Kisah Nak Dare dan Pengayuh S...

By Sari_Atsumi

67 22 4

Cerita berlatar belakang kota Pontianak di tahun 1940an. Tentang kesaksian sejarah kota yang dibom Jepang di... More

1.| Dari Mata Turun Ke Hati
2.| Pelangi Sesudah Hujan
3.| Segala Kebetulan Ini
4.| Sahabat
5.| Aku Cemburu
6.| Proklamasi
7.| Cintamu Kusimpan Rapi Dalam Hatiku
8.| Lalu Bagaimana Kalau Aku Rindu?
9.| Aku Sayap Cintamu
10.| Bukan Digantung Tak Bertali
11.| 19 Desember 1941
13. |Kita Berdua
14.| Ikhlaslah
15. | Romansa Kapuas
16. |Aksara
17. |The story of Nak Dare and The Boat Paddler --Till the end of time
18. | Mendung Tak Berarti Hujan

12. | Kala Janji Harus Ditepati

2 0 0
By Sari_Atsumi

Kala Janji Harus Ditepati -part 1
*************************
Singkawang, Desember 1941

Truk tentara itu menurunkan aku di jembatan Agen...lalu kaki ini melangkah terburu-buru ke belokan itu, Kampung Tengah, rumah orang tuaku di situ..tempat kelahiranku, masa kecilku...menawarkan rasa aman dan perlindungan yang hangat...hari telah menjelang Magrib, langit jingga bersemburat biru muda..

Ah itu dia, ayah berdiri di beranda seperti biasa menjelang Magrib, sebelum ia menutup pintu dan jendela lalu bergegas ke masjid untuk mengumandangkan adzan..

"Yah!"... Panggilku.

" Ani..kau balik?", tanyanya...maksudnya 'kau pulang?'

Wajahnya membiaskan keheranan..jelas ia belum tahu pemboman di Pontianak..

Kutapak tangga beranda, mencium tangannya.. Ayah memandangiku heran..

"Mane barang-barangmu? ..Kau balik dengan siape ?.. Ngape kau berantakan macam itok ?" Rentetan pertanyaan itu otomatis keluar dari mulutnya.

Aku masuk ke ruang tamu dan bilang, "Nanti aku ceritakan ayah.. Mana mamak?"

Kakiku terus melangkah menuju dapur, biasanya mamak ada di situ...sibuk menyiapkan makan malam...nah itu dia..masih memegang teropong peniup tungku api.

" Mak, aku balik"..seruku lalu mencium tangannya. Wajahnya bingung.

Ayah mematung di ambang pintu dapur..menunggu penjelasanku..kupaparkan kejadian hari ini...dari awal hingga akhir...mamak memelukku erat..sementara ayah berucap istigfar.

Esok dan esoknya lagi sembari menghabiskan waktu bersama saudara dan orangtua, aku mendengar kabar Jepang telah masuk ke Pemangkat, Sanggau Ledo, dan Pontianak....hingga suatu sore.

"Ani..buatkan teh, dua", demikian perintah mamak yg muncul tiba-tiba saat aku tengah sibuk meniup-niup tungku api..aku tengah memasak asam pedas kepala manyong kesukaan ayahku..pasti ayah kedatangan tamu, pikirku.

Kusambar kerudung di pintu sebelum membawa baki berisi teh ke ruang tamu...dan sejenak aku membeku di sana...

Ya...yang duduk berseberangan dengan ayah adalah dia..dia yg pergi ke Singapura dan berjanji kembali untukku..dia Hamid.

Sontak tanganku dingin..dingin sekali...kuletakkan dua cangkir teh itu..tak mampu berucap..hanya saja bersyukur..dia selamat dari huru-hara.

" Ani..benar ini Hamid, kawanmu dari Pontianak?" Tanya ayah.

"Iya", jawabku.

" Ia melamarmu." Kata ayah.

Deggg...jantung ini rasa terlompat .

"Kalau kau bersedia, Dinda." Kata Hamid.

Ah, senyum itu...begitu mempesona.
Bagaimana harus kujawab?...Aku juga ingin bersamanya...tapi malu..

****

Kisah Nak Dare dan Pengayuh Sampan ---Kala Janji Harus Ditepati---part 2
*************************
Singkawang, masih Desember 1941

Aku duduk di kursi ayah tadi...Hamid di seberangku...kami duduk dalam diam..menyadari betapa beruntungnya bisa berada dalam waktu dan tempat yang sama di tengah ketidakpastian rasa aman di negeri ini.

Aku tahu di balik pintu kamar-kamar itu ada telinga yg menempel erat...menguping penuh keingintahuan...ah, adik-adik yang penasaran.

Dan aku juga tahu dari balik gorden arah ke dapur ada ayah dan mamak di situ..mengawasi dan mungkin hampir tersedak oleh rasa bahagia karena anaknya telah dilamar oleh seorang laki-laki pemberani yang datang sendiri dari Pontianak dalam situasi darurat perang seperti ini.

"Kapan dari Singapura?" tanyaku...memecah kesunyian..karena tampak Hamid begitu larut dalam diamnya.

"Kemarin sampai Pontianak...aku menumpang sana-sini untuk sampai di Ponti..Jepang sudah masuk ke mana-mana.." Itu jawabnya.

"Ya, aku di Ponti saat bom sembilan itu..lalu pulang ke sini.." Ujarku.

"Aku takkan bertanya kapan kau kembali ke Ponti, dinda sayang..." Ia berhenti sesaat, mencari mataku..kutatap ia sedetik lalu mengalihkan pandangan ke sampingnya...mana aku sanggup bertatapan dengan manusia yang begitu indah di hadapanku ini ?

"Akulah yang seharusnya membawamu kembali ke Pontianak." Lanjutnya.."Aku takkan bisa kehilanganmu saat ini..dinda sayang.."

Ah, gombal..rutukku dalam hati. .tapi tak urung senyum terbentuk di dibibirku.

"Kanda melamarku tadi?" tanyaku.

"Ya..pada ayahmu..dan katanya ..terserahmu.." Jawabnya.

Uh..mengapa pipi ini terasa panas tiba-tiba.

"Jadi..hm..maukah kau Ani, menjadi istriku...untuk menemani hidupku?" Pintanya.

Aku ingin bilang iya...tapi kok bibir ini diam saja.

"Ani..." Panggilnya.

"Ya..aku mau." Akhirnya keluar juga suara itu.

"Aku akan datang lagi nanti bersama keluargaku..aku akan menikahimu di sini, di kotamu..aku akan mengikuti adat kebiasaan di sini..aku ingin mengambilmu dari orangtuamu tanpa mengabaikan pengorbanan mereka atasmu.." Katanya tanpa jeda.

Aku tergugu menangis pelan..air mata menetes tanpa bisa ditahan.

Penghargaan yang begitu besar atas nama cinta..bagaimana aku membalasmu, kanda?
Hamid mengulurkan tangan hendak meraih jemariku..tapi diurungkan..ditariknya kembali tangannya.

"Kau kenapa?" Tanyanya polos..ah, dasar lelaki...tak bisa menebak rasa haru seorang perempuan.

Aku berusaha tersenyum dan menghapus airmata.

"Aku tak apa-apa..terima kasih, kanda.." Seulas senyum ini kuharap mampu menghapus kebingungannya.

"Kau manis sekali bila tersenyum.." Pujinya.

Yah, serbet dapur ini terpaksa melayang ke arah Hamid..menjawab godanya itu.

****

Kisah Nak Dare dan Pengayuh Sampan ---- Kala Janji Harus Ditepati---part 3
*************************
Singkawang, masih Desember 1941

Ayah meminta Hamid bermalam karena memang sudah tidak ada lagi kendaraan yg menuju Pontianak..selain itu, Jepang juga memberlakukan jam malam..lewat jam delapan dan masih berkeliaran, akan ditangkap.

Sehabis Isya, ayah dan Hamid makan berdua di meja makan yg memang cuma dua kursinya..entah apa saja yg mereka cakapkan..aku menunggu saja di ruang tamu sambil menemani adik-adikku belajar.

Lalu muncul ayah ke ruang tamu, tanpa bicara ia menuju kamarnya..tak lama Hamid muncul dan duduk selonjoran seperti aku..bersandar pada dinding.

Adik-adik saling berpandangan dalam senyum dikulum..tampaknya mereka malu..lalu segera mengemasi buku-buku dan bergegas ke kamar.

"Sekolahmu berganti jadi sekolah milik Jepang..ibu kepala sekolahmu telah pergi mengungsi..semua milik Belanda diambil alih Jepang." Hamid membuka suara.

"Belanda sudah menyerah?" tanyaku.

"Sepertinya begitu..orang-orang di Pontianak sekarang banyak yang mengungsi..terutama yang Belanda."

"Kalau aku kembali...sudah tak ada apa-apa lagi untukku ya.." Aku gundah.

"Dinda, kau itu guru..dimana pun berada, kau selalu bermanfaat.."

"Tapi sekolahku? Rencana magangku? Asramaku ?"

"Mulailah sesuatu yang baru..kau bisa mengajar di mana saja kan? Di kampungku, tepian Kapuas itu, ada sekolah yang sepertinya kekurangan guru.."

Pintu kamar ayah berderit karena dibuka..Mamak keluar menyeret selembar kasur dan bantal..buru-buru Hamid menyambutnya..lalu mamak balik lagi ke kamar dan menyodorkan seprai serta selimut padaku, maksudnya agar aku yang menyiapkan kasur untuk Hamid.

"Tidurlah, esok pagi kalian pergilah ke pasar. " Itu saja ucap mamak lalu kembali ke kamarnya.

Sembari merapikan kasur, aku teringat bisik-bisik mamak tadi sore..katanya Hamid membawakannya satu helai kain corak insang titipan ibunya..nah mamak ingin membalas, tentu atas persetujuan ayah, memberikan kain tenun Sambas kepada orang tua Hamid.

Esok Hamid akan pulang ke Pontianak, kami akan berkirim surat sebelum hari yang ditentukan tiba untuk dia dan keluarganya datang ke Singkawang.

"Kau ingin tidur sekarang, Dinda?" tanyanya.

"Kanda ngantuk?" Aku balik tanya.

"Akan ada saatnya kelak kita habiskan malam-malam panjang berdua.." Bisiknya.

Suaranya bernada menggoda.
Aku berdehem..lalu pergi ke kamarku..senyumnya manis sekali...ah, kakanda.

Esok paginya kami berboncengan naik sepeda ayah ke pasar Beringin utk membeli sedikit oleh-oleh dan ke toko kain sekaligus toko jahit milik orang keturunan India..Kami berhenti di halaman mesjid Raya dalam perjalanan pulang..Hamid ingin sholat Dhuha sejenak di sana.

Ternyata di sana ada sedikit kerumunan orang...kudengar sayup-sayup mereka bicara kalau Jepang mulai inspeksi dan mencari tokoh-tokoh masyarakat untuk ditangkap dan ditahan tanpa batas waktu..Darahku mendidih...ini apa?? Kami pemilik negeri ini malah terasa bagai tawanan.

"Ani, berdoalah sepanjang waktu untuk keselamatan kita semua..hari-hari ke depan mungkin akan lebih sulit dari sekarang.." Hamid berpesan serius..lalu terdengar desingan peluru..dan Hamid terhuyung..aku langsung panik, ada apa ini?? Darah mengucur dari bahu kanannya..rupanya ia tertembak!!

Semua lalu terjadi seolah dalam gerak cepat, orang-orang meraih tubuh Hamid yang mulai pingsan..lalu membawanya ke rumah sakit Santo Vincentius di daerah Pasiran.

****

Kisah Nak Dare dan Pengayuh Sampan ---- Kala Janji Harus Ditepati---part 4
***************************
Singkawang, masih Desember 1941

Hiruk-pikuk para lelaki membawa Hamid ke rumah sakit...membiarkan aku terdiam sepanjang jalan hingga masuk kamar operasi.

Seorang lelaki menyapaku, "Kau anak pak haji So'od keh?"

"Iye, saye Ani" jawabku.

"Biak laki iye sapemu?" tanyanya.

"Calon suami saye,"

"O aoklah, kau di sitok ajak, aku yg ngabarre' ayahmu."

"Makkaseh ye bang" sahutku.. Lalu ia pergi, aku menghempaskan diri di kursi ruang tunggu..entah berapa lama operasi mengeluarkan peluru itu selesai..mengapa harus Hamid.., mengapa ?
Kutangkupkan kedua tangan di wajahku.

Aku takkan menangis, aku harus kuat dan sadar, Hamid sekarang adalah tanggung jawabku.

Ayah datang saat Hamid telah dipindahkan ke kamar perawatan..Ia menyerahkan rantang padaku, "Makanlah, lalu sholat.."

Aku menuruti perintahnya..ayah duduk di bangku samping ranjang dan mulai membaca hapalan Qur'annya. Kali ini surah Yasin.

Ia juga membawakan beberapa potong kemejanya yang telah dikelantang rapi oleh mamak. Juga celana untuk ganti. Hamid masih tidur, dalam pengaruh bius..infus tergantung di sudut tempat tidur. Sebutir peluru nyasar berhasil dikeluarkan dari bahu kanannya..entah mengapa harus Hamid yang tertembak hari ini.

Hamid tersadar sore hari..ia tak banyak bicara, sepertinya agak sulit..tapi matanya menatapku terus, seolah mencari tumpuan.

Ayah bersikeras menggantikan pakaian Hamid dan memintaku menunggu di luar..lalu ia pergi menemui dokter.

"Dinda..jangan pergi.." kata Hamid.

"Aku di sini.."

Lalu keheningan kembali merenda waktu..sampai ayah kembali. Ayah menarik kursi lalu duduk dekat kami.

"Kalian menikah malam ini. Selepas magrib." Itu sabdanya.

Aku dan Hamid berpandangan..tak mengerti mengapa jadi tiba-tiba begini.

"Kalian terpaksa harus berdekatan dan bersentuhan karena keadaan ini..jadi sebaiknya telah halal untuk masing-masing..malam ini akad saja, perihal acara itu terserah kesiapan Hamid..Ayah hormati keinginan Hamid untuk memberimu acara pernikahan sesuai adat melayu, tapi kita tetap harus menjunjung syariat.."

Aku tertunduk menatap lantai.

"Saya harus mengirim telegram pada keluarga di Pontianak," kata Hamid.

"Tadi sebelum ke sini, ayah sudah mengirim telegram, sesuai nama dan alamat yang kau sebutkan kemarin."

"Terimakasih, ayah." Ujar Hamid.

"Pamanmu dan pak Mursal tetangga kita akan datang untuk menjadi saksi.." Lalu ayah merogoh saku kemejanya, mengeluarkan sebentuk cincin emas.

"Mamakmu memberikan ini, untuk mahar".

Diberikannya padaku..kupandang
Hamid..wajahnya haru.

Dan demikianlah..selepas Magrib..di kamar rumah sakit itu, ayah menikahkan aku, dengan mahar sebentuk cincin dan ucap ijab qobul yang begitu mantap oleh Hamid. Aku sah menjadi istrinya.

Aku berbisik alhamdulillah dan semua yg hadir berucap barakallah.
Kembali tangan ini dingin..dingin sekali saat Hamid meloloskan cincin di jari manisku..longgar memang, tapi sentuhan itu menyengat.

Ayah dan mamak mendekatiku, menyelamatiku..bagaimana aku membalas jasa kalian wahai malaikat-malaikatku ?

Airmata menetes saat kupeluk mereka.

" Ayah dan mamak pulang dulu. Kau jagalah suamimu, Ani." Demikian kata ayah sebelum beranjak pulang.

Lalu pintu kamar kututup..dan tak kubuka hingga subuh menjelang.

***sesungguhnya berjanji adalah mudah, menepati itu butuh niat dan perjuangan, sekali menapak, insyaallah ada kemudahan..Sekali layar terbentang, surut kita berpantang-pepatah melayu.

Pontianak, 17 Februari 2018, saat kebakaran lahan gambut menyumbang kabut asap dan debu.

Continue Reading

You'll Also Like

4M 196K 101
โœ… "We always long for the forbidden things." ๐๐ฒ๐ฌ๐ญ๐จ๐ฉ๐ข๐š๐ง ๐ง๐จ๐ฏ๐ž๐ฅ โ†ฏ โš”๏ธŽ ส™แดแดแด‹ แดษดแด‡ แด€ษดแด… แด›แดกแด แด„แดแดส™ษชษดแด‡แด… โš”๏ธŽ ...
417K 16.9K 122
It all started when Princess Catheline married the dangerously attractive and recently crowned King of Anthreal, Xander. After their marriage, he ne...
43.8M 1.3M 37
"You are mine," He murmured across my skin. He inhaled my scent deeply and kissed the mark he gave me. I shuddered as he lightly nipped it. "Danny, y...
10.3M 772K 88
Marriage had always been my dream but not to a man about whom I know nothing. The moment my father fixed an alliance of me to a Prince without even t...