Playlist : Lana Del Rey - Love
London, Inggris | 4 PM |
Rumah itu tampak kusam. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Didukung oleh pohon-pohon yang kering membuatnya terlihat angker.
Pria itu melangkahkan kakinya dengan berat menuju pekarangan rumah bernuansa suram itu. Meskipun suram dan tampak tak berpenghuni, dia tidak takut melangkah masuk ke sana. Malahan hatinya semakin tak sabar untuk dapat melihat kondisi rumah itu.
Setelah bertahun-tahun pergi meninggalkan Inggris untuk bersekolah di Amerika, rasanya tidak ada yang berbeda dari tempat ini. Hanya saja, beberapa kayu pendukung rumah itu sudah mulai lapuk. Juga, pohon-pohon yang dulu masih pendek, kini sudah menjulang tinggi dan melewati atap rumah. Lalu daun-daun berserakan di teras rumah.
Dia menatap dari pagar, rumah itu masih berdiri kokoh meskipun sudah lama ditinggalkan. Sekalipun rumah kosong, namun dia selalu menyuruh seseorang untuk menjaga dan merawatnya. Namun, tidak menyentuh sedikitpun ornamen rumah yang tersisa.
Drake memantapkan langkahnya untuk mendekat. Sesak di dadanya semakin parah saat ia sudah berada di depan pintu rumah. Ia menatap sekeliling dengan nanar. Perasaan ini kembali muncul, padahal dia sudah mencoba melupakannya, nyatanya itu hanya usaha yang sia-sia. Drake takkan pernah bisa melupakan semua kenangan di rumah ini. Rindu adalah perasaan yang sangat mendominasi hatinya. Sudah cukup lama Drake menahan rindu yang tidak akan pernah bisa ia dapatkan. Drake sadar dan tahu bahwa perasaan ini akan selalu menghantuinya.
Drake membuka pintunya yang memang tidak terkunci. Ia masuk. Melihat sekelilingnya, sangat banyak kenangan yang tersimpan di rumah ini.
Tiba-tiba seorang pria berlari dan menabraknya. Dan anehnya, Drake tidak merasakan sakit apapun. Dia masih berdiri di tempatnya. Orang itu akan menembus dirinya.
Ia menoleh ke belakang, di sana Drake bisa melihat dirinya yang mengenakan seragam sekolah sedang berkejar-kejaran dengan seorang gadis yang lebih muda darinya. Mereka sangat asyik. Mengabaikan dirinya disini. Dua orang remaja itu bersemangat sekali, lalu Drake muda berhasil menangkap gadis itu dan memeluknya. Senyumnya kala itu sangat bersinar. Wajah Drake sumringah, begitupun si gadis yang tertawa keras karena Drake menggelitik perutnya.
Lalu di perapian, gadis itu sedang duduk di sofa panjang dan memangku kepala Drake, pria itu tengah selonjoran sembari membaca buku pengetahuannya. Gadis itu hanya makan dan menyuapi Drake begitu banyak stroberi. Mereka begitu mesra.
Lalu mereka berpindah, gadis itu tengah bernyanyi diiringi musik piano yang dimainkan Drake. Lagu favorit mereka adalah When You Say Nothing at All oleh Ronan Keating.
The smile on your face lets me know that you need me,
There's a truth in your eyes saying you'll never leave me,
The touch of your hand says you'll catch me wherever I fall,
You say it best when you say nothing at all.
Namun setelah kematian gadis itu, Drake tidak pernah memutar lagu itu lagi. Sangat menyakitkan bahkan untuk sepenggal lirik yang selalu diingatnya akan menyebabkan dirinya menangis dan menangis. Lagu itu adalah lagu favorit keduanya. Setiap ada waktu, mereka akan selalu menyanyikan lagu itu bersama-sama. Lemah karena wanita. Itulah dirinya. Drake mengejek dirinya sendiri yang sangat payah.
Nyatanya itu hanya bayangan sekejap saja sampai ia tersadar bahwa itu semua hanya kenangan bersama sang gadis di rumah tua ini.
Rumah papan ini adalah kado ulangtahun dari Daddy-nya saat dia berusia dua belas. Drake sangat berbeda dengan Abeth yang lebih suka sebuah mansion mewah daripada rumah papan.
Air mata Drake menetes. Ia melangkahkan kakinya ke sebuah pintu kamar. Membukanya dan masuk.
Melangkah mendekat kesebuah ranjang dan duduk di sana. Ranjangnya begitu dingin dan sudah mulai lapuk. Drake mengelus kasur disertai senyum kecutnya.
"I miss you, Leah Orsyne." Mata Drake tampak berkaca-kaca, meski air matanya tidak mengalir. Sudah berapa banyak waktu yang dilaluinya tanpa Leah?
Gadis itu bernama Leah. Cintanya. Gadis manis dengan netra coklat dan lesung pipinya yang sangat dalam. Wajah gadis itu sangat teduh. Drake sangat suka memandanginya.
Sejak rumah ini menjadi miliknya, Drake mengisi suasana rumah dengan mengundang Leah untuk bermain. Sejak mereka junior, Drake dan Leah sering menghabiskan waktu bersama.
Jika salah satu dari mereka sedang bersedih, mereka akan lari ke rumah ini dan bermain hingga kesedihan itu sirna digantikan oleh tawa bahagia.
Mereka mengisi hari-hari di rumah ini, setiap pulang sekolah hingga sore menjelang.
Drake keluar dari kamar itu dan menuju pintu keluar belakang. Ia menarik nafas dalam. Sangat susah untuk mengingat kenangan itu lagi, karena sudah lima belas tahun gadis itu pergi meninggalkannya, namun belum ada orang lain yang mengisi hatinya lagi. Sangat kosong. Hampa. Gelap.
Terdapat lapangan bulu tangkis. Leah sangat ahli dalam olahraga ini, Drake yang payah selalu kalah darinya. Garis-garis di lapangan sudah hilang juga catnya yang memudar.
Sebuah pohon besar menarik hatinya. Pohon itu dikelilingi oleh banyak lumut hingga menutupi batangnya.
Drake mendekat dan mencabuti lumut itu pada suatu titik. Hingga tidak ada lagi lumut, sebuah ukiran masih terlihat jelas pada bagian batangnya.
D & L
Itu adalah inisial mereka. Drake sangat ingat, jika dulu mereka selalu memanjat pohon itu yang dulunya masih belum terlalu tinggi dan mengukir nama mereka di setiap pohon. Semua pohon sudah mereka tandai tanpa ada tersisa.
Dan setelah lima belas tahun lamanya, semua masih tersimpan.
Ia tidak ingat sudah berapa lama ia tidak kesini. Namun, aroma gadis itu masih melekat disini. Wewangian kayu Cendana. Itu juga merupakan aroma favorit Drake. Gadis itu mengubah segalanya yang Drake tidak pernah sangka.
Ponselnya berdering.
"Halo?"
"Sayang, kau dimana?"
"Suatu tempat."
Evelyn menghela nafas. "Sayang, ini adalah hari kematian. Pulanglah, kita akan berziarah ke makam Grandpa."
Drake tahu. Itu sebabnya ia pergi ke rumah ini.
"Sayang, jangan bersedih lagi. Dia pasti sedih jika kau terus menangisinya. Relakan dirinya."
Itu mustahil. Bahkan untuk seratus tahun ke depan ia masih akan mengingat kejadian itu. Sulit untuk menemukan penggantinya.
Jika bukan Leah, Drake tidak akan mau bercinta lagi.
"Mommy tunggu kau di rumah. Asher sudah disini. Dia terus menanyaimu, dia menagih sepeda barunya yang kau janjikan!"
Senyum Drake sedikit terbit. Jadi rombongan Abeth sudah tiba. Mereka memang berencana untuk mengunjungi makam setiap kerabat di hari sakral ini. Memperingati kematian, Drake memutuskan untuk mengunjungi Leah terlebih dahulu. Sebelum berziarah bersama keluarganya.
"Aku pulang." Drake mematikan sambungan teleponnya dan melangkah menuju pagar.
Namun, sebelum benar-benar pergi, ia menatap rumah itu lekat. Senyum kesedihan kembali lagi.
"I'll be back, I swear."
To be Continued
22/2/22