Redamancy [JAEYONG]

By fieanggraa

3.1K 447 180

"Yoonoh berarti sekali ya bagimu? Meski dia sudah tidak ada tapi kenapa dia tetap membuatku iri Taeyongie?" W... More

00.1 ; Taeyong
00.3 ; Jaehyun
00.4 ; Jaehyun
00.5 ; Taeyong
00.6 ; Taeyong
00.7 ; Jaehyun
00.8 ; Jaehyun
00.9 ; Yoonoh

00.2 ; Jaehyun

389 56 36
By fieanggraa

Amsterdam, 20 Januari 2020

7 Tahun sudah aku hidup di negara asing ini. Meninggalkan semua kepunyaanku di Seoul. Yah, bukan tanpa alasan 7 tahun lalu aku memaksa diri hidup mandiri di negeri orang tanpa pengetahuan apapun, benar-benar 0. Bahkan saat itu, bahasa Inggrisku masih minim. Namun, apa boleh buat hidup sendiri dan mandiri di negara asing terdengar lebih menarik dibandingkan hidup dekat dengan keluarga tetapi merasa sendiri.

Amsterdam menjadi kota pilihanku, kota yang kini sudah kuanggap sebagai rumah untuk menghabisi waktu kesendirianku dengan kesibukan yang mencekik, hingga rasanya untuk terpejam barang sejenak pun aku tak bisa tenang.

Besok aku kembali, kembali ke tanah kelahiranku, demi memenuhi undangan pernikahan yang saudara kembarku kirim dari Seoul. Jujur, aku terkejut dengan berita itu, masih setengah tak percaya rupanya Yoonoh sudah akan menikah dengan seseorang yang begitu ia cintai. Aku tau, karena saat ia menelponku ia terdengar antusias, aku langsung bisa mengukur betapa berharganya sosok itu untuk Yoonoh.

Meski kami tidak dekat sejak dulu, tetapi sebagai adik seperjuangannya tentu saja aku tau kakak kembarku itu adalah tipe orang yang sulit jatuh cinta. Jadi, ketika ia jatuh cinta dengan seseorang maka aku tau dia akan sangat menjaga kekasih hatinya.

Jung Yoonoh, lelaki yang parasnya sama denganku. Lahir dari rahim yang sama, dia lebih tua 6 menit dariku, sudah pasti aku adiknya.

Pemikiran kolotku, kupikir menjadi kembar tidak akan ada masalah, maksudku..jelas sebagai saudara kembar seharusnya kami bisa saling berbagi dalam hal apapun, seharusnya kami selalu mendapatkan apapun sama rata karena kami sama...tetapi ternyata aku salah.

Pemikiran kolot itu nyatanya ditebas habis oleh keluargaku sendiri saat usiaku menginjak 5 tahun. Jaehyun kecil saat itu nyatanya dipaksa dewasa oleh keadaan.

Selalu Yoonoh. Yoonoh segalanya dikeluarga kami, tidak sepertiku, ibu dan ayah selalu mengutamakan Yoonoh ketimbang diriku. Tidak heran, karena sikapnya memang berbeda dariku meski kami kembar. Yoonoh adalah murid berprestasi sejak dulu sementara aku hanya tau membuat keributan hingga ibu dipanggil oleh kepala sekolah dulu, jika ia pendiam maka aku si pembuat onar, jika ia penurut maka aku si pembangkang. Sebutkan saja semua hal yang positif maka kalian akan menemukannya pada sosok Yoonoh, lalu sebutkan semua hal negatif maka kalian akan menemukannya di dalam diriku. Begitulah pandangan kedua orang tua kami kepada kami.

Mereka selalu mengutamakan Yoonoh, dibandingkan diriku. Jujur saja, selama 27 tahun hidupku tidak ada 1 hari pun yang kulewatkan tanpa rasa iri pada Yoonoh. Yoonoh dapat dengan mudah mendapatkan segala keinginannya. Sedangkan aku, bahkan untuk berada di posisiku saat ini, menjadi seorang arsitek yang sedang diperhitungkan namanya di Ibukota Belanda ini aku harus mendapat bogem mentah pada kedua sisi pipiku 7 tahun lalu, saking ayah tak merestui cita-citaku ini.

Yah, itu salah satu alasan mengapa aku pergi atau lebih tepatnya kabur ke Amsterdam, bermodal nekat dan tekad bulat untuk mengejar cita-cita menjadi seorang arsitek.

Untuk hal ini, Yoonoh mendapat kebebasan meraih cita-citanya tanpa harus mendapat kekerasan dari ayah.

Kuhisap linting tembakau kering yang menghasilkan asap mengepul di depan wajahku. Aku bukan perokok, hanya untuk saat ini sepertinya memang perlu. Demi meredam rasa kalut yang selalu menghantui tiap kali akan kembali ke Seoul. Deru kendaraan menjadi pengiring suara dalam kesunyian malamku saat ini. Yah, apalagi yang kulihat memangnya selain gedung-gedung tinggi bergaya modern dengan kepadatan jalanannya.

Bolehkah aku berbangga hati, sebab beberapa bangunan yang berdiri di sana adalah hasil rancanganku sendiri.

Lagi, pikiranku memutar kilas balik masa lalu yang seharusnya tak kukenang. Namun, begitu melekat rasa pahitnya. Sampai saat ini, masih terasa membekas sakitnya, meski sudah terlalu lama untuk diingat.

Aku ingat ketika usiaku menginjak tahun ke-10. Yoonoh sakit hari itu, aku tak tau mengapa padahal paginya kami masih bermain bersama, tetapi menjelang siang tiba-tiba saja tubuhnya demam. Ibu, yang saat itu bekerja pun akhirnya pulang lebih awal dengan raut panik yang kutangkap ketika kaki kurusnya melangkah tergesah memasuki rumah, sama sekali tak menghiraukan anak bungsunya yang terduduk cemas dengan air mata mengalir dipipinya di sofa ruang tengah.

Dulu jika Yoonoh sakit, maka aku akan merasa cemas, bahkan sedih sampai menangis. Mungkin karena kami kembar, ikatan batin kami kuat, entahlah apakah Yoonoh merasakan hal yang sama atau tidak ketika melihatku sedang sakit.

Selang beberapa menit, rupanya ayah pun pulang dengan raut yang sama paniknya dengan ibu, lagi-lagi keberadaanku tak dihiraukan. Aku ikuti langkah besar ayah, mendekati kamar Yoonoh yang berhadapan dengan kamarku.

Saat itu aku menangis, benar-benar menangis tersedu. Bukan lagi karena khawatir, tetapi karena...

Aku bisa lihat dari balik pintu yang terbuka, ibu yang memeluk tubuh lemas Yoonoh sambil menangis dengan elusan tangannya yang kuyakin selembut sutra di kepala Yoonoh-aku lupa rasa elusan dari tangan ibu, maafkan aku, terakhir ibu memberikannya kepadaku mungkin saat usiaku sekitar 4 tahun-Kulihat ayah berjalan perlahan memeluk keduanya. Aku tak tau Yoonoh sakit apa, hingga mereka sebegitu paniknya. Pelukan keluarga kecil yang hangat tanpa anak bungsu mereka...hahaha benar,

aku iri.

Yang semakin membuat dadaku sesak saat itu..yaitu ketika dua hari sebelum Yoonoh sakit, aku jatuh sakit lebih dulu, demamku tinggi, aku menggigil kedinginan meski saat itu AC bibi Nam matikan, atas permintaanku. Bibi Nam adalah asisten rumah tangga yang sudah lama ikut ibu dan ayah bahkan sebelum ada aku dan Yoonoh.

Bibi Nam menelpon ibu dan ayah saat itu untuk memberi kabar bahwa aku sakit. Setelah menelpon bibi Nam berjalan ke arahku sambil menatapku nanar, ia mengelus helai hitamku dengan lembut, lalu memeluk tubuh menggigilku. Beliau berbisik kata maaf yang sangat lirih, sambil mengecup keningku seperti perlakuan ibu kepada anaknya.

Aku hanya memejamkan mata menikmati suhu panas tubuhku dan perlakuannya, berharap keajaiban bahwa saat ini yang memelukku, mengusap suraiku dan membisikkan kata penenang penuh kasih sayang adalah ibu atau ayah bukan bibi Nam. Bukan tidak tau, bahwa ibu dan ayah baru saja menolak untuk datang, untuk pulang sebentar menengok putra bungsunya yang sedang sakit.

Jelas aku tau, mungkin bibi Nam tidak sengaja menekan loudspeaker pada ponselnya saat itu hingga aku bisa mendengar dengan jelas apa yang ibu dan ayah katakan. Orang tua yang aku kasihi lebih memilih pekerjaannya yang tak pernah ada habisnya, dibandingkan nyawa putra bungsunya yang hanya satu ini. Haha..sungguh miris kau Jaehyun kecil.

Memang apa yang aku harapkan?

Sejak hari itu aku semakin ditampar kenyataan bahwa memang benar adanya, Yoonoh jauh lebih berharga dibanding aku.

Nyatanya kami sama, tapi diperlakukan berbeda.

Mirisnya lagi, sampai sedewasa ini aku masih tak tau apa kesalahanku hingga diperlakukan seperti ini oleh orang tuaku.

Sejak hari itu, aku tak lagi mengharapkan apapun dari ibu dan ayah. Semakin hari aku semakin terbiasa dengan perlakuan tidak adil dari mereka, meski rasa sakit hati masih terus mengiringi langkahku.

Hari itu juga hubunganku dengan saudara kembarku sendiri merenggang. Aku yang menjauh, bukan Yoonoh. Aku tidak bisa mengontrol rasa iriku. Aku egois, karena tidak ingin Yoonoh selalu melempar tatapan iba padaku saat ayah dan ibu membedakan kami. Aku bersikap seolah aku sangat membencinya. Kenyataannya aku hanya iri dan minder pada Yoonoh, jelas Yoonoh akan menang dalam hal apapun ketimbang aku. Aku yang bodoh karena belum bisa berdamai dengan masa lalu, dengan diriku sendiri, hingga berimbas pada hubungan kami yang masih sangat canggung hingga kini.

Iya, PR-ku malam ini hanya menyiapkan diri dan hatiku untuk bertemu dengan keluargaku yang membuat aku merasa berbeda. Semoga, hatiku sudah kebal saat menerima perlakuan tidak adil dari kedua orang tuaku besok. Atau bolehkah aku berharap jika mereka sudah berubah?

°°°

Seoul, 12 Februari 2022

Aku memandang sendu pintu kamar yang kini tertutup rapat. Kudengar suara isakan tertahan dari dalam sana, tanganku hanya mampu mengambang, pada akhirnya mengurungkan niat untuk membuka handle pintu. Yang kutau saat ini ialah, Taeyong tengah menangis.

Sejak kepulangan kami dari makam Yoonoh istriku itu memasang wajah murungnya, ketika ia memasuki mobil aku bisa lihat wajahnya yang sembab karena menangis.

Apa yang kamu tumpahkan disana, Youngie? 

Apa keberadaanku saja tidak cukup untuk menjadi tempatmu menumpahkan segala keluh kesah? Apa kamu masih bergantung pada Yoonoh, Yongie?

Aku cemburu. Tak apa'kan jika aku merasa begitu?

Aku ingin sekali egois, aku ingin menjadi satu-satunya tempatmu bergantung Yongie. Aku ingin mendekap dan membisikkan kata-kata penenang disaat hatimu kalut, aku ingin tangan ini berguna untuk menghapus air matamu bersama dengan laramu. Hanya aku. Tidak bisakah hanya aku, Yongie?

Bahkan ketika Yoonoh telah pergi dia masih menjadi yang pertama di hatimu. Bagaimana denganku?

Aku menghela napas, memutuskan untuk pergi ke dapur membuatkan susu ibu hamil untuk Taeyong. Aku sampai lupa anakku dan ibunya butuh asupan gizi, saking larutnya dalam perasaan iri, cemburu, dan kecewa.

Setelah menuangkan air panas pada gelas berisi susu cokelat itu, aku membawanya kembali menuju kamar kami.

Kuketuk pintunya hingga dua kali, meski ini kamarku juga tetapi entah mengapa aku segan masuk begitu saja ke dalam. Tidak ada jawaban sama sekali, tetapi aku masih bisa mendengar suara Taeyong sesenggukan akibat tangisnya. Helaan napas berat untuk kesekian kalinya di hari ini kembali kukeluarkan. Entahlah aku hanya merasa....kecewa? Iya kecewa dan cemburu karena Taeyong menangisi Yoonoh.

Yoonoh berharga sekali dihidup Taeyong, aku tau fakta itu.

Apa jika aku mati Taeyong akan menangis seperti ini di setiap peringatan hari kematianku, sama seperti Taeyong yang akan selalu menangisi Yoonoh pada setiap peringatan kematian Yoonoh? Yah, belum tentu Jung, belum tentu kau berharga untuk Taeyong. Bahkan diriku sendiripun meragu. Aku cukup sadar diri untuk hal seperti ini. Mendapat secuil perhatian darimu saja aku sudah merasa sangat beruntung, Yongie.

“Taeyong susumu kuletakkan di meja nakas. Tolong keluar sebentar dan minum susu ini, kamu belum meminumnya sejak pagi,” kataku dengan suara bergetar yang sekuat tenaga kutahan. Lagi, tak ada jawaban. Aku mendesah kecewa, pada akhirnya kuletakkan saja di meja nakas samping pintu kamar. Semoga Taeyong meminumnya nanti.

Inginku mendekapmu dan membisikkan kalimat penenangan. Namun, rupanya akupun perlu menenangkan diri, menjernihkan pikiranku, dan mentralisir penyakit hati yang begitu membuncah ini.

Bagaimana ini Taeyong aku masih belum bisa mengatasi rasa iri dan cemburuku pada Yoonoh atas dirimu? Meski aku tau kau milikku saat ini. Tapi aku tidak sama sekali tak bisa menerka hatimu.

Pada akhirnya aku berbalik, memilih untuk berdiam diri sambil menenangkan pikiran dan hatiku di ruang kerja pribadiku. Berharap semoga besok lebih baik, semoga aku bisa kembali bersikap biasa pada istriku.

.

- Normal pov -

Jaehyun hanya tidak tau ketika dirinya sudah berbalik, Taeyong dengan perlahan membuka pintu kamar. Dengan wajah sembabnya, ia menatap susu cokelat di atas nakas dan punggung lebar suaminya secara bergantian dengan tatapan sendu.

Setelah punggung itu hilang dari pengelihatannya, Taeyong menundukkan kepalanya kristal bening itu kembali jatuh, mengalir di pipinya tanpa diminta. Perasaannya berkecamuk, terlebih perasaan bersalah pada Jaehyun. Nyatanya dirinya masih tidak bisa mengontrol perasaannya, Yoonoh berharga baginya begitupun Jaehyun.
Namun, sepertinya Jaehyun salah paham dengannya.

Taeyong bukan tak ingin menjelaskan, hanya saja menurutnya ini bukan waktu yang tepat, karena suasana hatinya yang terlanjur kacau. Saat ini lelaki manis itu hanya bisa merapal banyak kata maaf untuk Jaehyun dalam hatinya. Dan berharap esok hari semuanya kembali seperti semula, meski Taeyong tak yakin.

Maafkan aku Jaehyun...

Tbc


Ini ngefeel ga si?🙁

Maaf ya gais ini lebih banyak narasinya😭 tapi seiring chapter nya bertambah nanti gak cuma narasi aja kok yang dibanyakin👌

Btw, aku berharap banget loh selain ngevote kalian juga komen hehe..

Selamat istirahat!💜

🐾fie

Continue Reading

You'll Also Like

215K 17.6K 89
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
707K 51.7K 37
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...
67.6K 7.4K 38
Sebuah rahasia yang tidak akan pernah meninggalkanmu...
190K 18.9K 40
Seorang ibu yang kehilangan anak semata wayang nya dan sangat rindu dengan panggilan "bunda" untuk dirinya Selengkapnya bisa kalian baca aja ya luuvv...