IMAMA AL-HAFIDZH

By triilyynaa

9M 955K 167K

[SUDAH TERBIT] Tersedia di Gramedia dan TBO + part lengkap Apakah kalian pernah menemukan seorang pemuda laki... More

⚠️ S P O I L E R ⚠️
01. IAH - Pacaran
02. IAH - Bertemu Seorang Pemuda
03. IAH - Kembali pulang ke Rumah
04. IAH - Imama Al-Hafidzh
05. IAH - Dijodohkan oleh sang Abi
06. IAH - Menikah
07. IAH - Malam Pernikahan
08. IAH - Rumah di dalam Hutan
09. IAH - Cerita dari Imama
10. IAH - Romantis Ala Rasulullah
11. IAH - Tentang Hisab Kelak
12. IAH - Cerita dari Alisha
13. IAH - Bertemu dengan Masa Lalu
14. IAH - Berhenti untuk Berharap
15. IAH - Dua Lelaki itu saling Kenal dekat
16. IAH - Sempurna itu cinta mereka
17. IAH - Kehilangan
18. IAH - Menyimpan Kecurigaan
19. IAH - Kewajiban Seorang Istri?
20. IAH - Tahajud Bersamamu
21. IAH - Romantis Ala Imama
22. IAH - Tiga Gadis SMA
23. IAH - Cinta atau Nafsu?
24. IAH - Kecewa dalam ketidakjujuran
26. IAH - Dia adalah Raden
27. IAH - GUS DAN NING
28. IAH - Tentang Irama, Saudaranya.
29. IAH - Iqbal menjadi lebih baik
30. IAH - Pesantren Al-Hafizma
31. IAH - Uji Keimanan dari Hafizma untuk Imama
32. IAH - Cinta Mereka di Ndalem
33. IAH - Tentang Wanita Tarim
34. IAH - Iqbal putus
35. IAH - Perjanjian Hafizma dan Syarat Irama
36. IAH - Menikah Lagi
37. IAH - Rahasia yang berakibat salahpaham
38. IAH - Kerja Sama
39. IAH - Cinta sang Gadis
40. IAH - Kabar Palsu
41. IAH - Hanya Satu Wanita
42. IAH - Ngidam aneh
43. IAH - Kejadian di Pasar
44. IAH - Berita Bahagia
45. IAH - Mati sama-sama
46. IAH - Hijrahnya Ikara
47. IAH - Hidayah yang datang tiba-tiba
48. IAH - Perkelahian
49. IAH - Ima dan Ama
50. IAH - Mengingat Kembali
51. IAH - Berhati-hati untuk ke depannya
52. IAH - Ziarah ke Makam Bunda
53. IAH - Datangnya sosok Pria Asing
54. IAH - Fitnah diantara dua pihak
55. IAH - Salah paham yang kian Menjadi
56. IAH - Menyelesaikan Masalah dengan tenang
57. IAH - Sakit Demam
58. IAH - Terperangkap di Gudang
59. IAH - Kepergian Sang Nahkoda?
60. IAH - Kepulangan yang Abadi.
EXTRA PART + Pesan dan Kesan
ATHALLAH DAN HAFIZMA, PUBLISH.
IMAMA SEGERA TERBIT!
PRE-ORDER IMAMA AL-HAFIDZH

25. IAH - Pengakuan sebenarnya

124K 15.2K 3.5K
By triilyynaa

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Sholawat, udahh??
Jangan lupa, sholawat dulu.

اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ ، وَعَلَىٰ آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ۞
[Allahuma sholi ala Muhammad, wa ala ali Muhammad.]

¶¶¶

ASSALAMUALAIKUM!

HII UNTUK PEMBACA LAMAA! UNTUK PART INI AKAN LYY UBAH YA! TERMASUK TENTANG STATUS IMAMA. SEMOGA KALIAN TETAP SUKAA😻💐🔥

Dan, dimohon bantuannya untuk tidak menyebarkan siapa Imama sebenarnya. Agar pembaca baru/yang belum baca tidak tahu🙏

Oh iyaaa....

Ini berkat abangg Iqbal loh, kalian gak ada yang mau berterimakasih sama dia?

SIAP? INILAH....

R A D E N K I A N S A N T A N G .

•••

"Pemilik siapa ini?" gumamnya yang belum menyentuh kedua benda itu. Ia tak ingin mengambil sebelum meminta izin kepada pemiliknya.

Cklek!

"MasyaaAllah, Kak Raden!!"

Deg!

Imam mendongakkan kepala. Menatap pintu pemilik rumah itu yang sudah terbuka. Di mana menampilkan sosok anak kecil yang berseru memanggil namanya.

Anak lelaki yang berusia 10 tahun itu, ia berlari memeluk Imam dengan raut wajah yang begitu gembira. Imam pun hanya bisa menerimanya meski dirinya benar-benar sangat terkejut.

"Ini Kak Raden?" tanyanya sekali lagi ketika anak itu hanya bisa memeluk sebatas paha Imam. Anak lelaki itu melepas pelukan saat ia yak mendapat respon apa-apa dari Imam.

"Kak?"

Imam hanya diam.

"Kak Raden?"

Anak lelaki itu menunduk saat ia merasa Imam akan marah padanya. "Apa kami melakukan kesalahan? Kak Raden pergi karena lelah mengajar kami? Atau kami murid yang nakal?"

Imam memejamkan matanya. Mulutnya terkunci tak mampu membuka suara. Karena tak mendapat jawaban apapun, anak lelaki itu mulai mengambil tangan Imam.

"Gus Raden, Jawab...." anak kecil itu terus mendesak Imam dengan menarik-narik tangannya untuk membuka suara menjawab pertanyaannya.

Helaan napas keluar dari lelaki itu. Ketika sudah merasa tak tega, ia pun berlutut menyetarakan dirinya dengan anak lelaki itu. Ia memang sudah sangat melarang para muridnya untuk menyebutnya dengan gelaran itu. Namun apa boleh buat jika itu memang harus terjadi untuknya.

"Jangan marah, Kak...." air matanya mengalir saat ia tak mendapatkan Imam membuka suara.

Imam pun menggeleng pelan. "Saya tidak marah..., sungguh."

"Kalau nggak marah kenapa pergi...."

Imam tersenyum seraya menepuk pundak anak lelaki itu. "Ini? Siapa yang kamu lihat sekarang, hm? Ini saya.... Raden."

Anak kecil itu terkekeh dalam tangisnya, secepat saja ia memeluk Imam dengan erat. Rasanya rindu yang selama ini ia pendam telah berhasil pudar akan pertemuan ini.

"Janji jangan pergi?"

Ucapan anak lelaki itu membuat Imam melepas pelukannya dan kembali beranjak berdiri. Sorotannya menatap mengawasi sekitar. Rasa takutnya pun kembali muncul.

"Gus Den cari siapa?" tanya anak lelaki itu heran saat Imam begitu sangat tidak tenang.

Imam menggeleng, ia menunduk menatap anak lelaki itu seperti ingin berucap..

"Hafizma?"

Satu kalimat itu mampu Imam ucapkan setelah sekian lama ia tak pernah menyebutnya. Namun dalam hati dan doanya, nama itu selalu ia langitkan.

"Mereka?" tanya anak itu balik. "Mereka baik-baik aja."

Imam menghela napas lega. Begitu bersyukurnya saat ia mendengar kabar tentang mereka. Baik-baik saja.

"Gus Den?"

"Iya?"

"Mereka cari Gus Raden... Sampai buat poster kehilangan, lho?"

Imam tersenyum. "Oh, iya?"

"Iya," jawabnya. Yang kini ia mulai berlari masuk ke dalam rumahnya meninggalkan Imam begitu saja. Imam pun hanya menunggu dia kembali seraya menatap sekelilingnya berhati-hati.

Beberapa menit kemudian..

Anak lelaki itu pun kembali dan mendekat ke Imam. "Ini," katanya seraya memberikan sebuah poster kepada Imam.

"Ayo, baca...." lanjutnya lagi. Saat ia melihat Imam tak mengambil poster itu.

Imam pun dengan tenang mengambilnya dan mulai membacanya.

••••••••••••••••••••

HILANGNYA PUTRA SULUNG
AL-AYYUBI

•••••••••••

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته.

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ.....

Pondok Pesantren Al-Hafizma sedang berduka atas hilangnya putra sulung dari K. Hafizh Al-Ayyubi.

Telah hilangnya Gus muda kami yang bernama MUHAMMAD RADEN IMAMA HAFIZH AL-AYYUBI. Atau dikenal dengan sebutan Gus Raden. Kini dikabarkan bahwa beliau telah kabur dari sebuah tempat Club Malam dan hilang tanpa kabar sampai saat ini. Jika ada yang melihat keberadaanya, tolong segera kabarkan kami dengan mendatangi ASRAMA AL-HAFIZMA.

Tertanda, HAFIZMA.

•••••••••••••••••••••

Deg!

Imam membeku di tempat. Rasa gelisahnya kembali datang usai membaca poster itu. Refleks saja ia kini langsung menoleh ke sekitarnya. Namun ia sedikit beruntung, karena poster ini tidak menyebar di wilayah tempat tinggalnya.

Anak lelaki itu yang heran melihat Imam begitu cemas, ia pun segera menyentuh tangan Imam.

"Gus Den...."

Imam menunduk.

"I-iya?"

"Kenapa?"

Hening...

Imam pun mengulas senyum dengan gelengan pelan. "Tidak apa-apa."

"Yakin?"

Imam tak melepas senyumannya, ia pun kini hanya bisa mengelus lembut kepala anak lelaki itu. "Yakin...."

Anak lelaki itu menggeleng tak percaya akan jawaban Imam. "Nggak mungkin. Gus Raden pasti lagi menghindari dari sesuatu. Iya, kan? Gus Raden menghindar dari Hafizma, ya?"

Imam yang mendapat pertanyaan seperti itu, ia pun kembali berlutut di hadapan anak lelaki itu. "Saya tidak marah...."

Air mata anak itu berkaca-kaca ketika menatap Imam. "Kalau nggak marah kenapa pergi?"

Imam menggeleng pelan. "Bukan pergi, hanya ingin beristirahat," tutur Imam begitu lembut seraya menghapus air mata anak lelaki itu.

"Kapan selesainya?"

Imam tersenyum. "Selesai apa, wahai muridku?"

"Selesai istirahatnya?"

Hening....

"Kami rindu Gus Raden ajarin kami mengaji. Ayo, Gus.. Kami rindu ngaji sama Gus Den...." anak lelaki itu berujar lagi.

Imam menggeleng. "Kenapa kalian tidak ke Asrama saja? Bukan kah dekat dari sini? Di sana 'kan, ada Hafizma? Mereka bisa ngajarin kalian mengaji. Atau tidak, kalian bisa sama Kyai Hafizh loh? Di dalam Pondok. Di sana juga rumah kalian, kalian boleh datang ke Pondok kapan saja. Apa lagi jika ingin ke Asrama. Boleeehh banget."

Anak lelaki itu menggeleng. "Maunya sama Gus Raden...."

"Tapi, untuk saat ini saya tidak bisa...."

"Nggak bisa apa? Gus Raden mau berhenti dakwah, ya?" Kaget anak lelaki itu. "Jangan, Gus... Bagaimana tanggapan Rasulullah kalau Gus Raden berhenti melanjutkan dakwah? Bukannya Gus Raden selalu bilang, bahwa kita nggak boleh berhenti berdakwah?"

Imam melebarkan senyumannya. Air matanya tiba-tiba saja turun mendengar penuturan anak lelaki itu. Rasanya, hati Imam tersentuh begitu dalam.

"Lihat ini." Imam menampakkan senyuman manisnya. "Senyuman juga Ibadah dan suatu dakwah, kan?"

Anak lelaki itu bukannya menunjukkan raut wajah ceria, tapi ia malah semakin murung.

"Hei, kenapa?" Imam terheran.

"Takut Gus Raden pergi lagi...."

Hati Imam terasa ditusuk ketika ia terus merasakan sakit saat mendengar keluh kesah dari muridnya. "Tapi saya janji, saya akan kembali. Saya tidak akan pergi jauh."

"Sampai kapan?"

Imam membawa telapak tangan anak itu untuk menyentuh dadanya. "Sampai iman lelaki di depanmu ini kembali."

"Tapi, sekarang iman Gus Raden udah kembali, kan?"

Hening...

Imam menundukkan kepalanya ketika ia tak mampu memberi jawaban lagi. Ketika Imam telah lemah saat ini, tiba-tiba saja membuat sosok lelaki yang tengah mengintip dibalik dinding rumah besar tak jauh dari mereka, itu langsung tersenyum miring.

"Bagus banget. Akhirnya lo kena ke perangkap gue, Ma." Katanya bangga.

Yah. Siapa lagi jika itu bukan Iqbal? Lelaki itu sedari tadi telah meletakkan mobilnya di depan persimpangan. Dan ia memilih untuk berjalan membuntuti Imam secara diam-diam.

Ketika Iqbal kini hendak melangkahkan kakinya mendekat lagi ke Imam, langkahnya kini terhenti saat melihat dua pemuda lelaki yang sedang berjalan tidak jauh dari dirinya itu seraya berbicara. Iqbal yang melihat itu, sedikit ia menyipit untuk mencoba mengenali mereka.

"Itu... Dua inti Hafizma, bukan?" Iqbal berusaha memastikan. "Ah, iya! Gue nggak salah! Itu Hafizma!"

Saat Iqbal telah meyakini siapa mereka, dengan segera saja otaknya langsung berfungsi memberi ide yang begitu sangat bagus. Ia mulau memainkan bola matanya untuk menatap ke arah Imam dan beralih menatap dua pemuda lelaki itu. Tak lama, senyum simpul pun ia tampakkan.

"Mempertemukan guru dan murid yang sudah lama tak berjumpa, itu ide yang bagus, bukan?" tanyanya pada diri sendiri, yang kini ia langsung berganti melangkah berbalik menghalangi kedua lelaki itu.

"Hey! Hey!" Iqbal menghentikan langkahnya tepat di hadapan mereka. Membuat kedua lelaki itu pun menatap satu sama lain dalam raut heran.

"Kamu Islam? Bisakah terlebih dahulu mengucapkan salam?" tanya salah satu dari mereka berdua. Membuat Iqbal sedikit tersentak. Ah, ia kini hampir lupa sedang berbicara dengan murid siapa.

Dengan cepat, Iqbal berucap. "Oh, iya... Assalamualaikum...." sapanya dengan tersenyum.

"Waalaikumussalam." Jawab mereka serempak. "Apa keperluanmu?" tanya salah satu dari mereka.

Pertanyaan itu, langsung saja membuat Iqbal terbelalak kaget. Tunggu, apakah mereka sedang bercanda?

"Kalian.. Gak kenal gue?" Iqbal menyipit.

Mereka berdua menggeleng. "Siapa, ya? Maaf, kami sepertinya lupa. Bisa jelaskan kembali kamu ini siapa? Sehingga kami bisa mengenalimu? Atau mungkin, kamu ini adalah penggemar kami? Ya, kami akui kami ini terkenal."

Deg.

Andai saja Iqbal mempunya kekuatan super merubah manusia menjadi Katak. Akan Iqbal lakukan saat ini juga. Bisa-bisanya dua lelaki itu tidak mengenalinya?

"Dih! Sok Artis tahu, nggak!? Sementang udah jadi pendakwah terkenal, sombong sampai lupa sama temen sendiri!"

Baru Iqbal berucap, mereka pun langsung tergelak bersama saat melihat Iqbal yang terlalu serius akan ucapannya. Iqbal yang melihat mereka tertawa seperti itu pun hanya mampu mendatarkan wajahnya.

Sungguh, mengguncangkan emosi.

Satu pemuda menepuk bahu Iqbal. "Siapa yang sombong sih, Bal? Siapa juga coba yang udah jadi Artis? Terkenal juga enggak!" katanya.

Iqbal menepis tangan lelaki itu. "Ya udah, berarti masih kenal sama gue nih, kan?

"Iya, Bal, Iya!"

"Ngapain di sini, Bal?"

"Nggak boleh? Ya udah gue balik!" hendak Iqbal memutar, namun dihalangi.

"Eh-eh, enggak, Bal! Bercanda. Kan cuma tanya? Ngapain di desa ini?"

Keributan itu. Sontak membuat Imam menoleh ke sumber suara. Terlihat Iqbal, lelaki itu kini sedang bertemu dengan dua pemuda lelaki di seberang sana. Yang tak lain mereka berdua adalah...

"Iqbal? Bertemu mereka?" refleks Imam bangkit berdiri ketika ia terkejut melihat itu.

"Siapa, Gus?" tanya anak itu mendongak menatap Imam.

Imam menunduk kembali menatap anak lelaki itu. Di mana kini beralih menatap topi dan kaca mata hitam di sana. "Em... Halim? Saya boleh meminjam topi dan kaca mata itu?"

•••

"Oh.. Gue? Gue ke sini karena....."

"Iqbal!"

Ketiga lelaki itu pun menoleh ke sumber suara. Terlihat seorang lelaki dengan memakai topi dan kaca mata hitam itu menunduk menghampiri Iqbal.

"Ayo pulang," katanya lagi. Ia semakin menekan topinya agar wajahnya tak terlihat.

Melihat perilaku aneh dari Imam. Iqbal pun mengernyit bingung. Masalahnya, suara lelaki itu tampak dibuat beda.

"Suara lo kenapa?" tanya Iqbal yang membuat Imam menghela napas ketika menunduk.

"Keserek." Imam membalas dengan nada yang ia beratkan. Berharap, suaranya itu tak dikenali.

Iqbal terdiam sejenak untuk mencoba berpikir apa maksud dari Imam? Ketika ia telah mengetahui, ia pun hanya bisa menahan tawa. Sungguh, masih saja mencoba bersembunyi?

"Oh." Jawab Iqbal, yang di mana ia mulai menatap kedua lelaki itu. "Oke, kalau gitu.. Gue pamit pulang, ya?"

"Loh? Nggak mau mampir ke Asrama kita dulu?" ujarnya.

Iqbal menggeleng. "Nggak deh, gue kayaknya mau titip salam aja buat anggota Hafizma yang lain. Oke?"

Kedua lelaki itu mengangguk setuju. "Oke, ya udah, hati-hati di jalan. Jangan lupa, sering main ke sini. Kita dakwah bareng!"

Ajakan mereka, membuat Iqbal tergelak saat itu juga. "Iya-iya! Aman, InsyaaAllah, gue sering main ke Asrama. Kemarin gue juga ketemu sama temen lo berdua di Restoran. Katanya, cari... Si beliau."

Jantung Imam kini semakin lama semakin berdetak kencang. Ia benar-benar panik kali ini. Panik jika sampai Iqbal akan membongkar keberadaanya.

"Oh... Iya. Kami semua memang sampai sekarang masih mencari beliau. Dan sampai kapan pun, kami akan tetap mencari beliau."

Merinding. Itu lah yang Imam rasakan saat ini. Rasa dirinya ingin memeluk kedua pemuda lelaki itu. Lalu membisikan kalimat rindu yang terus ia pendam selama setahun ini. Tapi disisi lain, rasa kecewa masih ia tanamkan dalam dirinya.

Iqbal mengangguk dengan tersenyum. "Gue nggak tahu harus bantu apa. Tapi Insyaa Allah... Gue cuma bisa bantu doa. Berdoa, biar beliau bisa membuka pintu hatinya untuk berani maafin kalian dan bertemu dengan kalian."

Penuturan Iqbal, membuat mereka begitu menghela napas tenang.

"Oh, iya? Btw, itu siapa lo, Bal?" salah satu pemuda menatap ke arah Imam. Iqbal pun terikut menatap sekilas lelaki yang masih setia menunduk itu lalu kembali menatap mereka sambil berucap...

"Oh. Supir pribadi, gue."

•••

"Aduh, Ma! Lepas! Jangan tarik-tarik gue dong, Lailahailallah!" Iqbal benar-benar lelah akibat Imam terus menarik pergelangan tangan Iqbal menjauh dari pemuda lelaki itu.

Ketika Imam telah tampak mobil Iqbal terparkir di sampingnya. Ia pun menghentikan langkah dan melepas tarikan itu.

Helaan napas tenang keluar dari Imam, ia pun berbalik dengan menatap lelaki di hadapannya secara lekat. Iqbal yang dilihat seperti itu, tidak tahan akan tawanya.

"BHAHAHA! Wajah lo kenapa, Ma!? Panik bener!" Iqbal masih tergelak.

Imam mengusap wajahnya kasar saat itu juga. Ia panik, lelaki itu malah tertawa. Apa yang lucu?

"Kamu diam! Atau akan saya suruh kamu untuk menghafal Kitab Alfiy-"

"Astagfirullah, Ma.... Sabar, ya Allah.. Ih, ngeri banget sampai keluar sifat Om Gus pas lagi menghukum santrinya." Iqbal berseru dengan mengelus dada lelaki itu yang sepertinya telah emosi padanya.

"Sabar..." katanya lagi kepada Imam.

Mendengar itu, Imam pun hanya membuang napas kasar dengan memutar bola matanya malas. "Kamu yang cari gara-gara." Ucapnya seraya menepis tangan Iqbal.

"Bukan gue. Mereka juga 'kan, murid lo, Ma? Sahabat-sahabat lo. Nggak baik kalau mutusin silaturahmi."

Imam berdecak pelan. "Apa yang kamu lakukan tadi?" Imam mengalihkan topik lain.

"Gak ngelakuin apa-apa," jawab Iqbal santai dengan merapikan rambutnya di kaca mobil.

"Sengaja kamu membawa saya ke tempat ini?"

"Sengaja dong, ya kali enggak."

Jawaban santai dari Iqbal, lagi dan lagi hanya membuat Imam menggelengkan kepala. "Sudah saya katakan, waktunya bukan sekarang, Bal."

Iqbal menghadap ke Imam. "Kalau bukan sekarang kapan lagi, Ma? Terserah lo deh. Yang penting 'kan, tadi nggak ketahuan? Ya nggak?" tanya Iqbal ketika ia merasa kedua lelaki itu tidak menyimpan curiga pada Imam.

Imam mengangguk lambat. "Iya, tapi... Saya masih..."

"Udah-udah, dari pada lo galau mikirin mereka.. Gimana kalau lo jujur aja sama Adik gue?"

Imam mengangkat alisnya tak mengerti. "Jujur apa maksudmu?"

"Ngaku. Ngaku lo itu siapa?"

"Saya?" Imam menunjuk dirinya sendiri. Iqbal pun mengangguk.

"Ciptaan Allah."

Iqbal tergelak. Jawaban lelaki itu memang benar, tapi tetap saja salah. "Lo adalah?" Iqbal kembali mengulangi.

"Manusia."

"Nggak. Lo adalah...."

"Adik iparmu."

Iqbal kini berdecak kesal ketika melihat Imam selalu menjawab pertanyaan yang sangat bukan ia inginkan. "Oke, sekali lagi ya, Ma? Lo adalah...."

Helaan napas pasrah keluar dari Imam. Ia pun menegakkan tubuhnya dengan menghadap lurus ke arah Iqbal.

"Baik. Saya akan perkenalkan diri saya kepadamu." Imam menjeda sejenak beberapa detik. "Perkenalkan, nama saya adalah....."

Ting!

Terhenti. Pengakuan Imam terhenti saat ia mendengar handphonenya itu berbunyi. Segera saja ia mengambil handphone dari saku celananya.

"Siapa?"

"Istri saya."

Mendengar jawaban itu, Iqbal tergelak kecil. "Ya udah, apa katanya?"

"Dia sudah pulang." Imam kembali menyimpan handphonenya. "Ayo, kita susul?"

"Bentar. Tunggu..." Iqbal menghalangi Imam yang ingin masuk mobil.

"Kenapa?"

"Gue haus. Beliin minum dong?" wajah Iqbal kini terangkat menatap sebuah warung kecil di seberang sana.

Sungguh, sangat gampangnya lelaki itu berucap kepada Imam. Yang harusnya ia sadari, bahwa ia harus sopan kepada Imam. Namun aneh saja saat perilakunya seperti ini, Imam tak pernah memarahinya. Padahal, itu yang Iqbal selalu tunggu.

Menurut. Itu lah yang Imam lakukan sekarang. Ia pun mengangguk dengan menghela napas ringan. "Oke, sebentar."

•••

Imam kini mulai menghampiri warung itu dan ketika ia sadar, ia sekarang berada di mana, ia pun kini kembali memakai topi dan kaca mata miliknya.

Imam berdeham untuk mengubah suaranya agar berbeda. "Assalamualaikum, Buk. Saya.. Ingin membeli dua botol minuman?"

Imam pun mengambil dua botol minuman yang tersedia, di mana ia langsung memberi uang kepada sang penjual.

Ibu penjual itu tersenyum saat melihat uang yang Imam berikan adalah seratus ribu rupiah. "Oh, uangnya besar, ya? Tunggu, Ibu mau ambil dulu kembaliannya." Penjual itu pun melangkah pergi masuk ke dalam rumahnya.

Imam yang sudah menjawab dengan mengangguk pelan itu pun segera duduk menunggu Ibu penjual itu kembali. Lega rasanya jika tidak ada yang mencurigainya.

Belum lama ia terduduk, telinganya tak sengaja mendengar pembicaraan seseorang di belakang kursinya.

"Allah... Tolong beri kami petunjuk. Di mana persembunyiannya?"

Sontak Imam langsung membulatkan kedua matanya saat ia mendengar suara itu tak begitu asing dipendengarannya. Refleks saja ia berbalik untuk menoleh ke sumber suara. Baru sekilas menatap, ia kembali memalingkan wajahnya. Sekitar tiga pemuda yang telah duduk di belakangnya itu.

"Tetap berjuang." Kata pemuda pertama saat ia mendengar keluhan dari pemuda ketiga.

Pemuda ketiga yang memejamkan mata dengan tubuh yang melemas itu langsung terduduk tegak. "Andai aja... Kita nggak lakuin uji nyali itu?"

"Hus. Tidak baik berandai. Ini sudah terjadi." Ucap pemuda pertama.

"Tapi, kan...."

"Kalau diperingatin, itu jangan bandel, Zay...." pemuda kedua angkat bicara.

Pemuda ketiga berdecak. "Kan, cuma mau andai aja. Harusnya 'kan, kita juga percaya. Kalau Gus Raden nggak akan berani ngelakuin itu."

Penuturan pemuda ketiga, kini membuat pemuda pertama kembali menggelengkan kepala dengan menghela napas kasar. "Hentikan pembahasan ini, Zay. Sudah saya bilang, ini semua takdir. Tidak perlu kalian menyalahkan diri kalian sendiri. Dan yang harus kalian ingat sekarang. Saya... Di sini telah menggantikan Gus Raden sebagai pemimpin kedua kalian. Jadi saya mohon... Hargai saya di sini..., dengan tidak kembali memulai keributan atau menyalahkan diri kalian sendiri. Bisa?"

Tegas tapi begitu lembut. Pemuda pertama itu pun akhirnya hanya bisa melihat kedua lelaki itu hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban.

"Maaf, Bhi." Kata pemuda ketiga.

Sedangkan pemuda kedua menatap ke sekeliling warung. "Ini cuma kita bertiga? Dua lagi, mana?"

"Tadi katanya pulang ke Asrama bentar. Kasih makan Moe." Jawab pemuda ketiga. "Btw, Gus Raden rindu, nggak? Sama Moe?"

"Pasti rindu lah."

Pemuda pertama berdeham. "Ya. Ini udah mau waktu zuhur. Kita salat di Asrama atau di Masjid dekat sini aja?"

"Di Masjid aja. Tapi nunggu dua orang itu balik." Jawab pemuda kedua.

"Assalamualaikum...." dua orang pemuda yang mereka nanti kini pun kembali. Mereka pun menjawab salam dengan serempak.

"Lama banget." Ketus pemuda ketiga.

"Ya maaf. Tadi soalnya ketemu tuh, sama Iqbal."

"Iqbal?" tanya pemuda pertama.

"Iya, Bhi."

"Gue juga kemarin di restoran ketemu sama Iqbal." Pemuda kedua menimpal.

"Ya udah. Ini udah mau zuhur, kan? Yuk salat! Ingat, amanah dari Gus Raden yang harus kita sematkan dalam jati diri kita." Tutur pemuda keempat. "Bukan hanya jangan meninggalkan salat, tapi jangan tunda salat sesibuk apapun diri kita. Karena.... Itu adalah hal yang utama."

Mereka pun mengangguk akan ucapan pemuda keempat. Yang tak lama, pemuda keempat menepuk pundak pemuda ketiga. "Gue besok diajak dakwah nih. Di salah satu desa sama Ustaz Ali. Lo mau ikut nggak, Zay?"

"Nggak. Sibuk hafalan." Jawabnya yang kini ia sembari membalikkan lembaran mushaf Al-Quran saku miliknya.

"Maka dari itu. Jaga hafalan, jangan sibuk main sosmed mulu." Pemuda kelima menyindir. Di mana langsung mendapat tatapan tajam dari pemuda ketiga.

"Maksud lo apa, ya? Datang-datang ke sini nyindir begitu?" pemuda ketiga tak terima.

"Nggak. Cuma nanti malu-maluin Hafizma sebagai Hafiz aja." Jawabnya santai. Yang langsung membuat pemuda lain tergelak saat itu juga.

Imam. Lelaki itu yang mendengar percakapan mereka sejak tadi pun menarik sudut bibirnya tersenyum. Dalam keadaan menunduk, ia mampu tertawa kecil saat mendengar canda tawa mereka. Tak lama, air matanya pun berbulir jatuh. Tapi itu bukan air mata kesedihan, melainkan kebahagiaan.

"Hafizma." Imam melirih pelan yang mungkin hanya dirinya saja yang mendengar. "Saya akan kembali memeluk kalian, namun bukan untuk sekarang. Jika sekarang, saya tidak yakin, akan mampu menahan amarah yang belum meredam ini untuk murka atas perilaku kalian. Tunggu saya, saya akan kembali setelah iman saya kembali pulih. Tunggu saya, Hafizma."

Usai Imam membatin. Ia pun menyeka air matanya seraya berdiri saat melihat Ibu penjual itu telah kembali. "Aduh.. Maaf, ya, Nak? Nunggu lama. Soalnya tadi ada Anak Ibu yang minta tolong ambilkan sesuatu. Ini, Nak... Kembaliannya."

Imam yang menunduk itu tersenyum. "Iya, Buk. Tidak apa-apa. Saya lupa tadi ingin mengatakan bahwa uang kembaliannya untuk Ibu saja." Terang Imam.

Ibu itu tersenyum. "Ya Allah, Nak. Kamu baik banget. Sama kayak pemuda-pemuda itu." Ibu itu menunjuk ke arah kelima pemuda di sana. "Mereka itu sering keliling di desa ini, untuk menjaga, kadang juga mengisi kajian Ibu-Ibu juga ngajarin Anak-Anak di sini mengaji loh."

Imam tersenyum mendengar pujian itu. "Oh, Alhamdulillah. Baik sekali mereka, ya, Buk?" Imam berkata bangga, yang seharusnya, ia lah yang bangga.

"Iya, Nak. Warga sini mengenal mereka dengan sebutan Hafizma. Mereka santri Pondok Al-Hafizma yang nggak jauh dari sini. Atau bisa dibilang, mereka itu pendakwah remaja yang dibuat oleh Gus Raden yang terdiri dari 6 anggota. Tapi sayangnya, Gus Raden anak dari Kyai Hafizh pemilik Pondok Al-Hafizma itu... Beliau hilang dari satu tahun yang lalu. Sampai sekarang, mereka masih belum menemukan juga. Padahal, beliau itu baik, ramah, akhlaknya Masyaa Allah, paham agama, dan pokoknya cocok banget deh, jadi penerus Kyai Hafizh di Pondok. Apa lagi, sekarang beliau itu sudah kami anggap pemimpin untuk menjaga desa ini dari Anak-anak yang nakal di luar sana."

Imam tersenyum mendengar penjelesan Ibu penjual itu. "Iya, Buk. Saya rasa, sepertinya Gus Raden juga memiliki alasan tersendiri kenapa dia pergi dan tidak kembali." Imam bertutur lembut. "Ya udah kalau begitu, Buk. Saya pamit permisi, saya doakan dagangan Ibu lancar dan tidak di palak lagi oleh mereka. Assalamualaikum..."

Saat Imam sudah melangkah pergi, Ibu itu menggeleng-geleng kagum menatap kepergiannya. "Waalaikumussalam... Terima kasih ya, Nak... Ya Allah, rasanya kok itu Anak mirip banget sama Gus Raden...." ujar Ibu itu bangga. Sebelum akhirnya ia menyadari sesuatu. "Tapi, kok... Anak itu tahu, ya? Kalau di sini ada pemalakan?"

Ibu penjual itu masih melamun heran, yang tak lama ia kembali membuang pikiran itu dan melanjutkan melayani pelanggannya.

Sedangkan pemuda ketiga yang sedari tadi hanya fokus mengaduk-aduk jus di gelasnya, kini pun sorotan matanya langsung tertuju ke depan menatap punggung seorang lelaki yang baru saja pergi dari warung ini.

"Penampilannya kayak kenal," gumamnya pelan, yang membuat pemuda keempat memukul punggungnya tiba-tiba.

"Zay! Zay! Semuanya aja lo kenal." Ucap pemuda keempat pedas.

•••


Imam. Lelaki itu kini pun masuk ke dalam mobil dan langsung melempar sebotol minuman kepada Iqbal yang sudah berada di tempat duduk penyetir.

"Syukron," katanya berterima kasih. Yang membuat Imam tergelak kecil saat Iqbal berbicara dengan bahasa arab.

"Na'am." Balas Imam.

Iqbal yang telah meminum seteguk itu pun langsung menutup botol minumannya dan langsung melemarkannya ke depan. Lalu sekilas menatap Imam yang seperti melamun.

"Aman?"

Imam menoleh. Tak lama pun ia menganggukkan kepala. "Aman, kok. Tapi tidak sengaja saja bertemu dengan mereka di sana."

"Terus... Nggak nyamperin?"

Imam menggeleng.

"Pengen rasanya gue nyekek lo, Ma." Iqbal berucap jujur. Rasa ia ingin mencekik lelaki itu karena terlalu lama bersembunyi.

Imam menghela napas. "Ya udah, ayo kita susul perempuan saya. Dia pasti sudah lama menunggu sang suaminya untuk menjemput."

Terbelalak mata Iqbal saat mendengar perkataan lelaki itu. "Yi idi iyii, kiti sisil pirimpiwin siyiii... Diyi pisti sidih limi-"

"Bal...." tatapan Imam tajam saat ia mendengar lelaki itu mengejek gaya bicaranya.

Iqbal terkekeh. "Maaf. Tapi sebelum itu, lo harus janji ke gue dulu. Kalau malam ini... Lo harus ngebongkar siapa lo sebenarnya sama Alisha. Setuju?"

Hening....

"Ah, lama mikirnya."

"Okeh." Imam menyetujui.

Iqbal mengulas senyum. "Nah, gitu dong. Sebelum kita jemput nih, sekarang lo buat percobaan perkenalan diri? Biar nanti nggak gugup-gugup banget pas jelasin."

Permintaan Iqbal itu, kembali membuat Imam terdiam berpikir.

"Oke, Ma?"

Imam mengangguk.

"Baik. Saya perkenalkan diri saya kepadamu, bahwa saya adalah putra sulung dari K. Hafizh Al-Ayyubi dan Almarhumah. Asiyah Queen Az-zahra. Tahun lalu, saya telah diamanahkan oleh Ayah saya, untuk meneruskan Pondok Pesantren AL-HAFIZMA. Yang sampai saat ini, saya.. Telah berusia 22 tahun dan masih menjadi seorang pendakwah muda yang memiliki lima santri murid-sebagai pendamping dakwah saya, sekaligus sahabat perjuangan saya. Dia, adalah sang HAFIZMA."

"Saya diberi nama panjang MUHAMMAD agar saya bisa meneladani segala tentang Beliau. Yaitu, Baginda Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam. Saya diberi nama panggilan RADEN oleh para santri-santri saya sendiri untuk lebih mudah dikenali. Saya diberi nama IMAMA agar saya bisa menjadi seorang pemimpin yang baik terhadap Pondok dan juga istri saya. Saya juga diberi nama HAFIZH agar saya bisa selalu menjaga, melindungi dan bertanggung jawab akan segala sesuatu, dan demikian itu, saya telah Hafiz pada umur saya yang telah mencapai 5 tahun. Dan terakhir, saya adalah sang penerus utama dari keluarga AL-AYYUBI. Maka dari itu, izinkan saya perkenalkan diri kepadamu, bahwa nama saya adalah MUHAMMAD RADEN IMAMA HAFIZH AL-AYYUBI."

JRENG JRENG JRENGG!!!

GIMANA SAMA PART INI? PUAS? ATAU MASIH ADA KEJANGGALAN LAGI??😍😍

MAAF YAA, ALURNYA KEUBAHH!! SAYA REVISI SEBAGIAN. SEMOGA TETAP SUKAAA

Cukup ya, ini hanya nama, bukan keturunan kerajaan..
Apalagi Raden Kian Santang.. Itu, bukannya Alwi Assegaf ya? 😊

JADI, IMAM ADALAH..

AYO SPAM LILIN BERSEJARAH 🕯🕯🕯

SPAM TAKBIR! >

SPAM NEXT >

Bay alur lamaa👋👋

22 april 2022
-25 juni 2022

Continue Reading

You'll Also Like

14.9K 6.5K 38
Hiburan dapat ☑️ In Syaa Allah ilmu juga dapat ☑️ "Jika kedatangan kau hanya untuk main-main, kenapa memilih manusia lemah sepertiku, Tsani?" Ayyana...
1.3K 515 12
~Di publikasikan 04 Sebtember 2021 "Bang...bang...bang." Ucap Shezan kemudian disusul oleh Syakira yang antusias seolah-olah memanggil cowok yang bar...
643K 110K 23
[SPIN OFF A DAN Z] Sehabis hujan pasti ada pelangi, tetapi tidak dengan Citra. setelah terlepas dari rasa sakit, ia harus terikat dengan rasa sakit l...
545K 20.7K 34
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...