika anak pertama merasa memiliki beban karena selalu di tuntut untuk menjadi yang terbaik, anak bungsu men... More

Lembar 2
Lembar 3
Lembar 4
Lembar 5
Lembar 6
Lembar 7
Lembar 8
Lembar 9
Lembar 10
Lembar 11
Lembar 12
Lembar 13
Lembar 14
Lembar 15
Lembar 16
Lembar 17
Lembar 18
Lembar 19
Lembar 20
Lembar 21
Lembar 22
Lembar 23 [END]
Lembar 24; Kenangan Semu

Lembar 1

29.1K 1.6K 186
By aksara_salara

Gerimis mengisi senin pagi dengan sendu. Senin yang seharusnya terik, kini berubah dingin dan beku. Sama seperti dengan suasana rumah besar yang sudah Jenggala tinggali selama hampir dua tahun tahun itu.

Padahal, rumah ini dihuni oleh lima kepala, belum lagi beberapa asisten rumah tangga yang juga bekerja di sini. Namun tetap saja, tak ada hangat yang membuat Jenggala nyaman.

Ketika langkah kakinya baru saja menuruni tangga, beberapa sosok sudah duduk di meja makan dengan tenang. Dua laki-laki, dan satu perempuan.

"Pagi, Ma, Pa, Bang." sapa Jenggala seperti biasanya. Masih sama, seperti pagi-pagi sebelumnya, dan tentu dengan respon yang sama. Hanya ditanggapi dengan gumaman oleh mereka.

Tak masalah, Jenggala buru-buru menarik kursi kemudian bergabung bersama mereka. Baru saja tangannya hendak mengambil nasi, suara satu-satunya perempuan disana menghentikan tingkah Jenggala.

"Jangan makan duluan, tunggu adik kamu. Mungkin dia masih mandi." kata Dayita kepada sang putra.

Jenggala tertawa canggung, kemudian meletakkan kembali alat makannya. Sepuluh menit kemudian, sosok yang mereka tunggu datang. Seorang remaja yang sedikit lebih tinggi dari Jenggala.

"Pagi, sayang." Dayita menyapa si bungsu dengan hangat. Kendati demikian, Daksa justru melengos enggan menatap sang ibu. Melihat itu, Dayita menghela nafas panjang.

"Masih marah soal kemarin?" Kini sang kepala keluarga yang bertanya. Nuraga menatap Daksa lekat-lekat. Memperhatikan tingkah anak itu yang mengambil sarapannya dengan tergesa-gesa.

"Hm," Hanya itu jawaban yang Daksa berikan. Selebihnya, anak itu mulai fokus menyantap sarapannya. Mengabaikan tatapan orang-orang.

"Bukannya Papa nggak mau belikan kamu motor. Hanya saja, Papa khawatir kamu akan menyalahgunakan motor itu. Jangan kira Papa nggak tau, kamu sering ikut balapan liar, 'kan?"

Kini atensi Daksa teralihkan. Menatap Nuraga dengan tatapan kesal. Namun tak bisa mengelak, karena apa yang papanya ucapkan adalah kebenaran.

"Ck. Tapi, Pa, aku itu udah besar. Malu kalau harus berangkat sama Jenggala terus."

"Sa, yang sopan. Gue ini kakak lo." tegur Jenggala. Sudah muak sebenarnya dengan sikap adiknya. Tapi mau bagaimana lagi, tidak ada yang berani menegur Daksa kecuali dirinya.

"Apaan, sih, lo, gila hormat banget. Lagian kita cuma beda setahun doang." balas Daksa dengan sengit. Hubungan kedua saudara ini memang terbilang tidak baik.

"Bukan gila hormat, tapi gimana pun, gue ini kakak lo. Harus sopan sama yang lebih tua."

"Toh gue panggil lo kakak atau enggak, nggak akan ngaruh apa-apa. Udah, deh, jangan berisik!"

"Daksa—"

"Hentikan!!" Suara Dayita membuat ucapan Jenggala terpotong. "Sudah lah Jenggala, jangan mempermasalahkan hal yang tidak perlu. Jangan membuat keributan di pagi hari."

Ucapan mamanya membuat Jenggala tak percaya. Tapi Jenggala merasa harus bisa membela dirinya sendiri. Maka ia kembali angkat suara. "Maaf, Ma, aku cuma nggak mau Daksa dibilang nggak sopan sama orang lain."

"Memang siapa orang yang berani mengkritik keluarga kita?"

"Kita nggak pernah tau, Ma. Di depan, mungkin mereka memuji kita. Tapi di belakang, kita nggak pernah tau apa yang mereka pikirkan."

"Kalian berdua, hentikan!" Nuraga mengistrupsi. Lelaki itu menatap Jenggala. "Hentikan Jenggala. Terserah apa yang ingin Daksa lakukan. Kamu sudah tau bagaimana sifat adik kamu, jadi jangan menambah masalah."

Kali ini Jenggala benar-benar bungkam. Tangannya terkepal erat namun tak bisa melakukan apa-apa.

Sedangkan seseorang yang sejak tadi terdiam, hanya mengamati keluarganya tanpa minat. Perdebatan sudah biasa terjadi dalam hubungan mereka. Dan selalu Daksa lah yang menjadi pemenangnya.

Ia sudah muak.

◖◖◖

"Bang, tunggu!"

Langkah kaki Sahmura terpaksa berhenti saat seseorang memanggilnya dengan lantang. Ketika menoleh, Sahmura mendapati sosok Jenggala tengah berlari ke arahnya.

"Kenapa?"

"Em ... gue boleh nebeng lo, nggak?"

Dahi Sahmura berkerut bingung. Bukan kah Jenggala tadi pagi berangkat bersama Daksa menggunakan motor?

"Motor lo kemana?"

Sebelum menjawab, Jenggala menarik nafasnya dalam-dalam. "Dibawa Daksa. Kalau lo nggak keberatan, gue berharap lo bisa nebengin gue."

"Anak itu mau balapan lagi?"

"Gue nggak tau, dia nggak mau jawab pas gue tanya."

Sahmura nampak menimang-nimang. Sebenarnya bisa saja ia pulang bersama Jenggala, namun masalahnya, ia harus rapat OSIS terlebih dahulu.

"Tapi gue ada rapat."

"Gue bisa nunggu, kok."

"Tapi lama."

"Nggak masalah. Gue akan nunggu lo di kelas."

"Yaudah. Gue rapat dulu, nanti gue kabarin pas udah kelar."

"Oke. Thanks, Bang."

"Hm," Setelahnya, Sahmura beranjak pergi meninggalkan Jenggala yang tersenyum tipis di sana. Jarang-jarang Sahmura mengijinkan dirinya untuk naik motor kesayangannya.

Kini Jenggala berbalik menuju kelas untuk menunggu Sahmura sampai selesai rapat. Tak peduli jika lingkungan sekolah sudah sepi, karena semua murid sudah pulang saat ini.

Jenggala bisa saja pulang lebih dulu menaiki bus atau tidak ojek. Hanya saja, semua uangnya di rampas oleh Daksa. Anak itu memang sering kali memalak dirinya. Dan hal itu tidak diketahui oleh siapa pun, kecuali ia dan Daksa.

◖◖◖

Sahmura baru saja menutup pintu aula, saat tiba-tiba seseorang menarik ujung jaketnya dengan gugup. Seorang gadis berdiri di samping Sahmura dengan cengiran lebar.

"Kenapa, Liv?"

Gadis yang bernama Olivia itu menatap Sahmura dengan tatapan penuh permohonan. "Gue nebeng lo, ya? Hari ini Abang gue nggak bisa jemput." katanya.

"Yaudah oke. Gue tutup pintu ini bentar."

Jawaban Sahmura membuat Olivia memekik girang. Lalu gadis itu merangkul lengan Sahmura, dan mereka mulai berjalan beriringan.

Sahmura sudah biasa dengan tingkah Olivia yang satu ini. Mereka sudah saling mengenal sejak berada di jenjang SMP. Dan orang-orang yang tidak mengetahui hubungan mereka akan mengira bahwa mereka memiliki hubungan sepesial.

Padahal mereka hanya sekadar sahabat, tidak lebih. Lagian Olivia juga sudah memiliki kekasih yang tinggal jauh darinya. Kekasih Olivia tinggal di Semarang karena mengikuti keluarganya. Hubungan keduanya sudah berjalan hampir dua tahun ini.

Sampainya di parkiran, Sahmura langsung mengambil motornya lalu menyuruh gadis bar-bar itu naik. Mereka meninggalkan area sekolah setelahnya.

Selama perjalanan, entah mengapa Sahmura merasa gelisah tanpa sebab. Seperti ada sesuatu yang salah, yang baru saja ia lakukan.

Namun setelah berfikir keras, Sahmura tidak merasa melakukan apa-apa. Jadi ia kembali melajukan motornya dengan tenang. Di belakang, Olivia juga tidak bersuara apa-apa.

Di sekolah, Jenggala gelisah melihat jam tangannya yang mana arah jarum sudah menunjuk angka pukul lima. Langit di luar sana sudah menggelap karena mendung.

Karena tak tahan lagi menunggu, Jenggala akhirnya berjalan keluar dari kelas. Menuju aula untuk melihat keadaan Sahmura.

Ketika sampai, Jenggala mengerut bingung melihat pintu aula yang sudah tergembok. Artinya, anak-anak OSIS sudah menyelesaikan rapat mereka.

Mendadak, Jenggala terserang gelisah. Bagaimana jika Sahmura meninggalkannya?

"La, ngapain di sini?"

Tiba-tiba, seseorang menepuk bahu Jenggala hingga membuat cowok berlesung pipi tersebut terkejut.

"David?"

David, salah satu anggota OSIS yang berasal dari kelas sebelah. Jenggala juga cukup mengenal cowok di depannya ini.

"Lo ngapain?" Lagi, David bertanya.

"Gue nungguin Abang gue."

"Kak Sahmura maksud lo?" tanya David, yang dijawab anggukan kepala oleh Jenggala. "Lah, rapat OSIS udah selesai dari setengah jam lalu. Kak Sahmura juga udah pulang tadi sama Kak Olivia. Gue nggak sengaja ketemu mereka di parkiran."

Mendadak, Jenggala tak bisa menggerakkan tubuhnya sendiri. Pernyataan David barusan membuatnya lubang di hatinya terasa semakin besar.

Jadi benar, Sahmura sudah pulang terlebih dahulu.

"Ah, gitu. Yaudah, gue pulang duluan kalau gitu."

"Eh! Lo pulang sama siapa? Bareng gue aja." kata David menahan langkah Jenggala.

Jenggala menggelengkan kepala. Bukannya berniat menolak ajakan David. Hanya saja, Jenggala tidak mau merepotkan. Rumah mereka berbeda arah, dan lagi pula langit sudah hampir menumpahkan air hujan.

Jika David akan mengantarkannya, itu sangat merepotkan. Lagian, Jenggala juga tidak mau memiliki hutang budi dengan siapa pun.

"Makasih sebelumnya. Tapi gue pulang naik angkot aja. Gue duluan, ya, Dav."

"Oke, deh. Hati-hati."

Kemudian Jenggala berlalu dari sana dengan rasa kecewa yang ia bawa.



Haii!!

Semoga kalian nggak bosen ketemu aku lagi, dan lagi hehe. Kali ini aku bawa cerita baru, dan akan memperkenalkan Jenggala, Sahmura serta Daksa kepada kalian semua.

Oiya, sebelum memulai ke bab selanjutnya, aku mau kasih tau, kalau aku nggak bermaksud apa-apa. Cerita ini real cuma karangan aku.

Jangan kalian berfikir, kalau anak kedua itu selalu tersisihkan. Enggak, ya. Semua orang tua sayang anaknya dengan sama rata, mungkin cara mereka menunjukkan kasih sayangnya sedikit berbeda.

Satu lagi, di sini, aku cuma kasih visualisasi Jenggala. Sahmura dan Daksa, enggak aku kasih, karena aku nggak mau ada yang salah paham karena biasnya aku jadikan tokoh jahat:)

Jangan berpatok sama visualisasi yang aku kasih. Kalian bebas mau bayangin siapa saja.

Itu saja, semoga kalian suka dan bisa menerima cerita ini dengan baik.

Sampai ketemu lagi di lain waktu.

See you,
love you all

Dunia khayalan,
12 Maret 2022

Continue Reading

You'll Also Like

4.3M 95.6K 48
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
1.7M 72.7K 51
"Jangan deket-deket. Mulut kamu bau neraka-eh, alkohol maksudnya!" Ricardo terkekeh mendengarnya lalu ia mendekatkan wajah mereka hingga terjarak sat...
265K 10.1K 40
"bego ini obat perangsang bukan antimo" #lapakbxb Top : gamma Bot : nelv (mpreg) (BxB)
3.2M 202K 45
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens. "Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gu...