Caramello Kiss-O

Od Ai_Ailee

771K 20.8K 2.7K

Namanya Mello, panggil saja begitu. Dia cinta mati pada minuman Caramel Macchiato dan uang. Bagaimana kalau a... Více

Caramello Kiss-O
First Meet, First Love, First... - Mello's
Ridiculous? -Alvaro's
Couple of Disaster? - Fabio's
Trouble? Troubles!
Surprise?!
Vienna and The Stories
Lost in Vienna
Goodbye Aleyna
Paradoks
Cium Aku!
Double Kiss
Main Hati
Satu Titik
Lustly Love, Lovely Lust
I Love You
White Flag
BDSM
Maaf, aku mencintaimu...
Pemberitahuan

Bagaimana Kalau...

29.5K 812 69
Od Ai_Ailee

Aku memandang Alvaro tajam dan dia balik memandangku dengan wajah sinis dan tatapan yang tidak kalah tajam sebelum kemudian membuang pandangannya dengan gusar.

“Dia memang ada disini. Tapi bukan berarti aku menemuinya semalam. Sudah kubilang kan? Memangnya kau pikir aku akan bercinta dengan dia?! Shit! Aku tidak berfikir kesana, Fabio,” ia berujar gusar.

“Aku tidak bilang kau bercinta dengannya. Aku hanya khawatir kalau kau terlalu sering berada didekatnya, dia akan membuatmu kehilangan kendali lagi. Jadi bukan tidak mungkin kan…,”

Sreet. Alvaro berbalik dengan cepat dan mencengkram kerah kemejaku. Matanya berkilat marah.

Aku tersenyum datar,lalu menepis tangannya, “Kemampuan bela diriku dua tingkat diatasmu, Roo. Kau tau itu,” kataku mengingatkan. Meski tidak ada niatan untuk adu jotos, tapi emosi Alvaro yang kadang bisa meledak-ledak seperti ini harus di handle dengan menjatuhkan kepercayaan dirinya.

“Tapi bukan berarti aku lawan yang bisa dikalahkan dengan mudah, Bi. Ingat itu,” jawabnya dingin. Aku tersenyum lagi. Kali ini senyum tulus. Aku ingat. Alvaro bisa mengalahkanku beberapa kali dengan mudah. Thai boxing dan Taekwondo-nya bagus.

“Aku senang kau tidak menemui Gavin,” kataku setelah Alvaro melepaskan cengkramannya di kerah kemejaku, “Bukan…bukan karena urusan orientasi seksualmu atau apa. Damn! Aku bahkan selalu lupa kalau punya jalur yang berbeda,” sambungku cepat saat melihat matanya menyipit dengan sengit. Aku tertawa dalam hati. Aku serius dengan apa yang kukatakan. Aku selalu tidak percaya kalau Alvaro gay. Dia sama sekali bukan orang yang suka duduk di club-club sejenis dan mengagumi lelaki-lelaki metroseksual yang lalu lalang. Tapi kalo berkaitan dengan Gavin Rheo, sedikit berbeda. Alvaro benar-benar seperti tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari orang itu. Terpusat pada satu hal itu saja dan itu sungguh membuatku tidak paham sama sekali. Apa mungkin Alvaro gay untuk Gavin saja? Memangnya ada yang seperti itu? Sudah lebih dari tiga tahun aku tau cerita ini tapi tidak juga paham akar permasalahannya selain Alvaro yang memiliki ketertarikan kuat pada Gavin.

“Aku juga tidak begitu paham, Bi. Kalau aku paham pasti aku tidak akan kelimpungan mengatasi masalah otakku setiap kali bertemu dengannya kan?”

Hm, dia benar. Kalau dia paham pasti dia tidak akan bertanya-tanya begini. Sudut kecil hatiku berharap kalau Alvaro hanya memiliki kekaguman semata. Hanya sebatas itu. Sudut hatiku ini bekerja sama dengan pikiran warasku agar menarik Alvaro keluar dari pemikirannya kalau Gavin yang dia inginkan.. Yah, dan sedikit akalku yang terlalu delusional membawa serta kehadiran Mello dan berharap banyak agar dia bisa membantuku ‘menjinakkan’ bagian ‘liar’ dari Alvaro. Tapi ternyata aku malah membuatnya sampai sakit begitu. Ya ampun, aku pasti akan mengutuk diriku habis-habisan kalau terjadi sesuatu pada Mello. Kulirik pintu kamar yang terbuka. Mello belum siuman sepertinya.

“Cih, kenapa wanita-wanita ini tidak ada yang mampu membuatku tertarik? Menurutmu kenapa aku jijik? Bi?” Alvaro bertanya dengan wajah frustasi. Aku menggeleng tidak tau. Alvaro saja tidak paham apalagi ku.

“Kau pernah bilang kalau hanya ada 3 wanita yang tidak membuatmu jijik,” kataku. Oma, Tante Tami, dan Tante Anne. Minus Mamanya, Tante Andien, yang tidak pernah dikenalnya sejak kecil.

“Ya. Dan mereka selalu membuatku membuatku kesal setengah mati,” Alvaro menyahuti. Lagi-lagi aku tersenyum. Kata-katanya berbeda dengan apa yang ada di pikirannya. Khas Alvaro. Apa yang dia katakan kerap tidak sejalan dengan apa yang dia pikirkan. Berbanding terbalik dengan Mello yang selalu mengucapkan isi kepalanya tanpa terkecuali.

“Tapi kau menyayangi mereka setengah mati juga,” kataku mengingatkan.

Alvaro melengos sambil membaringkan tubuhnya di atas karpet tebal, “Kalau aku tidak menyayangi mereka, siapa orang menyedihkan yang akan menyayangi tiga wanita mengesalkan itu?” dia menyahut tak acuh. Aku. Aku menyayangi mereka. Di tambah dua wanita lagi. Ibu dan dia… Aku sama seperti Alvaro. Nyaris tidak banyak wanita yang benar-benar kupedulikan. Ah, sekarang kurasa aku akan menambahkan satu wanita lagi. Mello. Aku tersenyum.

“Bisa kau tambahkan Mello juga? Kurasa tambah satu ‘wanita menyebalkan’ tidak masalah kan, Roo?” usulku.

Alvaro berdecak, “Ada apa dengan otak jeniusmu, Bi? Ada penjelasan yang masuk akal untuk tawaranmu? Yang berlekuk saja tidak menggairahkanku apalagi yang rata begitu. Lucu,”

“Aku tidak bicara tentang gairah,” kuputar mataku dengan lagak bosan. Apa terlalu sering bertemu Franz bisa membuat pikiran jadi tidak jauh-jauh dari urusan ‘gairah-bergairah-menggairahkan’ begitu? Kalau begitu aku harus jaga jarak dari Franz, si buyut dari segala kemesuman yang ada di kawasan ini.

“Mello berbeda dengan wanita yang biasa di sekelilingmu. Kau bisa merasakannya kan? Diluar kecintaannya pada uang, dia itu tulus dan…polos,” kataku lagi.

“Juga bodoh…, ceroboh, konyol…, Hey, aku tidak habis pikir bagaimana dia bisa jadi mahasiswa dengan kemampuan otaknya yang menghawatirkan begitu,”

“Dia gigih, Roo. Kau, yah mungkin aku juga, kita beruntung terlahir tanpa kesulitan materi. Untuk Mello, hidup adalah mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya agar ibu dan adiknya bisa hidup senang dan dia akan senang karenanya. Mungkin dia tidak pintar, tapi dia mau berusaha. Beasiswanya pun dicabut karena nilainya tidak lagi mencukupi. Dia kehabisan waktu untuk belajar karena terlalu banyak mencari cara mengumpulkan uang,”

“Oh Bi, aku tersentuh,” Alvaro bicara dengan lagak terharu ala sinetron stripping. Menggelikan. Kuputuskan untuk tidak lagi memberikan ceramah gratis untuk Alvaro. Itu urusan motivator. Aku tidak ahli masalah beginian. Hidupku sendiri saja masih butuh banyak motivasi.

“Oke, abaikan tentang aku dulu. Kau, kenapa bisa ada disini?” Alvaro bicara tanpa melihat kearahku, “Ini di Wina. Kau tau kan?”

Aku mengabaikan perasaan tidak enak yang menyerangku tadi dengan mengangguk. Memasang wajah tenang. Tapi aku yakin pasti gagal karena sekarang Alvaro menatapku dengan sorot iba. Hey, apa aku semenyedihkan itu? Sudah dua tahun berlalu kan? Aku masih hidup dan baik-baik saja. Dia… juga baik-baik saja.

Aku tercenung lama. Dia baik-baik saja kan? Masih berbafas dengan normal kan? Kuharap begitu. Kumohon dengan sangat agar dia baik-baik saja. Aku akan menyakiti diriku sendiri kalau dia sampai tidak baik-baik saja.

“Padahal mendengar tentangnya saja sudah membuatmu nyaris gila, Bi. Apalagi kalau kau sampai bertemu dengan dia disini. Kau jadi mayat hidup kurasa. Ini bunuh diri namanya,”

“Aku…tidak bisa memantau dari jauh saja, Roo. Berada di negara yang sama saja tidak cukup aman untuk mengetahui kalau kau dan Mello baik-baik saja. Untung aku tepat waktu ya. Kalau tidak Mello pasti kenapa-kenapa…,”

Alvaro memandangku penuh tanya. Aku meringis sedikit. Iya, semalam aku sedikit berbohong saat menelpon Mello. Aku berada di Austria sejak dua hari yang lalu dan dengan kenekatan yang tinggi akhirnya aku sampai juga di kota ini. Wina.

“Aku tidak bermaksud membuatnya sampai begitu. Tapi dia cerewet sekali. Salahkan mulutnya yang suka sok tau itu,” Alvaro bersungut-sungut sebal. Tepat setelah Alvaro selesai bicara, terdengar teriakan Mello dari kamar.

“Mamaaaaaahhhhhh!!!.” Serunya bergema di sekeliling lodge. Ya ampun, untung saja bangunan-bangunan disini jaraknya masing-masing cukup jauh. Teriakan Mello nyaring sekali.

“Kau dengar? Baru bangun saja dia sudah bersuara sekeras itu,” dengus Alvaro, “Pasti dia sadar bajunya sudah diganti dan otak amoeba-nya membayangkan yang tidak-tidak,”

Benar saja, sesampainya dikamar, Mello memandang aku dan Alvaro bergantian dengan tatapan garang.

“Seingatku, aku enggak pake baju ini,” dia menunjuk sweater wool tebal milik Alvaro yang membalut tubuhnya, “Siapa yang gantiin baju aku? Celana aku juga,” lanjutnya seraya menyingkap selimut tebal yang tadi membungkus tubuhnya. Celana panjang berbahan wool yang juga tebal membalut kakinya.

Aku melirik Alvaro. Dia sudah berkacak pinggang dengan wajah menantang seraya berdiri tepat di samping ranjang.

“Aku,” sahutnya cuek. Segera saja pengakuannya mendapatkan lemparan bantal dari Mello. Ehm, dan juga lemparan mainan, emm, maksudku, sex toy. Gila. Kenapa mereka berdua tidak menyingkirkan benda-benda itu, sih?

“Siluman kanguruuuuuuu!!! Beraninya kamu! Otak mesum! Maniak! Porno! Pervert!” maki Mello. Aku menggeser tubuh sedikit untuk menghindari lemparan bantal-bantal itu.

“Diem woy! Berisik! Mau kusumpal bantal lagi mukamu? Mau sampai mati, hah?” bentak Alvaro.

Aku memutuskan untuk jadi penonton disini. Kuhempaskan bokongku ke sofa di salah satu sudut ruangan dan menyaksikan mereka saling teriak. Sampai urat leher putus juga silahkan.

“Kamu udah liat apa aja? Semuanya pastikan? Aku udah ngintip tadi. Daleman aku juga diganti. Ngaku kamu, Roo. Kamu udah liat apa aja? Huwaaaaa…aku enggak bisa nikah kalau gini. Kamu udah lihat semuanya…,” itu suara Mello tentu saja. Dan dia merengek di antara ocehan geram yang meluncur keluar dari mulutnya.

“Bego ya? Bukannya kamu sudah nikah sama aku? Kamu tanya apa yang aku lihat? Woy, aku sudah pegang-pegang malahan,”

“APAAAA?! Alvaroooo. Kamuuuu…isshhhh. Alvaroooo….,”

Aku tersenyum geli melihat Mello yang menghentak-hentakkan kakinya ketempat tidur. Kemana wajah pucat dan tubuh lemas yang kugendong sejam yang lalu? Dia sudah lebih dari sehat sekarang. Gadis tangguh. Hey, apa dia selalu seperti ini? Terlihat kekanakan dan spontan.

“Aku tidak mau mengambil resiko mataku terluka gara-garamelihat tubuh ratamu itu, otak amoeba. Aku mengganti bajumu dari balik selimut. Jadi tidak ada yang terlihat tau. Aku berusaha untuk tidak menyentuh terlalu banyak. Mengurangi resiko iritasi kulitku kalau sempat menyentuh kulit badakmu itu,”

Aku menggeleng putus asa mendengar kalimat demi kalimat yang dilontarkan Alvaro. Untung saja dia tidak begini di depan publik dan media. Bisa hancur imej-nya. Oh iya, ngomong-ngomong soal media, kurasa aku harus segera menyiapkan konfrensi pers sepulang dari sini.

“Kenapa harus kamu yang ganti?”

“Memangnya kenapa? Mau Franz saja yang ganti bajumu?”

Mereka masih berisik. Ya ampun.

“Franz?? Ogaaaaahhhh! Kenapa bukan Fabio aja?”

Hah? Aku?

“Bi? Kau tidur? Tidak dengar gadis mesum ini bilang apa? Dia mau kau yang mengganti bajunya! Parah. Otak mesummu berkolaborasi dengan otak amoebamu?

“Bukaaaaaannnnn. Duh Gusti. Bukan itu maksudku Alvaro. Huwaaaa, bukan itu, Bi. Sumpah bukan itu,”

Aku memejamkan mataku dan mengatur nafas sedemikian rupa agar terlihat seperti sedang tidur. Aku sudah memutuskan tidak ikut bicara. Seperti mimpi saja sekarang. Aku tidak pernah menyangka kalau akhirnya aku kesini lagi. Setelah dua tahun aku kembali kesini. Udara yang familiar dengan indra penciumanku. Juga paru-paruku. Hahaha. Aku berlebihan sekali ya. Aku pikir aku akan menggelepar kehabisan nafas. Ketakutan yang tidak beralasan karena sebenarnya, disinilah tempat aku menemukan udara paling murni untuk paru-paruku. Ya ampun, aku sungguh sudah jadi sastrawan karbitan. Kalimatku menggelikan.

Ya ampun….ya ampun...ya ampun… Kalau dulu mungkin dia sudah berguling-guling tertawa saat aku jadi puitis picisan begini. Memori otakku berusaha memutar sepotong demi sepotong kenangan tentang dia disini. Masih utuh dan jelas sekali. Aku bisa membayangkan seluruh ekspresi yang dia punya tanpa sedikitpun cacatnya. Dia sempurna dalam ingatanku. Bagaimana kalau aku bertemu dengannya lagi setelah dua tahun ini? Bagaimana kalau dia tidak baik-baik saja? Bagaimana kalau dia memandangku dengan sorot mata terluka? Bagaimana kalau… ah, aku kehabisan kata-kata untuk semua kemungkinan.

“Aku kan tidak mati kedinginan, Roo. Lagipula itu gara-gara kamu kan? Kenapa main pergi-pergi aja gitu. Aku kan mau minta maaf. Emmmm, aku suka salju…tapi aku tidak tau kalau salju bisa sedingin itu,”

Suara Mello terdengar. Tidak seheboh tadi karena mereka berdua sudah tidak saling berteriak satu sama lain. Sekejap bisa bertengkar, sekejap lagi bisa sangat kompak dan akur. Yah, setidaknya tidak ada tindak penganiayaan dari Alvaro yang membahayakan nyawa Mello.

Hey, Mello suka salju? Sama. Dia juga.

Aku suka salju…tenang aja, Bio. Aku nggak bakal mati kedinginan. Kamu tu hangat dan kamu ada di dekat aku. Salju jadi takut mau bikin aku kedinginan,

Aku meringis menahan ngilu juga…rindu. Apa kamu masih suka salju? Aku tidak didekatmu. Apa dingin?

Untuk pertama kalinya setelah dua tahun ini, aku kembali butuh menyebutkan namanya lagi. Butuh. Bukan ingin. Aku butuh menyebut nama dia supaya dia tau kalau aku ada disini, dan merindukannya…

Aleyna…

***

“Jadi kemaren kamu beli itu dulu baru nyariin aku?” Mello mengulang kembali pertanyaan yang sama untuk ketiga kalinya dengan intonasi yang naik satu oktaf tiap kalinya. Astaga. Kenapa dia ini? Aku menggumam mengiyakan dengan setengah hati.

“Kalau aku keburu mati kedinginan gimana, Roo??” dia kembali mendesak. Mati tinggal kubur. Repot amat. Tapi aku menghindari melontarkan kata-kata itu. Ada Fabio, dan aku sedang tidak ingin mendengar ceramah gratis tentang cara memperlakukan otak amoeba yang baru sembuh dari demam ini. Ngomong-ngomong, dia ini cepat sekali sembuhnya. Padahal kemarin sempat demam tinggi.

“Alvaro…,” desaknya lagi.

“Ya aku mana tau kalau otakmu sudah separah itu sampai-sampai terpikir keluar rumah tanpa jaket tebal,” aku menyahut ketus.

Dia menggerutu menyalahkanku sembari sesekali mendelik geram kearahku, err…mungkin juga kearah makhluk hidup di pangkuanku.

“Woy, aku membelikan ini untukmu tau. Harusnya kau berterima kasih karena aku sudi merogoh kocek hanya untuk mencarikanmu teman,”

Dia melotot sengit, “Kenapa namanya Mello?!” bentaknya. Aku menahan tawa. Akhirnya keluar juga kekesalan utamanya. Dia marah karena aku memberi nama Mello untuk, err…kucing.

“Karena dia mengeong saat aku menyebut namamu,” sahutku singkat. Aku tidak bohong. White Ragdoll ini mengeong tepat saat aku memaki-maki Mello karena membuatku harus keluar lodge padahal aku sedang sangat ingin bergelung di tempat tidur.

“Tapi dia kuciiiinnggg Alvaroooo. Kucinggg! Kenapa namanya sama denganku? Ganti! Aku enggak mau namaku dikasih ke kucing,” protesnya. Astaga. Kenapa dia harus seheboh ini, sih? Hanya masalah nama. Lagipula ini jenis langka. White Ragdoll dengan mata biru dan colourpoint sewarna caramel yang tidak terlalu dominan. Kesannya jadi putih polos dan itu langka. Sulit sekali menemukan yang begini. Lagipula, untung aku membeli kucing, bukan Pomeranian White Dog ataupun Domba-domba putih. Bayangkan saja Domba putih bernama Mello. Bwahahahaha. Ck, sebenarnya aku mau anak singa putih, tapi illegal dan aku tidak mau di pancung Oma.

“Memangnya namamu jadi habis kalau aku kasih ke kucing? Tidak kan? Astagaaaa, kau benar-benar tidak tau terima kasih Mello,”

“Tapi aku ogah kalau namaku disamakan dengan nama kuciiiinggg. Ganti, Roo. Cepet ganti namanyaaaa. Jangan Mello. Yang lain aja. Apa kek gitu. Puspus, meong, ucil, putih, apa kek ah. Jangan Mello. Aku ogah samaan,”

Aku berdecak kesal, “Bawel ya. Kau saja yang ganti nama sana. Kasih tau aku kalau sudah dapat nama untukmu,” lebih baik aku tiduran di kamar deh daripada terus-terusan mendengar rengekan Mello.

“Dengar. Jaga Mello baik-baik. Kalau sampai dia sakit apalagi mati, kau kumatikan juga,” ancamku. Aku berdiri seraya meletakkan Mello versi kucing di sebelah Mello versi manusia. Oke. Bagus. Dua Mello duduk bersama. Mello versi manusia menatap sengit pada Mello versi kucing. Kucing cantik ini balas memandang Mello dengan wajah angkuhnya, beberapa saat kemudian Mello versi kucing berdiri, berputar dan duduk membelakangi Mello versi manusia. Aku nyaris tersedak karena menahan tawa melihat Mello, ehm versi manusia, mendelik dan menggeram kesal pada Mello versi kucing.

“Aaaaaarrgh, kucing sombong! Lihat tu, Roo. Kenapa aku di kasih bokong begitu? Dia pikir dia keren? Aaaargghhh. Abiiiii…,”

Halah. Ngadu ke Fabio lagi. Aku bersandar di pinggir pintu kamar dengan tangan bersedekap.

“Roo…,”

“Sertifikatnya sudah jadi, Bi. Repot kalau mengurusnya lagi,” potongku cepat sebelum Fabio sempat menyelesaikan kalimatnya.

“Tapi Mello itu namaku, Roo. Masa aku juga harus menoleh kalau nanti kamu manggil Mello ke kucing songong ituuu,” lagi-lagi protes. Ah, bawel amat cuma gara-gara nama ini. Abaikan saja protes otak amoeba ini, abaikan. Aku lapar. Tidak ada makanan dirumah dan Fabio yang baik hati ini tidak mengizinkan Mello memasak dengan alasan masih sakit. Sakit apanya. Terlalu memanjakan. Berlebihan sekali dia ini.

“Jadi sekarang kita makan apa? fastfood lagi? Apa didekat sini tidak ada restoran cina atau masakan Jepang yang bisa delivery?” kataku.

“Roo, namanya…,”

“Masih juga kau protes tentang nama, kucincang kau untuk makan siang. Aku sangat lapar,” sergahku. Mello versi manusia itu mengkeret.

“Kita makan diluar saja,” kata Fabio ia menoleh pada Mello, “Ganti baju, Mel. Pakai yang lebih tebal ya. Aku sudah minta Franz membelikan hoodie wool tebal untukmu kemarin. Lihat di lemari,” ujarnya pada Mello. Nah lihat, Mello langsung menurut patuh setelah tersenyum lebar sampai-sampai aku yakin mungkin mukanya akan terbelah dua oleh senyum selebar itu. Astaga. Apa dia sebegitu terpesonanya pada Fabio. Ya…ya…ya…kalau jatuh hati pada Fabio, siap-siap saja patah hati berkeping-keping. Kasihan kau Mello, masa depanmu masih panjang…Ckckckck.

“Kau tidak ganti baju, Roo?” Fabio mengambil coat-nya yang tersampir di sandaran sofa lalu memasangnya dan menarik keluar sepasang sarung tangan dari saku coat itu.

Are you sure? Wina kota yang tidak terlalu besar. Bagaimana kalau…,”

“Aku sudah memikirkan banyak sekali ‘bagaimana kalau’ sejak kemarin,” potongnya cepat. Oh iya, aku lupa. Fabio selalu berpikiran beberapa langkah lebih jauh. Cih. Menyebalkan sekali kalau harus berurusan dengan jenius seperti Fabio.

So?”

What the worst that could happen, eh? Mati di tempat mungkin?” sahutnya ringan tapi getir.

“Tidak lucu,” aku membuang muka. Mengasihani Fabio, meski aku juga bingung. Hey, aku tidak pernah tau kenapa dia dan Aleyna berpisah. Padahal mereka cocok sekali.

“Ada apaan?” Mello baru saja muncul kamar memandangku dan Fabio bergantian dengan wajah polos penasaran.

“Tidak ada. Di beritahu pun otak amoebamu tidak akan paham,” kataku, “Kau sudah pakai jaket tebal kan? Bawa Mello, kita berangkat,” aku meraih kunci mobil di atas buffet. Keningnya berkerut sejenak sebelum kemudian dia menghentakkan kaki karena kesal.

“Ogaaaaahhh,” Mello merengut. Aku berbalik dan memelototinya.

“Kalau kau tidak mau, kugelindingkan kau di salju,” ancamku.

“Sudaaaaah. Biar aku saja yang bawa,” Fabio lagi-lagi jadi malaikat penolong yang membuat Mello, versi manusia tentu saja, tersenyum selebar lapangan bola. Kasihan…kasihan…kasihan…aku tidak yakin dia bisa menaklukkan hati Fabio. Yang seperti Aleyna saja masih bisa di tinggalkan Fabio. Yeah, walaupun konsekuensinya, Fabio hampir jadi mayat hidup. Sekali sentil, dia bisa hancur berantakan.

***

Huwaaaaa keren…keren…keren…!! Bangunannya klasik kayak istana-istana. Bentu-bentuk lampu penerangnya juga bagus dan unik. Kelap-kelip. Cantik. Pohon yang daunnya sudah gugur kelihatan bagussss sekali dengan salju-salju di rantingnya. Aku berasa lagi di negeri dongeng. Huwaaa, itu apa? Bianglala? Gedeeee! Adudududuh, aku speechless. Sumpah ya. kalau enggak kenal sama malu, mungkin aku sudah jejeritan keliling jalanan ini.

Tempat ini keren badai! Eh, jangan keren badai ah. Badai pasti berlalu kan yah. Ntar kerennya tempat ini berlalu juga dong. Keren banget nget nget pokoknya. Duh Gusti aku belum pernah keluar negeri, eh, sekalinya pergi langsung bisa melihat tempat sekeren ini. Mimpi pun tidak seindah ini. Dulu kalau menghayal pergi keluar negeri juga paling-paling jadi TKW. Setidaknya dapat majikan baik, jadi tidak bernasib buruk seperti TKW-TKW yang dianiaya.

Nah, sekarang aku sampai keluar negeri tanpa berstatus TKW, melainkan jadi istri dan siluman kanguru menyebalkan tapi ganteng. Ditambah bonus ada pangeran paling tampan dan baik hati yang akhirnya datang ke Wina dan menyelamatkan aku dari siluman tampan yang mulut dan kepalanya cuma berisi penganiayaan mental.

“Kita makan di café saja. Agak susah ke restaurant kalau kita bawa Mello. Biasanya restaurant tidak menerima hewan peliharaan masuk,” kata Fabio sambil menutup pintu mobil. Mello? Aku? Sejak kapan… eh, aku sempat melongo bengong melompong kalau saja mataku tidak menangkap sebuah box berisi kucing songong punya Alvaro yang sedang di tenteng Fabio. Ya ampun, aku masih tidak rela dia memakai namaku untuk kucing sok cantik dan songong setengah mati itu.

“Abiii, kamu juga??” protesku kesal, “Kenapa kamu ikut-ikutan panggil kucing itu Mello, Biii?”

“Hah?” Fabio meringis, “Well, namanya Mello kan Mel. Emm, maksudku…,” dia menggaruk-garuk dagunya dengan wajah tidak enak. Disebelahnya Alvaro mengambil box kucing songong itu dengan wajah penuh kemenangan.

“Sudahlah, Mello sayang. Terima saja ya. Kalian punya nama yang sama. Anggap saja Mello ini kembaranmu, hmm?” siluman kanguru ini mencoel pipiku dengan mata tajamnya yang berkilat usil. Sumpah ya, ingin rasanya menancapkan sekop salju di lehernya sampai mati. Apaan kembaran sama kucing. Dimana-mana kembaran itu mirip! Atau setidaknya dari spesies yang sama.

“Tapi…tapi kan…bingung pasti. Iya kan, Bi. Masa kamu panggil aku Mello terus panggil kucing songong itu juga Mello. Ntar rancu, Bi,” aku masih mencoba mencari pembelaan, siapa tau nama kucing super duper songong itu bisa di ganti. Duh Gusti, kalau saja Hotman Paris Hutapea atau OC Kaligis atau pengacara-pengacara kondang bersedia membelaku. Siapa? Farhat Abbas? Oh, tidak usah. Terima kasih.

“Aku ada ide,” cetus Alvaro. Uh oh, perasanku langsung tidak enak. Pasti ide menyebalkan lagi kan? Dari otak siluman kanguru lho ini. Pasti bukan ide yang menguntungkanku. Taruhan deh!

“Mello Kitty,” katanya.

Doeeeenngg…

Aku sampai lupa mengatupkan rahang saking kagetnya. Apa tadi dia bilang? MEL-LO KIT-TY? MELLO KITTY?! Demi Zeus, bunuh aku sekarang! Tolong, jangan bayangkan ada telinga kucing tumbuh di kepalaku kemudian dipasangi pita dan aku berkumis! Demi Tuhan! Kumis kucing!!

“Alavarooooo,” aku menghentak-hentakkan kaki dengan kekesalan sampai ke ubun-ubun. Pengen banget menyumpalkan salju kemulutnya, tapi nanti pasti dia balas lebih parah. Aku tidak mau ambil resiko dijadikan boneka salju olehnya.

“Mello…sini tanganmu. Pakai sarung tangan. Suhunya masih dingin,” Baru saja beberapa detik aku kesal setengah mati, nah sekarang aku senang setengah hidup. Sumpah! Fabio menarik tanganku dan memasangkan sarung tangan untuk membungkus kedua belah tanganku.

“Kamu belum sembuh betul, Mello. Pakai baju hangat yang lengkap. Wina dingin lho,” katanya sambil merapikan sweater dan juga topi wool yang kupakai. Duh Gusti…kalah deh romantisannya Edward sama Bella. Dao Ming Tse sama Shancai doang mah lewat. Han Ji Eun-Lee Yong Jae juga kebanting-banting. Oh, tambah Rahul-Anjeli. Lewaaaatt.

“Sebentar lagi dia mimisan tu, Bi. Pasti otak amoebanya memikirkan yang mesum-mesum denganmu,”

Ish, perusak suasana. Kalau ada tombol delete yang bisa di pakai untuk menghapus Alvaro, ingin rasanya aku menekannya sampai jebol supaya Alvaro ngilang.

Ignore him,” bisik Fabio sambil tersenyum kecil. Aku cekikikan sambil mengangguk-angguk. Lihat kan, Roo. Aku di bela.

Aku mengikuti Fabio yang menggamit lenganku kearah salah satu café yang kelihatan seperti di film-film Hollywood. Klasik-modern. Aku juga bingung bagaimana kesan itu bisa terlihat di tempat ini padahal klasik dan modern kan bertolak belakang ya. Wina memang keren luar biasa!

.

“Ada konser musik di seberang café. Biasanya Fabio suka,” kudengar Alvaro bergumam pelan setelah waitress meletakkan pesanan kami di atas meja. Fabio tadi permisi ke belakang. Tinggal aku, Roo, dan kucing songong yang sedang duduk di kursinya sendiri. Meskipun kata Alvaro kucing itu untukku, tapi aku masih tidak sudi. Apaan kucing songong begitu. Ya kali dia di ajarin jadi kucing sopan.

“Musik klasik ya? Fabio suka yang begituan? Aku enggak ngerti masa,” keluhku tanpa sadar.

“Kan frekuensi otakmu beda,” Alvaro menyahut membuatku lagi, dan lagi, dan lagi, sangat ingin membunuhnya dengan garpu ini.

“Sepertinya tidak khusus musik klasik. Ada biola kulihat di depan bannernya. Berarti konser khusus biola ya,”

Aku menatap Alvaro kagum. Dia sedang kembali jadi Alvaro Dinata yang kharismatik seperti yang wara-wiri di TV. Bukan Alvaro si siluman kanguru yang menyebalkan.

“Aku pengen lihat,” aku lansung antusias. Melihat dari cara Alvaro memandang tempat konser itu dari tempat kami duduk, rasanya konser itu benar-benar menakjubkan.

“Lihat apa?” Fabio sudah kembali muncul dan mengambil tempat di hadapanku.

“Kata Roo ada konser khusus biola ya di seberang café. Aku pengen lihat. Belum pernah lihat orang main biola soalnya. Keren pastinya kan. Duh Gusti, pengen banget masa lihatnya, Emmmh…,” aku menutup mulutku saat sadar kalau aku terlalu banyak bicara dan raut Fabio sedikit berubah, “Emmmh, maaf. Aku kampungan ya. Biaya masuknya pasti mahal kan ya… Biola kan…,” aku menunduk tidak enak hati dan takut-takut mengangkat wajahku untuk melirik Fabio. Aneh rasanya melihat Fabio tanpa wajah dengan senyumnya yang manis dan berganti jadi wajah tanpa emosi begitu.

“Bukan masalah biaya masuknya. Tapi biolanya, Fabio kan…,”

“Kita ke konsernya sehabis makan saja ya. Sekarang makan dulu,” Fabio memotong ucapan Alvaro. Dia tersenyum lagi. Duh Gusti…diabetes, diabetes deh aku. Yang penting bisa terus-terusan lihat Fabio senyum gini. Gantengnya Fabio ini beda.

***

Suara gesekan biola yang mengalun merdu memenuhi seantero ruangan konser ini benar-benar membius. Wina adalah kota seni, dan musik adalah salah satunya. Ruangan yang bisa menampung sampai seribu penonton ini terlihat di padati pengunjung, baik lokal ataupun pelancong.

Sejak tadi beberapa seniman muda yang notabene adalah mahasiswa sekolah musik ataupun pencinta musik bergantian tampil membawakan lagu-lagu yang bukan hanya lagu klasik dan lawas, tapi juga lagu-lagu yang sedang hits. Bahkan tadi Mello sempat ternganga takjub saat ada yang membawakan lagu Gangnam Style dengan menggunakan biola! Kalau saja Alvaro tidak mengancam akan mengikatnya di kursi dengan tali sepatu, mungkin Mello sudah melompat ke panggung dan memeluk laki-laki yang tadi menggesek biolanya.

“Awas kau ya berbuat hal-hal memalukan,” Alvaro mengancam dengan suara bass-nya yang randah dan dalam tepat di telinga Mello, membuat gadis itu mengkeret takut. Ia duduk diam di sebelah Alvaro dan sesekalimelirik kearah Fabio yang duduk tenang di kiri Alvaro. Ish, kenapa aku enggak duduk didekat Fabio aja tadi, sesalnya.

And…the next performer is…hmm, I think she’s well-known among the audience. Sooo, let’s clap your hands for the Goddess…,” MC terdengar menahan suaranya beberapa saat sebelum menyerukan nama, “Aleynaaaaa…,” teriaknya. Sambutan yang di dapat sangat riuh seakan mampu menggetarkan seantero ruangan. Tepuk tangan dan wajah antusias langsung terlihat dimana-mana. Tapi Fabio seakan terhenyak dalam kursinya. Tangannya mencengkram erat sandaran tangan hingga buku-buku tangannya terlihat bergetar. Wajahnya pias. Jantung Fabio berdentam-dentam menghantam di rongga dadanya. Nafasnya tersengal.

“Bi,” Alvaro ikut menoleh dengan wajah tidak kalah kaget. Fabio tidak menyahut. Rahangnya mengatup erat-erat. Saat sosok cantik berbalut halterneck berwarna peach muncul di panggung, Fabio memejamkan matanya seraya mengatur nafasnya yang satu-satu.

“A-aku…kebelakang dulu,” dia lekas-lekas berdiri dan menghilang dari pandangan. Tinggal Alvaro yang terdiam. Dia mengambil Mello yang di tinggal Fabio dan memangku kucing itu. Matanya menatap lurus pada gadis cantik yang sedang menghipnotis penonton dengan gesekan biolanya. Setiap nada mengalun tanpa cacat hingga di nada tinggi dia berhenti mendadak. Membuka matanya yang tadi terpejam saat memainkan biola. Ia tersenyum seraya meraih microphone dan mendekatkan bibir tipisnya dan mulai melantunkan bait demi bait lagu.

When will I see you again…

You left with no goodbye, not a single words was said…

Alvaro tersenyum miris. Lagu ini… Untung kau pergi, Bi. Atau kalau tidak, lagu ini akan menyayatmu. Aleyna…dia menyanyikan lagu ini untuk menghukummu, Bi. Batinnya. Not a single words…

I know I have a fickle heart and a bitterness,

And a wandering eye, and heaviness in my head,

Suara Aleyna masih mengalun bening. Kali ini diiringi biola dari dua orang yang muncul di belakangnya. Mello menyipitkan matanya memandangi gadis itu.

“Hey, itu kan Aleyna! Dia yang pinjamin aku sarung tangan, Roo,” serunya kaget sekaligus senang, “Wow! Dia keren. Sumpah!” puji Mello. Alvaro terhenyak kaget. Aleyna lagi? Dia yang… Astaga, Bi! Takdirmu…

“Fabio mana, Roo?” bisik Mello saat tidak melihat Fabio ada disana. Alvaro tergagap sebelum kemudian memasang wajah stoic-nya lagi.

“Ke toilet,” katanya singkat. Alvaro menelan ludahnya.

“Yah, sayang sekali. Padahal penampilan ini bagus sekali. Aku tidak menyangka kalau Aleyna itu penyanyi,” puji Mello.

“Dia violist. Kau tidak lihat dia main biola,” ralat Alvaro. Lagipula kalau Fabio disini, Alvaro tidak yakin Fabio bisa menatap wajah Aleyna tanpa membunuh dirinya sendiri. Bi, kau benar Bi. Kau melukainya dan dia menunggumu. Alvaro membatin lagi.

“Suaranya bagus,” gumam Mello, “Lihat, Roo! Aleyna menangis!” dia berseru tertahan melihat Aleyna mencapai nada tinggi dengan air mata yang terlihat jatuh dari screen di belakangnya.

And I hoped that you’d find the missing piece to bring you back to me.

Why don’t you remember?

Don’t you remember?

The reason you loved me before

Suara gemuruh tepuk tangan memenuhi ruangan itu. Aleyna membungku sekilas untuk berterima kasih. Ia menyeka air mata yang tadi sempat jatuh di pipinya. Mello bertepuk tangan keras-keras dan kali ini dia berdiri sebelum Alvaro sempat mencegahnya.

“Aleynaaaa,” Mello yang duduk di barisan paling depan melambai-lambai. Jarak panggung yang tidak terlalu jauh dengan kursi penonton membuat Aleyna bisa melihat Mello. Gadis itu tersenyum karena mengenali wajah Mello.

Thanks for coming today all. And… Haura, Meta, thanks again for being my partner,” Aleyna melambai pada dua rekannya dan mendapat sambutan jempol teracung dari dua gadis itu.

Anytime, Goddess,” sahut Haura.

Oh, c’mon. You too? I think the whole country already call her Goddess. When will be my turn, huh?” Meta pura-pura merajuk.

“Never,” ejek Haura. Penonton tersenyum mendengar perdebatan main-main mereka.

Well, that performance will be dedicated for my new friends, from my hometown. Indonesia! Thanks Mellody for coming. Nice to see you, here. Errr, ke backstage kalau mau. Aku pengen cerita-cerita. Hehehe,” Aleyna melambai pada Mello seraya tersenyum manis. Tapi senyumnya mendadak hilang saat mendapati wajah yang memandang kaku kearahnya. Alvaro? Jantung Aleyna berhenti berdetak beberapa saat. Alvaro menonton? Apa…apa dia juga? Tapi kenapa aku tidak merasakan…Ah, dia tidak ada… Aleyna membatin antara lega dan kecewa. Lega karena dia belum tau apa yang akan di katakannya pada orang itu karena sudah meninggalkannya begitu saja tanpa kata perpisahan. Apakah harus memaki-makinya? Menendangnya? Membunuhnya kalau perlu karena membuat Aleyna terpuruk. Kecewa karena tidak bisa melihat sosok yang paling dia rindukan setiap harinya selama dua tahun ini. Aleyna mengumpat dalam hati.

Hey, Goddess. Give the spotlight to another, please,” Haura mengingatkan untuk turun dari panggung karena aka nada penampilan selalnjutnya.

Oh, yeah. Okay. Emm, thanks again. See you,” dia berbalik dengan cepat dan menghilang di balik panggung.

“Hey, Roo. Tau jalan ke backstage?” tanya Mello sambil menyikut Alvaro. Alvaro tersentak kaget dan cepat menguasai dirinya lagi. dia mengangguk.

“Kasih tau aku. Aku mau ketemu Aleyna. Eh, kau mau ikut?” tanya Mello. Alvaro menggeleng.

“Tidak. Kau saja,” tolaknya.

“Emmm, aku ajak Fabio aja kali ya,” kata Mello sambil berdiri. Alvaro dengan cepat menangkap tangan Mello.

“Jangan,” cegahnya, “emm, maksudku, tidak usah. Aku antar kau saja,”

“Oh? Oke,”

Bi, ini gila kan? Kau melihat Aleyna, itu sudah kuduga. Meski tidak secepat ini. Tapi ternyata Mello kenal Aleyna. Dia yang menolong gadis yang mau kau jaga ini, Bi. Apa ini termasuk bagian dari ‘bagaimana kalau’-mu itu?

TBC

Hehehehe. Maafkan untuk cerita penuh typo dan so cheesy saya ini ya. Saya ngayalnya berlebihan deh. Hehehe. Mind to review? Kritik, saran, dan masukannya saya terima banget. Well, next part will be the last day in Vienna. So, apakan akan ada “Goodbye to Aleyna?” (ssst, judul next chapter tu. Hehehe) Muchas gracias. :*

Pokračovat ve čtení